Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang

RADHA'AH DAN HADHANAH

DI

SUSUN OLEH

SULVANDI

RIMA SAFITRI

RISKI AKBARINA

Dosen Pengampu: Dr. H. Saifunnajar,MH

NIDN: 2031126008

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

PRODI S1 HUKUM TATA NEGARA ( SIYASAH SYARI’IYYAH )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI ( STAIN ) BENGKALIS

Tahun Akademik 2021/2022

0
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya lah kami mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah "fikih munakahat"

Ada pula tujuan dari penyusunan dari makalah ini merupakan untuk memenuhi
tugas mata kuliah "Fikih Munakahat". Tidak hanya itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambahkan pengetahuan tentang Hadhanah dan radha'ah kepada para
pembaca dan serta kepada penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak selaku Dosen Pengampu mata kuliah Fikih
Munakahat yang telah memberi arahan kepada kami sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Tak lupa juga kami ucapkan terima kaish kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan nya kepada kami sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini.

Tetapi demikian makalah ini masih jauh dari kata sempurna, seluruh kritik serta
anjuran yang bertabiat membangun karya tulis ini sangat kami harapakan buat
dimasa yang akan datang.

Bengkalis, 31 Oktober 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... 1

DAFTAR ISI................................................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................. 3

A. Latar Belakang................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN................................................................................................... 4

A. Radha'ah......................................................................................................... 4
1. Pengertian radha'ah.................................................................................. 4
2. Hal-hal yang dapat di haramkan radha'ah................................................ 5
3. Dasar Hukum Radha'ah............................................................................. 7
4. Rukun Dan Syarat Radha'ah...................................................................... 7
B. Hadhanah....................................................................................................... 9
1. Pengertian Hadhanah............................................................................... 9
2. Dasar Hukum Hadhanah........................................................................... 9
3. Rukun Dan Syarat Hadhanah................................................................... 10

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................... 11

A. Kesimpulan.................................................................................................... 11
B. Saran.............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 12

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

radha’ah merupakan sebab terjadinya hubungan mahram, karena air susu dari
seorang perempuan merupakan bagian dari dirinya. Ketika air susu tersebut sampai
pada seorang bayi, maka air susu tersebut akan menjadi bagian dari si bayi. Hal ini
karena air susu dari seorang wanita serupa dengan mani dan darah haidnya. Maka
dengan demikian diharamkan diantara keduanya untuk menikah, dan dibolehkan
untuk melihat dan berkholwat, juga tidak batalnya wudu’ mereka dengan sebab
menyentuh satu sama lain.

Sedangkan Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik


anak hingga Dewasa atau mampu berdiri sendiri. 1Sedangkan pemeliharaan anak
dalam Islam adalah hadhanah, sedangkan secara etimologis, hadhanah ini berarti “di
samping atau di bawah ketiak”. Dan secara terminologi, hadhanah adalah merawat
dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kurang mampu
kecerdasan nya, karena mereka tidak atau mampu memenuhi kebutuhan nya
sendiri.2

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Hadhanah dan radha'ah?


2. Bagaimna dasar hukum tentang Hadhanah dan radhanah?

1
Abdurrahman, 2004, “Kompilasi Hukum Islam Di Iindonesia”, Jakarta:

Akademika Presindo, Hlm. 113.

2
Dahlan Abdul Azis, 1999, “Ensiklopedi Hukum Islam”, Jakarta: Ikhtiar Baru Van

Hoepe, Hlm. 415.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Radha'ah

1. Pengertian Radha'ah

radha’ah (bisa dibaca ridho’ah) secara bahasa merupakan sebutan bagi


menghisap puting susu dan peminuman susu yang keluar darinya. Dan secara istilah
rodho’ah ialah nama bagi sampainya air susu seorang perempuan atau sesuatu yang
dihasilkan dari susu tersebut terhadap tenggorokan (jauf) seorang anak kecil. Maka
dari itu, karena adanya hubungan yang seperti demikian antara seorang perempuan
dan anak yang disusuinya maka timbullah hubungan mahram diantara mereka
berdua.3

Contoh sebagaimana yang terdapat didalam firman Allah berikut.

