Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEDUDUKAN MADZHAB DALAM PEMBINAAN HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Perbandingan Madzhab

Mata Kuliah Dosen Pengamppu Dr. M. Kharis Fadillah, M.Pd.I

Disusun oleh Kelompok : 3

Kalimaaus Saroh : 193210254

Dewi Masitoh : 172210156

Nurul Khotimah : 171210139

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU

(IAIM NU) METRO

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Semesta Alam yang telah

memberikan kita berbagai macam nikmat, khususnya nikmat kesehatan serta kesempatan

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam

tak lupa kami haturkan kepada junjungan alam Nabi besar  Muhammad SAW.

            Selanjutnya ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Dosen yang telah

memberikan kepercayaan kepada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah yang

berjudul “Kedudukan Madzhab Dalam Pembinaan Hukum Islam” ini.

            Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan

kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunannya. Untuk itu kami

mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah

kami selanjutnya.

            Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih dan semoga Allah senantiasa meridhoi

segala usaha kita. Amin..

Metro, 13 November 2020

Penyusun
DAFTAAR ISI

KATAPENGANTA

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Madzhab Dalam Pembinaan Hukum Islam

B. Kedudukan Mazhab Dalam Mengayomi Hukum Islam

C. Meninggalkan Madzhab Adalah Bid’ah yang Sesat

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman

sahabat, tabi'in hingga muncul madzhal madzha bfiqih pada periode ini. Seperti contoh

hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa

iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda

pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab

yang dianut.

Pada zaman Rasulullah SAW "madzhab" belum dikenal dan digunakan karena pada

zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat, jadi jika mereka mendapatkan permasalahan

maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi setelah

Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam,

sementara itu umat islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para

shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul, tetapi tidak seluruh shahabat

mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal dikalangan para sahabat yang berfatwa

ditengah sahabat-sahabat Rasul lainnya, sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar,

Utsman, AH, Sayyidah 'Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas'ud

dan yang lainnya, kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah

sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah

yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda, sementara Allah telah

menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang 'Alim diantara mereka.

Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui

Pada zaman Tabiin timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab
Fuqaha Sab'ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah

madzhab yang lainnya dinegeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha'l, asy-Syukbi,

sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab

Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama

untuk diikuti karena beberapa sebab :

 Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.

 Madzhab ini diturunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang

 Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan

 Madzhab ini berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab

berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan Ijma' nya

ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Madzhab dalam hukum islam?

2. Bagaimanakah kedudukan Madzhab dalam pembinaan Hukum Islam?

3. Apasajakah dampak dari perbedaan Madzhab?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Madzhab dalam hukum islam?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan Madzhab dalam pembinaan hukum

Islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Madzhab Dalam Pembinaan Hukum Islam

Islam merupakan Agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hukum-hukum

islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam, hingga

banyak Ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Akhirnya, hukum

islam ini terbagi dalam beberapa madzhab yang kita kenal sekarang.

Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi

tujuan seseorang. Sedangkan menurut para Ulama dan ahli Agama Islam, mazhab adalah

metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman yang

jelas untuk kehidupan umat.

Menurut Ulama’ fiqih yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah metodologi fiqih

khusus yang dijalani oleh seorang ahfi fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli Fiqih lain

yang mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.1

B. Kedudukan Mazhab Dalam Mengayomi Hukum Islam

Di kalangan umat Islam, sekarang ini ada empat mazhab yang sangat dikenal yaitu;

mazhab Hanafi (80-150 H), mazhab Maliki (93-179 H), mazhab Syafi’I (150-204 H), dan

mazhab Hambali (164-241 H). Selain empat mazhab itu masih banyak mazhab lain misalnya,

mazhab Ja’fari, Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah Hasan Basyri, as-Tsauri, Daud ad-Dhahiri,

dan sebagainya. Masing-masing mazhab mempunyai aturan-aturan dan tata cara hukum

tersendiri yang kadang-kadang berbeda dengan mazhab yang lain, terutama mengenai soal-

soal furu’iyah.

1
Sofyan, Kedudukan Mazhab Dalam Pembinaan Hukum. http://sofyanmasuku.blogspot.com/2013/01/html
Sampai saat ini, realitasnya ikhtilaf masih tetap berlangsung di kalangan mazhab.

Mereka berselisih paham dalam masalah furu’iyah, akibat keanekaragaman sumber dan aliran

mazhab dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya.

Perselisihan itu terjadi antara kelompok yang memperluas dan yang mempersempit wilayah

ijtihad, antara yang memperketat dan memperlonggar persyaratan ijtihad, antara yang

cederung rasional dan yang cenderung tekstual berpegang pada zhahir nash, antara yang

mewajibkan bermazhab dan yang melarangnya.

