Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika membahas tentang sejarah munculnya filsafat Islam, maka harus

diakui bahwa pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani.

Pemikiran filsafat tersebut dijumpai oleh pemikir-pemikir Islam di Suria,

Mesopotamia (Irak), Persia dan Mesir.

Kota Iskandariyah di Mesir sampai abad VII adalah pusat studi filsafat,

teologi dan sains yang sangat penting. Filsosof yang terkenal di kota ini antara lain

Philo (30 SM-50 M). Dan ketika pada abad VII Masehi, umat Islam mengadakan

perluasan wilayah ke daerah-daerah tersebut, maka berarti dimulainya kontak antara

filsafat Islam dan filsafat Yunani.1

Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dan Daulah Umayyah, filsafat Yunani

tersebut belum dikembangkan. Karena pada masa itu, perhatian umat Islam terfokus

pada penaklukan wilayah dan lebih menonjolkan kebudayaan Arab. Barulah pada

zaman Daulah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, mulai diperhatikan secara serius

filsafat Yunani ini, terutama pada masa al-Ma’mun (813-833 M.), putera Harun al-

Rasyid, yang dikenal dengan zaman penterjemahan.

Di antara bekas pengaruh kebudayaan Yunani di daerah tersebut, adalah

bahasa administrasi yang digunakan adalah bahasa Yunani. Bahkan di Mesir dan

1
Perlu diketahui bahwa filsafat Yunani telah masuk ke daerah ini bersamaan dengan penaklukan
Alexander the Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika Utara. Keinginan Alexander untuk menguasai
sekaligus menyatukan kebudayaan yang ditaklukkannya, baik di Barat maupun di Timur, maka dibukalah pusat-
pusat pengkajian kebudayaan dengan menjadikan kebudayaan Yunani sebagai inti kebudayaannya. Di bagian
Barat dikenal pusat kebudayaan di Athena dan Roma, sedangkan untuk Timur dikenal Alexandria (Iskandariah) di
Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia. Lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, (Cet.X; Jakarta:UI Press, 1986), h. 46

~1~
Suria, bahasa ini tetap dipergunakan sesudah masuknya Islam ke daerah tersebut.

Baru pada abad VII oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705) diganti

dengan bahasa Arab.2

Di antara yang tertarik pada filsafat Yunani dari kalangan filosof Muslim

adalah al-Farabi. Menurut Massignon (ahli ketimuran berkebangsaan Perancis),

sebagaimana yang dikutip Ahmad Hanafi, bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof

Muslim yang pertama. Dia juga mengakui bahwa sebelumnya al-Kindi telah

membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, akan tetapi ia tidak menciptakan

sistem filsafat tertentu. Demikian pula persoalan-persoalan yang dibicarakannya

masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan.

Sebaliknya Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang

lengkap dan telah memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam seperti yang

dimiliki oleh Plotinus di dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina

(Avicenna), Ibnu Rusyd (Avirosm), dan filosof Islam lainnya yang datang

sesudahnya. Olehnya itu, ia mendapat gelar al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua)

sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar al-Mu’allim al-Awwal (guru

pertama).3

Pembicaraan tentang Al-Farabi sudah cukup banyak, meskipun belum

mencakup seluruh aspek pemikirannya. Ia adalah pembangun filsafat dalam arti yang

sebenarnya dan ia telah meninggalkan suatu bangunan filsafat yang teratur rapi

bagian-bagiannya, dan oleh karenanya maka ibnu Khillikan menamakannya “filosof

Islam yang paling besar”.

2
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet.VIII; Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 8
3
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 82

~2~
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat

Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak

aliran Syi’ah Imamiah. Misalnya dalam soal mantik dan filsafat fisika ia mengikuti

Aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plotinus. Selain itu Al-Farabi

adalah seorang filosof sinkretisme (pemaduan) yng percaya akan kesatuan

(ketunggalan) filsafat.

Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan

Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikirannya

tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat Stoa, atau

Peripatetik atau Neo Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-

aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam makalah

ini membahas tentang Al-Farabi dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana biografi (riwayat hidup) Al-Farabi ?

2. Bagaimana pemikirannya tentang emanasi (al-faidh), filsafat al-nafs (jiwa) dan

filsafat kenabian?

