Anda di halaman 1dari 31

KAIDAH-KAIDAH YANG DI SEPAKATI

KAIDAH SATU SAMPAI SEPULUH DAN APLIKASINYA


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Qawaid Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Sayful Mujab, M.Si

Disusun Oleh :
1. Mortini

(1320310103)

2. Eli Nur Farida

(1320310104)

3. Ema Andriyani

(1320310105)

4. M. Ali Imron

(1320310106)

5. Luqman al hakim

(1320310107)

6. Jamaluddin

(1320310108)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS


JURUSAN/PRODI SYARIAH ( MBS )
TAHUN AKADEMIK 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu
kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas
syariah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah.
Maka

dari

itu,

menerangkan

kami

tentang

selaku

penulis

kaidah-kaidah

mencoba
fiqh,

mulai

untuk
dari

pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari


kaidah-kaidah fiqh.
Dengan

menguasai

kaidah-kaidah

fiqh

kita

akan

mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena


kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh,
dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan
yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya
dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem
yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Ke satu Dan Aplikasinya
1. Pengertian Ijtihad dan Teori Status Ijtihad
Ijtihad adalah bahasa arab yang menurut asalnya diambil dari aljahd dan al-juhd yang artinya sama dengan kata al-masyaqqah yang
artinya kesuliyan dan kesusahan, atau kata al thohaqoh

yang artinya

kemampuan atau kesanggupan.

Ijtihad itu tidak boleh dianulir dengan ijtihad yang lain

Maksudnya ijtihad yang terdahulu itu tidak boleh dibatalkan


dengan ijtihad yang datangnya kemudian, sebab produk hukum yang telah
dihasilkannya sudah memiliki kekuatan hukum yang konstan, bahkan
sekali hukum itu terbangun berdasrkan ijtihad eksistensinya sudah diakui,
sehingga setatusnya tidak berubah atau dianulir oleh hasil ijtihat yang
baru.
Dengan demikian, ijtihad yang telah dilakukan pada suatu tempat atau
pada suatu waktu yang terdahulu, tidak boleh dibatalkan oleh hasil ijtihad
ditempat atu waktu lain. Hal ini disebabkan adanya hal-hal sebagai
berikut:
a. Ijtihad yang kedua tidak lebih kuat daripada ijtihad yang pertama
b. Jika ketetapan hukum hasil ijtihad hasil terdahulu dibatalkan oleh hsil
ijtihad yang lain, maka akan berakibat tidak adanya ketetapan
hukum,sebab yang terjadi adalah merantai ijtihad terdahulu dibatalkan

oleh hasil ijtihad skarang kemudian dibatalkan oleh ijtihad besok dan
seterusnya, sehingga terjadilah kekacauan besar yang menyulitkan.
Oleh sebab itu, jika pengadilan sudah memutuskan hukum
terhadap suatu pristiwa, lalu pada kesempatan berikutnya memberikan
ketentuan hukum yang lain,padahal pristiwanya sama maka hasil
keputusan yang baru tidak boleh merububah keputusan yang terdahulu dan
yang baru hanya berlaku pada peristiwa saat itu.1
2. Dasar Hukum kaidah Ke 1
Adapun dasar hukum pijakan kaidah ini nash adalah banyak sekali,
baik yang dinyatakan Nash secara lansung dan jelas, maupun bardasrka
isyarah diantarnya ialah:
a. Alquran, diantaranya ialah:

Sungguh kami kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat
menghukumi di antara manusia dengan perkara yang allah
mengetahui kepadamu, (QS.an-nisa:105)
b. Al- hadist
HR. Turmudzi dari Abu Hurairah

Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia


mendapatkan

dua

pahala,

tetapi

jika

salah

maka

baginya

mendapatkan satu pahala.

1 M. Mashum Zainy Al-Hasyimiy, Pengantar Memahami Nadzom AlFaroidul Bahiyyah Juz 1, Jawa Timur, Darul Hikmah, Hal 187

c. Ijmak sahabat
1) Riwayat ibnu al-sibah
Sesungguhnya abu baka ra memberikan keputusan hukumpada
beberapa masalah, lalu dimasa khalifah umar ra diperselisihkan dan
baliau umar tidak memperselisihkan keputusan abu bakar dan tetap
mengakuinya
2) Khalifah umar pernah membarikan keputusah hukum dua kali
dalam masalah pembagian harta warisa yang musyitarokah yang
berbeda, dimana keputusan pertama berbeda dengan keputusan
kedua.2
3. Pengecualian Kaidah Ke 1
Telah dapat diketahui bersama bahwa setiap keputusan hukumyang
telah dihasilkan melalui proses ijtihat itu adalah suatu yang tidak dapat
diubah padahal hakikatnya tidaklah demikian sebab dalam realitasnya
ditemukan adanya hasil ijtihad yang dalam batas-batas tertentu bisa saja
dirubah.
Dengan demikian kasus-kasus yang bisa dikecualikan dari prinsipprinsip yang terkandung dalam Kaidah pertama ini adalah sebagai berikut:
a. Kasus Mengamandemen atau merubah kebijakan pablik yang
dilakukan oleh pemerintah tedahulu.
Contoh:
Kebijakan pemda tentangpenggunaan tanah bengkok desa sebagai
tanah pasar atau tanah alun-alun. Lalu setelah terjadi pergantian
kepemimpinan, kebijakan tersebut dianulir/dirubah oleh pemimpin
baru dengan alasan bahwa kebijakan tersebut sudah tidak sesua lagi
dengan

kebutuhan

masyarakat

banyak,

perubahan

tersebut

diperbolehkan dengan pertimbangan kemaslahatan sebab kemaslahatan


merupakan suatau hal yang sifatnya relatif dan selalu mengalami
perubahan dengan berjalannya waktu dan perbedaan tempat.
b. Kasus Qisamul Ijbari
2 Ibid, hal 188-189

