Anda di halaman 1dari 13

MATERI 3

RUKUN HUKUM SYAR’I


A. RUKUN HUKUM SYAR’I
Rukun Hukum Syar‟i ada tiga, yaitu:
1. Hakim (Pembuat Hukum).
2. Mahkum Alaih (Subjek Hukum/Mukallaf).
3. Mahkum Fih (Objek Hukum).

B. PENGERTIAN HAKIM (PEMBUAT HUKUM) DAN KHILAF ULAMA


TENTANGNYA
Secara bahasa (etimologi), Hakim mempunyai dua pengertian:
‫واضع األحكام ومثبتها ومصدرها‬
1. Pembuat yang menetapkan, yang menentukan, dan sumber hukum.
‫الذي يدرك األحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها‬
2. Yang menentukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan mengungkap hukum.
Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah. Allah yang menurunkan
peraturannya kepada para rasulnya, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur‟an maupun
wahyu dalam bentuk sunnah.
Sedangkan secara istilah (terminologi), Hakim merupakan persoalan mendasar
dan penting dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan, „‟siapa pembuat hukum
sebenarnya dalam syariat islam‟‟, „‟siapa memberikan pahala dan dosa‟‟. Semua
hukum tersebut bersumber dari Allah, melalui nabi, maupun ijtihad para mujtahid
yang didasarkan kepada metode istinbath lainnya. Hakim adalah Allah, dialah
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh
mukallaf, baik berkaitan dengan hukum takhlifi atau pun hukum wadh‟i.
Maka dapat dipahami bahwa Hakim (Pembuat Hukum) atau Syaari‟ satu-
satunya bagi umat Islam adalah Allah SWT. Hal ini merupakan manifestasi dari iman
kepada Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-An‟am (6) ayat 57 dan
Surat Yusuf (12) ayat 40:
ِ ِ ‫ص ا ْْل اق وهو َخي ر الْ َف‬ ِِ ِ ِِ
‫ي‬
َ ‫اصل‬ ُ ْ َ ُ َ َ ُّ ‫إن ا ْْلُ ْك ُم إ اَّل اّلِل يَ ُق‬
“Menetapkan hukum itu hanya Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya, dan dia
pemberi keputusan yang paling baik” (Q.S. Al-An‟am (6): 57).
ِ‫إِ ِن ا ْْل ْكم إِاَّل ِا‬
‫ّلِل‬ ُ ُ
“Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah” (Q.S. Yusuf (12): 40).
Tentang kedudukan Allah SWT sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam
pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Masalahnya
adalah bahwa Allah SWT sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda
dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara
pribadi dapat mengenal hukum Allah SWT itu atau hanya dapat mengenalnya melalui
perantara yang ditetapkan Allah SWT untuk itu, dalam hal ini adalah Rasul, mengenai
masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
1) Pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah mengatakan, bahwa satu-satunya yang
dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah
melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Bahwa bila tidak ada Rasul
yang membawa wahyu, maka tidak ada hukum Allah, dan manusia pun tidak akan
mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau
ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang Rasul
membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang
Rasul.
2) Kalangan ulama kalam Mu'tazilah yang berpendapat bahwa memang
Rasulullah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah
kepada manusia. Meski demikian, seandainya Rasul belum datang mengenalkan
hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah kepada
manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum Allah itu. Atas dasar
pendapat ini, maka sebelum kedatangan Rasul pembawa hukum Allah itu,
manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada Allah dan telah dianggap berhak
mendapat balasan (pahala dan dosa).
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa
hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada
manusia. Dengan datangnya Rasul pembawa hukum itu, maka berlakulah taklif.
Perbedaan pendapat di kalangan dua kelompok ini terletak pada taklif sebelum
datangnya Rasul. Kelompok Ahlussunnah menetapkan tidak ada taklif sebelum
datangnya Rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mungkin
dapat mengenal hukum Allah. Sedangkan ulama Mu‟tazilah berpendapat adanya taklif
sebelum datangnya Rasul, karena akal manusia dapat menilai baik dan buruknya suatu
perbuatan manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal dapat
menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud dengan
taklif.
Dapat dipahami bahwa titik perbedaan pendapat dua kelompok itu terletak
dalam dua hal: pertama, nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan; kedua, nilai baik
dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam
memahami dua hal tersebut, terdapat tiga kelompok ulama, yaitu:
1) Kelompok Asy’ariyah (Ahlussunnah) berpendapat bahwa suatu perbuatan dari
segi perbuatan itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal
manusia tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Baik dan
buruknya suatu perbuatan itu terletak pada disuruh/diperintah atau dilarangnya
perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya.
2) Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dari materi
perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk. Bila akal dapat
mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, maka akal memahami bahwa
suatu perbuatan yang baik harus dilakukan dan sesuatu perbuatan buruk harus di
tinggalkan. Alasannya bahwa akal manusia dapat memahami berdasarkan