3. Bagaimana teori politiknya (al-Madinah al-Fadhilah) ?

BAB II

PEMBAHASAN

4
Ibid, h. 122

~3~
A. Biografi (Riwayat Hidup al-Farabi)

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn

Tarkhan ibn Auzalaqh. Di kalangan orang-orang Latin Abad tengah, Al-Farabi lebih

dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia lahir di suatu kota kecil bernama Wasij,

wilayah Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Turkisatan pada tahun 257 H

(870 M).5 dan wafat di Damaskus pada 339 H (950 M). Sebutan Al-Farabi diambil

dari kota kelahiran beliau, Farab yang juga disebut kampung Urtar, dahulu masuk

daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan. Ayahnya

seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Karena itu

Al-Farabi terkadang dikatakan sebagai keturunan Persia dan terkadang sebagai

keturunan Turki6

His parents were originally of Persian descent, but his ancestors had migrated
to Turkistan. Known as al-Phararabius in Europe. 7

Maksudnya, bahwa orangtuanya awalnya berasal dari keturunan Persia,

tetapi leluhurnya telah bermigrasi ke Turkistan. Ia dikenal sebagai al-Pharabius di

Eropa.

Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecukupan luar biasa

dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain, bahasa Iran, Turkistan

dan Kardistan.8 Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di Kota yang

mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iah inilah Al-Farabi menerima pendidikan

5
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 32
6
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 25
7
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)
8
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 81

~4~
dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat

besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari.”9 Setelah

menyelesaikan studi dasarnya, Al-Farabi pindah ke Bukhara, pada saat itu Bukhara

merupakan ibukota dan pusat intelektual. Di sinilah Al-Farabi pertama kali belajar

tentang musik. Sebelum dia tenggelam dalam karir Filsafatnya, terlebih dahulu dia

menjadi seorang Qadhi. Setelah melepaskan jabatan Qadhinya, Al-Farabi kemudian

berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan Filsafat. Guru utama

Al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.10 Pada masa kekhalifahan Al- Mu’tadid (892-

902 M ), baik Yuhanna ibnu Hailan maupun Al-Farabi pergi ke Baghdad. Segera saja

Al-Farabi unggul dalam ilmu logika.

Pada masa kekhalifahan Al-Muktafi (902-908 M), atau pada tahun-tahun

awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi dan ibnu Hailan

meninggalkan Baghdad, (semula menurut Ibn Khallikan) menuju Harran. Dari

Baghdad tampaknya Al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini,

menurut suatu sumber, dia tinggal selama delapan tahun, mempelajari seluruh silabus

filsafat.11

Dalam sebuah website dijelaskan bahwa :

Al-Farabi (also called al-Pharabius in Europe) was one of the most famed of
Moslem philosophers. Of Turkish origin he was educated in Farab and Bukhara
but spent time in Baghdad and at the court of Prince Sayf al-Dawlah in Aleppo,
Syria”.12

9
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 71
10
Ahmad Hanafi, op.cit., h. 72
11
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2003), h. 55
12
“Al-Farabi,” http://www.hyperhistory.com/online_n2/people_n2/alfarabi.html., (Diakses 9 Nopember
2009)

~5~
Bahwa Al-Farabi yang dikenal di Eropa dengan al-Pharabius,13 adalah salah

seorang filosof Muslim yang terkenal. Sebagai orang Turkistan, ia belajar di Farab

dan Bukhara, tetapi ia banyak menghabiskan waktunya di Bagdad dan membantu

pemerintahan Saif al-Daulah di Aleppo, Syria.

Antara 910 dan 920 M, Al-Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan

menulis. Reputasinya sedemikian rupa sehingga ia mendapat sebutan “guru kedua”

(Aristoeles mendapat sebutan “guru pertama”). Pada zamannya, Al-Farabi dikenal

sebagai ahli logika. Menurut berita, Al-Farabi juga “membaca” (barangkali

mengajar) Physics-nya Aristoteles empat puluh kali, dan Rhetoric-nya Aristoteles

dua ratus kali. Pada 942 M, situasi di ibukota dengan cepat semakin memburuk

karena adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Al-Baridi. Al-Farabi sendiri

merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibnu Abi Usaibi’ah, di Damaskus

Al-Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar

teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga.

