Anda di halaman 1dari 14

ILMU HUSHULI DAN ILMU HUDHURI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas individu Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Rusydi, M.Ag

Oleh:
Muhammad Ridho Sullam
NIM. 200211030076

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S-2 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat Islam memiliki tradisi yang tidak meninggalkan warisan dengan
bentuk epistemologi yang membawa dampak terhadap eksistensi epistemologi Islam
yang selalu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini memicu persilangan pendapat di
antara beberapa pihak. Satu pihak menyatakan secara tegas bahwa epistemologi Islam
itu tidak ada karena ilmu bersifat netral, tidak memihak kepada salah satu agama.
Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa epistemologi Islam itu ada sehingga lahir
teori Ilmu Hudhuri yang dikemukakan pertama kali dalam filsafat pencerahan (al-
Hikamh al-Isyraqiyyah) melalui pemikiran Syihabuddin Suhrawardi yang menjadi
jawaban atas keraguan eksistensi epistemologi Islam dan menjadi petunjuk yang
dapat digunakan sebagai pedoman guna mengungkap misteri epistemologi Islam yang
selama ini dalam proses pencarian bentuk serta jati dirinya.
Ilmu hudhuri adalah bentuk nyata dari epistemologi Islam yang mendasarkan
sebuah pengetahuan yang diperoleh dengan kehadiran (al-Ilmu al-Hudhuri) yang
memiliki cara kerja yang berbeda dengan Ilmu hushuli. Ilmu hushuli adalah
pengetahuan yang didapat melalui konseptualisasi (al-Ilmu al-Hushuli). Kedua istilah
ini memiliki pengertian yang bertolak belakang, tetapi memiliki keterkaitan antara
satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri berdasarkan kajian literatur hasil pemikiran
para filosof.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Ilmu Hushuli berserta bagian-bagiannya?
2. Bagaimana konsep Ilmu Hudhuri beserta bagian-bagiannya?

2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami konsep Ilmu Hushuli beserta bagian-bagiannya.
2. Untuk memahami konsep Ilmu Hudhuri beserta bagian-bagiannya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Hushuli
1. Konsep Ilmu Hushuli
Secara harfiah, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang merupakan
turunan dari kata ‘alima yang berarti tahu atau mengetahui. Ilmu hushuli merupakan
pengetahuan yang didapat berdasarkan proses korespondensi yang terjadi antara
subjek dengan objek eksternal, sehingga keduanya merupakan eksistensi independen
yang berbeda satu sama lain.1 Ilmu hushuli disebut juga acquired knowledge yang
maksudnya adalah suatu ilmu yang diperoleh melalui gambaran sesuatu yang
diketahui atau hadirnya gambaran sesuatu pada akal manusia.
Menurut Suhrawardi, ilmu hushuli atau disebut juga sebagai ilmu pemahaman
atau ilmu ide adalah ilmu dimana ‘yang mengetahui’ (perceiver) memahami bentuk
dan ide tentang sesuatu ‘yang diketahui’ (perceived) di dalam dirinya sendiri.
Sedangkan dalam pandangan Allamah Thabathaba’i, ilmu hushuli adalah
pengetahuan yang melaluinya kita mencapai realitas dalam bentuk gambaran. 2 Dalam
bukunya Bidayah al-Hikmah, Allamah Thabathaba’i mengemukakan bahwa manusia
memiliki ilmu hushuli, yakni suatu ilmu yang berbicara tentang berbagai perkara
eksternal dengan jalan hadirnya perkara eksternal tersebut melalui esensinya dan
bukan melalui eksistensi eksternalnya. Contohnya seperti ilmu tentang lautan, maka
yang diketahui atau yang hadir adalah gambaran tentang lautan, bukan lautan itu
sendiri.
Terdapat dua objek pengetahuan, yaitu objek internal (objek imanen atau
objek subjektif) dan objek eksternal (objek transitif atau objek objektif). Objek

1 Fathul Mufid, “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra,” Jurnal Al Qalam 29, No. 2 (Mei -
Agustus 2012): 215–38., h. 217.
2 Heru Dayatullah, “Studi Komparatif Epistemologi Suhrawardi dan Allamah Thabathabai,”
Jurnal Teknologi Pendidikan 2, no. 1 (Januari 2013): 89–109.