َ ْ‫[ } َوأُ َّمهَاتُ ُك ُم الالتِي أَر‬23 :‫]النساء‬


َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَ َخ َواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر‬
{‫ضا َع ِة‬

“dan diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu yang menyusuimu dan saudara-
saudara perempuan sepersusuan”(QS.An-Nisa’:23)

radha’ah merupakan sebab terjadinya hubungan mahram, karena air susu dari
seorang perempuan merupakan bagian dari dirinya. Ketika air susu tersebut sampai
pada seorang bayi, maka air susu tersebut akan menjadi bagian dari si bayi. Hal ini
karena air susu dari seorang wanita serupa dengan mani dan darah haidnya. Maka
dengan demikian diharamkan diantara keduanya untuk menikah, dan dibolehkan
untuk melihat dan berkholwat, juga tidak batalnya wudu’ mereka dengan sebab
menyentuh satu sama lain.

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan radha’ah atau susuan.


Menurut Hanafiyah radha’ah adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara
seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan
radha’ah adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi.
As-Syafi'iyah mengatakan radha’ah adalah sampainya susu seorang perempuan ke
dalam perut seorang bayi. Al-Hanabilah mengatakan radha’ah adalah seorang bayi di
bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat
kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. 4

3
https://redaksimanahij.blogspot.com/2018/10/makalah-hadhanah-radhaah-disusun-untuk.html di akses pada
31 Oktober 2021

4
Allah swt. Berfirman mengenai hubungan muhrim ahram karena persusuan :

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibymu; anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.”
(An-nisa’:23).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa, ibu susuan posisinya sama dengan ibu
kandung. Anak susuan haram menikahi ibu susuannya berikut keturunannya
sebagaimana dia diharamkan untuk menikahi keturunan ibu kandungnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi
berdasarkan hubungan persusuan adalah senbagai berikut.

a) Ibu susuan (perempuan yang menyusui), karena posisinya sam dengan ibu
bagi anak yang disusuinya.
b) Ibu dari ibu susuan, karena statusnya sebagai nenk bagi anak yang disusui.
c) Ibu dari suami ibu susuan (mertua ibu susu, red), karena dia juga nenek bagi
anak yang disusui.
d) Saudara perempuan ibu susu, karena dia menjadi bibi baginya.
e) Saudara perempuan dari suami ibu susuan.
f) Anak keturunan ibu susuan, baik dari pihak anak laki-laki maupun perempuan
(cucu, dan seterusnya dengan anak-anak mereka.
g) Saudara perempuan satu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan
maupun dari salah satunya.

2. Hal-hal yang dapat di haramkan radha'ah

a. Jumlah Penyusuan yang Menjadikan Haram Dinikahi.

Dari Aisyah RA, dia menceritakan: “Di antara ayat-ayat yang diturunkan dalam
Al Qur'an adalah 10 kali penyusuan yang di maklumi mengharamkan (orang yang
menyusui dan disusui menikah), kemudian dinaskh (dihapuskan) dengan lima kali
penyusuan yang dimaklumi. Lalu Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut masih
tetap dibacakan sebagai ketetapan al-Qur’an.” (HR. Muslim dan Ibn Majah).

Maksudnya adalah, di dalam al-Qur’an pernah disebut bahwa sepuluh kali


penyusuan itu menjadikan haram menikah anatar orang yang menyusui dengan anak
yang disusui. Kemudian dinaskh dengan lima kali penyusuan. Yang berarti lima kali
penyusuan menjadikan orang yang menyusui anak yang disusui haram menikah. Dan

4
Cholil Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern (Surabaya: Ampe 9Suci, 1994

5
lima kali penyusuan itu tetap dibaca sebagai ketetapan al-Qur’an ketika Rasulullah
wafat. Bahwa naskh dengan lima kali penyusuan itu turunnya belakangan, sampai
Rasulullah wafat dan sebagian orang membaca “lima kali penyusuan” dan
menjadikannya sebagai bagian dari al-Qur’an, karena mereka belum mengetahui
adanya naskh, maka merka pun meninggalkannya dan sepakat bahwa hal tersebut
tidak lagi dianggap sebagai ketetapan al-Qur’an.

Pertama, naskh terhadap hukumnya dan sekaligus bacaannya sebagai “sepuluh


kali penyusuan” menjadi “lima kali penyusuan”. Kedua, yang dinaskh hanyalah
bacaannya saja dan tidak pada hukumnya sebagai “lima kali penyusuan”, seperti
halnya dua orang yang sudah lanjut usia berzina maka kedua nya tetap di rajam.
Ketiga yang di nasakh hanya hukum nya saja dan bacaan nya tetap berlaku.

disusui).” (HR, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).

b. Diperbolehkan Kesaksian Wanita yang Menyusui.

