Sifat : Wajib
Prasyarat :-
Absen Tatap Muka : Lulus jika kehadiran >75%, tidak lulus jika kehadiran <75%
Tujuan Pembelajaran:
Pembahasan Materi:
Sistem ekonomi dunia saat ini bersifat sekuler, di mana terjadi pemisahan
antara kehidupan agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas
ekonomi. Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal
pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi Hal ini terbukti bahwa pada
masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan
kejayaan Islam. Di mana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh
para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan
sampai saat ini, seperti ilmu aljabar. Ilmuwan muslim klasik memiliki pengetahuan
yang mendalam mengenai ilmu agama dan ilmu yang bersifat duniawi. Proses
perpaduan ilmu pengetahuan tersebut menjadikan umat Islam berjaya ketika
negara-negara Barat mengalami masa kegelapan.
Tujuan dari penulisan modul ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
filosofi dasar ekonomi Islam sehingga pembaca dapat mengetahui apakah yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional baik
secara prinsip, filosofi dasar, maupun mekanisme pengambilan hukum yang
dijadikan dasar pada ekonomi Islam. Perbedaan utama antara ekonomi Islam dan
ekonomi konvensional adalah nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Dari perbedaan
nilai itu akan didapatkan perbedaan dalam turunan ilmunya.
Modul ini akan dibagi menjadi tiga kegiatan belajar, kegiatan belajar yang
pertama membahas tentang konsep dasar ekonomi Islam, rancang bangun ekonomi
Islam, dan mazhab yang terdapat pada ekonomi Islam kontemporer. Pada kegiatan
belajar yang kedua akan dibahas tentang sumber hukum dalam ekonomi Islam.
Kemudian pada kegiatan belajar ketiga akan dibahas perbandingan antara sistem
ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi sosialisme dan sistem ekonomi Islam.
Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan
filosofi dasar ekonomi Islam. Secara khusus, setelah mempelajari modul ini dengan
baik, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
Sementara ada pula yang menyatakan bahwa ekonomi Islam sebagai suatu
sistem ekonomi pertengahan. Pendapat ini menempatkan sistem ekonomi Islam
berada pada posisi di tengah-tengah antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialis,
namun pendapat ini pun kurang tepat karena memosisikan sistem ekonomi Islam
layaknya sistem ekonomi tambal sulam atas kelemahan yang terdapat pada sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis.
Terakhir ada yang menyatakan bahwa ekonomi Islam sebagai suatu sistem
ekonomi solutif, inilah pendapat yang lebih tepat, yaitu dengan memosisikan sistem
ekonomi Islam sebagai suatu sistem yang dapat menjawab kegagalan yang terdapat
sistem ekonomi konvensional, baik kapitalis maupun sosialis dengan menawarkan
solusi yang dapat memberikan kesejahteraan maksimal kepada umat.
Syed Nawab Heider Naqvi (1994) dalam bukunya “Islam, Economics, and
Society ” memberikan rumusan. “Islamic economics is the representative Moslem’s
behaviour in a typical moslem society”.
Istilah ekonomi islam atau politik islam dan lan-lainnya tidak pernah ada
pada masa para nabi khususnya pada masa Rsulullah. Beliau mengajarkan Islam
sebagai 1 paket yang utuh, menyeluruh, lengkap dan sempurna, baik istilahnya,
pemahaman dan praktiknya.
Ajaran ekonomi islam adalah wahyu ALLAH SWT dan petunjuk Rasul-
Nya mengenai aktivitas manusia dalam berekonomi.
Pemikiran ekonomi islam adalah upaya penafsiran manusia atas ajaran
ekonomi islam tersebut.
Doktrin ekonomi islam adalah pokok-pokok keyakinan mengenai
perekonomian yang seharusnya dipahami, dirasakan dan diamalkan oleh
manusia menurut ajaran ekonomi islam.
