Anda di halaman 1dari 8

Nama : Mohammad Ishak (181210113)

kelas : 7c (Pondok)
Kuis : Perbandingan Agama
1. biograafi imam syafi’i

Nama lengkap Imam Syafi’i dengan menyebut nama julukan dan silsilah
dari ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin
As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdul Manaf
bin Qusayy bin Kilab. Nama Syafi‟i diambilkan dari nama kakeknya, Syafi’i dan
Qusayy bin Kilab adalah juga kakek Nabi Muhammad SAW. Pada Abdul Manaf
nasab Asy-Syafi‟i bertemu dengan Rasulullah SAW.1 Imam Syafi‟i dilahirkan
pada tahun 150 H, di tengah-tengah keluarga miskin di palestina sebuah
perkampungan orang-orang Yaman.2 Beliau wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam
mendidik beliau. Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam
buaian. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah agar dapat hidup bersama
orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam
Syafi’i, yaitu:
a.   Sewaktu Imam Syafi’i dalam Kandungan.
Ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnys dan
terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan
menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan
melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.
b. Pada hari Imam Syafi’i Lahir
Ada dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di Baghdad
yaitu Imam Abu Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky.
Dengan peristiwa tersebut, orang-orang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan
bahwa ini suatu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang
meninggal dalam kemahiran dalam urusan pengetahuan.

1
 Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
Pusat ilmu pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak
(Kuffah), Syam dan Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam
menuntut ilmu pengetahuan khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai
dengan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar
membaca al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthein dan dalam usia 9 tahun beliau
telah dapat menghafal al Qu’an 30 juz.
Imam Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab klasik, sehingga
sewaktu-waktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah
Hudzail, dan lain-lain. Terkadang beliau tinggal lama di kabilah tersebut untuk
mempelajari sastra Arab, sehingga akhirnya Imam Syafi’i mahir dalam
kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari Imrun al Qais, syair
Zuheir dan Syair Djarir.
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid
az Zanniy, seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam usia
10 tahun beliau mampu menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu kitab
al Muwatha’. Karena kepandaiannya, dalam usia 15 tahun beliau diberi izin oleh
gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram tentang hukum-hukum yang
bersangkutan dengan agama. Beliau juga belajar ilmu hadits kepada Imam Sufyan
bin Uyainah.
Setelah beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah
untuk belajar kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau
juga menyempatkan diri untuk pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan
penduduk dan juga pergi ke Makkah untuk bertemu dengan ibunya untuk
meminta nasihat. Dengan belajar ilmu pengetahuan kepada Imam Malik, beliau
mendapat banyak kenalan dari ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk
belajar kepada Imam Malik.
Setalah 2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kuffah dan
Baghdad), dimana beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli fiqih dan
ahli hadits yang berada di Irak.
Sampai di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat almarhum Imam
Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana

2
Imam Syafi’i sering bertukar fikiran dan diberi pengetahuan tentang agama oleh
beliau berdua. Dalam kesempatan ini, Imam Syafi’i dapat mengetahui cara-cara
atau aliran fiqih dalam madzhab Hanafi yang agak jauh bedanya dengan cara-cara
atau aliran fiqih dalam madzhab Maliki. Imam Syafi’i ketika itu dapat mendalami
dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Beliau tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke Persi,
Anadholi (Turki), dan ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau banyak
menjumpai ulama’ baik Tabi’in maupun Tabi’-tabi’in. Pada kesempatan ini beliau
mengetahui adat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, hal ini nantinya membantu
beliau dalam membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i.
Sesudah 2 tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan
kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah
kagum dengan ilmu Imam Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam
Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya. Imam Maliki memberi
izin kepada Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh, artinya
tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran
Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri.

2. Sejarah Munculnya Mazhab Imam Syafi’i


Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan
fahamnya begitu dalam dan tajam serta mendapatkan izin dari gurunya yaitu
Imam Maliki untuk memberi fatwa dalam fiqih sesuai dengan dasar madzhabnya
sendiri, beliau mulai berijtihad dalam menentukan hukum Islam terlepas dari
fatwa-fatwa gurunya baik Imam Maliki maupun Imam Hambali.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i sebelum melawat ke Irak adalah
termasuk salah seorang ulama’ pengikut madzhab Maliki karena beliau banyak
mendapatkan ilmu pengetahuan dari Imam Maliki. Beliau mengajarkan kitab al
Muwatha’ karangan Imam Maliki kepada para ulama’ yang datang berkunjung
dari luar Madinah. Dan setelah beliau melawat ke Irak, beliau mengajarkan
kitab al Ausath karangan Imam Hanafi serta mempelajari aliran madzhabnya.
Setelah beliau melawat ke Irak, beliau menemui beberapa peristiwa yang
baru. Kemudian beliau menyesuaikan pendapat-pendapatnya mengenai hukum