Contoh:
Kasus pedagan besr yang bangkrut dituntut oleh kedua koleganya,
supaya segera melunasi hutangnya kepeda mereka dimana masingmasing sebesar Rp 5.000.000 tetepi hrta yang dimilikinya Rp
3.000.000 kemudia hakim memutuskan kasus ini dengan cara qiasmul
ijbar.
Sehingga masing-masing mendaoatkan bagian Rp 1.500.000 setelah
menjadi keputusan datang lagi koleganya membawa bukti yang sah
pedagang tersebut juga memiliki hutang kepadanya dan menuntut
segera dilunasi. Dari kasus inilah hakim boleh merubah keputusan
terdahulu dengan cara membaginya menjadi 3 bagian aakhirnya
masing-masing mendapatkan Rp 1.000.000
c. Kasus al- Taqwim(penetapan harga)
Contoh:
Kasus seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan harta
sebuah rumah mewah, beberapa mobil mewah, dan beberapa sawah
lalu semua harta peninggalan ditaksir dikalkulasikan, sehingga masingmasing mereka mendapatkan bagian sesua ketentuan syariah. Ternyata
ada ahli waris yang mendapatkan bagian lebih dan adapula yang
mendapatkan kurang. Jika demikian, pembagian tersebut boleh
dilakukan ulang dan bahkan boleh dilakukan perubahan, sehingga
bagian mereka masing-masing benar-benar tepat tanpa ada yang
merasa mendaptkan kurang dan mendapatkan lebih.3
4. Faktor terjadinya pembatalan suatu ijtihad
Telah dapat diketahui bersama bahwa faktor yang menjadi
penyebab diperbolehkannaya pengnulir ijtihad pertama dengan ijtihatd
baru adalah pertimbangan kemaslahatan umum sebagaimana contoh dalam
kasus fungsi lahan bengkok desa untuk kepentingan umum.

3 Ibid, hal 192-194

Selain pertimbangan kemaslahatan ijtihad bisa dianulir bahkan


dibatalkan disebabkan adanya keputusan hukum yang dihasilkan itu tidak
sesuai dengan hal-hal berikut:
a. Ketentuan nash qothiy
b. Ketetapan hukum yang tidak sesui dengan ketentuan hukum yang telah
disepakati bersama sebagai ijma
c. Ketentuan hukum yang tidak sesuai dengan qiyas jaily
d. Ketetapan hukum yang tidak ada landasan hukumnya
e. Keputusan hakim yang benar-benar tidak memiliki landasan dalil
pendukung
5. Status syarat dan nash dlam penganuliran ijtihad
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya penganuliran
ijtihad, dapat dilihat dari adanya hal-hal sebagaimana yang terdapat
dibawah berikut ini
a. Seorang yang telah menyalahi apa yang tlah disyaratkan oleh wakif
sama halnya dengan menyalahi ketentuan syariah atau nash.
b. Termasuk juga keputusan yanga salah adalah keputusan hakim yang
menyalahi pendapat yang telah disepakati empat madzhab sama halnya
dengan keputusan yang menyimpang dari ijmak mereka para imam
madzhab.4
B. Kaidah Kedua Dan Aplikasinya
1. Teori Dominasi Haram

Jika halal dan haram berkumpul, maka yang diprioritaskan adalah yang
haram

Maksudnya jika dalam suatu kasus ditemukan pengumpulan


antara halal dan haram, harus diutamakan adalah yang haram sekalipun
4 Ibid, Hal 194-196

dalam realitas hidup bermasyarakat bercampurnya kedua hal tersebut


sulit untuk dihindari baik kontruksi pribadatan maupun bertransaksi.
2. Landasan Hukum Kaidah Kedua
Adapun dasar pijakan dari teori ini adalah sbda nabi saw. sebagai
berikut:

Tidakalah berkumpul halal dengan haramkecuali haram itu menghalalkan


yang halal.

Hadis ini menegaskan bahwa pada ssat terjadi pengumulan antara


halal dan haram, maka yang lebih dominana adalah yang haram. Makanya
hukum haram harus lebih di utamakan daripada yang halal sebagai mana
yang disepakati oleh jumhur ulama
3. Pengecualian Kaidah Kedua
Dalam menanggapi kasus-kasus yang dimasukkan dalam cakupan
pembahasan teori representatf kedua ini, diotemukan juga kasus-kasus
yang dikualikan darinya diantaranya ialah kasus-kasusyang terdapat
dibawah ini
a. Kasus kebolehan berijtihad untuk menentukan status hukum bejana
atau tempat atau pakian yang suji dengan najis
b. Kasus binatang buruan yang mati terkena anak panah atau alat berburu
lainnya.
c. Kasus kebolehan melakukan transaksi dengan orang yang kebanyakan
hartanya haram namun kedua nominalnya keduanya tidak bisa
diketahui secara pasti berapa jumlahnya.
d. Kasus hukum menerima pemberian pemerintah yang belum diketahui
uang yang haram atau tidak
e. Kasus penggemukan ternak hewan dengan bahan-bahan makanan atu
minuman bahan lainnya yang haram.