4
internal adalah sesuatu yang dekat, berada dalam kesadaran atau akal pikiran
manusia, dan identik dengan eksistensi subjek yang mengetahui. Sedangkan objek
eksternal adalah sesuatu yang transitif dan independen yang eksistensinya terletak di
luar serta bersifat eksterior terhadap eksistensi subjek. Mulla Sadra dalam kitabnya
al-Hikmah al-Muta’aliyah menjelaskan bahwa ‘sesuatu’ itu terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, bentuk material yang eksistensinya terikat materi, waktu, tempat dan
lainnya. Kedua, bentuk abstrak (mujarrad) yang terlepas dari materi, ruang dan
tempat, baik secara mutlak maupun tidak.3
Dalam penjelasan lain, Mehdi Hairi Yazdi menjelaskan bahwa ilmu hushuli
adalah pengetahuan dengan korespondensi yang ditandai oleh keterlibatan makna
objektivitas ganda, yang mana ia memiliki objek internal (subjektif) dan objek
eksternal (objektif) sekaligus dengan fungsi objek pertama sebagai objek yang hadir
serta objek kedua disebut objek tidak hadir yang realitasnya terpisah dari realitas
subjek yang mengetahui. Berdasarkan hal ini diketahui bahwa ilmu hushuli tidak
lepas dari dua pengertian objektivitas yang terhubungan secara korespondensi, yakni
Pertama, objek internal (imanen) yang intrinsik dan wajib yang menjadi bagian aksi
subjek yang mengetahui. Kedua, objek eksternal (transitif) yang ekstrinsik dan
aksidental yang tidak hadir dalam pikiran serta berada di luar tindak mengetahui.

2. Relasi Subjek dan Objek dalam Ilmu Hushuli


Dalam ilmu hushuli, relasi antara subjek dan objek terjadi melalui
korespondensi yang artinya adalah ilmu hushuli merepresentasikan dua jenis
eksistensi objek yang saling independen dengan sedemikan rupa hingga keadaan
eksistensial yang satu tidak berkaitan dengan yang lainnya, baik secara ontologis,
logis ataupun epistemologis. Pengetahuan yang kita miliki dalam pandangan ilmu
hushuli berasal dari proses pemahaman terhadap eksistensi atau objek eksternal
melalui gambaran (shurah) suatu objek tertentu, yang dengan kreatifitas akal diubah
3 Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah Jilid III. (Beirut:
Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1410 H), terj. Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. (Bandung: Pustaka, 2000),
h. 281.

5
menjadi eksistensi mental (wujud dzihni) yang hadir dalam diri manusia. Hal ini
berarti bahwa subjek memiliki kemampuan untuk mengolah kreasi dalam
menciptakan objek internal dari bentuk visual entitas yang berasal dari objek
eksternal.

3. Ciri Khas dan Pembagian Ilmu Hushuli


a. Ciri khas ilmu hushuli
1) Adanya perantara subjek dengan objek yang disebut gambaran (shurah)
sebab ilmu hushuli adalah pengetahuan tentang objek perantara gambar
tersebut.
2) Memiliki dualisme benar-salah karena hubungan koresponden kedua
eksistensi ilmu hushuli, yakni eksistensi mental (wujud dzihni) dan
eksistensi eksternal (wujud khariji) yang bersifat aksidental, yang mana
objek eksternal tidak hadir secara langsung sehingga berakibat adanya
dualisme logis benar-salah.
3) Ilmu hushuli tersusun dari konsepsi (tasawwur), yaitu gambaran dari
suatu objek, dan afirmasi (tashdiq), yakni penilaian akurat dalam
pengetahuan manusia tentang benar-salah.
4) Dapat ditransfer atau dikomunikasi kepada ilmu-ilmu lain karena ilmu
hushuli diperoleh dari proses berpikir.
5) Memerlukan banyak latihan untuk mengembangkannya agar diperoleh
pengetahuan dan pemahaman baru.4
b. Pembagian ilmu hushuli
1) Gagasan indrawi (sensory ideas), yaitu gejala hasil dari hubungan alat
indra dengan kenyataan material.
2) Gagasan khayali (imaginary ideas) adalah gejala akibat dari timbulnya
gagasan indrawi dan hubungan dengan jagat luar.

