PENDAHULUAN
diakui bahwa pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani.
Kota Iskandariyah di Mesir sampai abad VII adalah pusat studi filsafat,
teologi dan sains yang sangat penting. Filsosof yang terkenal di kota ini antara lain
Philo (30 SM-50 M). Dan ketika pada abad VII Masehi, umat Islam mengadakan
tersebut belum dikembangkan. Karena pada masa itu, perhatian umat Islam terfokus
pada penaklukan wilayah dan lebih menonjolkan kebudayaan Arab. Barulah pada
zaman Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, mulai diperhatikan secara serius
filsafat Yunani ini, terutama pada masa al-Ma’mun (813-833 M.), putera Harun al-
bahasa administrasi yang digunakan adalah bahasa Yunani. Bahkan di Mesir dan
1
Perlu diketahui bahwa filsafat Yunani telah masuk ke daerah ini bersamaan dengan penaklukan
Alexander the Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika Utara. Keinginan Alexander untuk menguasai
sekaligus menyatukan kebudayaan yang ditaklukkannya, baik di Barat maupun di Timur, maka dibukalah pusat-
pusat pengkajian kebudayaan dengan menjadikan kebudayaan Yunani sebagai inti kebudayaannya. Di bagian
Barat dikenal pusat kebudayaan di Athena dan Roma, sedangkan untuk Timur dikenal Alexandria (Iskandariah) di
Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia. Lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, (Cet.X; Jakarta:UI Press, 1986), h. 46
~1~
Suria, bahasa ini tetap dipergunakan sesudah masuknya Islam ke daerah tersebut.
Baru pada abad VII oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705) diganti
Di antara yang tertarik pada filsafat Yunani dari kalangan filosof Muslim
sebagaimana yang dikutip Ahmad Hanafi, bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof
Muslim yang pertama. Dia juga mengakui bahwa sebelumnya al-Kindi telah
membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, akan tetapi ia tidak menciptakan
lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam seperti yang
dimiliki oleh Plotinus di dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina
(Avicenna), Ibnu Rusyd (Avirosm), dan filosof Islam lainnya yang datang
sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar al-Mu’allim al-Awwal (guru
pertama).3
mencakup seluruh aspek pemikirannya. Ia adalah pembangun filsafat dalam arti yang
sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat yang teratur rapi
2
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet.VIII; Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 8
3
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 82
~2~
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak
aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti
Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plotinus. Selain itu Al-Farabi
(ketunggalan) filsafat.
tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat Stoa, atau
Peripatetik atau Neo Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-
aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.4
B. Rumusan Masalah
filsafat kenabian?
BAB II
PEMBAHASAN
4
Ibid, h. 122
~3~
A. Biografi (Riwayat Hidup al-Farabi)
Tarkhan ibn Auzalaqh. Di kalangan orang-orang Latin Abad tengah, Al-Farabi lebih
dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia lahir di suatu kota kecil bernama Wasij,
wilayah Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Turkisatan pada tahun 257 H
(870 M).5 dan wafat di Damaskus pada 339 H (950 M). Sebutan Al-Farabi diambil
dari kota kelahiran beliau, Farab yang juga disebut kampung Urtar, dahulu masuk
daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan. Ayahnya
seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Karena itu
keturunan Turki6
His parents were originally of Persian descent, but his ancestors had migrated
to Turkistan. Known as al-Phararabius in Europe. 7
Eropa.
Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecukupan luar biasa
dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran, Turkistan
5
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 32
6
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 25
7
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
8
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 81
~4~
dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat
menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi pindah ke Bukhara, pada saat itu Bukhara
merupakan ibukota dan pusat intelektual. Di sinilah Al-Farabi pertama kali belajar
tentang musik. Sebelum dia tenggelam dalam karir Filsafatnya, terlebih dahulu dia
berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan Filsafat. Guru utama
Al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.10 Pada masa kekhalifahan Al- Mu’tadid (892-
902 M ), baik Yuhanna ibnu Hailan maupun Al-Farabi pergi ke Baghdad. Segera saja
menurut suatu sumber, dia tinggal selama delapan tahun, mempelajari seluruh silabus
filsafat.11
Al-Farabi (also called al-Pharabius in Europe) was one of the most famed of
Moslem philosophers. Of Turkish origin he was educated in Farab and Bukhara
but spent time in Baghdad and at the court of Prince Sayf al-Dawlah in Aleppo,
Syria”.12
9
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 71
10
Ahmad Hanafi, op.cit., h. 72
11
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2003), h. 55
12
“Al-Farabi,” http://www.hyperhistory.com/online_n2/people_n2/alfarabi.html., (Diakses 9 Nopember
2009)
~5~
Bahwa Al-Farabi yang dikenal di Eropa dengan al-Pharabius,13 adalah salah
seorang filosof Muslim yang terkenal. Sebagai orang Turkistan, ia belajar di Farab
Antara 910 dan 920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan
dua ratus kali. Pada 942 M, situasi di ibukota dengan cepat semakin memburuk
merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibnu Abi Usaibi’ah, di Damaskus
Al-Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar
penyair, dan sebagainya, yang berada di sekitar Sultan dinasti Hamdan di Aleppo
~6~
sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat,
bakat musiknya serta penguasaanya atas berbagai bahasa.15 Kendati Sultan mau
empat dirham saja setiap hari, karena ia lebih memilih hidup zahid atau sederhana.