Juga sekitar masa inilah Al-Farabi setidak-tidaknya melakukan satu

perjalanan ke Mesir, (Ibnu Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya, yaitu 338 H, setahun

sebelum Al-Farabi wafat). Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al-Farabi

menyelesaikan Siyasah Al-Madanniyah yang mulai ditulisnya di Baghdad. Setelah

meninggalkan Mesir, Al-Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof,

penyair, dan sebagainya, yang berada di sekitar Sultan dinasti Hamdan di Aleppo

yang bernama Saif Al-Daulah.14 Dalam pejumpaan pertamanya, Saif Al-Daulah


13
Ada nama al-Farabi versi Eropa, yaitu al-Pharabius (www.hyperhistory.com) dan al-Phararabius
(www.trincoll.edu.html).
14
Yamani, op. cit., h. 55-56

~6~
sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat,

bakat musiknya serta penguasaanya atas berbagai bahasa.15 Kendati Sultan mau

menganugrahinya uang yang berlimpah, Al-Farabi sudah merasa cukup mengambil

empat dirham saja setiap hari, karena ia lebih memilih hidup zahid atau sederhana.

Dr. T. J. de Boer menggambarkan tentang kematiannya : “he died at Damascus,

while on a journey, in December, 950; and it is reported that his prince, attired as a

Sufi, pronounced over him his funeral oration”.16 Jadi, Al-Farabi meninggal pada

bulan Desember 950 M, di Damaskus pada usia delapan puluh tahun17

Dalam sebuah literatur dijelaskan sebagai berikut :

Farabi contributed considerably to science, philosophy, logic, sociology,


medicine, mathematics and of course, stands out as an Encyclopedist. As a
philosopher, he may classed as Neoplatonist who tried to synthesize Platonism
and Aristotelism with theology and he wrote such rich commentaries on
Aristotle’s physics, meteorology and logic in addition to a large number of
books on several other subjects embodying his original contribution. 18

Maksudnya, bahwa Al-Farabi memberikan kontribusi yang cukup bagi ilmu

pengetahuan, filsafat, logika, sosiologi dan tentu saja sebagai Ensiklopedis. Sebagai

seorang filosof, dia bisa digolongkan sebagai Neoplatonis yang mencoba mensintesis

Platonisme dan Aristotelisme dengan teologi dan menulis karya yang mengomentari

karya Aristoteles tentang fisika, meteorologi dan logika serta sejumlah buku yang

merupakan kontribusi nyata al-Farabi.

15
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 74
16
DR. T. J. de Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York:Dover Publications, t. th.), h. 108
17
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Djambatan, 2002),
h. 280
18
The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim Philosopher, h. 1.
http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)

~7~
Oleh karena itu, Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Muslim terbesar,

memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara

utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filosof yang

datang sesudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan

mengupas sistem filsafatnya. Pandangan yang demikian mengenai filsafat terbukti

dengan usahanya mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles.19

Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan

tajam dari para komentator karya Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku

metafisika karangan Aristoteles empat kali, tetap belum juga mengerti maksudnya.

Setelah ia membaca karangan Al-Farabi yang berjudul Aghradl kitabi ma Ba’da at-

Thabiah (Intisari Buku Metafisika), baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakan

sukar.20

Di antara karangan-karangannya ialah:

1. Agradlu ma Ba’da at-Thabi’ah

2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua

filosof; masudnya Plato dan Aristoteles).

3. Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan).

4. ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok persoalan)

5. Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadlilah (Pikiran-pikiran penduduk Kota Negeri

Utama).

19
Ada anggapan bahwa perbedaan antara guru dengan murid, Plato dan Aristoteles. Boleh jadi, di
samping sistem pemikiran, juga perbedaan hidup. Plato lebih suka hidup menyendiri, sedangkan Aristoteles lebih
menyenangi kehidupan duniawi, kaya dan berkeluarga bahkan pernah menjadi menteri dari Alexander the Great.
Lihat : Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, op. cit., h. 30
20
Sudarsono, Filsafat Islam, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31

~8~
6. Ihsa’u al-Ulum (Statistik Ilmu).21

B. Pemikiran al-Farabi

1. Emanasi (al-Faidh)

Emanasi berasal berasal dari bahasa Inggris yaitu emanation; berasal dari

bahasa latin e, atinya dari dan manare, artinya mengalir. Emanasi adalah doktrin

mengenai terjadinya dunia.22 Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud

yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya;

Tuhan ). Teori Emanasi disebut juga “teori urut-urutan wujud”.

Menurut Al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.