Kesaksian wanita yang menyusui seorang diri dapat diterima. Sebagian ulama
yang lain mengatakan, “Kesaksian wanita seorang diri tidak diperbolehkan kecuali
dengan menyertai pihak lain. “yang demikian merupakan pendapat Imam Syafi’i.
sedangkan Imam Waqi’ berpendapat: “Kesaksian seorang wanita seorang diri tidak
diperbolehkan dalam masalah hukum, tetapi dikecualikan dalam hal penyusuan.”

Para ulama penganut Madzhab Hanafi berpandapt, bahwa kesaksian dalam hal
penyusuan harus diberikan oleh dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua
orang wanita. Tidak diterima kesaksian yang diberikan kaum wanita saja.

Adapun menurut Imam Malik: “kesaksian dua orang wanita dapat diterima
dengan syarat tersebarnya ucapan keduanya tersebut sebelum memberikan
kesaksian.” Dengan menggunakan hadits di atas sebagai hujjah, Thawus, Az-Zuhri,
dan sebuah ayat dari imam Ahmat berpendapat bahwa kesaksian wanita seorang diri
dalam hal penyusunan dapat di terima.

c. Air Susu Seorang Wanita yang Bercampur Dengan Pemberian Makanan Lain

Jika air susu seroang wanita dicampur dengan makanan, minuman, obat, susu
kambing atau yang lainnya, lalu diminum oleh yang disusui, maka jika yang lebih
banyak adalah susu wanita tersebut, maka diharamkan keduanya (yang menyusui
dan yang di susui) menikah. Tetapi jika yang lebih banyak bukan susu wanita
tersebut maka tidak di haramkan bagi kedua nya menikah. Demikian itu Mazhab
yang di kemukakan Hanafi.

Seorang oenganut madzhab Maliki, Ibn Qasim mengatakan: “Jika air susu ibu
dituang ke dalam air atau yang lainnya, kemudian diminumkan kepada bayi, maka
yang demikian itu tidak mengakibatkan haram menikah antara keduanya.”

6
Imam syafi’I, Ibn Habib, Mutraf, Ibn Majsyun dan salah seorang sahabat Imam
Maliki mengatakan: “Bahwa demikian itu menjadikan orang yang menyusui dan yang
disusui dengan susu tersebut haram menikah. Sebagaimana jika susu itu murni
( tidak di campur) atau di campur tapi tidak mengalami perubahan.

d. Usia Anak Susuan yang Menyebabkan Haramnya Pernikahan

Anak susuan yang diharamkan untuk menikahi ibu susuan dan keluarganya
adalah anak yang menyusu pada dua tahun pertama dari usianya yang merupakan
masa persusuan sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an. Allah swt
berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah:223).

Sebab, pada usia dua tahun pertama, usia anak masih kecil dan air susu sudah
cukup baginya yang membantu pertumbuhannya, sehingga anak tersebut menjadi
bagian dari diri perempuan yang menyusuinya. Karena itu, dia menjadi muhrim bagi
perempuan yang menyusuinya, juga anak-anaknya.

Ibn ‘Adi meriwayatkan dari Ibn Abbas ra., Dia berkata, “Tidak ada persusuan
kecuali (sebelum) usia dua tahun.”

Ada juga riwayat lain yang marfu’ kepada Rasulullah saw bahwasannya beliau
bersabda: “Tidak disebut persusuan, kecuali yang dapat menguatkan tulang dan
menumbuhkan daging.” HR Abu Daud.

Kondisi diatas (sebagaimana yang disebut dalam hadits, red) tidak terjadi
kecuali usia anak di bawah dua tahun, di mana pada usia itu pertumbuhan anak
masih usia anak di bawah 2 tahun. Di mana pada masa itu usia anak masih
bergantung pada air susu. Menurut abg Hanafiah dan Syafi'i dalam hal ini maka hal
ini mengharamkan pernikahan, Pendapat ini berdasarkan pada hadits Rasulullah saw
:

“sesungguhnya persusuan dapat menghilangkan rasa lapar".

