Anda di halaman 1dari 22

REVISI MAKALAH

METODOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS


Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Syariah
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Anita Rahmawaty, M.Ag.

Disusun Oleh :
JEFRI PRASETYO
ES-18006

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER EKONOMI SYARI’AH
2018
ABSTRAK

Usaha Islamisasi Ilmu Ekonomi tidak dapat dipisahkan dari masalah


epistemologi dan metodologi. Dalam pengembangannya ternyata metodologi
ekonomi islam memiliki perbedaan dengan pengembangan dalam metodologi
ekonomi konvensional. Perbedaan pengembangan tersebut tentunya sudah terlihat
dari asal mula munculnya metodologi ini. seiring berkembangnya metodologi
mengenai ekonomi islam muncul isu-isu , misalnya dugaan bahwa ekonomi islam
apakah bersifat normatif semata dan karenanya tidak bisa dianggap sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri, ataukah ekonomi islam bersifat positiv.
Metode induktif dapat pula digunakan untuk mendapatkan penyelesaian
dan problema ekonomik dengan menunjuk pada keputusan historik yang sahih.
Namun harus diakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk membahas
soal ini menjadi komprehensif dan lebih bermutu

Kata kunci : Epistimologi, Metodologi, Normativ, Positiv


A. PENDAHULUAN
Kemunculan ekonomi Islam di Era kekinian, telah membuahkan hasil
dengan banyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan
dipraktekkannya ekonomi Islam di ranah bisnis modern sepertihalnya
lembaga keuangan syariah bank dan nonbank. Ekonomi Islam yang telah
hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja.
Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik
tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu.
Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya
memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi
seorang manusia adalah suatu fitrah. Seperti halnya, kita berlogika terhadap
upaya Adam as, mencoba bertemu dengan Hawa, ketika diturunkan kebumi
dalam interval jarak yang cukup jauh dan hanya ada dua orang di muka bumi
ini. Tentunya upaya mempertahankan hidup sejak itu juga telah dilakukan.
Begitu pula dengan anak dari Adam as-Hawa, ketika keduanya, Habil dan
Qobil mencoba memenuhi kebutuan hidupnya dengan saling bertukar akan
potensi yang telah mereka berdua miliki masing-masing. Permasalahannya
adalah bagaimana kita menemukan kembali jejak-jejak kebenaran akan
sejarah fase dan periodisasi munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis
dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan
yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekonomi Islam
Ada beberapa pentafsiran tentang istilah “ekonomi Islam” yang di
maksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran
Islam.
Beberapa ahli ekonomi Muslim memberanikan diri dalam
mendefinisikan tentang ekonomi Islam, yang beberapa sub-bahagian ini
akan menyajikan secara kritis dan paling popular. Ada dua kategori utama

1
daripada definisi. Kategori pertama terdiri daripada definisi yang
menumpu pada prinsip-prinsip syariah yang membentuk rangka kerja atau
persekitaran perilaku ejen ekonomi, manakala kategori kedua berfokus
pada perilaku pelaku sendiri.
Zaman Hasanuz mentakrifkan ekonomi Islam sebagai “pengetahuan
dan pelaksanaan perintah-perintah dan peraturan syariah yang menghalang
ketidakadilan dalam pengambilalihan dan membolehkan mereka untuk
melakukan kewajipan mereka kepada Allah dan masyarakat.”1
Demikian pula, Makarim mendefinisikan ekonomi Islam sebagai
“ilmu yang berkaitan dengan kekayaan dan hubungannya dari sudut
pandang perwujudan keadilan dalam segala bentuk kegiatan ekonomi.”2
Dua definisi ini menumpukan pada determinan dari kerangka normatif
kegiatan ekonomi, mereka melihat ekonomi Islam sebagai cabang
pengajian Islam serupa dengan Fiqah atau tafsiran Al-Quran.
Berikutnya definisi yang di utarakan oleh Choudhury menyebutkan
bahwa ekonomi Islam adalah pengkajian sejarah, empirik dan berteori
yang akan menganalisis keperluan manusia dan masyarakat melalui
pancaran panduan sistem nilai Islam.3
Ekonomi Islam itu dalam ertian “sistem ekonomi” (Islam). Sistem
menyangkut pengaturan, iaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu
masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya,
bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu
sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank
Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan riba.
Dan ketiga, ekonomi Islam itu bererti perekonomian umat Islam atau
perekonomian di dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan
dan gambaran dalam sejarah umat Islam baik pada masa Nabi sampai

1
Lihat Hasanuz Zaman (1404), “Definition of Islamic,” dalam Journal for Research in Islamic Economics,
Vol. 1, No. 2, hal. 51-53.
2
Lihat Zaidan Abu al Makarim (1974), “‘Ilmi al ‘Adl al Iqtisadi”, Cairo, Dar al Turath, hal. 37.
3
Masudul Alam Choudhury (1986), Contribution to Islamic Economic Theory: A Study In Sosial Economics,
Hongkong: The MacMillan Press, Ltd., hal, 4.

