Anda di halaman 1dari 4

Kuliah Nggak Seindah di FTV

Di antara banyak kenangan yang sudah aku lalui, hanya satu yang membuatku ingin kembali. Di
sana, SMA. Aku tau kita tidak dapat memutar waktu. kita hanya bisa mengenang, mengingat
kembali menggunakan memori yang ada di dalam otak kita. Kita bisa mengingat tanpa bisa
merabanya, mencium baunya, melihat kenyataanya. Semua hanya terjadi bersamaan dengan
halusinasi antara ingatan dan kenangan. Walaupun kini aku tidak bisa kembali, aku sangat
bahagia mengetahui bahwa aku pernah menjalaninya bersama mereka.

Aku tidak akan membahasnya. Kenyataanya bahwa aku ini adalah seorang mahasiswa. Aku
harus menjalani hidupku dengan pikiran logisku sendiri. Semua yang aku lakukan dan
dampaknya adalah bebanku juga keberuntunganku. Aku sadar bahwa dunia perkuliahan sangat
jauh dari apa yang aku harapkan. Bukanya aku sulit beradaptasi tetapi lingkungan ini memang
kurasa tidak cocok untuku. Hingga pikiranku terbayang dialogku bersama ayah sekitar setahun
yang lalu.

“Ayah, Salsa boleh nggak daftar di kampus X bersama Ocha?”, tanyaku pada Ayah.
“Memangnya kamu sudah yakin, Nak? Kalau menurut Ayah kamu sebaiknya ambil tes UM di
kampus Z ambil jurusan PGSD. Ayah ingin kamu jadi guru”, jawab Ayah.
“Salsa nggak ada minat buat jadi guru. Salsa ingin jadi perawat. Disamping itu Salsa nggak mau
pisah sama Ocha yah”, jawabku.
“Ya sudah kalau begitu. Semoga kamu tidak menyesal dengan pilihanmu”, Kata Ayah.

Akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa kalimat Ayah sangat bermakna untuku. Aku pikir
aku sedikit menyesal karena tidak mau mempertimbangkan dulu pendapat Ayah. Bahkan kini
aku berfikir aku sangat ingin mengajar di sekolah, bersama anak-anak yang lucu dan masih lugu.
Aku menyadari betapa berartinya perkataan orangtua.

Aku mungkin terlihat tidak menyukai pendidikanku saat ini dan kenyataanya memang begitu.
Bukan soal jurusan yang aku pilih tetapi karena mungkin manusia di sini jauh dari harapanku.
Aku bisa dibilang tipikal orang yang mudah bergaul, tetapi di sini aku bahkan tidak tau siapa
temanku. Ya sebenarnya mereka semua temanku tetapi aku belum menemukan seorang sahabat
di sini. Awalnya aku pikir aku sudah bertemu tetapi lama kelamaan aku salah menilai. Bukan itu
yang aku inginkan.

Soal Sahabat? Jelas ini bukan faktor utama aku tidak suka kuliah di tempat ini. Aku hanya
memikirkan soal sikap teman-teman yang berbeda dengan temanku dulu waktu SMA. Pernah
ketika suatu hari.
“Hey Bel, udah adzan Dzuhur nih, kita sholat yuk ke masjid”, sapaku kepada Bella.
“Udah deh sanah kamu aja, aku barusan pakai bedak pakai lipstik”, jawabnya.
Setelah itu aku terdiam dan langsung pergi ke masjid. Aku tidak tau apa sebenarnya yang
dipikirkan Bella dan teman-temanya. Jujur aku risih dengan hal seperti ini. Ketika SMA, justru
teman-temanku yang mengajaku sholat duluan. Berlomba-lomba datang ke masjid duluan begitu
juga teman putranya. Tetapi di sini? Semua berbanding terbalik. Harapanku, aku bisa berubah
menjadi lebih baik lagi ketika di bangku kuliah tetapi sangat sulit karena memang situasinya
seperti ini. Tidak ada yang menegurku ketika aku salah, semua membiarkan dan sibuk dengan
urusanya sendiri. Aku pikir bukan salah mereka, ini salahku yang belum bisa merubah keadaan
mereka seperti apa yang aku inginkan. Aku sangat bersyukur Ocha teman SMA ku masih
bersamaku hingga saat ini. Dia satusatunya teman yang mau memberiku support dan menegurku
ketika aku salah. Namun, karena kita memang beda jurusan aku jadi jarang bertemu denganya
untuk sekedar berbagi cerita. Meskipun begitu kita tetap rutin bertukar pesan singkat di rumah.