4 Salahuddin Harapan, “Pengantar Filsafat Hikmah ('Irfan) Allamah Sayyid Muhammad Husain
Thabthabai,” Al Hikmah 1, no. 1 (2019): 36–55., h. 51.

6
3) Gagasan kewahaman (ideas of prehension/al-wahmiyyah), yakni gejala
yang terkait dengan makna partikular, yang dimana adakalanya gagasan
wahm digunakan untuk mengacu kepada gagasan yang tidak didasarkan
pada realitas apapun dan ada juga ia dimaksudkan sebagai fantasi (al-
tawahhum).5

4. Jenis-Jenis Konsep Universal dalam Ilmu Hushuli


a. Konsep esensial (al-mafahim al-mahuwiyyah), yaitu konsep universal yang
diabstraksikan akal setelah menangkap konsep partikular.
b. Konsep filsafat (al-mafahim al-falasafiyyah), yaitu konsep universal yang
diperoleh melalui pengamatan akal dan melakukan perbandingan atas
beberapa hal yang dipersepsikan.
c. Konsep logika (ma’qul tsani mantiqi), yakni konsep universal yang tidak
dapat dijadikan predikat bagi hal-hal yang menjelma di luaran, tetapi hanya
untuk menjelaskan ciri-ciri khas konsep di mental (al-ittishaf al-dzihni)
sehingga konsep logika tidak berurusan sama sekali berurusan dengan segala
realitas objektif.6

B. Ilmu Hudhuri
1. Konsep Ilmu Hudhuri
Mulla Shadra menjelaskan bahwa ilmu secara garis besar ada dua macam,
yakni ilmu hushuli yang diperoleh melalui usaha dan proses belajar (al-ta’allum wa
al-kasb) dan ilmu hudhuri yang diperoleh melalui pemberian langsung dan penarikan
ilahi (al-wahb wa al-jazbah).7 Amin Abdullah mendefinisikan ilmu hudhuri adalah

5 Ahmad Taufiqurrohman, “Manusia Memperoleh Pengetahuan,” Jurnal Al Fatih, Juni 2015,


11–22., h. 20.
6 Dayatullah, “Studi Komparatif Epistemologi Suhrawardi dan Allamah Thabathabai.” …, h.
96.
7 Mufid, “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra.” …., h. 220.

7
bentuk pengetahuan yang diperoleh manusia apa adanya tanpa melibatkan fungsi akal
pikiran sehingga terbebas dari dualisme antara kebenaran dan kesalahan.
Ilmu hudhuri oleh Shadra dikategorikan sebagai pengetahuan yang diperoleh
manusia tanpa adanya usaha dan melalui proses belajar, melainkan pemberian
langsung oleh Allah Swt dan penarikan ilahi yang diperoleh manusia beberapa
aktivitas yang mampu terhubung ke alam kesucian sebagai berikut:
a. Aktivitas merenung secara serius dengan niat ikhlas mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
b. Melaksanakan perintah Allah Swt dan berzikir dengan tekun serta rendah
hati.
c. Meninggalkan syahwat dengan berpuasa.
d. Menolak pengaruh dunia dan mengasingkan diri dari manusia.

