PENDAHULUAN
2.2 Karya-Karyanya
Ibnu Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam
kenegaraan tetapi ia juga seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama
ia menuntut ilmu, ia juga menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku.
Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
1. As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar,
terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika
(ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar
diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika
pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956,
Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal
keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam
bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di
Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr.
Abdurrahman Badawi.
2. An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni
As-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun
dalam ilmu ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331
M, di Mesir.
3. Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling
baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M.
Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian
diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman
Dunya.
4. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena
tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya
yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi
buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
5. Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang
Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah
menjadi buku standard untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17
H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India
tahun 1323 M.
6. Al-Magest, buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya,
bantahan terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan
Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya,
bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.
7. De Conglutineation Lagibum, kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang
membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal
nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua
sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan
hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk
mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama
dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair.
Beberapa esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-
Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-Isyq, dan Tahshil As-
Saadah. Sedangkanpuisi terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb,
Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-Ainiyyah. Bahkan
masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam
bahasa Persia.
2.3 Pemikirannya
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina
dalam banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya
unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang
telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang
jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual
Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:
1. Filsafat Wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang
berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua
sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan
Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue
of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya
dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya
timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul langit-langit.
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal,
namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud
Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan
Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang
tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi
pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan
sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh
Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh
ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu:
pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya
aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah
dari adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita
mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab
demikian banyak para filsafat Muslim yang disebut Malaikat Jibril.
Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau memberitahukan
materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia
juga disebut pemberi bentuk.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang
memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang
lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan
itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud,
tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah
Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal
ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada
kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata
lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia
tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri
mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah
satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan
diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada
mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak
akan ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu
makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul
Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan
sesuatu sebab (illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena
wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan
Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap
wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah
satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Quran
menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.
2. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit
yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima
jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-
fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina
menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua
kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua
subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme
radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan
suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan
kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah
cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan,
jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.
Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah
bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa
dalam tiga bahagian :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi
beberapa daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
b. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan
pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan
indera-indera yang meliputi :
3. Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh
pancaindera,
4. Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh
indera bersama,
5. Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
6. Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing
srigala,
7. Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh
estimasi.
c. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya
Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan. Teoritis
(theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana
dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai
Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa
penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak
masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-quran
di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta
berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda
pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa
maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak
abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik
Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus,
Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon,
dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes
tentang hakikat dan adanya jiwa.
3. Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat
bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof
karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi
keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual,
akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat
bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya.
kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
1. Akal Materil (alaklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
2. Intellectus in habitu (alaklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk
berpikir tentang hal-hal abstrak.
3. Akal Aktuil (alaklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak.
4. Akal Mustafad (alaklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada
daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal
yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal
serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari
Akal Aktif (alaklu faaala).
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan
yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (alaklul
hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-
hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil
ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat
bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-
hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat
berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima
cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan
diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka
yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia
untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai
wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam
rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan
lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-
simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi
dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu
struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada
wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang
pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi
yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi.
Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan
yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional
(binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna
secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang
memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni
melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang
lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada
di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-
makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap
manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal
aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut
Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak
identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu
internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian
pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab
itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara aksidental bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah aksidental).
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina
sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib
wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika
ditinjau dari hakikat dirinya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari
ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi
seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai
malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini
diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud
pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang
ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil),
beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak
mujstahil).
Agama dan filsafat adalah objeknya sedangkan filosof yang
membicarakan tentang Ketuhanan adalah subyeknya yang memiliki latar
belakang pemikiran yang berbeda pula sesuai dengan keadaan pada masa itu.
wajar saja jika agama dan filsafat mampu di rekonsiliasi sementara Filosof
yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak belakang. Hal ini disebabkan
makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak dapat dipungkiri ada
pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani.
3.2 Saran
Semoga dengan makalah diharapka bagi para pembaca lebih
mengetahu sejarah keteladanan Ibnu Sina yaitu Bapak Pengobatan
Modern dan mampu mencontoh keteladanannya. Amin ....
DAFTAR PUSTAKA