Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan
penulis aktif yang lahir di jaman keemasan Peradaban Islam.
Pada jaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan
teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks
Yunani dari jaman Plato, sesudahnya hingga jaman Aristoteles
secara intensif banyak diterjemahkan dan dikembangkan lebih
maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama
dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika,
astronomi, Aljabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan. Pada
jaman Dinasti Samayid dibagian timur persian wilayah
Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat Iran dan Persian
memberi suasana yang mendukung bagi perkembangan keilmuan dan
budaya. Di jaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan Baghdad menjadi
pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.
Ilmu-ilmu lain seperti studi tentang AlQuran dan Hadist
berkembang dengan perkembangan dengan suasana perkembangan
ilmiah. Ilmu lainya seperti ilmu filsafat, Ilmu Fiqh, Ilmu
Kalam sangat berkembang dengan pesat. Pada masa itu Al-Razi dan
Al-Farabi menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu
pengobatan dan filsafat. Pada masa itu Ibnu Sina memiliki akses
untuk belajar di perpustakaan besar di wilayah Balkh,
Khawarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamedan. Selain
fasilitas perpustakaan besar yang memiliki banyak koleksi buku,
pada masa itu hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu
Raihan Al-Biruni seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi,
Abu Nashr Mansur seorang matematikawan terkenal dan sangat
teliti, Abu al-Khayr Khammar seorang fisikawan dan ilmuwan
terkenal lainya.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina
dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang
telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi
karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang
menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan
alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran
rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh
lagi dalam sistem keagamaan Islam. Dialah yang mencatat dan
menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama
kalinya. Dunia Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina. Namun di
kalangan orang-orang Barat, ia dikenal dengan panggilan Avicenna. Ia
merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Riwayat Hidup ?
2. Apa Karya-Karyanya ?
3. Apa Pemikirannya?
4. Bagimana Atawafik (Rekonsiliasi) Agama dan Filsafat ?
5. Bagaimana Agama dan Filsafat, Ketuhanan dan Emanasi ?
6. Bagimana Keteladanan Ibnu sina ?

1.3 Rumusan Masalah


1. Untuk mengetahui Riwayat Hidup
2. Untuk mengetahui Karya-Karyanya ?
3. Untuk mengetahui Pemikirannya?
4. Untuk mengetahui Atawafik (Rekonsiliasi) Agama dan Filsafat ?
5. Untuk mengetahui Agama dan Filsafat, Ketuhanan dan Emanasi ?
6. Untuk mengetahui Keteladanan Ibnu sina ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Hidup


Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di
Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini.
Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang
pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005
M).
Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang
luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal
Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai
ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16
tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi
melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya
sendiri, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan.
Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17
tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia
berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997),salah seorang
penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup
pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.
Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap
di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam
proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus,
sebagai gantinya ia hanya meminta izin untuk mengunjungi
sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa
sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.
Ibnu Sina selain terkenal sebagai orang yang ahli dalam
ilmu agama dan kedokteran, ia juga ahli dalam bidang
matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika
dan filosofi. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina memperoleh
predikat sebagai seorang fisikawan.Tak hanya itu, ia juga
mendalami masalah-masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat
Alquran. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran untuk
mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.
Setelah kematian ayahnya ia mulai berkelana, menyebarkan ilmu
dan mencari ilmu yang baru. Tempat pertama yang menjadi
tujuannya setelah hari duka itu adalah Jurjan, sebuah kota di
Timur Tengah. Di sinilah ia bertemu dengan seorang sastrawan
dan ulama besar Abu Raihan Al-Biruni. Ia kemudian berguru
kepada Al-Biruni.
Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan lagi perjalanannya
untuk menuntut ilmu. Rayydan Hamadan adalah kota selanjutnya,
sebuah kota dimana karyanya yang spektakular Qanun fi
Thib mulai ditulis. Di tempat ini pula Ibnu Sina banyak
berjasa, terutama pada raja Hamadan. Seakan tak pernah lelah,
ia melanjutkan lagi pengembaraannya, kali ini daerah Iran
menjadi tujuannya. Di sepanjang jalan yang dilaluinya itu,
banyak lahir karya-karya besar yang memberikan manfaat besar
pada dunia ilmu kedokteran khususnya.
Tentu tak berlebihan bila Ibnu Sina mendapat julukan
Bapak Kedokteran Dunia. Karena perkembangan dunia kedokteran
awal tidak bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Ia juga
banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran.
Dalam Qanun fi Thib misalnya, ia menulis ensiklopedia dengan
jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Ia juga
orang yang memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan
ini dijadikan rujukan selama tujuh abad lamanya. Ibnu Sina
pula yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia
secara lengkap untuk pertama kalinya. Dan dari sana ia
berkesimpulan bahwa, setiap bagian tubuh manusia, dari ujung
rambut hingga ujung kaki kuku saling berhubungan.
Ia adalah orang yang pertama kali merumuskan, bahwa
kesehatan fisik dan kesehatan jiwa berada kaitan dan saling
mendukung. Lebih khusus lagi, ia mengenalkan dunia kedokteran
pada ilmu yang sekarang diberi
nama pathology dan farmasi, yang menjadi bagian penting dari
ilmu kedokteran. Selain The Canon of Medicine, ada satu lagi
kitab karya Ibnu Sina yang tak kalah dahsyatnya. Asy-Syifa,
begitu judul kitab karya Ibnu Sina ini. Sebuah kitab tentang
cara-cara pengobatan sekaligus obatnya. Kitab ini di dunia
ilmu kedokteran menjadi semacam ensiklopedia filosofi dunia
kedokteran. Dalam bahasan latin, kitab ini di kenal dengan
nama Sanati.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M di kota Hamdan,
Iran. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada
khazanah keilmuan umat manusia. Hampir sebelas abad sudah Ibnu
Sina meninggalkan kita, tapi ilmu dan karyanya sampai sekarang
masih berguna.
Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar
yang diberikan orang kepadanya. Di bidang filsafat ia mendapat
gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja).Dalam bidang
filsafat, ia memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam.
Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya.
Ibnu Sina mengakui bahwa alam diciptakan secara
emanasi (memancar dari Tuhan).Tuhan menciptakan alam dalam
arti memancarkannya. Ia juga mengemuka kan pemikiran filsafat
tentang jiwa (annafs) dan kenabian. Ibnu Sina berpendapat
bahwa nabi adalah manusia terunggul dan pilihan Tuhan. Filsuf
hanya dapat menerima ilham, sedangkan nabi menerima wahyu.
Oleh karena itu, ajaran nabi harus menjadi pedoman hidup
manusia.
Di bidang kedokteran ia mendapat julukan Pangeran Para
Dokter dan Raja Obat. Banyak para pembesar negeri pada masa
itu yang mengundangnya untuk memberikan pengobatan. Para
pembesar negeri tersebut di antaranya Ratu
Sayyidah serta Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari
Hamadan, dan Alaud Dawla dari Isfahan. Karenanya dalam dunia
Islam, ia dianggap sebagai puncah atau Bapak ilmu kedokteran.

2.2 Karya-Karyanya
Ibnu Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam
kenegaraan tetapi ia juga seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama
ia menuntut ilmu, ia juga menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku.
Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
1. As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar,
terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika
(ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar
diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika
pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956,
Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal
keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam
bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di
Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr.
Abdurrahman Badawi.
2. An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni
As-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun
dalam ilmu ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331
M, di Mesir.
3. Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling
baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M.
Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian
diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman
Dunya.
4. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena
tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya
yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi
buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
5. Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang
Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah
menjadi buku standard untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17
H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India
tahun 1323 M.
6. Al-Magest, buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya,
bantahan terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan
Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya,
bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.
7. De Conglutineation Lagibum, kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang
membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal
nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua
sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan
hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk
mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama
dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair.
Beberapa esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-
Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-Isyq, dan Tahshil As-
Saadah. Sedangkanpuisi terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb,
Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-Ainiyyah. Bahkan
masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam
bahasa Persia.