2
sekarang. Hal ini bisa kita temukan, misalnya, bagaimana keadaan
perekonomian umat Islam di Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Malaysia,
Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam di negara
non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya.4
Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional, yang lahir dari
paradigma enlightenment yang ditandai dengan pendekatan utama untuk
mewujudkan kesejahteraan manusia serta analisisnya tentang problem-
problem manusia yang bersifat sekular. Sekular di sini dimaksudkan
sebagai lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai
sumber kebahagiaan manusia, tanpa mengindahkan peranan nilai moral
dalam reformasi individu dan sosial, terlalu berlebihan menekankan
peranan pasar atau negara. Ia tidak memiliki komitmen kuat kepada
persaudaraan (brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula
mempunyai mekanisme filter nilai-nilai moral.5
Ekonomi Islam juga dikenal sebagai ekonomi etis iaitu ilmu ekonomi
yang tidak mengajarkan keserakahan manusia atas alam benda, tetapi
justeru mampu mengajar manusia untuk mengatur dan mengendalikan diri.
Dengan perkataan lain, ekonomi etis berbeza dengan ekonomi
konvensional, tidak mengacu pada sifat manusia segai homo economikus
yang cenderung serakah, sebaliknya sebagai manusia etik yang utuh atau
manusia seutuhnya. Manusia yang utuh selalu berusaha mengendalikan
pencapaian kebutuhan sampai batas-batas yang pantas dan wajar sesuai
ukuran-ukuran sosial dan moral.6

4 M. Dawam Rahardjo (1999), “Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi”, dalam Muhammad Iswadi (2007),
“Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”, Jurnal Mazahib, Vol. 1., Penerbit: STAIN
Samarinda. hal. 160
5 Agustiano, “Kegagalan Kapitalisme; Perspektif Ekonomi Islam”, diakses pada tanggal 5 Oktober 2018,

https://www.waspadaonline.com/
6 Mubyarto (1988), “Etika Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam A. Dimyati (2007), “Ekonomi Etis:

Paradigma Baru Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi Islam, La_Riba, Vol. I, No. 2. pp. 160.

3
2. Pengerian Metodelogi
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang metodologi ekonomi
Islam, sebaiknya kita melihat lebih rinci erti dari metodologi itu sendiri.
Kalimat Metod-ologi merupkan sebuah awalan Metod dan akhiran
dari –ologi atau logi yang menunjukkan satu bidang kajian atau disiplin
akademik. Walau bagaimanapun, tidak semua bidang mempunyai ‘-ologi’,
sebagai contoh, pembelajaran tentang kelahiran anak dipanggil perbidanan
dan yang melakukannya dipanggil bidan. Metodologi ditakrifkan secara
istilah iaitu kajian tentang kaedah atau tatacara.
Metodologi sesuatu subjek bertujuan untuk menyelidiki
kebenaran konsep, teori dan asas-asas prinsip subjek berkenaan.7 Dalam
pengajian konvensional, terdapat berbagai pendapat yang berbeza
berkenaan dengan metodologi.
Meskipun terdapat perbezaan yang luas antara ahli-ahli ekonomi
konvensional berkenaan dengan metodologi, namun mereka pada asasnya
bersetuju pada isi pokok seperti berikut:8
a. Andaian asas menyatakan manusia itu secara semulajadi
mementingkan diri sendiri dan bertindak secara rasional.
b. Matlamat utama kehidupan manusia ialah kemajuan dalam kebendaan,
dan
c. Setiap manusia mempunyai kecenderungan memaksimumkan
kebajikan kebendaannya yang mengetahui pengetahuan yang cukup
untuk membuat keputusan.

7 Mark Blaug (1980), The Methodology of Economics. Cambridge: Cambridge University Press., dalam Joni
Tamkin Bin Borhan (2002), “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, Jurnal Ushuluddin,
Bil 15 [2002], hal. 73-88.
8 Muhammad Akram Khan (1989), “Methodology of Islamic Economics,” dalam Aidit Ghazali dan Syed
Omar bin Syed Agil (eds.), Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya:
Pelanduk Publications., hal. 50-52.