3
dengan beberapa peristiwa baru tersebut. Setelah sekitar 2 tahun di Irak, beliau
melawat ke Mesir dan menetap disana, lalu timbul pula daripadanya beberapa
perubahan dari pendapat-pendapatnya yang lama ketika di Irak. Kemudiian beliau
menyesuaikan pendapatnya dengan beberapa peristiwa yang baru yang ada di
Mesir.
Pada umumnya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, para penduduk di
kala itu merupakan pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian
setelah beliau mengajarkan pendapatnya yang baru di masjid Amr bin Ash, maka
mulai berkembanglah aliran madzhab beliau di Mesir.
Jadi pada mulanya berkembangnya madzhab Syafi’i ialah di Mesir. Kemudian
berkembang pula di Irak dan mendapat kemajuan di Baghdad.

3. Metodologi Dan Sumber Sumber Pengambilan Hukum Imam Syafi’i


Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika
kecuali terbatas pada Qiyas saja. Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i
menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah
ijtihadnya adalah sebagai berikut :
a. Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa
yang dimaksud bukan dhahirnya.
b. Sunnatur Rasul
c. As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan,
kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak
mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela
Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
d. Ijma’ menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan pada
hukum yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah
terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
e. Qiyas, beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah.
f. Istdlal. As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqih
ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang
yang sukar dipatahkan hujjahnya.

4
4. Peta Penyebaran Mazhabnya
a. Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang
fiqih. Setelah meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan
tahun. Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia
ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya
dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia
lakukan. Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits
yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus
mengunggulkan satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya.
Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan
sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana
kedudukan hadits di sisi al-Qur’an  kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam
Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan
Abdurrahman al-Mahdi.
b. Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di
sana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai
mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat
dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai
mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya.
Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
c. Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir
pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di
sanalah Imam Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang
kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki
bebeerapa ingkatan: pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap
valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan,

5
baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu sahabat
lain yang menentangnya. Keempat,  sesuatu yang telah disepakati oleh para
sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa
dijadikan referensi, selama ada al-qur’an dan hadits.

5. Guru Imam Syafi’i


Imam Syafi’i dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”.
Maka sebab itu bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu
pengetahuan kepada orang-orang yang dipandangnya mempunyai keahlian
tentang ilmu yang sedang dituntutnya.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di Makkah, yaitu
Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan bin
Uyainah; dan ketika di Madinah, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak hanya
berguru kepada para ulama’ di kota Makkah dan Madinah, tetapi juga berguru
kepada ulama di negeri lainnya.
Demikian banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin
disebutkan satu-persatu, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut nama-
nama ulama’ yang pernah menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab “Musnad
Imam Asy Syafi’i”.

6. Qaul Qadim dan Qaul Jadid


Ahmad Amin (II, t.th:231) menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat
as-syafi’i menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadimadalah pendapat as-
syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkanqaul jadid adalah
pendapat imam as-syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam
Syafi’i tinggal di irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia belajar
kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat Ulama Irak yang termasuk
ahlu ra’yi. Di antara ulama irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i
dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad Ibn Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani,
dan Abu Tsaur.

6
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal di sana . di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada )
ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah
penurus fikih ulama Madinah yang dikenal  sebagai ahli hadits . karena perjalanan
intelektualnya itu, imam as-Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang
kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat
imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya
yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i
mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir
yang tergolong ahlu hadits.ada yang mengatakan bahwa pendapat imam Syafi’i
yang didektekan dan ditulis di Irak disebut qaul qadim.
Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak
dari perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits,
pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak
dan di Hijaz . dan diantara pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim  mengatakan orang
yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul
jadid  mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena
lupa  adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul
qadim mengatakan bahwa seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir.
Sedangkan qaul jadid mengatakan  bahwa seseorang  tidak dibolehkan tayamum
dengan pasir.

7. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i


Imam Syafi’i selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau
adalah seorang pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam.
Adapun kitab-kitab karangan beliau yang paling masyhur menurut riwayat yang
hingga kini masih tercatat adalah sebagai berikut:
a) Kitab Ar Risalah
Kitab ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i
mengarang dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-

7
hukum dari al Qur’an dan Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’ dan
Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady.
b) Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini
menunjukkan kealiman dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena susunan
kalimatnya yang tinggi dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji kalau
dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqih. Tepatlah
kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang sebenarnya.
c) Wafatnya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin
Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i Rahimahullahu berpulang
kerahmatullah sesudah menunaikan ibadah shalat maghrib, petang Kamis malam
Jumat, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari Jumat. Sorenya
kami lihat hilal bulan Sya’ban 204”.

Anda mungkin juga menyukai