2. Objek Ilmu Hudhuri


Berkenaan dengan objek ilmu hudhuri, Mulla Shadra berpendapat bahwa
secara substansial pengetahuan yang dihasilkan oleh diri subjek merupakan bentuk
dari sebuah objek yang hadir di dalam mental subjek (shurah). Objek tersebut
berbentuk eksistensi mental yang mana hal tersebut merupakan objek hakiki dari ilmu
hudhuri. Hal ini dikarenakan Shadra mengakui adanya dua unsur wujud yang menjadi
kesatuan tidak terpisahkan dalam suatu realitas objek pengetahuan, yakni maddah
(materi) dan shurah (bentuk). Objek ilmu hudhuri diperoleh tidak melalui perantara
apapun. Wujudnya adalah seperti ilmu keakhiratan dan ilmu-ilmu penyingkapan
(kasyfiyah) yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan intuisi dan ekstase (zauq wa
wijdan).8

3. Metode Memperoleh Ilmu Hudhuri

8 Mufid., “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra” …, h. 222.

8
Menurut Mulla Shadra, ilmu hudhuri hanya bisa dicapai dengan
mengosongkan jiwa. Maksud dari mengosongkan jiwa adalah mengindahkan
dorongan syahwat dan kesenangannya, serta membersihkan dari berbagai kotoran
duniawi dan sifat-sifatnya sehingga hati menjadi terang dan tercetak di dalamnya
berbagai bentuk hakikat karena jiwanya telah menyatu dengan ‘aqal fa’al. Jiwa
manusia akan mampu menangkap hakikat segala sesuatu dengan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
a. Adanya kekuatan daya berpikirnya dalam mengonsepsikan sesuatu sehingga
ia mendapatkan hembusan lembut dari Tuhan yang mampu menyingkap
semua hijab dan penghalang mata hati (bashirah) yang membuatnya mampu
membuka jiwanya untuk menangkap sebagian dari apa yang Allah Swt di
lauh mahfuzh.
b. Adakalanya manusia mampu menangkap hakikat itu dalam keadaan tidur
sehingga terlihat olehnya apa yang terjadi di masa akan datang.
c. Tersingkapnya hijab karena pertolongan Allah Swt yang bersifat rahasia
yang menampakkan di dalam hati manusia tersebut rahasia-rahasia alam
malakut yang kadang-kadang kontinu dan terkadang hanya sekejap.9
Shadra menegaskan bahwa pengetahuan hakiki tidak diperoleh kecuali
pengajaran langsung oleh Tuhan dan tidak terungkap kecuali melalui cahaya
kenabian dan kewalian. Untuk mencapai pengetahuan yang hakiki, diperlukan proses
yang panjang dan rumit dengan tahapan-tahapan dari ketidaksempurnaan menuju
Yang Maha Sempurna. Hal tersebut dikenal dengan istilah al-asfar al-aqliyah al-
arba’ah, yaitu empat perjalanan akal menuju kesempurnaan yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Pertama, perjalanan dari makhluk menuju Dzat Yang Maha Benar (min al-
khalq ila al-Haqq), yaitu menunjukkan pengembaraan dari maqam nafsu
(nafs) ke maqam hati (qalb), dari maqam hati ke maqam ruh, dan maqam ruh

9 Mufid., “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Sadra”, h. 222-223.

9
menuju tujuan terakhir (al-maqshad al-aqsha) atau tujuan tertinggi (al-
bahjah al-kubra).
b. Kedua, perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan dengan Tuhan (min al-Haqq
ila al-Haqq bi al-Haqq) yang dimulai dari maqam Dzat menuju maqam
Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan mengetahui seluruh
Nama Tuhan serta berakhir ke daerah kewalian (dairat al-wilayat).
c. Ketiga, perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan (min al-Haqq
ila al-Khalq bi al-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui berbagai
macam maqam kefanaannya berakhir, lalu ia kekal dalam kekekalan Tuhan
(baqa’) yang kemudian ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut,
malakut, dan nasut, lalu melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat dan
Perbuatan Tuhan.
d. Keempat, perjalanan makhluk ke makhluk dengan Tuhan (min al-khalq ila
al-khalq bi al-Haqq). Seorang salik mengamati makhluk dan menangkap
kesan-kesan yang ada pada makhluk itu, baik mengetahui kebaikan dan
kejahatan makhluk, lahir dan batin, bahkan di dunia saat ini hingga kepada
dunia yang akan datang. Seorang salik tersebut membawa ilmu yang
dibutuhkan makhluk, mengetahui hal yang membawa manfaat atau
mudharat, hingga tahu akan hal yang membahagiakan dnegan hal yang akan
mencelakakan.