4
3. Pengertian Metodelogi Ekonomi Islam
Berbicara tentang Metodologi, artinya membahas konsep toeritis
metode yang terkait dalam pengetahuan. Dengan demikian yang dimaksud
metodologi adalah pembahasan konsep-konsep dasar turan ekonomi islam
yang bersumber pada Al qur’an dan sunah.9
Setiap ilmu ekonomi pasti didasari atas ideologi yang memberi
acuan atu landasan untuk mencapai suatu tujuan disatu pihak dan pihak
lainnya serta mempunyai prinsip-prinsip dilain pihak. Dalam ekonomi pun
akan dbuat kerangka-kerangkadimana suatu kelompok atau komunitas
sosio-ekonomi bisa memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi
untuk kepentingan bersama.
Suatu sistem ekonomi islam seharusnya diformulasikan
berdasarkan pandangan ajaran-ajaran islam dan sumber hukum islam
tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem tersebut
seharusnya ditentukan secara pasti dan jelas dalam prosesnya untuk
menunjukan kemurniannya.
Metodologi ekonomi islam ini membahas alat-alat analisis.
Literatur islam yang ada sekarang ada dua macam metode yang digunakan,
yakni :
Metode pertama adalah metode deduksi dan metode yang kedua
adalah metode pemikiran retrospektif. Metode pertama, dikembangkan
oleh para ahli hukum islam, fuqoha, dan sangat dikenal dikalangan
mereka. Ia diaplikasikan di ekonomi islam modern untuk menampilkan
prinsip-prinsip sistem islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi
dengan sumber-sumber islam. Yaitu, Alqur’an dan sunnah.
Metode kedua, digunakan oleh banyak penulis muslim kontemporer
yang merasakan tekanan kemiskinan dan keterbelakangan didunia islam
dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan
ekonomi umat muslim dengan kembali ke Al qur’an dan sunnah untuk

9
Abdul Azis, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, 2008,GRAHA ILMU, Yogyakarta.Hal.
10

5
mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya
dengan memperhatikan petunjuk tuhan.10
Adapun arti islam, literatur arab menyebutkan syariat islam berarti
ketundukan untuk merealisasikan aturan serta kewajiban yang dibawa nabi
Muhammad saw. Ungkapannya “seseorang adalah muslim” berarti
seseorang yang berserah diri kepada perintah Allah dan ikhlas karenanya
dalam beribadah.
Dalam hal ini juga metode yang digunakan melalui metode istinbath
(pengambilan kesimpulan) dan dengan mengambil penjelasan dari syariat
baik yang tetap atau berubah. oleh karena itu, usaha keras apapun yang
dilakukan seseoarang peneliti tanpa memperhatikan teks-teks nash atau
tanpa mengikuti cara yang ditetapkan para ulama Fiqih dan Usul Fiqih
maka usaha tersebut tidak dapat dihubungkan dan dikategorikan sebagai
ekonomi islam.11

4. Konsep Dasar Ekonomi Islam


Adapun sumber-sumber atau dasar-dasar perekonomian dalam
perekonomian Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Konsep Dasar Ekonomi Berdasarkan al-Qur’an
Didalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan
perlu adanya upaya membangun perekonomian. Ayat-ayat tersebut
diantaranya:
Ayat tentang pengelolaaan harta yang terdapat dalam Q.S. al-
A’raf (7): 128
Terjemahnya:
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada
Allah dan bersabarlah; sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan Allah;
dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-

10
Ibid, hal 21
11Abdullah Abdul Husain Al – tariqi, Ekonomi Islam Prinsip Dasar Dan Tujuan, Magista Insana Press,
2004, yogyakarta. hal 14

6
hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”12
Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya
manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna menyimak berbagai
fenomena yang ada di bumi.
b. Konsep Dasar Ekonomi berdasarkan Hadis
Hadis Tentang Jasa :
Artinya:
“Abdullah bin Yusuf berkata kepada kami, Malik dari Abi ziyad dari
al-A’raj dari Abi Hurairah ra. Berkata. Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah
suatu kezaliman. Dan jika salah seoarang dari kamu diikutkan (di-
hawalah-kan) kepada orang yang mampu / kaya, terimalah hawalah
itu.(HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah, Imam
Ahmad, Imam Malik dan al-Darimi.
c. Ijtihad
Ijtihad dalam makna bahasa berasal dari kata ja-ha-da yang
berarti berusaha dengan sungguh-sungguh13. Adapun dalam makna
istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Miftahul Arifin dan
Faisak Haq adalah mencurahkan daya kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara
terperinci14 yang tentunya bersifat operasional dengan
cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Mengenai Ijtihad, menurut Imam al-Amidi sebagaimana yang
dikutip oleh Heri Sudarsono mengatakan bahwa melakukan ijtihad
harus sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuan, menurut Imam al-Gazali batasan sampai merasa tidak
mampu sebagai bagian dari defenisi ijtihad al-Tam (defenisi
sempurna).
12 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an; Dibawah Pengawasan Kementrian Urusan Agama
Islam Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabiah, al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’
al-Malik Fahad Litba’ati al-Mushaf al-yarid, 1422 H), hal. 240
13
Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), hal. 88
14
Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam (Surabaya: Citra Media, 1997),
hal. 109