2
keyakinannya akan keadilan Allah. Dengan demikian keharusan berbuat atau tidak
berbuat sudah ada meskipun wahyu belum diturunkan oleh Allah.
3) Kelompok Maturidiyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata
melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk. Karena itu
akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk. Bahwa Allah tidak
akan membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak akan
mencegah manusia melakukan perbuatan baik. Dalam hal ini kelompok
Maturidiyah sependapat dengan kelompok Mu‟tazilah.
Mengenai yang berhubungan dengan taklif atau beban hukum, kelompok ini
berpendapat, bahwa akal semata tidak akan dapat menetapkan seseorang harus
melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan taklif,
dosa, dan pahala hanya ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara menghubungkan
kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu. Meskipun akal berdasarkan
pengetahuannya mengenai yang baik atau buruk, maslahat atau mafsadat dan dapat
berbuat atas dasar itu, namun ia harus tunduk pada ketetapan wahyu. Semua
perbuatan hukum yang dilakukan seseorang hanya dapat dinilai dengan wahyu, baik
secara langsung atau tidak langsung.
Di kalangan ulama Fiqih kelompok Ahlussunnah; Hanafiyah mengikuti aliran
Maturidiyah dalam hal penilaian baik dan buruk juga dalam hal taklif. Berdasarkan
pendapat ini, maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum. Namun penetapan itu baru berlaku secara efektif bila mendapat pengakuan
dari wahyu, baik secara langsung atau tidak. Maslahat inilah yang di kalangan ulama
Ushul Ahlussunnah disebut dengan Maslahat Mu‟tabarah. Kelompok ulama Syi‟ah
Imamiyah sependapat dengan Mu‟tazilah.

C. PENGERTIAN MAHKUM FIH (OBJEK HUKUM) DAN SYARAT-


SYARATNYA
Yang dimaksud Mahkum Fih adalah Objek Hukum, yaitu perbuatan seorang
Mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara‟ atau perbuatan seorang Mukallaf
sebagai tempat menghubungkan hukum syara‟. Menurut ulama Ushul Fiqh disebut
Mahkum Fih atau Objek Hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara‟,
Objek Hukum adalah perbuatan itu sendiri. Misalnya, Allah SWT berfirman dalam
Surat Al-Maidah (5) ayat 1:
‫يمةُ ْاألَنْ َع ِام إِاَّل َما يُ ْت لَى َعلَْي ُك ْم غَْي َر ُُِملِّي ال ا‬
‫ص ْي ِد‬ ِ ِ ‫ود أ‬
ْ ‫ُحلا‬ ِ ‫َي أَيُّها الا ِذين آمنُوا أَوفُوا ِِبلْع ُق‬
َ ‫ت لَ ُك ْم ََب‬ ُ ْ َ َ َ َ
‫َوأَنْتُ ْم ُح ُرٌم إِ ان ا‬
‫اّلِلَ ََْي ُك ُم َما يُ ِري ُد‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan
tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Q.S. Al-Maidah
(5): 1).