Teori ekonomi islam adalah pernyataan yang terinspirasi dari ajaran
ekonomi islam yang menjelaskan atau memprediksi perilaku atau hubungan
atara fenomena-fenomena yang dapat diamati.
Perekonomian umat muslim adalah seperangkat fenomena mengenai
kehudupan umat muslim. Perekonomian umat muslim sendiri terbayi
menjadi 2:
a. Perekonomian umat muslim yang seharusnya.
b. Perekonomian umat muslim kenyataannya.
Di dunia ini hanya ada Islam dan non-Islam atau Islam dan kafir. Akibatnya,
jika ada ekonomi islam maka seharusnya lawannya adalah ekonomi non-islam. Tak
ada ekonomi yang netral atau setengah-setengah, setengah baik atau setengah
buruk. Kalau sesuatu masih mengandung keburukan, itu bukan islam dan
dipastikan buatan manusia.
Kebijakan dasar yang menjadi acuan dalam sistem ekonomi Islam menurut
Choudhury adalah sebagai berikut.
a) Asas suka sama suka, yaitu kerelaan yang sebenar, bukan kerelaan yang
sifatnya semu dan seketika. Kerelaan ini harus dapat diekspresikan dalam
berbagai bentuk muamalah yang legal dan dapat
dipertanggungjawabkan.Itulah sebabnya kenapa Nabi Muhammad SAW
mengharamkan berbagai transaksi yang terindikasi terkandung maysir,
gharar, dan riba karena dalam transaksi tersebut pasti ada pihak yang
dikecewakan atau dirugikan dan transaksi ini tidak terjadi atas keridaan
kedua belah pihak.
b) Asas keadilan. Keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keseimbangan
atau kesetaraan antarindividu atau komunitas. Keadilan tidak berarti
kesamaan secara mutlak, di mana semua individu harus sama rata sebab
kesetaraan yang mutlak akan menciptakan ketidakadilan. Namun, keadilan
adalah harus mampu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
proporsinya. Dalam ekonomi, keadilan termasuk dalam memberikan akses
atau kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk dapat berkembang
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c) Asas saling menguntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh
karenanya dalam ekonomi Islam dilarang transaksi maysir, gharar, dan riba
sebab dalam transaksi tersebut pasti akan ada pihak yang dirugikan. Dalam
ekonomi Islam harus terjadi suatu kerja sama yang saling menguntungkan
antara pihak yang bekerja sama.
d) Asas tolong menolong dan saling membantu serta dilarang untuk adanya
pemerasan dan eksploitasi. Sistem ekonomi kapitalis ditentang karena
adanya unsur eksploitasi dari si pemilik modal kepada kelompok
masyarakat lain yang kurang memiliki akses terhadap modal dan pasar.
Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi Islam adalah sebagai berikut.
Sistem ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara
perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi
maupun distribusi. Dengan membaca dan meneliti hukum-hukum syara’ yang
menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampak bahwa Islam telah telah
menjelaskan bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh,
juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengkonsumsi dan
mengembangkan) harta serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada.
Inilah yang sesungguhnya dianggap oleh Islam sebagai masalah ekonomi bagi suatu
masyarakat.
Harta pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT. Allah SWT kemudian
memberikan izin kepada manusia untuk memanfaatkan harta tersebut. Dengan
demikian, posisi manusia hanya sebagai pelaku atas izin yang diberikan kepadanya.
Konsekuensinya, setiap kepemilikan serta sebab atau cara kepemilikan hanya
ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ yaitu Allah SWT. Melalui hukum-
hukum Islam, Allah memberikan sejumlah aturan mengenai cara dan kepemilikan
yang dapat dilakukan oleh manusia.
Kepemilikan atas harta tidak ditentukan oleh jenis harta yang dapat dimiliki
ataupun berdasarkan dari karakter dasarnya apakah memberikan manfaat atau tidak.
Harta yang bermanfaat menurut pandangan manusia tidak menjadikan dasar untuk
dimiliki. Karena, terdapat banyak benda yang kelihatannya bermanfaat namun
dilarang oleh Islam untuk dimiliki seperti daging babi dan harta hasil riba.