4. Validitas Keberadaaan Ilmu Hudhuri


Ilmu hudhuri secara eksistensial adalah wahyu dan ilham yang didapat
manusia lewat qalb yang memiliki kriteria tertentu, yakni qalb yang telah menjadi
jiwa yang suci (al-Nafs al-Quds) sehingga memperoleh pancaran dari jiwa universal
melalui perantara Malaikat. Sedangkan qalb yang kotor akan memperoleh bisikan
yang disebut waswas yang dilakukan oleh setan. Oleh karena itu, validitas keberadaan
ilmu hudhuri dengan koherensi atau konsistensi antara teori Shadra tentang hubungan
jiwa yang suci (al-Nafs al-Qudsi) dengan jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyah) dengan

10
eksistensi wahyu dan ilham yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh umat
Islam.10
Keberadaan ilmu hudhuri didukung oleh fakta-fakta historis yang dialami oleh
orang-orang saleh, seperti Abu Bakar as-Shiddiq yang menjelang wafatnya berpesan
kepada Aisyah, “Hanya dua itu saudara laki-laki dan saudara perempuanmu”. Ketika
itu, istri Abu Bakar sedang mengandung dan setelah beliau wafat, istrinya melahirkan
anak perempuan. Umar bin Khattab di tengah-tengah khutbahnya pernah
mengomando perang, karena ia melihat musuh sudah dekat.
Keberadaan ilmu hudhuri juga dapat dikategorikan sebagai religious
experience, yaitu bentuk pengalaman keagamaan sebagai tanggapan terhadap apa
yang dihayati sebagai Realitas Mutlak oleh seorang individu secara utuh, baik
pikiran, perasaan maupun keinginan. Mehdi Hai’ri Yazdi menyebutnya dengan
kesadaran mistikal yang berkaitan dengan ranah epistemologi yang berhubungan
dengan pengalaman seseorang.11 Dalam sejarah umat manusia, ilmu hudhuri telah
dialami oleh banyak orang sebagai pengalaman keagamaan, seperti para Nabi, wali
dan orang-orang saleh. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki kesempurnaan
akhlak, kesucian hati dan memiliki ketaatan dalam beragama yang luar biasa. Oleh
sebab itu, kebenaran ilmu hudhuri (laddunni) merupakan realitas yang memiliki
landasan yang kokoh dan meyakinkan.

10 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri; Prinsip-Prinsip Epistimelogi Dalam Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 1994)., h. 28.
11 Abdullah Abdullah, “Ilmu Huduri dan Kesadaran Kesatuan Mistikal (Tinjauan Kritis atas
Pemikiran Mehdi Ha’iri Yazdi),” Jurnal Sulesana, Aqidah dan Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar
8, no. 1 (2013): 15–24., h. 19