7
d. Qiyas
Qiyas adalah istilah ushul, yaitu mempersamakan peristiwa
yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nas
bagi hukumnya. Dalam hukum yang terdapat nas untuk menyamakan
dua peristiwa pada sebab hukum ini. Qiyas merupakan metode pertama
yang yang dipegang para mujtahid untuk mengistimabatkan hukum
yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling
jelas.15

5. METODOLOGI EKONOMI SYARIAH


Kalimat Metodologi secara bahasa merupkan sebuah awalan
“metod” dan akhiran dari “ologi” atau “logi” yang menunjukkan satu
bidang kajian atau disiplin akademik. Walau bagaimanapun, tidak semua
bidang mempunyai “ologi“, sebagai contoh, pembelajaran tentang
kelahiran anak dipanggil perbidanan dan yang melakukannya dipanggil
bidan. Metodologi ditakrifkan secara istilah iaitu kajian tentang kaedah
atau tatacara16.
Metodologi sesuatu subjek bertujuan untuk menyelidiki kebenaran
konsep, teori dan asas-asas prinsip subjek berkenaan. Dalam pengajian
konvensional, terdapat berbagai pendapat yang berbeda berkenaan dengan
metodologi. Meskipun terdapat perbedaan yang luas antara ahli-ahli
ekonomi konvensional berkenaan dengan metodologi, namun mereka pada
asasnya bersetuju pada isi pokok seperti berikut17:
• Andaian asas menyatakan manusia itu secara semula jadi
mementingkan diri sendiri dan bertindak secara rasional
• Matlamat utama kehidupan manusia ialah kemajuan dalam kebendaan

15 Ibid.,
hal. 110
16 Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, Diakses pada tanggal 5 Oktober 2018 Pukul 10.31 WIB
http://ms.wikipedia.org/wiki/-logi,
17
Muhammad Akram Khan , Methodology of Islamic Economics, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar bin
Syed Agil (eds.), Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics,(Petaling Jaya: Pelanduk
Publications), hal. 50-52

8
• Setiap manusia mempunyai kecenderungan memaksimumkan
kebajikan kebendaannya yang mengetahui pengetahuan yang cukup
untuk membuat keputusan.
Metodologi dalam ekonomi islam diperlukan untuk menjawab
pertanyaan bagaimana dan apakah syarat suatu perilaku atau
perekonomian dikatakan benar menurut islam. Berbagai isu mengenai
metodologi ekonomi islam telah berkembang, misalnya dugaan bahwa
ekonomi islam apakah bersifat normatif semata dan karenanya tidak bisa
dianggap sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Selain itu juga muncul
pertanyaan apakah ekonomi islam merupakan konsep ekonomi yang ideal
atau praktik-praktik ekonomi oleh masyarakat yang ada. Tujuan utama
dari metodologi tersebut adalah membantu mencari kebenaran. Islam
meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku
untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Al-
qur’an dan Sunnah. Kebenaran suci ini akan mendasari pengetahuan dan
kemampuan manusia dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.
Proses pengambilan keputusan inilah yang disebut dengan rasionalitas
islam18.
Para pakar ekonomi Islam telah merumuskan metodologi ekonomi
Islam secara berbeda, akan tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa
semuanya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat
diringkaskan sebagai berikut19 :
• Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu,
yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Pentafsiran terhadap dua sumber
tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh
para ulama muktabar, bukan secara membabi buta.
• Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode
Induktif.

18 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
Ekonomi, hal. 27
19 Joni Tamkin Bin Borhan (2002). “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam
Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hlm. 77-83.

9
• Ekonomi Islam di bangun di atas nilai dan etika luhur yang
berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana,
dermawan, suka berkorban dan lain-lain.
• Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.
• Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai kesejahteraan (falah) di
dunia dan akhirat.
Zarqa dalam Sumar’in, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri
daritiga kerangka metodologi. Pertama adalah presumption and ideas,
atau yang disebut ide dan prinsip dasar ekonomi Islam. Ide ini bersumber
dari al-Qur`an, al-Sunnah, dan fiqh al-Maqasid. Ide ini nantinya harus
dapat diturunkan menjadipendekatan yang ilmiah dalam membangun
kerangka berpikir dari ekonomi Islamitu sendiri. Kedua adalah nature of
value judgement, atau pendekatan nilai dalamIslam terhadap kondisi
ekonomi yang terjadi. Ketiga yang disebut dengan positivepart of
economic science. Bagian ini menjelaskan tentang realitas ekonomi,
danbagaimana konsep ekonomi Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata
dan riil. Melalui tiga pendekatan tersebut, maka ekonomi Islam dibangun
dan mempunyai ruh serta kekuatan dalam memberikan solusi untuk
mengatasi permasalahan umat20.