3. Dasar hukum radha'ah

‫اس س ُٰك ٰرى َو َما هُ ْم بِس ُٰك ٰرى‬


َ َّ‫ت َح ْم ٍل َح ْملَهَا َوتَ َرى الن‬
ِ ‫ض ُع ُكلُّ َذا‬ ْ ‫ض َع‬
َ َ‫ت َوت‬ ِ ْ‫يَوْ َم تَ َروْ نَهَا ت َْذهَ ُل ُكلُّ ُمر‬
َ ْ‫ض َع ٍة َع َّمٓا اَر‬
‫اب هّٰللا ِ َش ِد ْي ٌد‬
َ ‫َو ٰل ِك َّن َع َذ‬

"(Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua


perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan
setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi
azab Allah itu sangat keras."

7
4. Rukun dan syarat Radha'ah

Didalam hukum rodho’ah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,


terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus terpenuhi agar seseorang bisa
disebut memiliki hubungan persusuan yang yang nantinya akan dihukumi memiliki
hubungan mahram dengan yang lainnya. Berikut adalah pemaparan beberapa rukun
yang dijelaskan oleh Al-Imam Taqiyyudin Abu bakar bin muhammad Al-Husainiy
didalam kitabnya yang berjudul kifayatul akhyar.

1. Murdli’ah (orang yang menyusui)


Didalam rukun murdli’ah terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi agar
menjadi satu rukun yang utuh diantara rukun-rukun rodhoah. Antara lain
a. Murdli’ah adalah seorang perempuan Apabila yang menyusui bukan
seseorang perempuan maka tidak terjalin hubungan mahram.
b. Murdli’ah adalah perempuan yang masih hidup. Apabila perempuan yang
menyusui sudah mati maka tidak terjalin hubungan mahram.
c. Murdliah adalah seorang yang berpotensi untuk hamil, maksud dari
berpotensi disini ialah seorang wanita yang umurnya telah menginjak usia
haid, meskipun dia belum baligh, baik seseorang yang perawan maupun
janda, baik seseorang yang bersuami maupun tidak.
2. Laban (Susu)
Didalam rukun yang kedua ini tidak disyaratkan ketika sampainya susu pada
seorang harus tetap seperti asalnya, maka apabila air susu tersebut
mengalami perubahan seperti berubah menjadi asam, menjadi keras atau
berubah menjadi keju ataupun busa dan kemudian bayi itu memakannya
maka hal tersebut tetap bisa mengakibatkan hukum mahram karena
masuknya susu pada perut si bayi dan menghasilkan taghaddi(memiliki
sumber energi) bagi si bayi. dan disyaratkan dalam hal ini agar bayi tersebut
meminumnya sebanyak lima kali.
3. Ash-shobi (Anak kecil)
Didalam rukun yang ketiga ini didalam menyikapi keberadaan si bayi maka
diberilah tiga qoyyid(batasan) yang harus terlaksana agar bisa menjadi satu
rukun yang utuh. Qoyyid tersebut antaralain:
a. Masuknya susu pada perut si bayi baik dengan cara menyusu, memeras,
mengalirkan, bahkan menuangkan melewati hidungnya kemudian sampai
pada perutnya maka tetap akan mengakibatkan hubungan mahrom
b. Bayi tersebut masih belum mencapai umur dua tahun “tidak ada
hubungan rhodho’ kecuali ketika bayi berumur dua tahun”
c. Bayi yang menyusui merupakan bayi yang hidup. Apabila air susu tersebut
masuk ke perut bayi yang sudah mati maka tidak akan berpengaruh
terhadap hukum mahram. Kemudian mengenai syarat dari radla’ yang
dapat menimbulkan hukum mahram yaitu dengan lima kali susuan ini

8
merupakan pendapat imam syafi’i dan merupakan pendapat yang benar.
Dan ada juga yang berpendapat sampai tiga kali susuan dan ada pula yang
mengucapkan satu kali susuan.

B. Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Hadhonah secara bahasa ialah lambung karena orang yang mengasuh


anak(bayi) akan menaruh anak tersebut disamping lambungnya dan masa
perawatannya akan usai setelah anak kecil tersebut mencapai batas tamyiz. Adapun
setelah anak tersebut mencapai batas tamyiz hingga baligh maka perawatannya
tidak dinamai sebagai hadhonah lagi melainkan sebagai kafalah sebagai mana yang
dikatakan oleh imam mawardi. Adapun selain mawardi maka tetap menyebutnya
sebagai hadhonah.