Bagaimana hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam keluar

dari padanya dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadimnya Tuhan

juga? Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang

menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bia didapatkan hakikatnya

yang sebenarnya. Akan tetapi Al-Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah,

dimana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan

mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang

sebaik-baiknya.23

Dalam ajaran Plotinus, dari yang esa memancar akal, dari akal memancar

jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia. Jadi, menurutnya Tuhan

bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (prima causa).24


21
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 82
22
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Cet.III; Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 193
23
Ahmad Hanafi, op. cit., h. 92
24
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 37

~9~
Seperti halnya dengan Plotinus, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama

sekali. Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Sebab emanasi itu

timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu.25

Sedangkan dalam doktrin Mutakallimin, Tuhan adalah Pencipta (Shani’ atau

Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada ( ‫ اليجـاد من العـدم‬, creatio ex

nihilo). Bagi al-Farabi, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara

pancaran. Tuhan menciptakan alam sejak azali dengan materi alam berasal dari

energi yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru.

Karena itu, menurutnya kun Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an ditujukan

kepada syai’ ( ‫ ) شـيئ‬, bukan kepada la’ syai’ ( ‫) ل شــيئ‬.26

Jadi dalam dunia Islam, teori emanasi ini pertama kali diperkenalkan oleh

al-Farabi. Tuhan diyakini Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti

banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat kepada apapun. Karena itu yang keluar

darinya juga satu, wujud satu. Jadi Al-Farabi berpegang pada asas, yang berasal dari

yang satu pasti satu juga ( ‫) ل يفيد عن الواحد إل واحد‬.

Jelasnya, proses emanasi itu dapat digambarkan sebagai berikut : Tuhan

sebagai Akal berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran-Nya itu timbul satu maujud

lain. Tuhan merupakan wujud pertama ( ‫ ) الوجود الول‬dan dengan pemikiran itu

timbul wujud kedua ( ‫ ) الوجـود الثاني‬yang juga mempunyai substansi. Ia disebut

Akal Pertama ( ‫العقـل الول‬, First Intelligence ) yang tidak bersifat materi. Wujud

25
Ahmad Hanafi, loc. cit.
26
Konsep kun disebutkan dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat, seperti pada Q. S. Yasin/36 : 82 (
          
   ) . Lihat : Ibid

~ 10 ~
kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari pemikiran itu timbul wujud ketiga

( ‫) الوجـود الثـالث‬, disebut Akal Kedua ( ‫العقل الثاني‬, second intelligence ).

Wujud Kedua atau Akal Pertama ini juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul

Langit Pertama ( ‫السماء الولى‬, first heaven )

Wujud 3 / Akal 2 Tuhan = Wujud 4 / Akal 3


Dirinya = Bintang-Bintang ( ‫) الكواكب الثابتة‬
Wujud 4 / Akal 3 Tuhan = Wujud 5 / Akal 4
Dirinya = Saturnus ( ‫) كـرة الزهـل‬
Wujud 5 / Akal 4 Tuhan = Wujud 6 / Akal 5
Dirinya = Jupiter ( ‫) كرة المستـرى‬
Wujud 6 / Akal 5 Tuhan = Wujud 7 / Akal 6
Dirinya = Mars (‫) كر ة المريج‬
Wujud 7 / Akal 6 Tuhan = Wujud 8 / Akal 7
Dirinya = Matahari ( ‫) كرة الشمـس‬
Wujud 8 / Akal 7 Tuhan = Wujud 9 / Akal 8
Dirinya = Venus ( ‫) كرة الزهـرة‬
Wujud 9 / Akal 8 Tuhan = Wujud 10 / Akal 9
Dirinya = Merkurius ( ‫) كـرة العطارة‬
Wujud 10 / Akal 9 Tuhan = Wujud 11 / Akal 10
Dirinya = Bulan ( ‫) كـرة القمـر‬
Pada pemikiran Wujud 11 / Akal 10 berhentilah terjadinya akal-akal. Tetapi

dari Akal 10 muncullah bumi serta ruh dan materi pertama yang menjadi dasar dari

keempat unsur yakni api, udara, air dan tanah. Dengan demikian, ada 10 akal dan 9

langit. Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga

~ 11 ~
‘Aql Fa’al (Akal Aktif) yaitu Jibril.27 Menurut Al-Farabi akal berjumlah 10. Dasar

penetapan itu ialah mengingat jumlah planet yang berjumlah 9. Tiap akal

membutuhkan satu planet, kecuali akal pertama yang tidak membutuhkan planet.28

Tujuan Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut untuk menegaskan

kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin Yang Maha Esa berhubungan dengan

yang tidak Esa atau banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung

mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menodai

keesaan-Nya. Jadi, dari Tuhan Yang Maha Esa hanya muncul satu, yaitu Akal

Pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.29

2. Jiwa ( an-Nafs )

Manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang lahir di atas bumi ini. Ia

terdiri dari dua unsur: jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa

berasal dari alam perintah (alamu’ l amar). Berdasarkan perbedaan asal antara jiwa

dan badan, maka jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih penting dan lebih

berperan dari pada jasad, sehingga Al-Farabi, seperti halnya para filosof Yunani,

lebih banyak perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan jiwa

yang dianggap sebagai hakikat manusia.30

27
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
28
Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, (Cet. I; Jakarta:Universitas Indonesia, 2006), h. 46
29
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
30
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40