6. Pengembangan Metodologi Ekonomi Islam dan Perbandingannya


dengan Ekonomi Konvensional
Kita sudah mengetahui bahwa tujuan utama ekonomi islam adalah
untuk mencapai falah. sehingga dalam pencapaian falah tersebut harus
sesuai dengan syariat islam. Metodologi islam sangat diperlukan dalam
menjawab permasalahan -permasalahan yang timbul dari ekonomi islam.
Karena tujuan utama metodologi adalah mencari kebenaran. Metodologi
didapat dari Pengetahuan, namun pengetahuan ini harus dapat dibuktikan
apakah hipotesa-hipotesanya bisa dibuktikan kebenarannya atau tidak.

20
Sumar’in, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hal. 18

10
Ilmu pengetahuan merupakan suatu cara yang sistematis untuk
memecahkan masalah kehidupan manusia yang mendasarkan segala aspek
tujuan (ontologis), metode penurunan kebenaran ilmiah (epistemologis)
yang didasarkan pada kebenaran deduktif (wahyu ilahi) yang didukung
oleh kebenaran induktif (empiris) ayat kauniyah, dan nilai-nilai (
aksiologis) yang terkadung dalam ajaran islam.
Dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, metodologi ilmu ekonomi
merupakan hal yang penting dan mendasar karena melalui metodologi
inilah kebenaran hukum atau teori diharapkan tercapai. Perumusan teori-
teori ekonomi yang didasarkan kepada paradigma atau worldview Islam
mau tidak mau harus berangkat dari sebuah metodologi yang berbeda
dengan metodologi ilmu ekonomi saat ini. Secara prinsip, keduanya
berbeda sama sekali dalam banyak hal, terutama tentang tatanan nilai,
filsafat dan pandangan dunia (worldview) yang mendasari, alur sejarah
perkembangannya serta posisinya terhadap ilmu ekonomi itu sendiri. Oleh
karena itu, proses Islamisasi ilmu ekonomi diharapkan dapat
mengintegrasikan keduanya yang meski berbeda, namun juga memiliki
sejumlah kesamaan yang bersifat natural21
Pengembangan yang digunakan dalam metodologi Islam berbeda
dengan pengembangan yang digunakan dalam metodologi konvensional.
Pengembangan yang digunakan dalam metodologi ekonomi konvensional
berdasarkan kepada gejala-gejala ekonomi yang muncul dan bagaimana
pengamatan yang telah dilakukan oleh para ahli ekonomi. Metodologi
ekonomi konvensional dikembangkan dari interpretasi manusia tentang
manusia dan realita kehidupan. Sedangkan dalam Islam, metodologi
dikembangkan dari pemahaman bahwa alam dan isinya adalah ciptaan
Allah, maka peraturan-Nyalah yang paling pantas untuk dilaksanakan.

21
Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics: Seculer Versus Islamic, dalam Jurnal
Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE UMY, Vol.2, No. 1, April 2001., hal. 12

11
Metodologi ilmu ekonomi Islam, dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam
yang bersumber dari Alquran, Sunnah dan ijtihad22.
Munculnya metodologi dalam ilmu ekonomi konvensional dimulai
ketika ilmu ekonomi ini sendiri relatif mapan dan telah mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Oleh karena itu, keberadaan
metodologinya adalah untuk menjustifikasi atau mengabsahkan
keberadaan ilmu ekonomi sekaligus dengan praktek-praktek empirisnya.
Situasi yang selalu berubah, menjadi dasar dari pentingnya kemapanan
ilmu ekonomi, melalui sebuah metodologi. Tanpa metodologi,
konsekuensinya, bila kelak terjadi perubahan mendasar terhadap praktek
perekonomian secara global, maka ia juga akan mencari alat justifikasi
yang baru dan sesuai, atau sebaliknya mengalami situasi yang tragis dan
sulit untuk dibayangkan23. Sedangkan dalam ilmu ekonomi Islam, Islam
membangun metodologinya terlebih dahulu. Dalam konteks ini misalnya
berbentuk us’ul fiqh, baru kemudian ilmu fiqh yang tercakup di dalamnya
fiqh mu’amalat dengan berbagai kategorinya yang berkembang mengikuti
metodologi. Dari sini pula suatu sistem kemudian memperoleh berbagai
momentum sejarahnya melalui berbagai bentuk, baik teori maupun
empiris.
Dalam hal metodologi ilmu ekonomi Islam, diantara tokoh yang
pernah menawarkan pemikirannya adalah Ismail Raji al-Faruqi (1982: 22-
33), yang menawarkan prinsip-prinsip dasar metodologi Islami, yaitu the
unity of Allah (SWT), the unity of creation, the unity of truth and the unity
of knowledge, the unity of life dan the unity of humanity.
Dengan menelaah pandangan ini, ternyata metodologi yang
ditawarkan al-Faruqi jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang saat ini
disebut sebagai scientific approach. Scientific approach berbasis pada
sesuatu yang empiris, secara tidak langsung menafi’kan eksistensi Tuhan.
Hal ini disebabkan karena paham ini menilai bahwa sebuah kebenaran