3
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan seorang
Mukallaf, yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat
tersebut.
Jadi menurut Ushuliyyin, yang dimaksud dengan Mahkum Fih adalah Objek
Hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syaari‟ (Allah
dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan,
tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syaari‟ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu
hukum.
Para ahli Ushul Fiqh menetapkan tiga syarat untuk suatu perbuatan
sebagai Objek Hukum, yaitu:
1) Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh seorang Mukallaf.
Sempurna disini adalah suatu perbuatan tersebut dilakukan seorang Mukallaf
dengan lengkap dan rinci, sehingga dengan demikian suatu perintah bisa
dilaksanakan dengan lengkap tanpa ada suatu yang tertinggal, persis seperti apa
yang dikehendaki oleh Allah dan Rasulnya. Nash-nash (Teks-Teks) dalam Al-
Qur‟an tidak dapat menjelaskan secara terperinci, karena ayat-ayat tersebut
sebatas penjelasan umum atau global. Hal tersebut menjadikan taklifnya tidak sah
bagi Mukallaf kecuali hal tersebut telah dijelaskan Rasul secara rinci.
2) Perbuatan itu diketahui secara pasti oleh seorang Mukallaf. Maksudnya disini
adalah seorang harus mengetahui dengan pasti perintah yang harus ia lakukan. ia
harus mengetahui danmemahami bahwa perintah tersebut berasal dari pihak yang
berwenang, dimana pihak itu memiliki kedaulatan penuh untuk membuat perintah,
dalam hal ini, pihak yang berwenang tersebut adalah Allah SWT. Sehingga
perbuatan Mukallaf sesuai dengan kehendak Allah. Atau bahwa perintah itu
datang dari pihak yang berwenang untuk membuat perintah yang dalam hal ini
adalah Allah dan Rasulnya.
3) Perbuatan tersebut dalam batas kemampuan seorang Mukallaf. Perbuatan
yang diperintahkan atau dilarang harus berupa perbuatan yang memiliki batas.
Batas tersebut adalah sesuai dengan kemampuan manusia, dimana ia dapat
melakukannya atau bahkan meninggalkannya. Karena hal tersebut adalah tujuan
dari suatu perintah atau larangan untuk ditaati.
Allah SWT tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya yang
menjadi pembahasan Objek Hukum adalah Masyaqqah atau Kesulitan. Dalam hal
ini, para ulama membagi Masyaqqah atau Kesulitan menjadi tiga tingkatan sesuai
dengan ukuran kesulitannya, yaitu:
1) Al-Masyaqqah Al-‘Adzhimah, yaitu kesulitan yang sangat berat dalam bentuk
kemudharatan, seperti kekhawatiran akan hilangnya nyawa atau rusaknya anggota
badan. Hilangnya jiwa atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa
melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa
keringanan.
2) Al-Masyaqqah Al-Mutawasithah, yaitu kesulitan yang pertengahan, ia tidak
terlalu berat tapi juga tidak ringan. Masyaqqah semacam ini harus

4
dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka
ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka
tidak ada kemudahan disitu. Bahwa masyaqqah itu bersifat individual.
3) Al-Masyaqqah Al-Khafifah, yaitu kesulitan ringan yang bisa diatasi tanpa
mengurangi pelaksanaan ibadah tersebut. seperti terasa lapar waktu puasa, terasa
capek waktu tawaf dan sa‟i, terasa pening waktu ruku‟ dan sujud, dan lain
sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu
dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia
dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama dari pada masyaqqah
yang ringan ini.
Berdasarkan ketiga jenis masyaqqah tersebut maka pada jenis pertama dan
kedua mukallaf diberikan keringanan dalam pelaksanaannya. Sementara pada jenis
ketiga bisa dilakukan pertimbangan apakah bisa mendapatkan keringanan atau tidak
dalam pelaksanaan suatu ibadah. Semuanya dikembalikan kepada akibat dari keadaan
masyaqqah tersebut.
Masyaqqah atau kesulitan yang dimaksud dalam kaidah ini adalah yang sudah
melewati batas kebiasaan dan kesulitan tersebut tidak bertentangan dengan nash
syariat dan tidak pula lari dari kewajiban syariat sepert jihad, pedihnya hudud,
hukuman bagi pezina zina, para pembuat kerusakan dan lain sebagainya. Untuk hal-
hal yang demikian itu tidak berlaku keringanan.
Prof. Wahbah Az-Zuhaily membagi masyaqqah menjadi dua bagian yaitu:
1) Masyaqqah Mu’tadah, yaitu kesulitan yang alami, dimana manusia mampu
mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu
Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan
ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu diberi keringanan
berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim
menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan, maka
kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu.
2) Masyaqqah Ghairu Mu’tadah, yaitu kesulitan yang tidak pada kebiasaan,
dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia
melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan
kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta
kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan
dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadhah, maka wudhunya
cukup untuk shalat wajib serta untuk shalat sunnah yang lainnya tidak diwajibkan,
dan diperbolehkan shalat khauf bagi mereka yang sedang berperang, dan
sebagainya.
Imam As-Suyuthi membagi masyaqqah yang mengakibatkan gugurnya suatu
kewajiban dalam Islam ke dalam tiga jenis, yaitu:
1) Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti
rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal
mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari‟at memberlakukan keringanan hukum
(rukhshah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-
kewajiban syari‟at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali.