f. Kasus kebolehan berijtihat dalam memilih gadis idamannya yang ada


suatu kampung untuk dinikahi, padahal diantara wanita kampung
terdapat saudari kecilnya yang tidak diketahui.
4. Definisi Makhsur Dan Ghoiru Mahshur
Adapun cara untuk mengetahui jumlah yang bisa dihitung (maksuroh
) dan yang tidak bisa dihitung (ghoirumaksuroh) itu, sangatlah mudah,
yaitu dengan menggunakan panca indra mata yang secara telanjang sudah
bisa dijadikan untuk menilai jumlahnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan maksur dan ghoiru
maksur ialah sebagai berikut:
1. Mahshur ialah jumlah (perempuan) yang secara sepintas mudah
dihitung, misalnya 20 atau 40. Jika demikian, maka laki-laki tersebut
tidak boleh menikah lagi
2. Ghoiru mahshur ialah jumlah (perempuan desa) yang secara sepintas
mengalami kesulitan dalam menghitungnya, misalnya 1000 orang. Jika
demikian, maka laki-laki tersebut masih boleh menikah lagi dengan
salah satu dari pemerintah desa tersebut.
5. Kasus tafriqt dan al-shufqoh dan solusinya
Telah dapat diketahui bersama bahwa kaidah ke-2, merupakan
konsep dasar yang bisa dijadikan solusi atas berkumpul ijtimaknya dua
perkara yang saling bertentangan yaitu halal dan haram, padahal bentuk
ijtimak antara ke-2nya dapat terwujud dalam brbagai macam kasus.
Bahkan dalam hal-hal tertentu, kasus ijtimak hlal haram secara spesifik,
terjadi dalam stuktur transaksi dua perkara yang didalamnya terdapat dua
unsur halal dan haram, yang status hukumnya saling berbeda. Dua hal
yang berbeda inilah para ahli hukum islam menyebutnya dengam
ijtimaktafriq al shufqoh.5
C. Kaidah Ketiga Dan Aplikasinya
1. Teori al-itsar
5 Ibid, hal 199-220

Mendahulukan orang lain dalam masalah peribadatan itu hukumnya


makruh

Maksudnya ialah mengutamakan orang lain dalam masalah


peribadatan adalah makruh dan dalam urusan selain ibadah adalah
disenangi , artinya dalam pribadatan itu hukum memprioritaskan orang
lain dengan mengalahkan diri sendiri adalah makruh, sedang selain
peribadatan adalah dianjurka (mustahab)
2. Dasar hukum teori al-itsar ketiga
Kaidah ini muncul didasarkan pada firman allah dan sbda nabi saw
yaitu:
a. Alquran

Mereka itu (para sahabat anshor) selalu mengutamakan sahbat


muhajirin dan mengalahkan dirinya sendiri, sekalipun pada
hakikatnya mereka memerlukan.
b. Al-hadist

( )
Kamu itu tidak henti-hentinya mengakhirkan dirinya dari barisan

shaf-shaf pertama dari solat, sehingga allah akan mengakhirkan


mereka didalam neraka.
3. Pandangan Ulama Tentang al Itsar

Dalam menanggapi kasus al itsar yang bisa dimasukkan kedalam


teori representatif ketiga ini, para ahli berbeda pendapat, diantaranya ialah:
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa makruh itu bisa mengalah dalam
masalah peribadatan, dan jika dalam masalah selain peribadatan, maka
hukumnya sunah. Hal ini sesuai dengan yang dikehendaki oleh teri
minor ini.
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa al itsar dalam persoalan
peribadatan itu adalah haram.
c. Pendapat ketiga adalah pandangan imam al suyufi yang berpendapat
bahwa al itsar dalam persoalan peribadatan itu harus dilakukan
pentafsiran dengan tetap melihat adanya beberapa indikasi yang ada.6
D. Kaidah ke-Empat Dan Aplikasinya
1. Teori Tabi.

Pengikut itu harus mengikuti.


Maksudnya ialah setiap sesuatu yang statusnya sebagai pengikut
( tabi) secara hukum ia harus mengikuti sesuatu yang diikuti (muttabi), ia
tidak bisa berdiri atau tidak boleh memiliki hukum sendiri.
Oleh sebab itu, sesuatu yang mengikuti kepada yang lain
(pengikut/tabi), hukum yang dimilikinya adalah tetap hukum yang diikuti
(mabu)-nya.
Contoh :
1) Anak dalam kandung induknya. Jika induknya dijual, maka anak dalam
kandung juga ikut serta dalam hukum penjualanya induknya.
2) Kasus benda-benda yang ikut serta dalam barang yang dijual, seperti
kunci, kaca jendela yang terpaku dan hak lalu lintas serta hak
pengaliran dalam jual beli rumah dengan segala haknya.

6 Ibid, hal 220-226

Adapun teori minor pertama, ialah secara hukum, pengikut itu tidak
dapat berdiri sendiri, sebagaimana penjelasanya dalam kitab asalnya, yaitu
al-Asyabah wa al-Nadloir, karya imam al suyuthiy.
2. Teori Minor Dalam Kaidah ke-empat
a. Teori minor pertama:

Secara hukum,tabi (pengikut , tidak bisa berdiri sendiri.

Maksudnya ialah jika ada sesuatu yang statusnya sebagai tabi,


maka tidak dapat memiliki hukum sendiri, ia harus mengikuti pada
mutabinya.
Contoh :
1).Anak binatang yang masih ada didalam perut induknya, tidak boleh
dijual tersendiri. Jadi harus mengikuti induknya.
2). Kasus buah-buahan yang didalamnya mengandung ulat yang timbul
dan tumbuh dari dalam buah itu sendiri.
Teori representatif minor yang bisa dimasukkan kedalam teori
representatif ke dalam ke empat ialah: pengikut gugur sebab gugurnya
yang diikuti , sebagaimana kesepakatan para ahli hukum islam.
b. Teori-minor kedua:
1) teori Isqot al tabi

pengikut (tabi) itu bisa gugur sebab gugurnya mathu ( barang


yang diikuti ).