22
Ibid., hal. 13
23
Ibid., hal. 15

12
harus diperoleh dengan a posteriori. Safi mencatat bahwa metodologi
Barat memiliki dua kelemahan, yaitu (1) terjebak kepada bias-bias
empirisme yang mencapai puncaknya dalam pendekatan positivisme logis,
dan (2) pencabutan wahyu Ilahi sebagai sumber pengetahuan ilmiah.
Akibat dari bias-bias metodologi ini adalah bahwa kebenaran ilmiah hanya
dapat dibuktikan secara empiris dan logis atau bahkan harus sesuai dengan
fakta-fakta yang terjadi. Sementara itu, metodologi tradisional Islam juga
mengandung kelemahan yaitu membatasi ijtihad kepada penjelasan
legalistik formal, terlalu atomistik dan terpaku kepada pemikiran
analogis24.
Untuk mengatasi persoalan ini, terdapat dua pendekatan yang
populer dalam metodologi ekonomi islam, yaitu pendekatan radikal (all-
or-nothing) dan pendekatan bertahap (step by step). Pendekatan pertama
didasarkan kepada gagasan tentang universalitas dan kesempurnaan Islam
dengan mengandaikan terbentuknya sebuah model masyarakat Islam
murni sehingga prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat terwujud sepenuhnya.
Sementara itu, pendekatan kedua tampak lebih pragmatis. Pendekatan ini
lebih menekankan pada langkah-langkah yang evalusioner untuk
memodifikasi tatanan sosial-ekonomi modern menuju idealita Islam.
Nampaknya, pendekatan kedua ini lebih banyak diminati karena
dipandang memberi ruang yang fleksibel untuk melakukan modifikasi dan
perbaruan metodologis sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya,
Islamisasi ekonomi menempuh pendekatan ini25.

7. Ekonomi Positiv dan Ekonomi Normativ


Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa semakin berkembangnya
metodologi dalam ekonomi islam memunculkan berbagai isu mengenai
metodologi ekonomi islam itu sendiri. Salah satu dari isu tersebut adalah

24
Arif Hoetoro, Ekonomi islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, (Malang: BPFE
Unibraw, 2007), hal. 250
25
Ibid,,hlm. 251

13
munculnya pertanyaan apakah ekonomi islam merupkan ilmu positif atau
normatif ?. Seiring dengan perkembangan ekonomi islam, perdebatan
mengenai ekonomi islam sebagai ilmu positif atau normatif, tidak ada
habis-habisnya selalu dikemungkakan oleh beberapa pihak yang tidak
menginginkan implementasi dual economic sistem . Mereka menganggap
bahwa ekonomi islam hanya suatu ilmu yang mendasari analisisnya
melalui ajaran-ajaran agama Islam yang bersumber dari Qur’an & Hadits
serta perangkat istinbath lainnya. Oleh sebab, itu ilmu ekonomi islam
terjebak pada normatifisme (dogmatis) yang akan sangat sulit di-
implementasi-kan di tataran masyarakat (positifisme) .
Positivisme adalah suatu pandangan yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan, semua didasarkan
pada data empiris (benar-benar terjadi di kehidupan masyarakat). Data-
data yang bersumber dari non-empiris (wahyu, sabda nabi) merupakan
data yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sedangkan
normatif adalah suatu pandangan yang menganggap bahwa sumber data
yang bersifat non-empiris, seperti wahyu tuhan, sabda nabi, moral manusia
dan lain sebagainya merupakan data yang dapat dirujuk untuk mencari
kebenaran ilmiah. Utuk lebih mudah memahami mengenai perbedaan
antara positiv dan normativ dapat disimpulkan bahwa ekonomi positif
(positive economics) membahas mengenai realitas hubungan ekonomi,
sedangkan ekonomi normatif (normative economics) membicarakan
mengenai apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan nilai tertentu.
Para ekonom sepakat bahwa teori-teori ilmu ekonomi menjustifikasi
apa yang sedang berlaku di masyarakat. Hal ini menandakan kuatnya
pengaruh positivistik dalam pengambangan teori ekonomi. Menariknya,
dalam proses teoretisasi fakta-fakta ekonomi tersebut sering berangkat dari
perspektifnya masing-masing, menandakan bahwa sebenarnya mereka
juga dipengaruhi oleh sistem nilai tertentu. Karena itu dapat diterima jika