Seorang mujtahid bebas berijtihad, asal tidak membatalkan hasil ijtihad orang lain.

Berbeda halnya bila seorang mujtahid membatalkan hasil ijtihadnya sendiri (meralat pendapat

lama) karena situasi dan kondisi yang berbeda, atau menemukan dalil yang lebih kuat

sebagaimana yang terjadi pada seorang mujtahid besar, Imam Syafi’i. Bagaimana beliau

meralat hasil ijtihadnya ketika masih tinggal di Irak (qaul qadim) dengan ijtihad baru (qaul

jaded) setelah migrasi ke kota metropolis Mesir, karena tuntutan kondisi kondisi yang

berbeda, disamping – tentu saja – diketemukannya dalil yang lebih kuat.

Dalam menetapkan hukum, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat diantara imam

mazhab itu. Walaupun mereka sama-sama merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,

disamping sumber hukum lainnya, baik sumber hukum yang muttafaq ‘alaih (disepakati

semua mazhab) maupun sumber hukum yang mukhtalaf fih (masih diperselisihkan).

Jalan pikiran para imam mazhab inilah yang perlu kita telaah dan kemudian

dibandingkan dengan melacak kekuatan dalil yang digunakan. Tentu saja, komparasi ini

dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu latar belakang seorang mujtahid dan dasar

argumentasi yang mereka pakai dalam menetapkan putusan hukum.

Perbedaan pendapat (masalah khilafiyah) imam mazhab dalam lapangan hukum (fiqh

Islam) sebagai hasil penelitian, tidak perlu dipandang sebagai factor yang melemahkan

kedudukan hukum Islam. Bahkan sebaliknya, bisa memberikan kelonggaran kepada umat
Islam dalam  melaksanakan semua perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai situasi dan kondisi

yang dihadapinya. Hal ini sekaligus sebagai indicator, umat Islam bebas memilih salah satu

pendapat imam mazhab fiqh menurut keyakinannya, dan bukan menjadi keharusan agar

taqlid atau terpaku hanya pada satu pendapat imam mazhab saja.

Kalau ada sikap toleran dan saling pengertian antara pihak yang satu dengan lainnya,

tentu perbedaan ijtihad itu tidak perlu dikhawatirkan. Karena hal-hal yang diperselisihkan itu

dapat dipertemukan ada jalan keluar yang dapat ditempuh, dan kalau sampai mengalami jalan

buntu, masing-masing pihak mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda.

Sebaliknya, kalau kurang lapang dada, masalah kecil dapat menjadi besar. Karena masing-

masing mempertahankan egoisme, walaupun hati kecilnya mengakui kelemahan pendapat itu.

Akibat fanatik mazhab yang dianut, keterbatasan ilmu, atau karena dipengaruhi faktor politis

lainnya.

Perbedaan pendapat sebaiknya tidak harus terjadi dalam umat Islam. Perbedaan

pendapat seharusnya dapat disatukan. Sebenarnya bukan idealisme seperti ini  yang dituntut.

Tetapi tenggang rasa, saling pengertian, dan menghargai pendapat yang berkembang..

Seseorang tidak boleh mengklaim, hanya pendapatnya sendiri yang benar sedang pendapat

orang lain salah dan dicampakkan.

Perbedaan pendapat yang terjadi di tengah masyarakat, hendaknya dipandang sebagai

sesuatu yang wajar dan alamiyah. Ralitas semua itu justeru menandakan bahwa pikiran

seseorang itu tidak beku, tidak mandek, dan selalu berkembang secara kreatif. Mengapa kita

tidak mengambil contoh nyata, Imam Syafi’i? Imam mazhab ini pernah berbeda pendapat

dalam dirinya sendiri, sehingga muncul qaul qadim dan qaul jadid. Sepanjang pengetahuan

kita, tidak ada  seorang pun yang berkomentar sinis, Imam Syafi’I itu plin-plan dan tidak

konsisten. Malahan disitu terlihat bagaimana keluesan dan keluasan pandangan beliau dalam
merespon realitas yang terjadi. Tidak rigid dan jumud, tetapi bersikap responsive, kreatif, dan

inovatif. (Moch Bukhori Muslim, MA)

Berkata imam Dahlawi dalam kitabnya al-insof halaman 53 dan kitab Mujjatul

balighoh 1-132, yang artinya: “Sesungguhnya ummat telah sepakat bahwa empat madzhab

yang telah dibukukan secara autentik boleh diikuti sampai sekarang. Dalam mengikuti

madzhab-madzhab tersebut jelas ada maslahatnya lebih-lebih pada sekarang ini dimana

kemauan sudah menjadi lemah sekalu dan hawa nafsu telah mencampuri jiwa seseorang dan

masing-masing orang mengagumi pendapatnya.”