while on a journey, in December, 950; and it is reported that his prince, attired as a
Sufi, pronounced over him his funeral oration”.16 Jadi, Al-Farabi meninggal pada
pengetahuan, filsafat, logika, sosiologi dan tentu saja sebagai Ensiklopedis. Sebagai
seorang filosof, dia bisa digolongkan sebagai Neoplatonis yang mencoba mensintesis
Platonisme dan Aristotelisme dengan teologi dan menulis karya yang mengomentari
karya Aristoteles tentang fisika, meteorologi dan logika serta sejumlah buku yang
15
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 74
16
DR. T. J. de Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York:Dover Publications, t. th.), h. 108
17
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Djambatan, 2002),
h. 280
18
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
~7~
Oleh karena itu, Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Muslim terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filosof yang
datang sesudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan
tajam dari para komentator karya Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku
metafisika karangan Aristoteles empat kali, tetap belum juga mengerti maksudnya.
Setelah ia membaca karangan Al-Farabi yang berjudul Aghradl kitabi ma Ba’da at-
Thabiah (Intisari Buku Metafisika), baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakan
sukar.20
Utama).
19
Ada anggapan bahwa perbedaan antara guru dengan murid, Plato dan Aristoteles. Boleh jadi, di
samping sistem pemikiran, juga perbedaan hidup. Plato lebih suka hidup menyendiri, sedangkan Aristoteles lebih
menyenangi kehidupan duniawi, kaya dan berkeluarga bahkan pernah menjadi menteri dari Alexander the Great.
Lihat : Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, op. cit., h. 30
20
Sudarsono, Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31
~8~
6. Ihsa’u al-Ulum (Statistik Ilmu).21
B. Pemikiran al-Farabi
1. Emanasi (al-Faidh)
Emanasi berasal berasal dari bahasa Inggris yaitu emanation; berasal dari
bahasa latin e, atinya dari dan manare, artinya mengalir. Emanasi adalah doktrin
mengenai terjadinya dunia.22 Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud
yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya;
Bagaimana hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam keluar
dari padanya dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadimnya Tuhan
yang sebenarnya. Akan tetapi Al-Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah,
dimana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan
mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang
sebaik-baiknya.23
Dalam ajaran Plotinus, dari yang esa memancar akal, dari akal memancar
jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia. Jadi, menurutnya Tuhan
~9~
Seperti halnya dengan Plotinus, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama
sekali. Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Sebab emanasi itu
Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada ( اليجـاد من العـدم, creatio ex
nihilo). Bagi al-Farabi, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara
pancaran. Tuhan menciptakan alam sejak azali dengan materi alam berasal dari
energi yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru.
Karena itu, menurutnya kun Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an ditujukan
Jadi dalam dunia Islam, teori emanasi ini pertama kali diperkenalkan oleh
al-Farabi. Tuhan diyakini Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti
banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun. Karena itu yang keluar
darinya juga satu, wujud satu. Jadi Al-Farabi berpegang pada asas, yang berasal dari
sebagai Akal berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran-Nya itu timbul satu maujud
lain. Tuhan merupakan wujud pertama ( ) الوجود الولdan dengan pemikiran itu
Akal Pertama ( العقـل الول, First Intelligence ) yang tidak bersifat materi. Wujud
25
Ahmad Hanafi, loc. cit.