2.3 Pemikirannya
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina
dalam banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang
telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang
jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual
Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:
1. Filsafat Wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang
berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua
sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan
Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue
of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya
dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya
timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul langit-langit.
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal,
namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud
Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan
Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang
tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi
pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan
sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh
Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh
ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu:
pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya
aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah
dari adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita
mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab
demikian banyak para filsafat Muslim yang disebut Malaikat Jibril.
Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau memberitahukan
materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia
juga disebut pemberi bentuk.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang
memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang
lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan
itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud,
tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah
Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal
ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada
kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata
lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia
tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri
mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah
satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan
diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada
mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak
akan ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu
makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul
Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan
sesuatu sebab (illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena
wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan
Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap
wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah
satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Quran
menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.
2. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit
yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima
jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-
fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina
menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua
kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua
subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme
radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan
suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan
kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah
cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan,
jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.
Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah
bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa
dalam tiga bahagian :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi
beberapa daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
b. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan
pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan
indera-indera yang meliputi :
3. Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh
pancaindera,
4. Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh
indera bersama,
5. Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
6. Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing
srigala,
7. Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh
estimasi.
c. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya
Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan. Teoritis
(theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana
dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai
Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa
penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak
masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-quran
di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta
berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda
pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa
maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak
abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik
Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus,
Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon,
dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes
tentang hakikat dan adanya jiwa.
3. Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat
bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof
karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi
keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual,
akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat
bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya.
kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
1. Akal Materil (alaklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
2. Intellectus in habitu (alaklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk
berpikir tentang hal-hal abstrak.
3. Akal Aktuil (alaklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak.
4. Akal Mustafad (alaklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada
daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal
yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal
serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari
Akal Aktif (alaklu faaala).
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan
yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (alaklul
hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-
hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil
ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat
bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-
hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat
berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima
cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan
diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka
yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia
untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai
wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam
rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan
lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-
simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi
dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu
struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada
wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang
pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi
yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi.
Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan
yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional
(binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna
secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang
memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni
melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang
lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada
di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-
makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap
manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal
aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut
Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak
identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu
internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian
pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab
itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara aksidental bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah aksidental).

2.4 Atawafik (Rekonsiliasi) Agama dan Filsafat


Corak pemikiran kaum Muslimin pada berbagai bidang pemikiran
bersifat umum, oleh sebab itu filsuf-filsuf Islam berusaha untuk
mempertemukan agama dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan
dalil-dalil fikiran semata-mata, yaitu Filsafat Yunani.
Selain karena corak pemikiran tersebut, juga ada beberapa faktor yang
mendorong ke arah pemanduan tersebut, yaitu:
Adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan Filsafat
Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri
khasnya, baru atau qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan,
keadaan Jiwa, dan balasan badaniah atau rohaniah di akhirat.
Adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan yang tidak
membawa hasil yang sesuai dengan akidah agama yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sikap ini sering-sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang
dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli
fikir bebas
Hasrat para filsuf sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-
tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan terlalu
nampak perlawanannya dengan agama.
Dalam Literatur lain juga menyebutkan adanya kewajaran jika
terdapat kecenderungan pemaduan agama dengan filsafat baik dipengaruhi
dari Islam itu sendiri maupun dari Yunani dan hampir seluruh filosof
Islam, di Timur (seperti Ibnu Sina salah satunya) dan di Barat. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pada para pendahulu ,baik dari
kalangan pemikir Masehi maupun Yahudi. Faktor-faktor tersebut antara
lain :
Lebarnya jurang perbedaan anatara Islam yang berdasarkan wahyu,
tanpa mengecilkan peranan akal, dengan filsafat Aristoteles yang
berdasarkan akal semata-mata.
Kecaman yang dilakukan oleh kebanyakan pemuka agama terhadap
pembahasan akali (rasional) yang tidak terkait kesimpulannya pada
ketentuan akidah yang telah diakui sebelumnya, sehingga
mengakibatkan timbul penekanan dari para penguasa dan rakyat umum
terhadap filosofi.
Kegemaran para filosofi itu sendiri untuk hidup tenang agar dapat
berfikir, bebas dari berbagai petaka dan kekacauan.
Tentu saja antara agama dan filsafat, menurut sebagian filosofi
yang disimpulkan penulis memiliki perbedaan yang sangat signifikan,
jika filsafat dipengaruhi oleh akal dengan memiliki batasan atau
kebebasan dalam penalaran menangkap makna-makna kehidupan ini,
lain halnya dengan agama, agama bersumber dari ilahi wahyu yang
diberikan kepada utusan-utusan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat
lagi ke Absolutannya. Akal disini hanya mampu menjangkau wahyu
yang tertulis dalam kitabnya dan memiliki batasan.
Sehingga diperlukan Rekonsiliasi antara agama dengan filsafat,
ketika agama berbicara tentang kebenaran dan kejahatan maka akal
yang berfikir (berfilsafat) dengan cepat akal tersebut menerimanya
atau meresponnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Dalam ajaran Islam, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, tidak
ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu
yang kekal tanpa pemelihataanNya. Allah mengetahui segala sesuatu
yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Allah yang menciptakan
alam ini dari yang tidak ada menjadi ada tanpa perantara sari
siapapun. Allah memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.