Walaupun aku kuliah hanya 3 tahun, aku merasa seperti 13 tahun. Rasanya aku ingin sekali
pindah tetapi aku tidak mau membuat kedua orangtuaku kecewa. Mereka sudah menghabiskan
banyak biaya untuk kuliahku. Demi mereka aku masih bisa bersabar untuk saat ini. Ini adalah
pilihanku dan begitu juga aku harus bisa mempertanggungjawabkanya.
Aku tidak mengira sebelumnya bahwa kuliahku akan sangat kekanak-kanakan. Kita beradu
mulut karena ada masalah kecil yang sifatnya sangat sepele. Ada yang membenci kita dengan
alasan yang sama sekali tidak masuk akal dan masih banyak hal menjengkelkan lainya yang
tidak bisa dijelaskan di sini.

Mungkin di sini aku hanya menyebutkan sisi negatifnya saja. Bukan begitu, aku juga bersyukur
berada di kampus ini karena yang aku tahu aku masuk di jurusan yang aku senangi. Jika aku
tidak ada di sini mungkin aku tidak akan mengenal mereka yang sampai saat ini juga masih
bersamaku. Selain itu, karena aku kuliah di kampus X aku selalu bertemu keluargaku di rumah
tanpa harus kos.

Jadi intinya selama kamu sayang sama kedua orangtuamu, selama kamu masih mempunyai
sahabat yang mampu kasih support kamu walaupun itu hanya satu orang tak masalah. Mereka
semua mampu memberikan kekuatan dalam dirimu untuk melewati semua yang kamu rasa berat
untuk dihadapi dan ada hal yang paling penting dari segalanya. Kamu punya Allah dan Allah
akan bersama kamu yang percaya bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Penyayang. Jika kamu
percaya bahwa Allah itu ada kamu akan yakin bahwa kamu bisa lewatin semuanya. Kamu tidak
perlu bersedih atas apa yang orang lain lakukan kepadamu. Memang terkadang manusia begitu,
mereka unik. Ada yang senang dihargai namun tidak mengahargai, ada yang senang diberi dan
tidak senang berterimakasih semua itu karena manusia itu unik (katanya). Kamu tidak perlu
marah, tidak perlu dendam. Buktikan saja kepada mereka bahwa kamu lebih sukses dari dia.
Bukan untuk menyombongkan dirimu tetapi membuktikan bahwa kamu seseorang yang tidak
pantas diremehkan.

Ngomong-ngomong kita belum menyinggung soal cinta ya? wkwkwk (ketawa bukan nangis).
Jadi inget dulu mamah pernah bilang.
“Sa, kamu kalau mau cari pacar besok kalo udah kuliah aja. Pasti mereka udah dewasa dan bisa
mikir serius buat menjalin hubungan sama kamu”, Kata mamah
“Haha mamah bisa aja. Nggak tau deh mah liat besok”, jawabku.