maksudnya jika hukum yang diikuti gugur, maka hukum


dari apa saja yang mengikuti nya ikut pula gugur. Kententuan
seperti ini hanya berlaku pada tabi yang hakikatnya tidak memiliki
hukum sendiri.
Contoh :
a) Orang Pada saat gila terbebaskna dari beban kewajiban shalat
fadlu. Karena itulah,

kepadanya tidak lagi didsunatkan untuk

meng-qodlo shalat sunnah rawatibnya, sebab shaat fardlu yang


diikuti oleh shalat sunnah rawatib sudah lepas dan gugur dari
tanggung jawabnya, shingga ikut gugur pula shalat rawatib
yang merupakan pengikut dari shalat fardlu.
b) Kasus orang yang tertinggal melakukan wuquf di Arafah.
Maka baginya harus melakukan tahallul dengan cara
melakukan Thawaf, sai dan mencukur, tidak dengan melempar
jumrah dan mabit merupakan amalan yang mengikuti wukuf.
Adapun kasus-kasus yang bisa dikecualikan dari teori
representatif minor kedua ini adalah : kasus-kasus yang bisa
dikecualikan dari teori representatif minor kedua ini adalah: kasus
Tajil, yaitu membasuh tangan melebihi batas kententuan dalam
berwudlu. Dan kasus Ghurroh, yaitu: membasuh muka melebihi
batas muka sebelah atas kepala dalam berwudlu.
2) Pengecualian Teori Minor ke-dua
sekalipun gugurnya disebabkan gugurnya matbu, ternya
ditemukan adanya kasus gugurnya matbu, tidak membuat
gugurnya abi. Hal ini metakan pengecualian dari teori minor
kedua.
Contoh :
1) kasus bewudhunya orang yang tidak memiliki lengan (Tahjil)
ketika ia membasuh lengan , maka ia tetap disunahkan untuk
membasuh batas terputusnya lengan yang masih dalam kategori
tempat terputusnya lengan ( mahallut Tahjil, sehingga status
kesunahan membasuh mahallul Tahjil, tidak menjadi gugur
karena gugurnya mutabi, yaitu lengan yang sudah putus.
Sedangkan teori minor lain yang isinya sama dengan
teori minor kedua ini adalah : cabang menjadi gugur ( jatuh)
jika pokoknya gugur atau jatuh, sebagaimana yang sudah
ditentukan oleh para ulama dalam kitab asalnya, yaitu alAsybah wa a-Nadloir. Sekalipun demikian, terkadang adanya

kasus dimana keadaan cabangnya itu tetap dengan tidak


melihat pada keadaan tetapnya pokok, sesuai dengan teori
minor : cabang itu terkadang tidak jatuh ketika pokoknya jatuh.

c. Teori Minor ke-tiga


Dari teori minor ke-dua tersebut, ternyata masih memunculkan
teori minor lain yang nampak berbeda, tetapi secara substansi tetap
sama, yaitu teori minor ke-tiga sebagai berikut:

Artinya : cabang menjadi gugur ( jatuh ) jika pokok gugur (jatuh)

Maksudnya ialah jika ada asal dari sesuatu yang stastusnya


sudah gugur, maka cabang-cabangnya juga ikut gugur, misalnya ketika
pagkal dari sebuah pohon itu roboh, maka semua cabang-cabangnya
juga akan ikut roboh.
Contoh:
Bayu mempunyai hutang kepada wisnu, lalu tidak disangka
datang bambang yamg bersedia menanggung dan membayar hutang
bayu. Tidak lama kemudian, bayu bisa membayar hutang sendiri
hutangnya kepada wisnu.
Dengan demikian yang menjadi persoalan sekarang adalah :
1) Bagaimana kondisi bambang yang sudah memberikan kesangupan
untuk membayar hutang Bayu kepada wisnu tersebut...?
2) Bukankah bambang masih mempunyai kewajiban , sedangkan janji
itu adalah hutang....?
3) Dalam kotek ini, tanggung jawab bambang (tabi) sudah gugur
karena

gugurnya

kewajiban

membayar

hutang

akanditanggung bayu (matbu) yang sudah dilunasi tersebut.


4. Teori minor ke-empat.

yang

Pengikut itu tidak boleh mendahuluhi yang diikuti.

Maksudnya ialah yang menjadi panutan itu harus selalu


didahulukan sementara pengikutnya harus selalu berada dibelakang
atau sesudanhnya, tidak boleh berada didepan. Karnanya , setiap yang
diikuti (matbu) itu harus lebih dahulu dari yang mengikuti )(tabi)
Contoh :
Makmum tidak boleh mendahului imamnya, baik tempat
berdirinya dan takbiratul ihram-nya maupun pada semua gerakan
dalam shalatnya sampai salamnya.
5. Teori Minor Ke-Lima


Artinya : dimaafkan dalam maslah barang-barang tambahan (

sebagai pengikut) sebagaimana halnya tidak dimaafkan dalam


berbagai macam barang lainya.
Maksudnya ialah tolerasi hukum yang sudahh diberikan kepada
tabi itu, tidak bisa diberlakukan kepada matbu-nya
Contoh :
1). Menurut pandangan hanafi , hukum wakaf barang bergerak itu
tidak sah, seperti sapi yang tidak lazim orang melakukanya untuk
wakaf. Akan tetapi jika sapi tersebut dijadikan barang ikutan
(pengikut) dari sebidang tanah dimana barang bergerak itu ada di
atasnya, seperti wakaf ladang pertenakan dengan ternaknya, maka
hal ini diperbolehkan.
Dari minor tersebut , memiliki kedekatan dengan arti dengan teori
minor lain seperti di bawah ini, yaitu : Dimaafkan sesuatu yang
tidak mendapatkan suatu ampunan jika dalam melakukanya itu ada
unsur kesengajaan, jika tidak, maka ia tetap mendapatkan

ampunan, artinya ada beberapa pekerjannya yang apabila dalam


mengerjakanya itu ada unsur kesengajaan, maka ia akan ditolerir
Contoh :
1). Kasus wakaf tanah untuk dirinya sendiri.
Hal ini dianggap tidak sah, sebab hal ini merupakan suatu hal yang
tidak berguna, apalagi pekerjaan itu dilakukan dengan unsur
kesengajaan. Apabila mewakafkanya pada fakir miskin, maka
hukum wakafnya sah, bahkan jika ia sendiri menjadi jatuh miskin,
maka ia berhak utuk mendapatkan barang yang diwakafkantadi.
6. variasi Redaksi Teori Minor ke-lima.
Sekalipun demikian , teori minor ke-empat itu, terkadang
diungkapkan dengan ungkapan yang berbeda, tetapi memiliki arti
yang sama, yaitu :
a)


Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tetapi tidak dimaafkan bagi
yang memulai.
Contoh :
1). Serambi yang mengelilingi masjid tidak bisa dihukumi sebagai
Masjid. Karena itulah, serambi tidak sah dijadikan tempat
beritikaf.
b).