~ 12 ~
Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan

accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan

binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs

al-nathiqah ( ‫ ) النفـس الناطقة‬yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad dari

alam khalq, berbentuk, berupa dan berkadar. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap

menerimanya.

Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut :

a. Daya gerak ( ‫المحـركة‬, montion ), yakni :

1) Makan ( ‫الغاذية‬, nutrition )

2) Memelihara ( ‫المـربية‬, preservation )

3) Berkembang ( ‫المـولدة‬, reproduction )

b. Daya mengetahui ( ‫المدركة‬, cognition ), yakni :

1) Merasa ( ‫الحاسة‬, sensation )

2) Imajinasi ( ‫المتخلية‬, imagination )

c. Daya berpikir ( ‫الناطقة‬, intellection )

1) Akal praktis ( ‫العقـل العمـلي‬, practical intellect )

2) Alam teoritis ( ‫العقـل النظـري‬, theoretical intellect )31

Pada umumnya pemikiran Al-Farabi tentang jiwa sangat diwarnai oleh

pemikian para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Defenisi jiwa dari

Aristoteles diterima oleh Al-Farabi. Ia mengatakan, jiwa adalah “kesempurnaan

pertama bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk

potensial”. Namun, kendatipun ia menerima konsep Aristoteles yang mengatakan

bahwa jiwa adalah forma bagi jasad, tapi ia menafsirkan “forma” dalam arti “jauhar”
31
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 39

~ 13 ~
(substansi) yang berdiri sendiri dan yang berasal dari akal kesepuluh (‘aql fa’-‘al).

Dengan demikian, hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi aksidental,

sehingga jiwa tidak akan fana dengan sebab kematian jasad. Dalam hal ini, Al-Farabi

lebih menyukai konsep Plato yang menganut paham keabadian jiwa di samping

kesesuaiannya dengan ajaran Islam.32

Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa khalidah dan

jiwa fana’. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan

dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak

hancur dengan hancurnya badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa

yang telah berada pada tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa

jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari

ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan.33

3. Filsafat Kenabian

Pengingkaran terhadap wahyu dari agama Islam sudah timbul sejak masa

Nabi Muhammad saw. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengakui bahwa Nabi

Muhammad saw. mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan,

sebab ia adalah manusia biasa yang makan dan minum serta pergi ke pasar.

Sebagaimana dinyatakan dalam Q. S. Al-Furqan/25 : 7 sebagai berikut :

   


   

32
Ahmad Daudy, op. cit., h. 40
33
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 40

~ 14 ~
   
    

Terjemahnya :
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” 34

Setelah al-Qur’an sebagai mukjizatnya yang terbesar membungkam mulut

mereka, sedang mereka adalah ahli bahasa dan kesusasteraan, maka mereka

menuduhnya sebagai tukang sihir. Maka jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka

itu sebagaimana tercantum dalam Q. S. Al-Kahfi/18 : 110 sebagai berikut :

   


   
   
    
   
   
   
Terjemahnya :
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".35

Pada masa pertama Islam kaum muslimin mempercayai sepenuhnya apa

yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun

keadaan ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, setelah

34
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. I; Semarang:Toha Putra,
1999), h. 287
35
Ibid., h. 243

~ 15 ~
golongan-golongan luar Islam dapat memasukkan pikirannya di kalangan kaum

muslimin, seperti golongan Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Sumniah dari

agama Brahma, orang-orang Yahudi, Nasrani dan sebagainya. Sejak saat itu, setiap

dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik. Dalam menghadapi mereka, orang-

orang Muktazilah telah memberikan kontribusi yang sukar dicari bandingannya.