Sistem Islam mengatur bahwa tidak seluruh jenis harta dapat dimiliki oleh
manusia secara bebas. Beberapa di antaranya dilarang kepemilikannya seperti
barang haram atau barang yang harus dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama.
Dalam berbagai nash, Allah SWT telah memberikan penjelasan tentang izin
memiliki beberapa jenis harta benda dan melarang memiliki jenis harta benda yang
lain. Allah SWT juga memberikan izin terhadap beberapa transaksi muamalah
serta melarang bentuk-bentuk transaksi muamalah yang lain. Dalam satu segi, Allah
SWT telah memberi izin untuk memiliki benda-benda yang dihalalkan oleh Allah
SWT sekaligus memanfaatkannya. Allah SWT pun memberi izin terhadap transaksi
jual-beli dan ijarah serta aktivitas bertani dan berburu serta memiliki dan
memanfaatkan benda yang dihasilkan darinya. Di lain segi, Allah SWT melarang
setiap muslim untuk memiliki apalagi memanfaatkan harta yang diharamkan oleh
Allah seperti minuman keras dan babi. Begitu pula Allah SWT melarang seluruh
komponen masyarakat Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian.
Pertama, apabila mudah bagi orang per orang untuk memanfaatkannya secara
langsung seperti air, rumput, pohon, jalan umum, laut, sungai, dan sebagainya
maka setiap individu boleh memanfaatkannya secara langsung. Setiap individu
hanya diperkenankan sekedar mengambil manfaatnya dan bukan memilikinya.
Termasuk dalam katagori ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang
tidak dihidupkan secara individual; bithaih (tanah yang tenggelam tertutup
air); showafi (semua tanah di tempat futuhat yang tak bertuan atau milik penguasa
negara sebelumnya yang ditetapkan oleh kepala negara/khalifah menjadi milik
baitul mal; dan setiap bangunan yang dibangun oleh negara dan dananya berasal
dari baitul mal, khusunya berkaitan dengan struktur negara.
Dalam memanfaatkan harta milik individu yang ada Islam memberikan tuntunan
bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib
seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat dan lain-
lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru
kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut
tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-
barang yang haram seperti minuman keras, babi dan lain-lain.
Demikian pula pada saat seorang muslim ingin mengembangkan harta yang telah
dimiliki, ia terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta.
Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-
cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang
pertanian ,perindustrian maupun perdagangan. Selain itu, Islam juga melarang
pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba, judi serta
aktivitas terlarang lainnya.
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu.” (QS. Al-Hasyr : 7)
Dalam pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, kita
harus mengetahui terlebih dahulu mengenai rancang bangun ekonomi Islam,
dengan mengetahui rancang bangun ekonomi Islam kita dapat memperoleh
gambaran utuh dan menyeluruh secara singkat tentang ekonomi Islam. Rancang
bangun ini terdiri dari atap, tiang dan landasan. Diharapkan nantinya dengan
mengetahui rancang bangun ini, dapat memahami lebih lanjut mengenai apa
ekonomi Islam itu sendiri.
Landasan terdiri atas aqidah, adil, nubuwwa, khilafah, dan ma’ad. Aqidah
(tauhid) merupakan konsep ketuhanan umat Islam terhadap Allah SWT. Di mana
dalam pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontology tauhid, dan hal ini menjadi
prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari
tauhid yang dipegangnya sehingga rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang
memperlihatkan betapa pentingnya tauhid dalam setiap insan `beriman. Oleh
karenanya, setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip
yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Oleh karenanya,
setiap tindakan yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab akan dapat
menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia, baik bagi individu itu
sendiri maupun bagi orang lain.