26
Konsep kun disebutkan dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat, seperti pada Q. S. Yasin/36 : 82 (
) . Lihat : Ibid
~ 10 ~
kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari pemikiran itu timbul wujud ketiga
Wujud Kedua atau Akal Pertama ini juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul
dari Akal 10 muncullah bumi serta ruh dan materi pertama yang menjadi dasar dari
keempat unsur yakni api, udara, air dan tanah. Dengan demikian, ada 10 akal dan 9
langit. Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga
~ 11 ~
‘Aql Fa’al (Akal Aktif) yaitu Jibril.27 Menurut Al-Farabi akal berjumlah 10. Dasar
penetapan itu ialah mengingat jumlah planet yang berjumlah 9. Tiap akal
membutuhkan satu planet, kecuali akal pertama yang tidak membutuhkan planet.28
kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin Yang Maha Esa berhubungan dengan
yang tidak Esa atau banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung
mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai
keesaan-Nya. Jadi, dari Tuhan Yang Maha Esa hanya muncul satu, yaitu Akal
2. Jiwa ( an-Nafs )
Manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang lahir di atas bumi ini. Ia
terdiri dari dua unsur: jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa
berasal dari alam perintah (alamu’ l amar). Berdasarkan perbedaan asal antara jiwa
dan badan, maka jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih penting dan lebih
berperan dari pada jasad, sehingga Al-Farabi, seperti halnya para filosof Yunani,
lebih banyak perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa
27
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
28
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, (Cet. I; Jakarta:Universitas Indonesia, 2006), h. 46
29
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
30
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40
~ 12 ~
Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan
binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs
al-nathiqah ( ) النفـس الناطقةyang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad dari
alam khalq, berbentuk, berupa dan berkadar. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap
menerimanya.
pemikian para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Defenisi jiwa dari
pertama bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk
bahwa jiwa adalah forma bagi jasad, tapi ia menafsirkan “forma” dalam arti “jauhar”
31
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 39
~ 13 ~
(substansi) yang berdiri sendiri dan yang berasal dari akal kesepuluh (‘aql fa’-‘al).
Dengan demikian, hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi aksidental,
sehingga jiwa tidak akan fana dengan sebab kematian jasad. Dalam hal ini, Al-Farabi
lebih menyukai konsep Plato yang menganut paham keabadian jiwa di samping
jiwa fana’. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan
dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak
hancur dengan hancurnya badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa
yang telah berada pada tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa
jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari
3. Filsafat Kenabian
Pengingkaran terhadap wahyu dari agama Islam sudah timbul sejak masa
Nabi Muhammad saw. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengakui bahwa Nabi
Muhammad saw. mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan,
sebab ia adalah manusia biasa yang makan dan minum serta pergi ke pasar.
32
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40
33
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 40
~ 14 ~
Terjemahnya :
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” 34
mereka, sedang mereka adalah ahli bahasa dan kesusasteraan, maka mereka
yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun
keadaan ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, setelah
34
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. I; Semarang:Toha Putra,
1999), h. 287
35
Ibid., h. 243
~ 15 ~
golongan-golongan luar Islam dapat memasukkan pikirannya di kalangan kaum
muslimin, seperti golongan Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Sumniah dari
agama Brahma, orang-orang Yahudi, Nasrani dan sebagainya. Sejak saat itu, setiap
dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik. Dalam menghadapi mereka, orang-
Dalam hubungan ini, serangan Ibn ar-Rawandi (wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar
semasa dengan Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Al-Farabi adalah orang
kalangan filosof Islam belakangan. Teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di
rangkaian proses emanasi. Dalam faham al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat
inilah yang memungkinkan para nabi dan rasul dapat menerima wahyu.
~ 16 ~
terbagi ke dalam lima tahap, yaitu pertumbuhan, penginderaan, bernafsu,
mengkhayal dan berpikir. Kelima daya jiwa ini membentuk hierarki di mana setiap
mengindera, mengkhayal38 dan berpikir. Ketiga daya ini merujuk pada kedirian
manusia, yaitu jism, nafs dan aql.39 Daya mengindera merujuk pada indera eksternal
dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat
menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara
Ciri khas seorang nabi bagi Al-Farabi adalah mempunyai daya imaginasi
yang kuat di mana obyek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia
dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql fa’al’ (akal
10) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Dapatnya Nabi berhubungan
langsung dengan akal 10(Jibril) tanpa latihan karena Allah menganugrahinya akal
yang mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa
38
Selain kata mengkhayal atau daya khayal, penulis juga menggunakan sinonimnya, yaitu imajinasi.
Karena kedua istilah ini (mengkhayal dan imajinasi) digunakan oleh para penulis tentang teori kenabian al-Farabi.