Dalam hubungan ini, serangan Ibn ar-Rawandi (wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar

ar-Razi (wafat 250 H) terhadap kenabian perlu dicatat.36

Dalam suasana tersebut, Al-Farabi perlu mengambil bagian. Apalagi ia

semasa dengan Ibn ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Al-Farabi adalah orang

pertama yang mengemukakan dan mendetailiser stetemen kenabian itu, tentang

kenabian ia tidak meninggalkan suatu tambahan bagi para penggantinya dari

kalangan filosof Islam belakangan. Teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di

dalam pandangan filosofis Al-Farabi.37

Menurut al-Farabi, nabi dapat mengetahui hakikat-hakikat karena ia dapat

berkomunikasi dengan akal kesepuluh yang merupakan akal terakhir dalam

rangkaian proses emanasi. Dalam faham al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat

disamakan dengan malaikat. Kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh

inilah yang memungkinkan para nabi dan rasul dapat menerima wahyu.

Filsafat kenabian Al-Farabi terkait erat dengan ajarannya tentang hierarki

daya-daya jiwa manusia. Menurutnya, kemampuan penginderaan jiwa manusia


36
AIbn ar-Rawandi dalam bukunya Az-Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian
Nabi Muhammad saw. ia mengatakan bahwa para Rasul itu tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal
kepada manusia, agar dapat membedakan antara baik dan buruk, dan petunjuk akal sudah cukup untuk itu.
Demikian pula dengan ar-Razi. Baca : Ahmad Hanafi, Pengantar ..., op. cit., h. 103
37
Ibrahim Madkour, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan
Ahmad Hakim Mudzakkir, Filsafat Islam : Metode dan Penerapan (Cet. II; Jakarta:Rajawali, 1991), h. 87

~ 16 ~
terbagi ke dalam lima tahap, yaitu pertumbuhan, penginderaan, bernafsu,

mengkhayal dan berpikir. Kelima daya jiwa ini membentuk hierarki di mana setiap

tahap hadir untuk tahap di atasnya.

Menurut al-Farabi, manusia memperoleh pengetahuan dari daya

mengindera, mengkhayal38 dan berpikir. Ketiga daya ini merujuk pada kedirian

manusia, yaitu jism, nafs dan aql.39 Daya mengindera merujuk pada indera eksternal

sedang daya mengkhayal dan berpikir disebut indera internal.

Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Aql fa’al melalui

dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi

(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat

menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara

kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi.

Ciri khas seorang nabi bagi Al-Farabi adalah mempunyai daya imaginasi

yang kuat di mana obyek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia

berhubungan dengan ‘Aql fa’al’ ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran

dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql fa’al’ (akal

10) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Dapatnya Nabi berhubungan

langsung dengan akal 10(Jibril) tanpa latihan karena Allah menganugrahinya akal

yang mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa

yang diberi nama hads.40

38
Selain kata mengkhayal atau daya khayal, penulis juga menggunakan sinonimnya, yaitu imajinasi.
Karena kedua istilah ini (mengkhayal dan imajinasi) digunakan oleh para penulis tentang teori kenabian al-Farabi.
Lihat : Ahmad Hanafi, Pengantar, op. cit., h. 104 -105 dan Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 76 - 79
39
Ahmad Zainul Hamdi, op. cit., h. 77
40
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 44

~ 17 ~
Jadi jika pada seseorang terdapat banyak imajinasi yang istimewa, maka

nubu’at-nubu’atnya bisa menjadi sempurna di siang hari seperti nubu’at-nubu’at

malam hari, di saat berjaga ia mampu berhubungan dengan Akal-Faal seperti ketika

ia berhubungan dengan Akal-Faal tersebut di saat ia sedang tidur, bahkan mungkin

sekali hal itu terjadi dalam bentuk yang lebih jelas dan sempurna. Maka seorang nabi

menurut Al-Farabi adalah manusia yang diberi imajinasi yang besar yang

dimungkinkan untuk mengetahui ilham-ilham langit di dalam berbagai kondisi

waktu.41

4. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)

Sebelum membahas persoalan politik, Al-Farabi membahas masalah

psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk

berhubungan dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang

disebut masyarakat dan negara.42 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan

menggapai keutamaan, Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua bagian, yaitu

masyarakat sempurna ( ‫ ) المجتمع الكامل‬dan masyarakat kurang sempurna (

‫)المجتمـع غيـر الكامـل‬. Masyarakat yang sempurna adalah masyarakat yang

mampu mengatur dan membawa dirinya pada keutamaan tertinggi, sedangkan

41
Ibrahim Madkour, op. cit., h. 129
42
Gagasan tentang fitrah sosial kemudian diulangi oleh Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778 M.)
dengan konsep kembali ke alam (retur a la nature) yang kemudian melahirkan konsep social contract (kontrak
sosial), kemauan untuk bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama di antara individu. Lihat : Frans Magnis
Suseno, Etika Politik, (Cet.I; Jakarta:Gramedia, 1994), h. 238