14
banyak orang menilai bahwa teori-teori ekonomi positif pada dasarnya
merefleksikan norma-norma, tata nilai dan worldview barat, tidak hanya
merupakan sebuah analisis positif fenomena ekonomi. Para ekonom
sepakat bahwa teori-teori ilmu ekonomi menjustifikasi apa yang sedang
berlaku di masyarakat. Hal ini menandakan kuatnya pengaruh positivistik
dalam pengambangan teori ekonomi. Menariknya, dalam proses teoretisasi
fakta-fakta ekonomi tersebut sering berangkat dari perspektifnya masing-
masing, menandakan bahwa sebenarnya mereka juga dipengaruhi oleh
sistem nilai tertentu. Karena itu dapat diterima jika banyak orang menilai
bahwa teori-teori ekonomi positif pada dasarnya merefleksikan norma-
norma, tata nilai dan worldview barat, tidak hanya merupakan sebuah
analisis positif fenomena ekonomi. Berangkat dari uraian di atas, maka
formulasi teori tidak hanya berangkat dari aspek-aspek positif saja
melainkan juga memasukkan aspek-aspek normatif yang diambilkan dari
ketentuan syari’at. Dengan demikian, ketika nilai-nilai masuk dalam teori
dan kebijakan ekonomi, pemisahan secara tegas antara aspek normatif dan
positif menjadi tidak relevan lagi karena pada dasarnya keduanya saling
berhubungan. Hal ini justru semakin memperkuat justifikasi ekonomi
Islam sebab model atau hipotesis yang dibangun ditentukan oleh
kesesuaiannya dengan asumsi dan prinsip-prinsip syari’at26.
Dalam ilmu ekonomi islam, aspek-aspek yang normatif dan positif
itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan
berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini berarti bahwa ilmu
ekonomi islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang
tidak dapat dibedakan sama sekali. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak
dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan
positif atau normatif. Setiap usaha untuk membedakan antara yang positif
dan normatif akan berakibat buruk, dalam arti hal itu akhirnya akan
menyebabkan lahir dan tumbuhnya “ sekularisme “ dalam ekonomi islam.

26 Arif Hoetoro, Ekonomi islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE
Unibraw, 2007., hal 267-268

15
Kecenderungan untuk menguji segala sesuatu dengan pengetahuan
manusia yang terbatas dan prasangka akan merusak asas-asas dasar
ekonomi islam. Setiap usaha untuk menggolongkan ekonomi islam
sebagai ilmu yang positif dan normatif justru akan merusak tujuan untuk
apa ilmu itu sebenarnya diciptakan. Ini sama halnya bila kita mencoba
memisahkan badan manusia yang untuk delapan puluh persennya terdiri
dari air maka badan itu akan binasa. Jadi, masalah dalam ekonomi islam,
harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan sosial yang
terintegrasi, tanpa memisahkannya dalam kpmponen normatif dan
positif.27
Quran dan Sunnah tidak hanya berbicara pada dataran normatif saja,
tetapi juga menyajikan informasi positif. Misalnya dalam kutipan Al-
Quran berikut ini:
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”.
(Q.S. Asy-Syuura: 27).
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
karena dia melihat dirinya serba cukup”. (Q.S. Al-Alaq: 6-7)

Ayat-ayat ini menunjukkan bagaimana dampak kenaikan


kekayaan/penghasilan yang substansial terhadap perilaku manusia. Bukti-
bukti memang menunjukkan bahwa manusia biasanya cenderung
melampaui batas bila merasa lebih kaya. Selain itu Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga memperingatkan kecenderungan
serakahnya manusia:
“Andai kata seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak
satu lembah, tentu ia akan berusaha memiliki dua lembah. Dan andaikata
ia telah memiliki dua lembah, tentu ia akan berusaha untuk memiliki tiga
lembah. Memang tidak ada yang dapat memenuhi kehendak anak Adam
melainkan tanah. Dan Allah akan memberi tobat bagi mereka yang
bertobat”. (H.R. Bukhari – Muslim).