5
Artinya, jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang
sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada
keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu
sendiri menjadi terbengkalai. Dengan diberlakukannya rukhshah, maka kewajiban
tersebut tetap bisa terlaksana.
2) Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan
lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari‟at untuk
memberi rukhshah. Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting dari pada
menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini.
Artinya, timbulnya mafsadah dari hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga
kemaslahatan ibadah yang nyata-nyata punya nilai lebih besar harus lebih
diutamakan.
3) Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada pada titik interval
di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa
mendapat rukhshah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang
tertinggi (a‟la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang
paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhshah.
Dalam catatan akhirnya, al-Suyuthi menandaskan bahwa tidak ada ukuran
pasti pada jenis masyaqqah yang mutawassithah ini. Satu-satunya cara mengetahuinya
adalah melalui metode analisa-kualitatif (taqribi; mendekatkan). Masyaqqah adalah
sesuatu yang bersifat individual, abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan batasannya
sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak,
padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassithah.
Karena itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna mengukur
beragam jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran kadar masyaqqah
apakah telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam
taraf terendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah
melampaui taraf terendah, baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun
sampai level tertinggi (a‟la), maka ia akan mendapat rukhshah.
Setiap ibadah pasti mengandung masyaqqah (sekurang-kurangnya dipandang
dari segi bahwa ia adalah taklif atau tuntutan). Jika kadar masyaqqah yang normal
semakin bertambah tingkat kesulitannya karena ada masalah-masalah tertentu, maka
di titik ini dia telah berada pada tingkat mutawassithah. Seseorang yang sedang
berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan
seterusnya. Jika puasa itu dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis
masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit.
Pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal (adna) sehingga bisa
mendapatkan rukhshah.
Secara umum Masyaqqah atau Kesulitan terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
1) Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam
melaksanakannya. Umpamanya puasa dan ibadah haji. Masyaqqah dalam bentuk
ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi objek hukum, karena memang