~ 18 ~
masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa mengatur dan

membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi

adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud adalah tercapainya kemampuan

untuk aktualisasi potensi jiwa dan pikiran.43

Konsep negara berasal dari Plato yang mempersamakan negara dengan

tubuh manusia. Negara utama, kata Al-Farabi, serupa dengan badan yang sempurna

sehatnya. Seluruh anggotanya saling bekerja sama untuk membantu dan

menyempurnakan serta memelihara hidupnya. Anggota badan itu berlebih kurang

tingkat dan dayanya, dimana hati merupakan anggota pengendali. Demikian pula

halnya negara dimana bagian-bagiannya berlebih kurang tingkatnya, dan padanya

terdapat seorang kepala sebagai pemimpin. Anggota badan saling melayani, begitu

pula dalam negara terdapat warga negara yang saling membantu. Badan itu

membentuk suatu kesatuan, demikian pula halnya Negara utama yang setiap

bagiannya saling berkaitan dan diatur menurut tingkat kadar kepentingan.44

Selanjutnya, Al-Farabi membagi negara dalam tiga bagian yaitu :

a. Negara besar, adalah negara yang berdaulat dan bebas dan membawahi

negara-negara bagian;

b. Negara sedang, adalah negara bagian;

c. Negara kecil, adalah pemerintah daerah atau daerah otonom.45

43
Achmad Khudori Soleh, Pemikiran Politik Al-Farabi, Jurnal Psikoislamika, Fakultas Psikologi UIN
Malang, Vol. IV/ No. 2 Juli 2007, h. 3. http://www.uin-malang.ac.id (Diakses 9 November 2009)
44
Ahmad Daudy, op. cit., h.51
45
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.

~ 19 ~
Menurut Al-Farabi, di antara tiga macam negara di atas: besar, sedang dan ,

kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang

mampu mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagian. Sistem

pemerintahan utama ini, dalam mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan

adalah sama seperti kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan

keselamatan dirinya.

Al-Farabi juga membedakan negara menjadi lima macam :

a. Negara utama, yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan.

Menurut al-Farabi, negara utama adalah negara yang dipimpin oleh rasul dan

kemudian oleh filosof.

b. Negara orang-orang bodoh, yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal

kebahagiaan.

c. Negara orang-orang fasik, yaitu negara yang mengenal kebahagiaan, Tuhan

dan akal fa’al seperti penduduk utama, akan tetapi tingkah laku mereka sama

dengan penduduk negeri yang bodoh.

d. Negara yang berubah-ubah, ialah negara yang penduduknya semula

mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama, tetapi

kemudian mengalami kerusakan.

e. Negara sesat, yaitu negara yang penduduknya yang mempunyai konsepsi

yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetapi kepala negaranya

beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang

banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

~ 20 ~
Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin

sembarang orang melainkan oleh mereka yang benar-benar memenuhi persyaratan

tertentu (dustur). Pemimpin utama (al-ra’is al-awwal) harus memenuhi persyaratan

yang bersifat fitrah (bawaan) dan pengayaan (muktasab). Persyaratan yang bersifat

bawaan (fitrah), antara lain;

1. Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan

ketaqwaan, sebagai representasi manusia sempurna yang telah mencapai

tahap akal aktif dalam menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat

ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempuyai akhlak atau moral yang baik

dan terpuji.

2. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal representasi

imajinatif.

3. Dari segi politik, mempunyai kebijaksanaan yang sempurna dalam

menjalankan policy dan menagai persoalan-persoalan yang timbul. Jug

mempunyai keunggulan persuasif serta sifat tegas dan lugas dalam

menghadapi penyelewengan dan ketidakadilan.

4. Dari sisi manajerial, mempunyai keunggulan dalam retorika, sehingga bisa

menjelaskan persoalan-persoalan penting dengan baik dan mudah, pada

masyarakat.46

Di sisi lain, tak semua orang mempunyai kapasitas untuk memimpin atau

memandu orang lain atau-kalaupun memang memilikinya-( tak semua orang

46
Ibid, h. 7

~ 21 ~
memiliki) kemampuan untuk menasehati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu.

Ada orang yang banyak memiliki keduanya atau hanya salah satunya saja. Sebagian

lain memiliki sedikit, dan sebagian lagi malah tak memiliki keduanya. Menurut Al-

Farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk

memimpin, yaitu untuk memandu dan menasehati: penguasa tertinggi atau penguasa

sepenuhnya (unqualified ruler) atau penguasa tanpa kualifikasi, Penguasa subordinat

(tingkat kedua) yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai

sepenuhnya.

Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang

“... benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan... Ia mampu

memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing

dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu

menentukan, mendefenisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah

kebahagiaan. Hal ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami

yang besar lagi unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif.

Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang

merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk

komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Ringkas kata, mereka adalah orang yang-

selain sempurna fisik, mental dan jiwanya- memiliki keahlian yang sempurna dalam

kearifan teoretis dan praktis yakni keahlian memerintah atau politik.47

47
Yamani, op. cit., h. 61-62

~ 22 ~
Jadi, Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat layak menjadi kepala

negara utama karena keduanya telah mampu berhubungan dengan akal aktif yang

merupakan sumber hukumdan aturan yang diperlukan bagi kehidupan masyarakat.

Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak hanya pada cara berhubungan dengan akal

aktif yang oleh nabi melalui daya khayal, sedangkan oleh filosof dengan pemikiran

akal.48

Mengenai cara kerja kota utama, Al-Farabi menyatakan bahwa pertama-

tama penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kelebihan-

kelebihan (merits) mereka-yaitu berdasarkan kecenderungan-kecenderungan alamiah

mereka dan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan karakter yang telah mereka bentuk.

Yakni masing-masing diberi kedudukan sebagai yang diperintah atau yang

memerintah. “... yang dimulai dengan peringkat penguasa yang tertinggi. Kemudian

secara berangsur-angsur turun, sampai ke peringkat yang diperintah, yang tidak

memiliki elemen memerintah, dan di bawah peringkat ini tidak ada lagi peringkat.49

Walhasil, Negara utama atau setidaknya pemerintahan terbaik adalah rezim

dimana orang-orang saleh dan profesional merupakan yang paling banyak

mengambil peranan atau penentu kebijakan. Dengan sistem seperti itu, diharapkan

mereka akan mampu mendidik dan membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan

dan kebahagiaan tertinggi.50

48
Ahmad Daudy, op. cit., h. 54
49
Ibid., h. 64
50
Achmad Khudori Soleh, loc. cit.

~ 23 ~
BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian makalah tentang Al-Farabi, maka penulis dapat menarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian

dalam banyak bidang keilmuwan dan memandang filsafat secara utuh dan

menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna.

2. Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam

makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan).

~ 24 ~
3. Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara

accident , artinya antara keduanya mempunyai substansi, dan binasanya jasad

tiak membawa binasanya jiwa.

4. Dalam paham Al-Farabi, akal kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat,

kesanggupan berkomunikasi dengan akal sepuluh inilah yang memungkinkan

para nabi dan rasul dapat menerima wahyu.

5. Negara utama adalah negara yang diperintah oleh penguasa tertiggi, yang

benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahun. Ia mampu

memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam, Cet. I; Jakarta:Universitas


Indonesia, 2006

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Cet.III; Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992

de Boer, DR. T. J., The History of Philosophy in Islam, New York:Dover


Publications, t. th.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. I;


Semarang:Toha Putra, 1999

Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991

~ 25 ~
Madkour, Ibrahim, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, terj. Yudian
Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakkir, Filsafat Islam : Metode dan
Penerapan Cet. II; Jakarta:Rajawali, 1991

Nasution, Harun , Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet.VIII; Jakarta:Bulan


Bintang, 1990

________ , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet.X; Jakarta:UI Press, 1986

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002

Sudarsono, Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Suseno, Frans Magnis, Etika Politik, Cet.I; Jakarta:Gramedia, 1994

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Cet. II; Jakarta:
Djambatan, 2002

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Cet. II; Bandung:
Mizan, 2003

Literatur Internet/Website :

“Al-Farabi,” http://www.hyperhistory.com/online_n2/people_n2/alfarabi.html.,
(Diakses 9 Nopember 2009)

The Window Philosophy on The Internet, Abu Al-Nasr Al-Farabi, Turkistani Muslim
Philosopher, http://www.trincoll.edu.html., (Diakses 9 Nopember 2009)

Achmad Khudori Soleh, Pemikiran Politik Al-Farabi, Jurnal Psikoislamika, Fakultas


Psikologi UIN Malang, Vol. IV/ No. 2 Juli 2007, h. 3. http://www.uin-
malang.ac.id (Diakses 9 November 2009)

~ 26 ~
~ 27 ~

Anda mungkin juga menyukai