27
Ibid., hal. 269

16
Ada benang merah yang dapat ditarik dari kutipan Quran dan
Sunnah di atas, yaitu bahwa di satu sisi ada keinginan yang tak terbatas
dari manusia terhadap kekayaan, di sisi lain, keinginan tersebut dibatasi
oleh aturan syariat Islam bila manusia menyadari dan mengingat ganjaran
dan hukuman di akhirat kelak. Oleh karena itu, Mannan (1993)
menyatakan bahwa aspek-aspek normatif dan positif saling berkaitan erat
dalam ekonomi Islam. Mannan menyimpulkan bahwa masalah dalam
ekonomi Islam harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan
sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkan komponen normatif dan
positif.28

C. PENUTUP
Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa para ekonomi Islam yang
bertekad untuk memulai dengan serius., kini telah dapat memperoleh
pengertian luas tentang metode penelitian deduktif atau induktif dalam
merumuskan teori dan kebijaksanaan Islami. Karena, merupakan hal yang
sahih untuk suatu teori yang Islami sarat nilai yang ideal dapat mempunyai
dimensi waktu dan ruang. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan tentang
perilaku lembaga, dan organisasi ekonomik di masa lampau, sekarang dan
membayangkannya untuk masa yang akan datang. Tetapi ini harus dipahami
dalam kerangka abadi yang lebih luas dari prinsip-prinsip Al-
Qur’an danSunnah. Walaupun ekonomi Islam adalah bagian dari suatu
“sistem“, tetapi ia juga merupakan suatu ilmu. Perbedaan antara ilmu ekonomi
positif dan normatif tidak diperlukan, juga tidak diinginkan: dalam hal-hal
tertentu malah akan menyesatkan. Namun harus dicatat bahwa metode
penelitian dapat berupa deduktif, induktif, atau kombinasi dari keduanya.
Metode deduktif sebagaimana yang dikembangkan oleh para ahli hukum
Islam, dapat diterapkan pada ekonomi Islami dalam mendeduksikan prinsip
sistem Islam itu dari sumber-sumber hukum Islam. Metode induktif dapat pula
digunakan untuk mendapatkan penyelesaian dan problema ekonomik dengan

28
Ibid., hal. 270

17
menunjuk pada keputusan historik yang sahih. Namun harus diakui bahwa
masih banyak yang harus dilakukan untuk membahas soal ini menjadi
komprehensif dan lebih bermutu.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Abdul Husain Al – tariqi, Ekonomi Islam Prinsip Dasar Dan Tujuan,
Magista Insana Press, 2004, Yogyakarta.
Abdul Azis, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, 2008,GRAHA ILMU,
Yogyakarta.Hal. 10
Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab – Arab
Indonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999).
Arif Hoetoro, Ekonomi islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi,
(Malang: BPFE Unibraw, 2007).
Joni Tamkin Bin Borhan (2002). “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis
Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi
Pengajian Islam, Universiti Malaya.
Mark Blaug (1980), The Methodology of Economics. Cambridge: Cambridge
University Press., dalam Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Metodologi
Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, Jurnal Ushuluddin, Bil 15
[2002].
Masyhudi Muqorobin, Methodology of Economics: Seculer Versus Islamic, dalam
Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE UMY, Vol.2, No. 1, April
2001.
Masudul Alam Choudhury (1986), Contribution to Islamic Economic Theory: A
Study In Sosial Economics, Hongkong: The MacMillan Press, Ltd.
Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-kaidah Penetapan hukum
Islam (Surabaya: Citra Media, 1997)
Mubyarto (1988), “Etika Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam A. Dimyati (2007),
“Ekonomi Etis: Paradigma Baru Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi Islam,
La_Riba, Vol. I, No. 2.
Muhammad Akram Khan (1989), “Methodology of Islamic Economics,” dalam
Aidit Ghazali dan Syed Omar bin Syed Agil (eds.), Reading in the Concept
and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk
Publications.
Muhammad Akram Khan , Methodology of Islamic Economics, dalam Aidit
Ghazali dan Syed Omar bin Syed Agil (eds.), Reading in the Concept and
Methodology of Islamic Economics,(Petaling Jaya: Pelanduk Publications)
M. Dawam Rahardjo (1999), “Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi”, dalam
Muhammad Iswadi (2007), “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model
Pendekatan”, Jurnal Mazahib, Vol. 1., Penerbit: STAIN Samarinda.

19
Sumar’in, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an; Dibawah Pengawasan
Kementrian Urusan Agama Islam Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan
Saudi Arabiah, al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik
Fahad Litba’ati al-Mushaf al-yarid, 1422 H).
Agustiano, “Kegagalan Kapitalisme; Perspektif Ekonomi Islam”, diakses pada
tanggal 5 Oktober 2018, https://www.waspadaonline.com/
Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, Diakses pada tanggal 5 Oktober 2018 Pukul
10.31 WIB http://ms.wikipedia.org/wiki/-logi,

20

Anda mungkin juga menyukai