6
semua objek hukum tidak ada yang bebas dari kesulitan, namun dapat dilakukan
oleh Mukallaf meskipun dengan sedikit berat.
2) Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara
berketerusannya atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan
tenaga yang maksimal. Pemaksaan diri dalam melakukannya dalam akan
membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta. Umpamanya berperang dalam jihad
di jalan Allah. Dalam massaqqah seperti ini dapat berlaku taklif, namun tidak
untuk semua orang dan secara berketerusan. Masyaqqah ini mengandung kesulitan
yang besar sekali dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu
hukumnya adalah wajib kifayah terhadap orang yang mampu melaksanakannya.
Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang
jelas keberadaanya, para ulama ushul memperbincangkan kemungkinan berlakunya
taklif terhadap sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi
mustahil pada lima tingkat, yaitu:
1) Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua
hal yang berlawanan, baik berlawanan secara dhid seperti menghimpun antara
warna putih dan hitam atau perlawanan secara naqidh seperti menyuruh
melakukan dan tidak melakukan suatu perbuatan, dalam waktu dan tempat yang
sama.
2) Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan biasanya,
seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3) Mustahil karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada
dasarnya dapat dilakukan, tetapi oleh karena sesuatu sebab yang datang kemudian,
perbuatan itu tidak dapat dilakukan. Umpamanya menyuruh orang yang diikat
kakinya untuk berlari.
4) Mustahil karena tidak berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat
melaksanakan dan kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
5) Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi
seseorang yang jelas kafirnya, Allah mengetahui bahwa seseorang akan tetap
kafir, tetapi ia diperintahkan juga untuk beriman. Seandainya ia menjalankan
perintah itu dan kemudian ia beriman, maka berbaliklah ilmu Allah yang telah
menetapkan bahwa ia kafir.
Sebagian ulama mengklasifikasikan bentuk mustahil itu. Perbuatan mustahil
ditinjau dari zat perbuatan itu sendiri memang tidak mungkin berlaku taklif
kepadanya, karena berada di luar kemampuan mukallaf melakukannya, tetapi
perbuatan mustahil yang bukan karena zatnya tetapi karena hal luar, dapat berlaku
taklif kepadanya, karena mungkin dilakukan oleh manusia meskipun sulit dalam
pelaksanannya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan
Allah dan dengan hamba terbagi empat:
1) Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tidak ada
sedikit pun hak manusia. Semua perbuatan mahdhah termasuk dalam bentuk ini.
Demikian pula urusan urusan kemasyarakatan yang bertujuan untuk membela
kepentingan masyarakat. Umpamanya jihad dan pelaksanaan hukuman zina.

7
Dalam menegakan kepentingan masyarakat pada bentuk hak Allah ini tidak
diperlukan adanya tuntutan atau pengaduan dari manusia, dan tidak ada hak manusia
untuk meringankan pelaku atau menggugurkan hukuman atas pelakunya. Hal yang
berkaitan dengan ibadat, semuanya adalah hgak Allah semata, seperti shalat, puasa,
zakat, haji, dan lainnya.
Memang zakat itu seluruhnya digunakan oleh manusia yang
tergolong mustahiq, tetapi mustahiq tidak berhak atas harta itu ditinjau dari
segi mustahiq itu tidak dapat memaafkan atau menggugurkan muzzaki (pembayar
zakat) dari kewajiban zakatnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pandangan.
Perbadaanya hanya terdapat pada masalah: apakah kewajiban zakat berlaku
pada muzzaki (orang yang wajib zakat) pada dirinya atau pada harta yang dimilikinya.
Pengaruh perbedaan pendapat ini terlihat secara amaliah.
Kelompok yang mengatakan bahwa kewajiban terletak atas muzzaki pada
dirinya diantaranya ulama Hanafiyah, berpendapat disyaratkan adanya niat dalam
pelaksanaanya. Karena anak kecil atau orang gila meskipun mempunyai harta se-
nisab tidak wajib membayar zakat, karena persyaratan niat tak akan terpenuhi oleh
anak kecil atau orang gila pemilik harta itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat atas muzzaki adalah
karebna hartanya, karena itu mereka tidak mewajibkan niat pada pelaksanaan
kewajiban zakat. Dengan demikian, maka zakat itu diwajibkan atas harta anak kecil
dan orang gila meskipun keduanya tidak memenuhi syarat untuk berniat. Kewajban
disini menyangkut harta, bukan menyangkut diri yang dikenai taklif.
2) Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang
merupakan pembelaan terhadap kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak hamba
secara murni. Pelanggaran terhadap hak hamba adalah aniaya. Allah tidak akan
menerima taubat seseorang yang melanggar hak hamba, kecuali bila hamba yang
bersangkutan membebaskan atau memaafkannya.
Hak hamba yang murni itu pada hakikatnya ada yang menyangkut hak
perdata, yaitu yang menyangkut harta benda atau seperti hak dan pemilikan. Oleh
karena hak dalam bentuk ini menyangkut kepentingan pribadi, maka pengambilan hak
ditangan orang lain harus mekalui tuntutan atau gugatan. Karena itu yang dapat
membebaskan seseorang dari tuntutan hanyalah hamba yang berhak itu. Umpamanya
bebasnya suami dari kewajiban mahar karena telah dibebaskan oleh istri sebagai
orang (pihak) yang berhak atas mahar itu. Bebasnya seseorang dari utang karena
telah digugurkan utangnya oleh yang berpiutang.
3) Perbuatan yang didalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba tetapi hak
Allah lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan had terhadap penuduh zina
(qadzaf). Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam menilai hak mana
yang lebih dominan. Segolongan ulama termasuk Asy-Syafi‟i berpendapat bahwa
dalam hal qadzaf, hak hamba yang dominan. Karena itu , maka untuk menegakkan
had disini tidak perlu penuntutan dan hukumannya dapat dimaafkan atau
digugurkan oleh hamba yang menjadi korban.
4) Perbuatan yang didalamnya bergabung padanya hak Allah dan hak hamba,
tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan qishash atas suatu