11
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya berkenaan dengan pembahasan
mengenai ilmu hushuli dan ilmu hudhuri dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ilmu hushuli adalah pengetahuan dengan konseptualisasi yang diperoleh
dengan usaha dan proses belajar yang memberdayakan fungsi akal manusia.
relasi antara subjek dan objek terjadi melalui korespondensi yang
merepresentasikan dua jenis eksistensi objek hingga keadaan eksistensial yang
satu tidak berkaitan dengan yang lainnya. Adapun ciri khas ilmu hushuli
adalah: 1) Adanya perantara subjek dengan objek yang disebut gambaran
(shurah); 2) Memiliki dualisme benar-salah karena hubungan koresponden
eksistensi mental (wujud dzihni) dan eksistensi eksternal (wujud khariji) yang
bersifat aksidental; 3) Ilmu hushuli tersusun dari konsepsi (tasawwur) dan
afirmasi (tashdiq); 4) Dapat ditransfer atau dikomunikasi kepada ilmu-ilmu
lain karena ilmu hushuli diperoleh dari proses berpikir; 5) Memerlukan
banyak latihan untuk mengembangkannya agar diperoleh pengetahuan dan
pemahaman baru. Pembagian ilmu hushuli ada tiga, yaitu gagasan indrawi,
khayali dan kewahaman. Berkenaan dengan jenis-jensi konsep universal,
terbagi menjadi tiga, yakni konsep esensial (al-mafahim al-mahuwiyyah),
konsep filsafat (al-mafahim al-falasafiyyah) dan konsep logika (ma’qul tsani
mantiqi).
2. Ilmu hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran yang diperoleh melalui
perenungan dan penghayatan objek, sehingga ia hadir dalam kesadaran
seseorang tanpa melalui penalaran akal manusia. Objek ilmu hudhuri
berwujud seperti ilmu keakhiratan dan ilmu-ilmu penyingkapan (kasyfiyah).
Metode memperoleh ilmu hudhuri dengan empat jalan, yakni: Pertama,

12
perjalanan dari makhluk menuju Dzat Yang Maha Benar (min al-khalq ila al-
Haqq). Kedua, perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan dengan Tuhan (min al-
Haqq ila al-Haqq bi al-Haqq). Ketiga, perjalanan dari Tuhan menuju
makhluk dengan Tuhan (min al-Haqq ila al-Khalq bi al-Haqq). Keempat,
perjalanan makhluk ke makhluk dengan Tuhan (min al-khalq ila al-khalq bi
al-Haqq). Untuk validitas keberadaan ilmu hudhuri adalah dengan koherensi
atau konsistensi antara teori Shadra tentang hubungan jiwa yang suci (al-Nafs
al-Qudsi) dengan jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyah) dengan eksistensi
wahyu dan ilham yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh umat
Islam

B. Saran-saran
1. Dalam makalah ini, masih banyak kekurangan dalam pembahasan mengenai
ilmu hushuli karena minimnya referensi yang membahas hal tersebut. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan lebih lanjut mengenai pembahasan ilmu
hushuli agar diperoleh pemahaman baik dan sempurna.
2. Masih terdapat pembahasan maupun istilah yang belum dipahami sehingga
diperlukan penyederhanaan istilah untuk kemudahan dalam memahami
pengetahuan ilmu hushuli dan ilmu hudhuri.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdullah. “Ilmu Huduri dan Kesadaran Kesatuan Mistikal (Tinjauan Kritis
atas Pemikiran Mehdi Ha’iri Yazdi).” Jurnal Sulesana, Aqidah dan Filsafat
Islam UIN Alauddin Makassar 8, No. 1 (2013): 15–24.
Dayatullah, Heru. “Studi Komparatif Epistemologi Suhrawardi dan Allamah
Thabathabai.” Jurnal Teknologi Pendidikan 2, No. 1 (Januari 2013): 89–109.
Harapan, Salahuddin. “Pengantar Filsafat Hikmah ('Irfan) Allamah Sayyid
Muhammad Husain Thabthabai.” Al Hikmah 1, no. 1 (2019): 36–55.
Mufid, Fathul. “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra.” Jurnal Al Qalam 29, No.
2 (Mei - Agustus 2012): 215–38.
Mulla Sadra,  al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah Jilid
III. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1410 H), terj. Fazlur Rahman,  Filsafat
Shadra. (Bandung: Pustaka, 2000), h. 281.
Taufiqurrohman, Ahmad. “Manusia Memperoleh Pengetahuan.” Jurnal Al Fatih, Juni
2015, 11–22.
Yazdi, Mehdi Ha’iri. Ilmu Hudhuri; Prinsip-Prinsip Epistimelogi Dalam Filsafat
Islam. Bandung: Mizan, 1994.

14

Anda mungkin juga menyukai