Imam syafi’i, abu hanifah, ahmad dan malik adalah merupakan kelompok para

mujtahidin dimana orang-orang awam boleh taklid kepada mereka, sebagaimana orang-orang

awam dari pada sahabat taklid kepada mujtahid yang sezaman dengan mereka seperti ibnu

abbas, ibnu mas’ud, zaid bin tsabit, dan para khulafaurrasyidin.

Bukanlah semua ulama ahli sejarah dan sejarah perundang-undangan islam telah

sepakat, bahwa pada tabi’in ada dua madzhab yang besar yaitu madzhab ahli Ra’yu di Irak.

Dan umumnya ahli Hijaz taklid kepada madzhab yang utama bagi mereka, demikian juga ahli

irak taklid kepada madzhab yang utama menurut mereka. Baik madzhab ahli hijaz maupun

irak masing-masig mempunyai imam-imam.

Kemudian apa yang terjadi dengan menantang kenyataan adanya madzhab empat? tak

ada masalah yang terjadi.

Para imam madzhab telah meletakkan dasar-dasar metode untuk melakukan istinbath,

yang mereka serap dari dalil-dalil kitab dan sunnah. Dengan metode itu mereka membuat

batasan-batasan mana qiyas dan ra’yu yang sehat dan mana yang batal, sehingga antara dua

nadzhab ahli ra’yu dan madzhab ahli hadits ada pendekatan sehingga sedikit demi sedikit

masing-masing menuju sasaran yang tidak berlebih-lebihan dan obyektif.


Faktor inilah yang menyebabkan madzhab empat menempati posisi yang tinggi dalam

bidang pembahasan ijtihad dan mendapat sambutan dari berbagai golongan dan tingkatan

serta diikuti dan diperangi oleh mereka. Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan

mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid seperti imam maliki, syafi’i, dan lain-

lain hukumnya adalah wajib bagi setiap umat islam yang belum mampu melakukan ijtihad.

Sebab madzhab-madzhab yang mereka bina itu adalah merupakan hasil ijtihad yang mereka

milki dengan sepenuhnya. Padahal sudah jelas bahwa yang disebut ijtihad ialah semata-mata

menggali isi al-qur’an dan hadits untuk mendapatkan sesuatu hukum yang konkrit dan positif.

Jadi berijtihad berarti langsung menggunakan pedoman qur’an dan hadits, dan hasil ijtihad

yang tersebut orang madzhab itu berarti pula seratus persen berdasarkan al-qur’an dan hadits.

Al-qur’an dan hadits telah mereka kaji dan teliti secermat-cermatnya. Buah pengkajian dan

penelitian terhdap dua kitab tersebut telah menghasilakan ratusan bahkan ribuan kitab

undang-undnag hukum islam atau ilmu fiqh atau disebut juga kitab-kitab madzhab.

Kitab-kitab madzhab itu sudah dipenuhi ribuan materi hukum islam yang kmplit dan

meliputi persoalan hidup manusia yang ada sangkut pautnya dengan urusan agama. Mereka

telah mebahas soal-soal ibadah seperti sholat, zakat, puasa, hajji, dll. Juga mereka

telahmembahas persoalan masyarakat, masalah keluarga, persoalan politik, persoalan Negara,

ekonomi yang kesemuanya ini telah mereka rumuskan dalam kitab-kitab fiqh pada bab-bab

ibadah, muamalah, munakahah dan jinayah, sehingga lantaran kitab-kitab fiqh tulah umat

islam kemudian dengan mudah dan oraktis dapat melaksanakan segala macam bentuk ibadah

dll sesuai dengan garis yang ditetapkan qur’an dan hadits.

Oleh karena itu mengamalkan isi madzhab berarti juga mengamalkan qur’an dan

hadits dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah agama. Mamang banyak

yang belum menyadari persoalan madzhab ini, sehingga beranggapan bahwa madzhab itu

adalah hasil karya manusia semata-mata dan ilmu fiqh adalah kumpulan hukum yang
dikarang oleh orang alim, tanpa menyadari bahwa dasar penyusunan madzhab al-qur’an dan

al-hadits juga.2

C. Meninggalkan Madzhab Adalah Bid’ah yang Sesat

Gerakan anti madzhab Nampak berhasil dalam menanamkan rasa kebanggaan pada

kelompok modern, lebih-lebih bila di kaitkan dengan masalah kebangkitan umat islam.karena

berfikir secara bebas, adalah symbol dari kemajuan berfikir, sedangkan berpegang teguh

kepada prinsip-prinsip tradisionil adalah ciri dan watak kemunduran.