8
pembunuhan. Adanya hak Allah pada perbuatan itu karena menyangkut
pelanggaran atas ketentaraman umat yang patut dilindungi. Adanya hak hamba
padanya terlihat dari segi pelaksanaan qishash itu yang dapat dihapuskan oleh
pihak keluarga yang terbunuh. Dalam hal adanya hak hamba yang lebih dominan,
pelaksanaan hukum qishash hanya dapat dilakukan melalui satu tuntunan oleh
pihak hamba yang berhak pula.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Al-Isra‟ (17) ayat 33 dan Surat Al-
Baqarah (2) ayat 178:
‫وما فَ َق ْد َج َعلْنَا لَِولِيِّ ِه ُس ْلطَ ًان‬ ِ
ً ُ‫َوَم ْن قُت َل َمظْل‬
“Siapa yang terbunuh secara aniaya, maka telah kami jadikan kekuasaan bagi
walinya” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 33).
ِ
ٍ ‫وف وأ ََداء إِلَْي ِه ِبِِحس‬ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ان‬ َْ ٌ َ ‫فَ َم ْن عُف َي لَهُ م ْن أَخيه َش ْيءٌ فَاتّبَاعٌ ِِبل َْم ْع ُر‬
“Maka siapa yang mendapat kemaafan dari saudaranya (tuntunan qishash) ikutilah itu
secara patut dan bayarkanlah (diyat) kepadanya secara baik” (Q.S. Al-Baqarah (2):
178).
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan
pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu, Dalam hal ini muncul persoalan; dapatkah
perbuatan itu dilaksanakan oleh orang lain yang dikenai tuntunan? Dengan kata lain,
apakah pelaksanaan hukum itu dapat digantikan orang lain? Hal ini menjadi
pembicaraan dikalangan ulama ushul.
Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan
taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga:
1) Objek hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif;
umpamanya shalat dan puasa.
2) Objek hukum yang pelaksanannya berkaitan dengan harta benda pelaku
taklif; umpamanya kewajiban zakat.
3) Objek hukum yang pelaksanannya mengenai diri pribadi dan harta dari
pelaku taklif; umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanannya dapat
digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat dilakukan
orang lain. Setiap taklifyang berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri
oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang
berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain
pada saat tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan
kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.

D. PENGERTIAN MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM/MUKALLAF) DAN


SYARAT-SYARATNYA
Mahkum Alaih adalah seorang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi
tempat berlakunya hukum Allah dan firmannya atau perbuatannya berhubungan
dengan hukum syar‟i.