2.5 Agama dan Filsafat, Ketuhanan dan Emanasi


Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah)
dengan wajib al-wujud dan mumkin al-Wujud mengesankan duplikat Al-
Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetapi, dalam filsafat
wujudnya, bahwa segala yang ada di bagi pada tiga tingkatan dipandang
memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut.
Wajib al-wujud
esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud keduanya adalah
sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud,
tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina
membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-
wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah wujudnya dengan sabab
zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua
ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar
zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud
li dzatihi la li syaiin akhar)
Mumkin al-Wujud
esensi yang boleh mempunayi wujud dan boleh pula tidak
berwujud, dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan
ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-Wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan
tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujud bi
lidzatihi. Ia pun dapat pula dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga
disebut mumkin al-wujud bi lidzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis
mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.
Mumtani al-Wujud
esensi yang tidak dapat mempnyai wujud, seperti adanya sekarang
ini juga kosmos lin di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari
dalil dengan salah satu mahluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud
pertama, yakni Wajib al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab yang
mengeluarkannya menjadi wujud kerena wujudnya tidak dari zatnya
sendiri.
Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak
memerlukan pada perenungan terhadap wujud itu sendiri tanpa
memerlukan wujud-Nya dengan salah satu mahluk-Nya, namun
pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna.
Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Quran dalam al-
Fuhshilat 53.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,
hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.
Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan
Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai
wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil
aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-taaqqul
mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah
langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa
dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap
al-aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain
dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya
serta jiwa langit dan planet-planetnya.
Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara
langsung karena berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-
aqlmenggerakannya dari jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-
aqlmempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah
yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-
aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak
mencapai satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia
mempunyai hajat baru kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya.
Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena merupakan
limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari
akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya.
Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan
(faidlu ridla maqul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti
bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang mengingini.