Yang memulai bertransaksi itu terikat sesuatu dimana yang
menirukannya tidak melakukan ikatan.

Contoh:
1). Kasus hibah sebagian benda yang masih bercampur itu
hukumnya tidak sah. Akan tetapi jika seseorang mendapatkan suatu
hibah sebidang tanah dari orang lain dan ternyata ia memilih hak
atad sebagian dari tanah tersebut sebagai milik bersama , maka
hibbah sekaipun terjadinya setelah adanya hak kepemilikan atas
sebagian tanah milik bersama tersebut.
5. Kaidah Kelima Dan Aplikasinya
A. Teori Kebijakan Publik.

Kebijakan pemerintah itu harus berdasarkan pada kemashlatan

Maksudnya ialah semua peraturan yang dibuat oleh pimpinan


pemerintahan terhadap rakyat itu, diharuskan untuk selalu berdasarkan
kepada terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Maka dari itu, pemimpin negara dan seluruh perangkatnya dalam
mengambil kebijakan, harus berdasarkan pada pertimbangan kebaikan
atau yang terbaik diantara kebaikan-kebaikan lainnya, sehingga
pemerintah tidak diperbolehkan mengambil kebijakan berdasarkan satu
pertimbangan saja, sekalipun bermanfaat jika diyakini masih ada manfaat
yang lebih besar lagi, kecuali jika dalam penganmbilan kebajikan itu
akan berdampak fatal pada hal-hal yang merugikan.
Dengan demikian, dasar pijakan pemerintah dalam mengambil
keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemashlahatan
yang bersifat umum (mashlahah ammah) di atas kemashlahatan individu
dan kelompok.
B. Dasar Hukum Teori Kebijakan Publik.
Adapun dasar pijakan tercetusnya teori representatif ke-lima ini
adalah Anam: 152, yaitu:

Artinya: Janganlah kamu sekalian mendekati (mengelola) harta anak


yatim, kecuali dengan cara yang paling baik

Sekalipun secara eksplisit ayat ini hanya berbicara masalah


pengelolaan harta anak yatim, tetapi secara implisit menunjukkan bahwa
seorang pemimpin itu memiliki status yang sama dengan wali yatim,
dimana ia memiliki tanggungjawab penuh terhadap harta dan
kemashlahatan

anak

yatim,

dan

sekalipgus

akan

dimintai

pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT.


Oleh sebab itu, jika hal tersebut diaplikasikan dalam konteks
kepemimpinan, maka seorang pemimpin itu harus bisa mewujudkan
stabilitas publik dan stabilitas ukhrowi dalam kesadaran hati nuraninya,
sehingga manipulasi kekuasaan dan kepemimpinan tidak pernah ada dan
tidak akan dilakukan.
Ayat inilah yang bisa dijadikan sebagai landasan yuridis dalam masalah
pertanggungjawaban birokrasi pemerintahan (tashorruful imam). Hal ini
berdasarkan pada adanya fatwa imam al-Syafii, yaitu sebagai berikut:

Artinya: Kedudukan pemimpin atas rakyat itu sama kedudukannya


dengan wali atas anak Yatim.
C. Hak dan Wewenang Pemimpin Negara

Adapun hak dan wewenang seorang pemimpin negara dalam


hubungannya dengan aplikasi teori kebijakan publik adalah sebagai
berikut:

a) Memelihara semua aset negara yang menjadi milik rakyat, dengan


pengelolaan yang sesuai prosedur dan mengalokasikan untuk kebaikan
seluruh rakyat.
b) Menciptakan rasa aman dalam pengelolaan, investasi dana semua
kegiatan perekonomian individu rakyat, sehingga dalam menjalankan
rutinitas ekonominya, rakyat merasa aman, tenang dan terlindungi.
c) Menikahkan atau menjadi penghulu sepasang calon penganten, dan
menjadi wali hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali. Dalam hal ini,
hakim tidak boleh menikahkan wanita dewasa dengan lelaki yang tidak
ada kesetaraan (kufu), sebab kinsep kesetaraan dalam ikantan pernikahan
merupakan hak setiap rakyat. Sedang hakim dan seluruh perangkatnya
(KUA) hanyalah sebagai wakil.
Contoh:
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan
2. Undang-Undang No.2 Tahun 1987, tentang Wali Hakim dan Wali Adlal.
3. Undang-Undang tentang Akte Nikah, dan sebagainya.
d) Pemimpin negara memiliki hak dan wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikan seorang hakim atau kepala pengadilan berdasarkan
pertimbangan pribadi,
e) Pemimpin negara memiliki hak dan wewenang untuk mengangkat atau
menentukan seorang imam dalam sholat di sebuah Masjid. Dalam
konteks ini, ia tidak boleh (makruh) mengangkat imam yang fasik. Akan
tetapi jika pengangkatan tersebut sudah terlanjur sholat dilaksanakan,
maka status sholatnya tetap sah.
Status hukum dimakruhkannya mengangkat imam yang fasik seperti itu,
dianggap sama dengan mendorong rakyat (dalam hal ini para jamaah)
untuk

melakukan

kemakruhan,

padahal

makruh

tidak

sampai

mengandung unsur kebaikan apapun.


Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa wilayah
pelaksanaan teori kebijakan publik ini adalah hal-hal yang berkaitan erat

sekali dengan kebijakan pemerintah dalam hubungannya dengan


kemashlahatan rakyatnya, sehingga setiap kebijakan yang meyangkut hak
rakyat harus memiliki sasaran yang tepat dan berdayaguna bagi mereka.
Karena itulah, tidak dapat dibenarkan jika penguasa mengeluarkan
kebijakannya yang tujuannya hanya sekedar mengikuti keinginan sendiri
dan tidak membawa perbaikan. Dengan adanya kesepakatan bersama
dinyatakan bahwa Teori representatif (aghlabiyah) ke-enam ialah: tiaptiap hukuman (hudud) itu bisa gugur lantaran adanya ketidakjelasan
(syubhat).
6. Kaidah Keenam Dan Aplikasinya
A. Teori Hukuman

Hukuman itu bisa gugur karena ketidakjelasan.

Maksudnya ialah terjadinya ketidakjelasan itu akan menjadi sebab


bagi hilangnya sebuah tuntutan hukum, sedang ketidakjelasan tersebut,
disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya ialah ketidakjelasan yang
berasal dari pelaku hukum dan bisa berasal dari sebuah proses kejadian.
B. Dasar Hukum Teori Hukuman
Adapun yang menjadi landasan hukum munculnya teori hukuman
ini adalah ayat al-Quran dan al-Hadist sebagai berikut:
1) Al-Baqoroh : 229, yang artinya sesuatu yang dibatasi









...




Artinya: .... Maka jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya.
2) HR. Imam al-Turmuzhi

Artinya: Tinggalkanlah hukuman karena ketitakjelasan dan maafkanlah


kesalahan orang-orang terhormat kecuali dalam salah satu hukuman
diantara hukuman-hukuman Allah.
Dengan adanya dasar tersebut, dapat diambil pengertian bahwa yang
dimaksud dengan Had ialah hukum yang telah ditentukan batas kadarnya,
karena melakukan jarimah itu merupakan hak otonom Allah, seperti hukuman
potong-tangan bagi pencuri, hukuman ranjam bagi pezina muhshan dan lain
sebagainya.
Oleh sebab itu, jika dalam suatu jarimah ditemukan adanya ketidakjelasan
atau syubhat, baik dalam pelakunya, misalnya hubungan sexual dengan orang lain
yang dianggap istri sendiri maupun dalam proses perjalanannya, misalnya
hubungan sexual dalam pernikahan mutah atau pernikahan yang tanpa wali, maka
hal ini tidak boleh dijatuhkan putusan hukuman had. Begitu juga pencuri barang
yang dianggap milik ayah atau milik anaknya, yang tidak boleh diputuskan
hukuman had.
C. Definisi Hukuman dan Klasifikasinya
Dari paparan al-Quran dan al-Hadist seperti itu, maka kata had mempunyai arti
penghalang antara benda yang saling bertentangan, kemudian dalam fiqh
diarahkan pada arti hukuman. Pengertian seperti inilah, para ahli hukum Islam
mengklasifikan had menjadi dua kategori, yaitu:
a) Dari Segi Obyeknya
Hukuman jika dilihat dari sisi obyeknya, para ahli Hukum Islam
mengklasifikan menjadi lima, yaitu:
1. Had (hukuman) zina.
2. Had (hukuman) menuduh zina.

3. Had (hukuman) pencurian.


4. Had (hukuman) pengacau keamanan.
5. Had (hukuman) peminum minuman keras.
b) Dari Segi Penyebabnya
1. Had (hukuman) yang wajib karena adanya hak kemanusiaan
(haqqul Adami). Hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Had (hukuman) yang diberlakukan untuk melindungi
populasi manusia dari kepunahan, seperti had qishosh.
Had (hukuman) yang difungsikan untuk menjaga harga diri
manusia (hak privasi), seperti had qodzaf (had menuduh
zina).
2. Had (hukuman) yang wajib karena adanya hak ketuhanan. Hal ini
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Had

yang

diwajibkan

untuk

melindungi

adanya

ketidakjelasan gen (nasab).


Had yang diwajibkan untuk menjaga harta benda, seperti
had mencuri dan penyamun, perampasan dan sebagainya.
Had yang diwajibkan untuk menjaga akal dan harta benda
sekaligus, seperti had peminum minuman keras.
Akan

tetapi,

ketidakjelasan

(syubhat)

tersebut,

tidak

akan

bisa

menggugurkan sangsi tazir, namun bisa menggugurkan sangsi kafaroh, misalnya


ada orang berpuasa romadlon, lalu lupa melakukan hubungan sexual di siang hari,
maka ia tidak wajib membayar kafaroh.
Dengan

demikian,

para

ahli

hukum

Islam

berpendapat

bahwa

ketidakjelasan itu tidak akan bisa mengilangkan hukuman tazir, tetapi bisa
menghilangkan adanya sangsi kafaroh. Dari pendapat inilah, tercetus teori minor
ke-enam (teori kafaroh), yaitu sebagai berikut:

Kewajiban membayar kafarah itu bisa gugur karena syubhat.