Tetapi bila dikaji secara mendalam kemudian dihubungkan dengan perkembangan

syariat islam sejak awal mula hingga kini, ternyata gerakan anti madzhab belum melahirkan

budaya baru dalam masalah pembinaan hukum islam. Dan masih berputar-putar dalam arena

yang sudah dipagari tembok madzhab yang kokoh dan kuat, dan belum mampu menciptakan

arena baru yang lepas sama sekali dari kehendak madzhab.

Barang siapa mempelajari fiqh islam atau ilmu hukum islam yang di tulis oleh

kelompok anti madzhab, kemudian menekuninya dengan sadar dan insyaf maka akan

Nampak tiada satupun masalah fiqih yang lepas dari tilikan madzhab empat. baik yang

menyangkut masalah ibadah, muamalah, munakahat, jinayah dll. Kalau masalah itu tidak

sesuai dengan madzhab syafi’i maka ia akan sesuai dengan madzhab hanafi. Dan kalau tidak

sesuai dengan madzhab hanafi dan syafi’I, maka akan sesuai dengan madzhab maliki atau

hambali, demikian akan berputar di kalangan madhab yang empat. dan bila mana tidak sesuai

dengan madzhab yang empat. maka ada indikasi yang kuat kalau fiqih itu lepas dari rumpun

fiqih ahlusunnah wal jamaah, dan boleh jadi masuk kelompok fiqihnya,kaum syiah atau

mu’tazilah atau kaum ekstrimis dhohiriah,seperti ibnu hazm dan ibnu thaimiyah yang

fatwanya ganjil-ganjil dan aneh-aneh.

2
Drs. M. Hamdani Yusuf, loc. cit. Hlm 24-27.
Kelompok anti madzhab khususnya di Indonesia hampir seratus persen di serap dari kitab-

kitab madzhab yang ada dengan fariasi,komentar yang bermacam-macam. Sedangkan materi

yang di bahas berkisar pada masalah hukum islam yang telah di bahas secara tuntas oleh

ulama-ulama madzhab ratusan tahun yang lalu sejauh usaha yang mereka  capai ialah

melakukan perbandingan disana-sini kemudian di pilih mana yang paling cocok menurut

penilaian si pembahas.inilah yang disebut ilmu baru dalam dunia hukum islam sekarang dan

popular dengan sebutan ilmu “maqaranatul madzhab” atau ilmu perbandinagn madzhab.

Kalau kita perhatikan dengan seksama usaha ini sebenarnya adalah merupakan

pengembangan dari apa yang dirintis oleh para ulama madzhab dahulu kala, meskipun selalu

disebut-sebut bahwa sponsor ilmu ini adalah syekh Al-Maraghi dan Mahmud Syaltout.

Barang siapa menela’ah kitab Al Maa-Majmu syarah Muhazzab (12 jilid besar) karangan

imam nawawi yang bermadzhab syafi’I maka dia pasti merasakan bahwa kitab muqaranatul

Madzhahib fil fiqhi karangan Prof. Mahmut Syaltout dan Prof. Ali Syais adalah merupakan

sebagian kecil saja dari apa yang dikandung oleh kitab Al-Majmu’.3

3
Ibid., hlm. 27-29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat
bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda
pendapatnya tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya
yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi
penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya
tentang Qiyas: Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan.
Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam
menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya.
Peran dan kedudukan madzhab dalam pembinaan hukum islam memiliki peran yang
sangat tinggi, seperti keempat madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali  menempati
posisi yang tinggi dalam bidang pembahasan ijtihad dan mendapat sambutan dari berbagai
golongan dan tingkatan serta diikuti dan diperangi oleh mereka.
Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam
mujtahid seperti imam maliki, syafi’i, dan lain-lain hukumnya adalah wajib bagi setiap umat
islam yang belum mampu melakukan ijtihad. Sebab madzhab-madzhab yang mereka bina itu
adalah merupakan hasil ijtihad yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Padahal sudah jelas
bahwa yang disebut ijtihad ialah semata-mata menggali isi al-qur’an dan hadits untuk
mendapatkan sesuatu hukum yang konkrit dan positif. Jadi, barang siapa yang meninggalkan
madzhab sedangkan ia belum mampu melakukan ijtihad, maka termasuk bid’ah yang sesat.

B. Saran

Perbedaan pendapat sebaiknya tidak harus terjadi dalam umat Islam. Perbedaan
pendapat seharusnya mapat disatukan. Sebenarnya bukan idealisme seperti ini  yang dituntut.
Tetapi tenggang rasa, saling pengertian, dan menghargai pendapat yang berkembang.
Seseorang tidak boleh mengklaim, hanya pendapatnya sendiri yang benar sedang pendapat
orang lain salah dan dicampakkan.

Anda mungkin juga menyukai