Emanasi Menurut Platinus


Istilah pemancaran atau emanasi sejalan dengan para
pendahulunya. Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para filsuf Yunani,
terutama Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari yang satu muncul
keberagaman dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama
memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya hingga
mencapai akal sepuluh dan bumi. Dari akal sepuluh memancar segala
sesuatu di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah adalah
malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah jibril.
Jika Konsep akal Farabian memiliki dua obyek pemikiran, yaitu
berfikir mengenai Tuhan sebagai wujud pertama dan berfikir tentang
dirinya sendiri, lain halnya dengan konsep Ibnu Sina yang memiliki tiga
obyek perenungan. Akal pertama yang mempunyai dua sifat, yaitu wajib
al-Wujud lighairihi sebagai pancaran dari
Tuhan, dan mumkin al-wujud lizatihi apabila ditinjau dari hakikat
dirinya. Akal pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Tuhan,
dirinya sendiri sebagaimana wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mumkin
wujudnya, ketika akal memikirkan Tuhan akan timbul akal-akal yang
lainnya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berfikir tentang dirinya
sebagai mumkin wujudnya sebagai langit-langit. Jadi, akal pertama
melimpahkan tiga wujud : akal kedua, jiwa pertama, dan langit tempat
fixed stars. Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa Dari yang
satu hanya satu yang melimpah. hal ini diislamkan oleh Ibnu Sina (juga
Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini
memungkinkan karena dalam Al-Quran tidak ditemukan informasi yang
rinci tentang penciptaan alam materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,
namn hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, Yang
Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah
Pencipta (Shani, agent) yang aktif. Dia menciptakan alam materi yang
sudah ada secara pancaran.

2.6 Keteladanan Ibnu sina


Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat
adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang
sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang
produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah Bapak Pengobatan Modern
dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan
dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal
adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama
berabad-abad. Karya Ibnu Sina, fisikawan terbesar Persia abad pertengahan ,
memainkan peranan penting pada Pembangunan kembali Eropa. Dia adalah
pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak
diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh
banyak orang sebagai bapak kedokteran modern. George Sarton menyebut
Ibnu Sina ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling
terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu. pekerjaannya yang paling
terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal
juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Kehidupannya dikenal lewat sumber sumber berkuasa. Suatu
autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya
didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan
temannya. Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya
Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia).
Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan
pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu
pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga
Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili,
pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar
biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Ibn
Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya
segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia
menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang
luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran
pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan
sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain
dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat
orang sakit dan mengajar anak muda. Meskipun bermasalah besar pada
masalah masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles.
Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari
filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa
penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku bukunya,
mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah
menyelesaikan kesulitan kesulitannya. Pada larut malam dia akan
melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan
kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah
akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan,
dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata katanya tertulis
dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka
menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di
suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah
kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia
harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada
Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar
teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui
perhitungannya sendiri, menemukan metode metode baru dari perawatan.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18
tahun dan menemukan bahwa Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat
memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai
merawat para pasien, menggunakan obat obat yang sesuai. Kemasyuran
sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien
tanpa meminta bayaran
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina
sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib
wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika
ditinjau dari hakikat dirinya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari
ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi
seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai
malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini
diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud
pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang
ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil),
beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak
mujstahil).
Agama dan filsafat adalah objeknya sedangkan filosof yang
membicarakan tentang Ketuhanan adalah subyeknya yang memiliki latar
belakang pemikiran yang berbeda pula sesuai dengan keadaan pada masa itu.
wajar saja jika agama dan filsafat mampu di rekonsiliasi sementara Filosof
yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak belakang. Hal ini disebabkan
makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak dapat dipungkiri ada
pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani.

3.2 Saran
Semoga dengan makalah diharapka bagi para pembaca lebih
mengetahu sejarah keteladanan Ibnu Sina yaitu Bapak Pengobatan
Modern dan mampu mencontoh keteladanannya. Amin ....

DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999


Dahlan, Abdul Azis, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973
---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
Universitas Indonesi, 1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002
Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto
Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
http://masmoi.wordpress.com/2009/12/28/ibnu-sina-bapak-kedokteran-
dunia/
http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-
pemikiran.html
Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam.
Jakarta : Bulan Bintang
Hakim, Atang Abdul. dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat
Umum.Bandung : CV Pustaka Setia
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia
Poerwantoro, A. Ahmadi dan M.A Rosali.1994. Seluk Beluk
Filsafat Islam.
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Erlangga,
Jakarta, 2006.
Drs. Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994.
Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof
Muslim,Pustaka Hidayah, Bandung, 2002

Anda mungkin juga menyukai