Adil di sini mengandung makna bahwa dalam setiap aktivitas ekonomi yang
dijalankan tidak terjadi suatu tindakan yang menzalimi orang lain. Konsep adil ini
mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut
konteks individual, janganlah dalam aktivitas perekonomiannya ia sampai
menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai
merugikan orang lain. Oleh karenanya, harus terjadi keseimbangan antara
keduanya. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan
oleh insan beriman haruslah adil agar tidak ada pihak yang tertindas. Karakter
pokok dari nilai keadilan bahwa masyarakat ekonomi haruslah memiliki sifat
makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syariat Islam.
Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable
–bukan karena kebaikan hati kita. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat
berasal dari usaha sendiri secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di
dalamnya sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, Islam
mewajibkan zakat dan voluntary sector (infak, sedekah, wakaf, dan hibah) agar
terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan. Namun, pemerataan di sini bukan
berarti sama rata, sama rasa, melainkan sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat
adalah salah satu instrument pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu
sistem jaminan social yang ada di Barat. Selain itu, kerja sama (cooperative)
merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islami versus kompetisi bebas dari
masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Kerja sama ekonomi
harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi
barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam adalah
qirad. Qirad adalah kerja sama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha
pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit
ekonomi atau proyek usaha.
Yang terakhir adalah atap dari rancang bangun ekonomi Islam itu sendiri
yaitu akhlak yang menjadi perilaku Islami dalam perekonomian. Atau dalam
kaitannya dengan ekonomi bisa diartikan sebagai suatu etika yang harus ada dalam
setiap aktivitas ekonomi. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup
untuk membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun, harus dilengkapi dengan
akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan
sampai merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah. Akhlak
yang mulia mampu menuntun umat dalam aktivitas ekonominya tidak merugikan
pihak lain, misalnya dengan tidak melakukan gharar, maysir, dan riba sebab teori
yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuai dengan syariah sama sekali bukan
jaminan secara otomatis akan memajukan perekonomian umat. Sistem ekonomi
Islami hanya memastikan tidak adanya transaksi yang bertentangan dengan syariat.
Kinerja ekonomi sangat tergantung pada siapa yang ada di belakangnya. Baik
buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses dan gagalnya bisnis
yang dijalankan. Dengan melihat pengertian di atas dapat kita Tarik beberapa
pengertian, yaitu pertama, Ekonomi Islam sebagai ilmu adalah merupakan landasan
dari rancang bangun ini. Kedua, Ekonomi Islam sebagai suatu sistem atau sistem
ekonomi Islam adalah yang menjadi tiang dari rancang bangun. Ketiga, Ekonomi
Islam sebagai suatu perekonomian atau perekonomian Islam adalah yang kita sebut
sebagai atapnya.
1. Iqtishaduna,
2. Mainstream,
3. Alternatif-kritis.
Mazhab Iqtishaduna
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”. Di mana
mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa berjalan
seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah tetap
Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian dan
filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi Islam
(Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada perbedaan
cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi termasuk pula
dalam alat analisis yang dipergunakan. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi
muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber
daya yang tersedia terbatas, di mana faktor utama permasalahan ekonomi adalah
masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena menurut mereka
Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang mereka
pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Alquran Surat Al
Qamar ayat 49.
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-
tepatnya”.
Oleh karena itu, istilah ekonomi Islam adalah istilah yang tidak tepat dan
menyesatkan sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan. Sebagai gantinya
ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yaitu iqtishad.
Iqtishad menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad
berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equilibrium atau keadaan
sama seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi
konvensional ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun
berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunah.
Mazhab Mainstream
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi
orang-orang yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal
yang alamiah dan bersifat sunatullah. Dalil yang dipakai adalah Alquran surat At-
Takaatsur ayat 1-5
Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dan
lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama
dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang
pada hakikat aslinya sudah ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan
teori lama, untuk kemudian menggantinya dengan teori baru yang notabenenya
sebagian telah ditemukan. Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari
ekonomi konvensional dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan
variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka
berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi
konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri.
Ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Alquran dan Sunah, di mana
tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda
atasnya. Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji
kebenarannya agar ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di
dunia ini.
“…is the group of economic institution or, regarded as a unit, the economic
system, the organization through the operation of which the various resources
scarce, relative to the need for them are utilized satisfy the wants of man”
Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi muncul pada abad ke-16 yang
didorong oleh revolusi industri yang terjadi di Eropa, yang ditandai dengan
peralihan dari dominasi modal perdagangan di atas modal bagi industri menuju arah
dominasi modal industri atas modal perdagangan. Proses terjadinya cepat dan inilah
yang memunculkan Adam Smith sebagai bapak ekonomi modern dan bapak
kapitalisme. Meskipun sebenarnya lahirnya sistem ekonomi kapitalis merupakan
perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian di
Eropa pada masa sebelumnya (era merkantilisme).
Hak milik individu merupakan suatu hal yang mutlak, tanpa memandang
cara mendapatkan maupun penggunaannya. Setiap individu bebas untuk
memiliki dan menggunakannya tanpa ada seorang pun yang berhak untuk
melarangnya. Pemberian hak milik secara mutlak akan menciptakan
perilaku individu untuk menggunakan semaksimal mungkin sumber daya
yang dimiliki dan berdampak pada distribusi pendapatan masyarakat.
3. Kebebasan penuh.
1. Penumpukan harta yang terjadi pada satu individu atau kelompok akan
menimbulkan terjadinya ketimpangan dan distribusi kekayaan tidak merata di
masyarakat. Hal ini menimbulkan terjadinya kesenjangansosial yang cukup
lebar di masyarakat antara kelompok masyarakat kaya dengan kelompok
masyarakat miskin.
3. Disiplin politik yang tegas dan keras merupakan salah satu ciri utama dalam
sistem ekonomi sosialis yang sepenuhnya menganut sistem komando.
4. Tiap warga negara dipenuhi kebutuhan pokoknya, hal ini disebabkan oleh
penguasaan mutlak kekayaan oleh negara.
6. Posisi tawar menawar individu dalam sistem sosialis sangat terbatas, karena
negara merupakan kunci utama di dalam perekonomian.
Kebaikan yang dimiliki oleh sistem ekonomi sosialis ialah sebagai berikut.
3. Kemerataan yang sifatnya absolut dan pemilikan individu yang tidak diakui
mengakibatkan hilangnya motivasi bekerja dari warga negara, mereka
menganggap tidak ada gunanya mereka bekerja keras maupun tidak karena
penghasilan yang mereka dapatkan akan sama pula dengan warga negara yang
lain.
1. Prinsip tauhid, tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa
segala apa yang di alam semester ini didesain dan di cipta dengan Umer
Chapra, The Future of Economics, (terj) Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, h. 202-206 sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan
dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan
signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang
menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2. Prinsip khilafah. Manusia merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi
dengan dibekali perangkat baik jasmani maupun rohani untuk dapat
berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini
adalah: (1) persaudaraan yang universal; (2) sumber daya adalah amanah;
(3) gaya hidup sederhana; (4) kebebasan manusia.
3. Prinsip keadilan, keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam,
implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia,
(2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan thayyib, (3) distribusi
pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
5. Setiap individu dalam sistem ekonomi Islam akan termotivasi untuk bekerja
keras, dalam setiap ajaran agama menganjurkan bekerja sebagai kunci
kesuksesan seorang individu. Berbagai praktik ibadah dalam Islam memotivasi
individu untuk bekerja keras seperti zakat dan haji merupakan ibadah yang hanya
dapat dilaksanakan oleh kaum berkecukupan. Namun apakah sistem ekonomi
Islam memiliki kelemahan?