Okeeee. In a fact (pada kenyataanya), sampe sekarang malah nggak kepikiran buat cari pacar.
Mungkin karena udah tau kali ya sifat-sifatnya gimana jadi ngerasa nggak ada yang bisa bikin
hati ini terpikat (yaelahhh bahasanya). Nggak masalah kan kalo udah mau semester 3 tapi belum
punya gandengan? Soal pacar mah belakangan kalo emang jodoh nanti juga ketemu,
Yakannnn?. Sebenernya sih sempet suka sama seseorang tapi enggak dulu deh ya nanti yang ada
malah gagal fokus kan niatnya besok harus dapet 10 besar waktu wisuda. Aminnnn

Sekian cerita singkat yang cukup singkat. Jika ada kata yang kurang berkenan atau
menyinggung mohon dimaafkan karena cerita ini tidak mengandung unsur sindiran untuk
seseorang. Sekedar cerita pengisi waktu luang, bukan curhat namun sedikit mengandung maksud
yang tersirat. Oh iya, inget ya dek kuliah itu nggak seindah di FTV hehe. Terimakasih.
Di Penghujung Gang Argabel
Di gang yang tak begitu semarak, di gang penuh coretan abstrak. Di gang itu cintanya tergeletak.
Tak bisa mengelak, pasrah terinjak kenangan yang congkak.

Di penghujung harapan semu.


Ia menunggu kepastian yang dulu.
Dahulu dia mengingatkan kalau cinta itu bukan suatu hal yang dirasa tetapi apa yang diterima.

Wanita itu, wanita bermata bulat kecoklat-coklatan, wanita berkulit terang. Wanita berparas
berseri-seri dan rambut hitam mengkilat dipangkas sebahu.

“Ah, ingatan itu menyeretku lagi”

Sudah lama ia mengenalnya, sudah lama pula ia…


Ia menahan ucapan, tak pantas! Sepagi ini menggali kenangan yang terkubur di dalam liang
harapan.
Namun, kenangan itu bak mayat hidup keluar dari dalam kubur memaksa untuk mengingat janji
yang sudah melebur.

Ia menerawang jauh, sesekali menyeruput teh hangat di dalam cangkir, ia pikir cinta tak
mungkin berakhir. tapi takdir punya rencana lain, cinta yang menyingkir, kan ada pula cinta
yang hadir.

Asap putih masih mengepul di atas cankir. Hawa panas ibarat rindu yang tak pernah tuntas.
Ia rindu dengan wanita yang memiliki bola mata coklat bulat sempurna. Yah, elin. Namanya
yang sering ia panggil kala dulu. Ketika cinta masih bersahabat dengan mereka.

“Andai saja cinta dan rindu tidak disepakatkan oleh tangan pertemuan, mungkin aku gak ingin
bertemu dengannya lagi” di bangku kayu itu ia mulai berimajinasi. Sembari menunggu ponsel
berdering.
Pikiranya berkelana jauh mengulang semua rasa sakit yang tak terbayang di dalam cerita.

Ia mengangkat dagu mentap ke atas langit, Awan putih berlarian tersapu angin dari barat.
Digantikan awan hitam gelap pekat mengerubung jadi satu menutupi semburat cahaya mentari.
Suara guntur terdengar dari arah ke jauhan.
Kilat menyambuk awan putih menjadi potongan-potongan kecil yang kekeh tak ingin pergi.

Tak selang beberapa lama, gerimis tiris mulai turun. Membasahi perkarangan rumah yang tak
begitu mewah. angin menampar dedaunan hingga mendesis lirih.

“Walaupun hujan turun. Tetap saja rindu ini tetap kering dan tandus” gumamnya seraya ia
beringsut dari tempat duduknya. Ia berdiri tepat di depan teras rumah, tangan kirinya
mengenadah merasakan rinai hujan yang jatuh. Hujan dan cinta mungkin saudara kembar
keduanya bisa membuat kesejukan.

“Kriiing” ponsel yang ia taruh di saku clana jeans melenguh. Bergegaslah ia mengangkatnya.
“Aku di beranda stasiun, tolong jemput aku”
“Ya!”
Sesimpel itu ia berbicara, tetapi mempunyai makna panjang yang tak mungkin sanggup ia ukur
seorang diri. Ia melangkah diawali kaki kiri kemudian disusul dengan kaki kanan. Ia menyusuri
gang yang tak begitu besar, tubuhnya meliak-meliuk menghindari orang-orang yang berlarian.
Memang tak begitu jauh Jarak stasiun dari rumahnya. Cuma memakan waktu lima belas menit.