Contoh:
Orang melakukan hubungan sexual pada siang hari bulan Ramadhan
karena lupa, maka baginya tidak wajib membayar kafarah.
Orang melakukan hubungan sexual disiang hari bulan Ramadhan karena
beranggapan matahari sudah terbenam, tetapi dalam kenyataan belum,
maka baginya juga tidak wajib membayar kafarah.
Adapun syarat yang harus dimiliki sifat ketidakjelasan (syubhat) yang bisa
menggugurkan hukuman (hudud) atau kafarah ialah harus kuat. Jika
ketidakjelasan itu sifatnya lemah, maka tidak bisa menggugurkan had atau
kafarah.
D. Klasifikasi Ketidakjelasan (syubhat)
Untuk mengetahui masalah ketidakjelasan (syubhat) yang bisa menghilangkan
adanya had (hukuman) itu, bisa dilihat dari kuat atau tidaknya ketidakjelasan itu
sendiri. Jika kondisinya kuat, maka ia bisa menghilangkan had (hukuman). Jika
lemah, ia tidak bisa.
Oleh sebab itu, terjadinya ketidakjelasan yang menjadi penyebab hilangnya
sebuah ketentuan hukuman itu disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya
ialah sebagai berikut:
a. Ketidakjelasan (syubhat) dalam subyek (diri pelaku).
Contoh:
Kasus laki-laki berhubungan sexual dengan wanita yang disangka ia
sebagai istrinya sendiri, padahal dalam kenyataan tidak.
Dalam kondisi ini, jika dilihat dari sisi status haram dan dosa atau
tidaknya, ditemukan adanya perbedaan pendapat, yaitu:

Jumhur ulama menyatakan tidak haram, sebab haram itu identik


dengan dosa, padahal ia tidak berdosa lantaran dugaannya yang
salah.

Qodli Husain menyatakan bahwa perbuatan haram tetap haram,


sekalupun pelakunya sendiri tidak berdosa lantaran perbuatan yang
seharusnya tidak menjadi kehendaknya.

b. Ketidakjelasan (syubhat) dalam obyeknya (sasaran).

Contoh:
Kasus orang menyetubuhi budak sahaya yang dimiliki bersama, padahal di
dalam diri budak wanita itu sendiri terdapat hak milik orang laimn, bukan
hanya milik sendiri.
c. Ketidakjelasan

(syubhat)

dalam

metodologi

yang

dipakai

untuk

menentukan status hukumannya.


Contoh:

Kasus Nikah Mutah, menurut syiah boleh, sedangkan sunniy


haram.

Kasus pernikahan yang tanpa menghadirkan saksi-saksi atau wali.


Hal ini tidak sampai bisa menghilangkan hukuman (had), sekalipun
dawud al-Dhohir menyatakan bisa menghilangkan hukuman (had),
sebab status nikahnya dianggap sah.

Dengan demikian, hukuman-hukuman (had) tersebut bisa gugur dan


hilang lantaran adanya ketidakjelasan. Akan tetapi ditemukan pulsa
hukuman-hukuman ringan (tazir) yang tidak bisa gugur atau hilang,
sekalipun diikuti oleh adanya ketidakjelasan. Hal ini terjadi pada kasuskasus yang berhubungan dengan fidyah (tebusan), sehingga fidyah tidak
akan bisa gugur atau hilang, meskipun memiliki unsur ketidakjelasan
(syubhat), sebab fidyah itu mengandung ghomarimah (tanggungan yang
bersifat harta). Hal ini berbeda dengan kasus kafaroh yang bisa hilang atau
gugur lantaran adanya ketidakjelasan (syubhat), sebab karafoh dinamakan
dengan kasus-kasus yang hukuman-hukumannya bersifat fisik (uqubah).
g. Kaidah ke Tujuh Dan Aplikasinya
a. Teori kebebasan







Kebebasan orang merdeka itu tidak berada dalam genggaman kekuasaan
orang lain

Maksudnya adalah orang merdeka merupakan sosok manusia yang memiliki


kekuasaan dan kewenangan penuh atas segala hal yang berkaitan dengan
pribadinya, sehinnga secara hukum ia tidak bisa di pengaruhi orang lain, sebab ia
sudah memiliki hak dan kekuasaan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Oleh sebab itu, secara yuridis formal tidak memebenarkan segala bentuk
penguasaan atas kebebasan dan kemerdekaan, baik dalam bekerja maupun
mengambil sikap.
Contoh : jika ada seorang laki laki bezina dengan perempuan jariyah ( amad ),
jariyah tersebut menuruti karena sudah menjadi kesukaan wanita tersebut. Laki
laki yang zina tadi bisa dituntut membayar mas kawin karena perempuan itu
( amad ) dibawah kekuasaanya sayidnya, tapi bila perempuan tersebut dalam
keadaan merdeka maka laki laki tersebut tidak bisa dituntut membayar
maskawin.
h. Kaidah Ke Delapan Dan Aplikasinya


Hariam mempunyai hukum seperti harim lahu
kaidah ini berasal dari sabda rasulullah SAW:







Artinya, perkara yang hala itu jelas yang haram jelas dan diantara keduanya
terdapat perkara perkara yang samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan
orang. Barang siapa memelihara dari syubhad maka ia bersih agamanya dan

kehormatanya dan barang siapa menjatuhkan diri pada syubhad , jatuhlah ia


keperkara haram, bagaikan pengembala disekitar daerah larangan, yang hampir
hampir ia mengembala didalamnya (mutafakun alaih)
Setiap sesuatu itu mempunyai daerah perbatasan yang berada disekitarnya. Daerah
perbatasan ini disebut dengan harim.
Harim sebuah masjid ialah tempat di sekitar masjid yang rapat hubunganya
dengan masjid itu sendiri seperti serambi muka dan samping kanan kiri. Harim
untuk kepala ialah leher muka.
Harim untuk hukum wajib oleh para ushuliyun dilukiskan dengan:
+
Sesuatu yang menybabkan tak sempurnanya kewajiban kecuali dengannya
Contoh:
a. Dilarang mengadakan perikatan jual beli atau duduk beberapa saat bagi
orang yang sedang berhadas besar diserambi masjid, karena hukumnya
sama dengan didalam masjid.
b. Diwajibkan membasuh lengan bagian atas dan bagian betis dalam
berwudu dikalau membasuh siku dan kedua mata kaki. Sebab membasuh
siku tidak akan sempurna tanpa membasuh sebagian lengan bagian atas
dan membasuh bagian kedua mata kaki tidak akan sempurna jika tidak
akan membasuh sedikit betis bagian bawah.
c. Menutup bagian betis sebelah atas bawah lutuk dan perut diatas pusar bagi
orang laki-laki adalah wajib sebab menutup lutut saja tanpa beranjak
sedikit bgian bawahnya dan menutup pusar saja tampa bergetar sedikit
menutup bagian atasnya akan mengalami kesulitan dan mengakibatkan
ketidak sempurnaan dalam menutup aurat.7
i. Kaidah Ke Sembilan Dan Aplikasinya