Menurut penulis kelemahan utama dalam sistem ekonomi Islam saat ini adalah
masih belum sistematisnya pembahasan sistem ekonomi Islam secara keilmuan,
sehingga ekonomi Islam belum mampu memberikan pembahasan yang terstruktur
secara baik seperti sistem ekonomi konvensional. Selain itu masih banyak konsep
dalam sistem ekonomi Islam yang belum mampu diaplikasikan secara keseluruhan,
karena belum ada negara yang mengaplikasi sistem ekonomi Islam secara penuh
dalam perekonomiannya.
Sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda
dari sistem ekonomi lainnya (konvensional). Selanjutnya akan dilihat perbandingan
antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro
foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosophic foundations).
HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
A. Konsep Harta
Kekayaan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-ghina, yang berarti
tidak ada kebutuhan dan dikenal sebagai al-ghaniyu berarti diri cukup, yang
merupakan salah satu atribut allah swt. Seperti terdapat dalam firman allah swt.
”dan tuhanmu maha kaya, penuh rahmat. Jika dia menghendaki, dia akan
memusnahkan kamu dansetelah kamu(musnah) akan dia ganti dengan yang dia
kehendaki, sebagaimana dia menjadikan kamu dari golangan lain.” Q.s. al-an’am
(6); 133
Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa kekayaan dalam islam terdiriatas
dua elemen kehidupan, yaitu yang bersifat jasmani dan rohani. Sisipertama
menggambarkan dimensiyang bersifat material yang dikenal sebagai mal (atau
dalam jamaknya sebagai amwaal), atau harta. Harta menurut istilah syar’I adalah
sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada segala sesuatu legal menurut
hokum syara’ (hokum islam) seperti; jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibah atau
pemberian adapun yang berikutnya menunjukkan dimensi rohani, seperti
pengetahuan dan kebaikan yang berada dalam diri mereka sendiri.
Ada tiga konsep dasar yang perlu dipahami dalam masalah harta ditinjau
dalam kerangka islam. Ketiga hal inilah yang membedakannya dengan konsep harta
menurut perspektif konvisional.
Uang, harta, dan kekayaan adalah bukanlah milik kita karena tidak ada harta
ataupun uang yang akan kita bawa ketika menghadap illahi rabbi. Harta hanyalah
sebagai amanah yang harus dijaga pemanfaatannya agar mendatangkan kebaikan di
dunia sekaligus keselamtandan kebahagian di akhirat.
Dari sudut pandang islam, pertanggung jawaban seseorang atas harta yang
penah “dimiliki” dilihat dari dua sudut. Pertama, darimana dan bagaimana
mendapatkanya. Kedua, kemana dan bagaimana ia mempergunakannya.
B. Konsep Kepemilikan
1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikkan orang lain. Contoh; jalan
umum, jembatan dan taman kota.
2. Harta yang tidak bias dimiliki, kecuali dengan ketentuan syariat. Contoh;
warisan, wasiat, harta wakaf, harta baitul mal dan sebagainya
3. Harta yang dapat dimiliki dan di hakmilikan kepada orang lain. Harta inilah
yang merupakan hak milik pribadi setiap orang.
Mata uang adalah suatu benda yang sudah tidak lagi aneh di dalam
masyarakat atau bisa disebut lumrah . karena pada dasarnya setiap manusia pasti
membutuhkan uang sebagai alat transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang
dikatakan kaya atau miskin bisa dilihat dari berapa banyak seseorang tersebut
memegang uang atau menimbun kekayaan.
1. Kriteria Uang
Untuk dapat terima sebagai alat tukar, uang harus memenuhi persayaratan tertentu
yakni:
2. Fungsi Uang
a. Alat tukar (Medium of Exchange)
Fungsi uang sebagai alat tukar menukar di dasarkan pada kebutuhan
manusia yang mempunyai barang dan kebutuhan manusia yang tidak
mempunyai barang di mana uang adalah sebagai perantara di antara mereka.
Dengan uang tersebut seseorang bisa memiliki atau mempunyai barang dan
orang yang memiliki barang bisa menerima uang sebagai harga dari barang
tersebut. Jadi dengan demikian uang dapat mempermudah pertukaran.