Secara istilah hadhonah memiliki arti menjaga seseorang yang tidak bisa
melakukan pekerjaan-pekerjaannya sendiri dan juga mendidik orang tersebut
mengenai sesuatu-seuatu yang seharusnya ada padanya. Dalam hal ini seorang
perempuan lebih berhak terhadap anak kecil itu karena seorang wanita lebih
memiliki rasa kasih sayang dan juga lebih terarah dan lebih sabar didalam hal
mendidiknya dan lebih cocok terhadap seorang anak kecil. Dan hal ini sesuai dengan
hadits yang menjelaskan mengenai pengasuhan terhadap anak yang kedua orang
tuanya bercerai.

Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang
sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah
dalam arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih
lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan
istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan ayah dan
ibu nya.

2. Dasar hukum hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai
anak dan istri dalam firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :

ِ ۗ ْ‫َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف‬

9
“Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan
istrinya”5

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan
ibu masih terikat dalam pernikahan saja, namun juga berlanjut setelah bercerai.

3. Rukun dan Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuh anak itu berlaku antara dua unsure yang menjadi
rukun dalam hukumnya, yaitu orangtua yang mengasuh yang disebut hadhin dan
anak yang diasuh atau madhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan
untuk wajib dan sahnya tugas pengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan
ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu.
Setelh terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, makan ibu dan ayah
berkewajiban memelihara anak nya secara sendiri-sendiri. Ayah dan ibu sebagai
pengasuh di isyaratkan sebagai berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenal kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena
tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan
agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam
dikhawatirkan anak yang diasuhkan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa
besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq
yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya
rendah tidak dapat diharapkanh untuk mengasuh dan memelihara abak yang
masih kecil.
5. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka
membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya
6. Amanah

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :

1. Anak masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Anak berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karna itu tidak
dapat berbuat sendiri.

5
https://m.merdeka.com/quran/al-baqarah/ayat-Di akses pada 31 Oktober 2021

10
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh
tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara
ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi
hak piih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya.
Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya IMAM Ahmad dan Syafi’iy.

Hak pilih diberikan kepada anak apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana
disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si
anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua : si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot walaupun
sudah dewasa dalam ia tetap dalam pengasuhan ibu nya, dan tidak ada hak pilih
untuk anak.

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya
memenuhi syarat yg ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang
berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama adalah :

1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan
ibu, kemudian.
2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat
ayah.
3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya keatas.
4. Saudara perempuan ibu
5. Saudara perempuan ayah

Lain dari urutan yang disebutkan diatas ulama tidak sepakat dalam keutamaan
haknya. bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada
siapa hak hadhanah itu beralih, menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian
ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibu ibunya
merupakan cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya.
Perndapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan
haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibu ibunya, karena kedudukan ayah dalam
hal ini lebih jauh urutannya.

Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya
untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ada
perempuan lain yang dapat di terima si anak.

11
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil akhir penulisan makalah yang di buat oleh penulis maka dapat di
sempulkan bahwa pemeliharaan anak dalam Islam adalah hadhanah, sedangkan
secara etimologis, hadhanah ini berarti “di samping atau di bawah ketiak”. Dan
secara terminologi, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum
mumayyiz atau yang kurang mampu kecerdasan nya, karena mereka tidak atau
mampu memenuhi kebutuhan nya sendiri.

Radha'ah ialah nama bagi sampainya air susu seorang perempuan atau sesuatu yang
dihasilkan dari susu tersebut terhadap tenggorokan (jauf) seorang anak kecil. Maka
dari itu, karena adanya hubungan yang seperti demikian antara seorang perempuan
dan anak yang disusuinya maka timbullah hubungan mahram diantara mereka
berdua.

B. Saran

Dengan adanya pembahasan ini di harapkan pembaca dapat memahami lebih lanjut
tentang hadhanah dan radha'ah dan dapat memanfaat kan nya dalam kehidupan
sehari hari. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan
makalah ini, untuk itu sangat di butuhkan saran dan kritikan dari pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Cholil Uman, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern (Surabaya:
Ampe 9Suci, 1994

https://redaksimanahij.blogspot.com/2018/10/makalah-hadhanah-radhaah-disusun-
untuk.html di akses pada 31 Oktober 2021

13

Anda mungkin juga menyukai