9
Bahwa definisi hukum taklifi adalah fitrah Allah yang menyangkut perbuatan
mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk berbuat.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi pada
seseorang untuk dapat disebut mukallaf (subjek hukum) yaitu bahwa ia mengetahui
tuntutan Allah itu ada dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut.
Dua hal tersebut merupakan syarat Mukallaf atau Subjek Hukum. Adapun dua syarat
tersebut, yaitu:
1) Ia memahami atau mengetahui titah (tuntutan) Allah tersebut yang
menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat
berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan
memahami.
2) Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah
ushul disebut Ahlu Al-Taklif. Kepantasan menerima taklif atau yang disebut
Ahliyah. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai
hukum (Ahliyah Al-Wujub) dan kepantasan untuk menjalankan hukum
(Ahliyah Al-Ada’).
Menurut ulama ushul: Ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1) Ahli Wajib (Ahliyah Al-Wujub) atau kepantasan untuk dikenai hukum.
Yaitu kelayakan seseorang untuk ada padanya hak-hak dan kewajiban. Atas
keahlian (kelayakan) ini ialah kekhususan yang diciptakan oleh Allah SWT kepada
manusia dan menjadi kekhususannya diantara macam-macam binatang. Dengan
keahlian itu dia layak menerima hak dan kewajiban. Kekhususan inilah yang oleh
para fuqoha (sarjana ahli hukum islam/ahli fiqih) disebut Adz-Dzimah. Yaitu naluri
kemanusiaan yang dengan itu manusia menerima ketetapan hak-hak bagi orang lain
dan menerima kewajiban untuk orang lain pula. Atau Kepantasan seorang manusia
untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kepantasan dalam bentuk ini
berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia
dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan
keadaannya.
Para ahli ushul membagi Ahliyah Al-Wujub itu kepada dua tingkatan, yaitu:
a. Ahliyah Al-Wujub Naqishah atau kepantasan hukum dikenai hukum secara
lemah.
Yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima
kewajiban, atau kepantasan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima
hak.
Sifat lemah pada kepantasan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu
kepantasan pada dirinya diantara dua kepantasan yang harus ada padanya.
Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib dengan tidak sempurna,
apabila patut baginya ketetapan beberapa hak, bukan karena wajib atasnya beberapa
kewajiban, atau sebaliknya. Para ulama membuat contoh yaitu dengan janin yang ada
dalam perut ibunya. Dia mempunyai ketetapan beberapa hak, karena dia bisa
menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat dan bisa menerima hak dalam ¼
(seperempat) harta wakaf, tetapi tidak wajib atasnya kewajiban-kewajiban terhadap
orang lain. Jadi keahlian wajib yang tetap bagi dia tidak sempurna.

10
b. Ahliyah Al-Wujub Kamilah atau kepantasan dikenai hukum secara sempurna.
Yaitu kepantasan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk
menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku
untuk keduanya sekaligus. Kepantasan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat
selama ia masih bernafas.
Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib secara sempurna, apabila
patut baginya beberapa hak dan kewajiban atasnya beberapa kewajiban. Keahlian ini
tetap bagi setiap manusia sejak dari dia dilahirkan. Jadi manusia itu mulai dari
kekanak-kanakannya sampai usia remaja dan sesudah dewasanya, dalam keadaan
bagaimanapun menurut perkembagan hidupnya, dia mempunyai keahlian wajib secara
sempurna.
2) Ahli melaksanakan (Ahliyyatul Ada’) atau kepantasan untuk berbuat
hukum/menjalankan hukum.
Yaitu kelayakan mukallaf untuk dianggap ucapan-ucapan dan perbuatan-
perbuatannya menurut syara‟, sekira apabila keluar dari padanya akad atau
pengelolaan, maka menurut syara‟ akad atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya
dan terjadinya tertib hukum atasnya. Atau kepantasan seseorang manusia untuk
diperhitungkannya menurut hukum. Hal ini bahwa segala tindakannya, baik dalam
bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Atau Kepantasan
seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.
Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau berpuasa, atau melaksanakan ibadah
haji, atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara‟ bisa
diperhitungkan (di i‟tibar), dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila
mukallaf berbuat pidana atas orang lain dalam soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia
dihukum sesuai dengan pidananya dan diganjar atas pidananya itu dengan bentuk fisik
dan harta. Maka ahli ada‟ itulah yang dimintai pertanggung jawaban, sedang asasnya
dalam manusia adalah membedakan akal.
Kepantasan berbuat hukum atau ahliyah al-ada‟ terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
1) ‘Adim Al-Ahliyah atau belum pantas sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum
berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur
ini belum disebutkan mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ia tidak
wajib melaksanakan shalat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Ia wajib
mengeluarkan zakat atas hartanya menurut pendapat sebagai ulama yang mengatakan
bahwa kewajiban zakat berlaku atas hartanya.
Kadang-kadang manusia itu tidak mempunyai keahlian melaksanakan sama
sekali, atau kehilangan keahlian melaksanakan sama sekali, atau kehilangan keahlian
melaksanakan sama sekali.
2) Ahliyah Al-Ada’ Naqishah atau pantas berbuat hukum secara lemah.
Yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun). Sampai
batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang
sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna, manusia dalam batas