7 Yasin, Qawaid fiqhiyah, kudus,DIPA STAIN Kudus, 2009, hal114-115




Apabila ada dua buah perkara yang sama jenisnya dan tidak
berbeda maksudnya berkumpul,maka biasanya salah satunya masuk
kepada yang lain.
Misalnya
1. Apabila hadas kecil berkumpul dengan hadas besar pada seseorang, maka
cara untuk menghilangkan keduanya dilakukan dengan cukup mandi saja.
Sebab jenis keduanya adalah sama, yaitu hadas dan maksudnya pun sama ,
yaitu untuk menjalankan sembayang.
2. Jika seseorang masuk masjid kemudian terus bersembayang fardhu, maka
shalat tahiyatul masjidnya sudah tercakup didalam shalat fardhu tersebut.
3. Apabila seseorang sering lupa,hingga banyak meninggalkan rukun shalat,
maka ia tidak wajib berulang kali bersujud sahwi tetapi cukup dengan dua
kali sujud di akhir shalat.
4. Apabila seseorang calon haji yang baru saja datang ketana suci lalu
menjalankan thawaf baik wajib ataupun nadzar, maka perbuatan itu sudah
mencakup thawaf ifradhah, maka thawaf ifradhahnya itu tidak dapat
mencakup kepada thawaf wada8
j. Kaidah Ke Sepuluh Dan Aplikasinya


Mengakui keberadaan sebuah ungkapan /perkataan lebih utama dari
pada mendiamkan atau tidak mengakui keberadaannya.
Contoh:
Umar mempunyai cucu namun sudah tidak mempunyai anak karena anakanaknya sudah meninggal, tapi umar ketika mau meninggal ia berwasiat
8 Ibid, hal 115-116

supaya hartanya diberikan kepada anaknya. Maka harta yang diwasiatkan


jatuh kepada cucunya. Karena yang ada hanya cucunya.( )
Kaidah yang masuk dalam kaidah ini adalah kaidah:


Memberi dasar lebih utama dari pada menaukidi,9

9 Ibid, hal 116

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijtihad adalah bahasa arab yang menurut asalnya diambil dari al-jahd
dan al-juhd yang artinya sama dengan kata al-masyaqqah yang artinya
kesuliyan dan kesusahan, atau kata al thohaqoh

yang artinya

kemampuan atau kesanggupan.


2. Jika halal dan haram berkumpul, maka yang diprioritaskan adalah
yang haraMaksudnya jika dalam suatu kasus ditemukan pengumpulan
antara halal dan haram, harus diutamakan adalah yang haram
sekalipun dalam realitas hidup bermasyarakat bercampurnya kedua
hal tersebut sulit untuk dihindari baik kontruksi pribadatan maupun
bertransaksi
3. Mendahulukan orang lain dalam masalah peribadatan itu hukumnya
makruh
Masudnya ialah mengutamakan orang lain dalam masalah peribadatan
adalah makruh dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi ,
artinya dalam pribadatan itu hukum memprioritaskan orang lain
dengan mengalahkan diri sendiri adalah makruh, sedang selain
peribadatan adalah dianjurka (mustahab)
4. Pengikut itu harus mengikuti.
Maksudnya ialah setiap sesuatu yang statusnya sebagai pengikut
( tabi) secara hukum ia harus mengikuti sesuatu yang diikuti
(muttabi), ia tidak bisa berdiri atau tidak boleh memiliki hukum
sendiri.
5. Kebijakan pemerintah itu harus berdasarkan pada kemashlatan
Maksudnya ialah semua peraturan yang dibuat oleh pimpinan
pemerintahan terhadap rakyat itu, diharuskan untuk selalu berdasarkan
kepada terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.

6. Hukuman itu bisa gugur karena ketidakjelasan.


Maksudnya ialah terjadinya ketidakjelasan itu akan menjadi sebab
bagi hilangnya sebuah tuntutan hukum, sedang ketidakjelasan
tersebut, disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya ialah
ketidakjelasan yang berasal dari pelaku hukum dan bisa berasal dari
sebuah proses kejadian.
7. Kebebasan orang merdeka itu tidak berada dalam genggaman
kekuasaan orang lain
Maksudnya adalah orang merdeka merupakan sosok manusia yang
memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh atas segala hal yang
berkaitan dengan pribadinya, sehinnga secara hukum ia tidak bisa di
pengaruhi orang lain, sebab ia sudah memiliki hak dan kekuasaan
untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.
8. Hariam mempunyai hukum seperti harim lahu
9. Apabila ada dua buah perkara yang sama jenisnya dan tidak berbeda
maksudnya berkumpul,maka biasanya salah satunya masuk kepada
yang lain.
10. Mengakui keberadaan sebuah ungkapan /perkataan lebih utama dari
pada mendiamkan atau tidak mengakui keberadaannya

B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, atas kesalahan yang baik
sengaja atau tidak sengaja dalam penyusunana makalah ini, kami mohon
maaf,kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk
memperbaiki makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga
bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
M. Mashum Zainy Al-Hasyimiy, Pengantar Memahami Nadzom Al- Faroidul
Bahiyyah Juz 1, Jawa Timur, Darul Hikmah
, Pengantar Memahami Nadzom Al- Faroidul Bahiyyah Juz 2, Jawa Timur, Darul
Hikmah

Yasin, Qawaid fiqhiyah, kudus,DIPA STAIN Kudus, 2009

Anda mungkin juga menyukai