Hujan semakin deras ia menghalau hujan dengan payung rindu yang kasat mata. Ia terus
menyusuri gang yang penuh coretan abstrak. Bahwasanya gang yang ia lalu ada trobosan
langsung menuju stasiun.
Ia memincingkan tatapannya memandang lurus. Dari arah kejauhan ia melihat ada yang berlalu-
lalang menerobos hujan, ada pun yang meneduh dengan wajah jenuh. ditingkahi hujan yang
semakin gaduh.

Di depan gang matanya membola, mencari elin, kedua tangan mendekap tubuhnya yang
menggigil. Dingin. Ia memperhatikan satu persatu wajah-wajah jenuh itu.

“Hey aku di sini”

Suara terikakan nyaring meling tidak asing di telinganya, suara yang sering ia dengar, Suara
pengobral seribu janji, Asal suara terdengar di pojok loket karcis. Seketika Ia memalingkan
padangannya kearah elin berdiri menyilangkan tangannya mendekap tas berwarna hitam pekat.

Elin melekukkan bibir terlumur gincu merah puyas. Di dirinya semua masih sama tak ada yang
berubah, ia membalas senyuman elin. melepar senyum sumringah, rindu yang sedari
mengembang kini telah pecah.

“Gak ada yang berubah ya, dari kamu?!” elin membuka percakapan lebih dulu.
“Iya, semuanya masih sama. gak ada yang berbeda termasuk cinta.”
“Apa cinta?!”
“Iya, aku tau kamu gak mungkin menarik cinta, cinta yang bersanding di hatiku”
Elin diam membisu seribu bahasa, menahan ucapan yang mewakili curahan hatinya.

“Kenapa diam?! Ayuk kita pulang, kita lanjutkan obrolan di rumah”

Elin mengangguk isarat tubuh mengiyakan ajakannya. Mereka berjalan beriringan, hati kecilnya
masih menyimpan sesuatu yang ingin elin ledakan.

Hujan deras telah pergi, gerimis tiris serupa salju jatuh perlahan kedahan pohon yang tertanam
di samping gang. Mereka berjalan sejajar ketika satu langkah lagi memasuki gang namun.

“Tunggu!” elin menarik pergelangan pria yang kuyup itu.


Mereka berhadapan sekarang tepat di samping gang di bawah pepohonan rindang.

Seketika Airmata elin berkaca-kaca, ia berupaya membendung airmata yang ingin meleleh di
pipi. Tanpa aba-aba Elin memeluk dengan tangan yang lemah, Tangisan elin pecah di dalam
pelukan. Hati kecil elin terisis mengingat janji yang belum elin gubris.

“Aku mengingkari janji, aku minta maaf” air mata elin membasahi kemeja corak bergaris-garis.
“Cinta itu suci, aku gak ingin mengotori cinta dengan dendam, aku memaafkanmu”
Mendengar ucapan itu Elin melepaskan dekapan, melepas pelukan. Elin mengusap air mata yang
meleleh di pipinya.

“Kamu sanggup menjemput cinta yang kuberikan, tapi?!”


Elin menahan ucapannya bibir yang di poles gincu mengigil. Air mata kembali melelah entah
sudah berapa banyak air mata yang tumpah di tanah.

“Tapi apa?! Katakan elin, aku siap menerima takdir yang tuhan berikan”

Elin menarik nafas dalam-dalam. Sesak dan menghembuskannya ke udara.


“Aku pernah bilang, kalau cinta itu bukan suatu hal yang dirasa tetapi apa yang sudah diterima ”
“Aku pergi”

Mereka pergi meninggalkan cinta yang tergeletak di depan gang. Mereka tak sanggup mengelak
tergilas kenangan yang congkak.

Anda mungkin juga menyukai