11
umur ini dalam hubugannya dengan hukum, sebagai tindakannya telah dikenai hukum
dan sebagai lagi tidak dikenai hukum.
Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan/perbuatan, terbagi kepada 3 tingkat
dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:
1. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya
menerima pemberian (hibah) dan wasiat.
2. Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada
padanya.
3. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian.
Kadang-kadang manusia itu tidak sempurna keahliannya melaksanakan, yaitu
anak usia remaja (mumayyiz). Pengertian ini mencangkup anak-anak yang masih
dalam usia remaja sebelum dia baligh, termasuk pula orang yang kurang akal. Karena
orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak pula kehilangan akalnya.
Tetapi dia itu lemah dan kurang akal. Maka hukumnya seperti hukum anak-anak usia
remaja.
3) Ahliyah Al-Ada’ Kamilah atau pantas berbuat hukum secara sempurna.
Yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-
kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang sifat jasmani yaitu bagi wanita telah
mulai haid dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh atau keluarnya mani.
Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pd petunjuk al-quran, yaitu sampai
mencapai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin
melangsungkan perkawinan. Tanda dewasa yaitu haid bagi wanita dan mimpi
persetubuhan untuk laki-laki adalah tanda seseorang sudah dapat melakukan
perkawinan atau pernikahan.
Dalam keadaan tidak terdapat atau sukar diketahui tanda yang bersifat
jasmaniyah tersebut, diambil patokan umur yang dalam pembatasan ini terdapat
perbedaan pendapat antara ulama fiqih. Menurut jumhur ulama, umur dewasa itu
adalah 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Menurut abu hanifah, umur dewasa
untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila
seseorang tidak mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum
atau taklif.
Kadang-kadang manusia itu sempurna keahliannya melaksanakan, yaitu orang
yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal. Maka keahlian melaksanakan yang
sempurna dapat terealisir dengan kedewasaan manusia dan berakal.

Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir


Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa syarat bagi subjek hukum itu adalah
baligh dan berakal. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara
persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar‟i adalah imam asy-syafi‟i, ulama
iraq yang bermadzhab hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama mu‟tazilah. Mereka
berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan
syari‟at seperti ibadah shalat, puasa dan haji, artinya meskipun mereka tidak sah

12
niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu
sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya.
Kelompok ulama ini mengemukakan alasan-alasan, yaitu:
1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerintah untuk melaksanakan ibadat secara umum
juga menjangkau orang-orang kafir.
2. Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu‟
tertentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat.
3. Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi
sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina,
mencuri dan lainnya.
Kedua, pendapat dari ulama Hanafiyah, abu ishak al-asfahani, sebagian
kelompok syafi‟iyah dan sebagian ulama mu‟tazilah. Mereka berpendapat bahwa
orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadah, karena bagi
kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar‟i sedangkan
orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argumen,
yaitu:
1. Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu‟ (cabang-cabang)
syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena
kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
2. Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka mengadha apa
yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia masuk islam. Ternyata yang
demikian tidak betul, karena bila ia masuk islam maka segala kekurangan pada
waktu yang lalu dihapuskan.
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif.
Untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan,
karena untuk melaksanakan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk
meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak
berbuat, tidak diperlukan niat.

13

Anda mungkin juga menyukai