Dalam Islam, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Jadi uang adalah
sesuatu yang terus mengalir dalam perekonomian, atau lebih dikenal
sebagai flow concept. Ini berbeda dengan sistem perekonomian kapitalis, di
mana uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal tender)
melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Sedangkan dalam islam uang
menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang
lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
b. Satuan Hitung ( Unit Of Account)
Yang dimaksud dengan satuan hitung adalah uang sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan nilai barang dan jasa yang diperjualbelikan
dipasar dan besarnya kekayaan yang bisa dihitung berdasarkan penentuan
harga dari barang tersebut.
c. Penimbun Kekayaan
Fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan akan bisa mempengaruhi
jumlah uang kas yang ada pada masyarakat. Ketika teori konvensional
memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of value di mana
termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini tidak
diperbolehkan dalam Islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi
dan untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini
menurut Al-ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang .
d. Standar Pencicilan Utang
Uang juga berfungsi sebagai standar untuk melakukan pembayaran
berjangka atau pencicilan utang. Dalam Islam, apapun yang berfungsi
sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia
bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara
langsung maupun bukan.
PERILAKU KONSUMEN
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS Adz-Dzaariyat: 56)
2. Adil(Equilibrium / Keadilan)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syaitan: karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 168)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang- orang yang
mengetahui” (QS Al-A’Raaf: 32
Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai
dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan material, ia juga
sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan
norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat material maupun spiritual untuk
menjamin adanya kehidupan yang berimbang.
5. Halal
“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu,
dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka
sesungguhnya binasalah ia” (QS Thaahaa: 81)
6. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuang-buang
harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya
memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang
melampaui batas.
Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana dapat kita dapati
dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik
maka jumlah yang diminta oleh konsumen akan barang tersebut akan turun, begitu
pula sebaliknya. Dengan asumsi ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap
konstan)”.
Ym = persediaan barang modal fisik atas konsumsi barang tahan lama yang
dimiliki oleh rumah tangga.
Dari persamaan (1) diatas dapat kita lihat bahwa kepuasaan konsumen
dalam mengkonsumsi suatu output dan memiliki persediaan modal barang-barang
konsumsi tahan lama merupakan fungsi dari jumlah yang dikonsumsi pada suatu
titik periode dan jumlah persediaan barang modal fisik yang dimiliki oleh
konsumen.
3) Karena seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari
pinjaman dalam bentuk apapun. Premi rutin yang dibayar oleh konsumen muslim
atas memegang barang tahan lama i tidak mencakup elemen suku bunga. Suku
bunga dalam ekonomi Islam digantikan oleh biaya dalam kaitannya dengan profit
sharing. Bagaimanapun tidak seperti bunga, biaya ini tidak ditentukan sebelumnya
pada tingkat yang tetap atas sebuah resiko.
PERILAKU PRODUSEN
Tidak akan ada distribusi tanpa produksi. Pada prinsipnya islam lebih
menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan
hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki
dayabeli yang lebih baik. Karena itu bagi islam, produksi yang surplus dan
berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak dengan sendirinya
mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat.”
Pengertian factor produksi tetap dan factor produksi variable terkait erat
dengan waktu yang dibuthkan untuk menambah atau mengurangi factor produksi
tersebut. Mesin dikatakan sebagai factor produksi tetap karena dalam jangka
pendek (kurang dari setahun) susah untuk ditambah atau dikurangi. Sementara
buruh dikatakan factor produksi variable karena jumlah kebutuhannya dapat
disediakan dalam waktu kurang dari satu tahun, dalam jang panjang (long run) dan
sangat panjang (very long run) semua factor produksi sifatnya variable. Perusahaan
dpat menambah atau mengurangi kapasistas produksinya dengan menambah atau
mengurangi mesin produksi.