Lihat : Ahmad Hanafi, Pengantar, op. cit., h. 104 -105 dan Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 76 - 79
39
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 77
40
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 44
~ 17 ~
Jadi jika pada seseorang terdapat banyak imajinasi yang istimewa, maka
malam hari, di saat berjaga ia mampu berhubungan dengan Akal-Faal seperti ketika
sekali hal itu terjadi dalam bentuk yang lebih jelas dan sempurna. Maka seorang nabi
menurut Al-Farabi adalah manusia yang diberi imajinasi yang besar yang
waktu.41
psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk
berhubungan dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang
disebut masyarakat dan negara.42 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan
41
Ibrahim Madkour, op. cit., h. 129
42
Gagasan tentang fitrah sosial kemudian diulangi oleh Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778 M.)
dengan konsep kembali ke alam (retur a la nature) yang kemudian melahirkan konsep social contract (kontrak
sosial), kemauan untuk bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama di antara individu. Lihat : Frans Magnis
Suseno, Etika Politik, (Cet.I; Jakarta:Gramedia, 1994), h. 238
~ 18 ~
masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa mengatur dan
tubuh manusia. Negara utama, kata Al-Farabi, serupa dengan badan yang sempurna
tingkat dan dayanya, dimana hati merupakan anggota pengendali. Demikian pula
terdapat seorang kepala sebagai pemimpin. Anggota badan saling melayani, begitu
pula dalam negara terdapat warga negara yang saling membantu. Badan itu
membentuk suatu kesatuan, demikian pula halnya Negara utama yang setiap
a. Negara besar, adalah negara yang berdaulat dan bebas dan membawahi
negara-negara bagian;
43
Achmad Khudori Soleh, Pemikiran Politik Al-Farabi, Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN
Malang, Vol. IV/ No. 2 Juli 2007, h. 3. http://www.uin-malang.ac.id (Diakses 9 November 2009)
44
Ahmad Daudy, op. cit., h.51
45
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.
~ 19 ~
Menurut Al-Farabi, di antara tiga macam negara di atas: besar, sedang dan ,
kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang
adalah sama seperti kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan
keselamatan dirinya.
Menurut al-Farabi, negara utama adalah negara yang dipimpin oleh rasul dan
kebahagiaan.
dan akal fa’al seperti penduduk utama, akan tetapi tingkah laku mereka sama
mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama, tetapi
yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetapi kepala negaranya
~ 20 ~
Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin
yang bersifat fitrah (bawaan) dan pengayaan (muktasab). Persyaratan yang bersifat
1. Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan
ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempuyai akhlak atau moral yang baik
dan terpuji.
imajinatif.
masyarakat.46
Di sisi lain, tak semua orang mempunyai kapasitas untuk memimpin atau
46
Ibid, h. 7
~ 21 ~
memiliki) kemampuan untuk menasehati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu.
Ada orang yang banyak memiliki keduanya atau hanya salah satunya saja. Sebagian
lain memiliki sedikit, dan sebagian lagi malah tak memiliki keduanya. Menurut Al-
Farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk
memimpin, yaitu untuk memandu dan menasehati: penguasa tertinggi atau penguasa
(tingkat kedua) yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai
sepenuhnya.
Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang
“... benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan... Ia mampu
kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami
yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif.
komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Ringkas kata, mereka adalah orang yang-
selain sempurna fisik, mental dan jiwanya- memiliki keahlian yang sempurna dalam
47
Yamani, op. cit., h. 61-62
~ 22 ~
Jadi, Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat layak menjadi kepala
negara utama karena keduanya telah mampu berhubungan dengan akal aktif yang
Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak hanya pada cara berhubungan dengan akal
aktif yang oleh nabi melalui daya khayal, sedangkan oleh filosof dengan pemikiran
akal.48
memerintah. “... yang dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian
memiliki elemen memerintah, dan di bawah peringkat ini tidak ada lagi peringkat.49
mengambil peranan atau penentu kebijakan. Dengan sistem seperti itu, diharapkan
mereka akan mampu mendidik dan membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan
48
Ahmad Daudy, op. cit., h. 54
49
Ibid., h. 64
50
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.
~ 23 ~
BAB III
KESIMPULAN
dalam banyak bidang keilmuwan dan memandang filsafat secara utuh dan
2. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan).
~ 24 ~
3. Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
4. Dalam paham Al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat,
5. Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertiggi, yang
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991
~ 25 ~
Madkour, Ibrahim, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, terj. Yudian
Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakkir, Filsafat Islam : Metode dan
Penerapan Cet. II; Jakarta:Rajawali, 1991
________ , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet.X; Jakarta:UI Press, 1986
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Cet. II; Jakarta:
Djambatan, 2002
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Cet. II; Bandung:
Mizan, 2003
Literatur Internet/Website :
“Al-Farabi,” http://www.hyperhistory.com/online_n2/people_n2/alfarabi.html.,
(Diakses 9 Nopember 2009)
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim
Philosopher, http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
~ 26 ~
~ 27 ~