Salah satu yang dilakukan dalam proses produksi ialah menambah nilai
guna suatu barang atau jasa. Dalam kegiatan menambah nilai guna barang atau jasa
ini, dikenal lima jenis kegunaan yaitu:
1. Guna Bentuk
2. Guna Jasa
3. Guna Tempat
4. Guna Milik
6. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam
bukunya Muqoddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-islamiy. Adurrahman lebih jauh
menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran
utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut.
Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam
bingkai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seorang maupun kelompok
masyarakat. Dalam hal ini Abdurrahman merefleksi pemikarannya dengan
mengacu pada surat Al-baqarah: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari
manfaat memakai (memproduksi) khamr.
7. Lain halnya dengan Taqiyuddin An-Nabhani , dalam mengantarkan
pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk
mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya An-
Nizham Al-Iqtishadi fi Al-islam memahami produksi itu sebagai sesuatu
yang mubah dan jelas berdasarkan As-sunnah. Sebab, Rasullah Saw. Pernah
membuat cincin.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’Ud Nabi saw. Telah membuat cincin yang
terbuat dari emas (HR. Imam Bukhari)
Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata, “Rasulullah saw.
Telah mengutus seorang wanita, (kata Beliau): perintahkan anakmu si tukang kayu
itu membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk diatasnya.”
(HR. Imam Bukhari)
Sikap produktif ini juga harus berorientasi kedepan dalam artian: pertama,
harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan
dimasa mendatang. Sehingga seorang produsen dalam kerangka islami tidak akan
mau memproduksi barang-barang yang bertentangan dengan syariat maupun
barang yang tidak memiliki manfaat riil kepada umat. Produsen harus mampu
melakukan pengembangan produk yang dapat memberikan kemaslahatan bagi
umat di masa depan. Kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi tidak hanya
diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang. Orientasi ke dapan ini akan mendorong produsen untuk terus-menerus
melakukan riset dan pengembangan yang bertujuan sebagai efesiensi dalam
pengelolaan sumber daya ekonomi serta mencari teknologi produksi yang ramah
lingkungan. Implikasi dari aktivitas di atas adalah tersedianya secara memadai
berbagai kebutuhan bagi generasi mendatang, suatu konsep pembangunan yang
berkasinambungan.
Tujuan yang terakhir yaitu, pemenuhan sarana bagi kegiatan social juga
ibadah kepada Allah dan inilah tujuan produksi yang tidak akan mungkin dapat
tercapai dalam ekonomi konvensional yang bebas nilai. Tujuan produksi adalah
mendapatkan berkah yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh produsen itu
sendiri. Tujuan ini akan membawa implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan
selalu menghasilkan keuntungan material. Namun harus mampu pula memberikan
keuntungan bagi orang lain dan agama. Saat ini pada system ekonomi konvensional
berkembang pula mekanisme corporate social responbility (CSR) sebagai sarana
tanggung jawab social perusahaan kepada masyarakat. Namun mekanisme telah
lebih dahulu terdapat dalam ekonomi Islam, dan dalam ekonomi Islam mekanisme
ini sudah built in dengan system yang ada. Sehingga produsen yang Islami akan
mampu memaksimalkan keuntungan material dan sekaligus keuntungan kepada
masyarakat dan agama.”
Keuntungan maksimal telah menjadi sebuah insentif yang teramat kuat bagi
produsen untuk meleksanakan produksi. Akibatnya motivasi untuk mencari
keuntungan maksimal seringkali menyebabkan produsen mengabaikan etika dan
tanggung jawab sosialnya, meskipun tidak melakukan pelenggaran hukum formal.
Misalnya dalam rangka menekan biaya dalam pengolahan limbahnya, suatu pabrik
membuang sisa hasil produksinya (limbah) ke sungai sehingga menimbulkan
pencemaran bagi warga sekitar. Atau seorang pengusaha di bidang perhutanan yang
menebang pohon-pohon tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap kelestarian
hutan terutama hutan sebagai penampung air yang pada jangka panjang dapat
menyebabkan bencana bagi manusia. Dampak dari kegiatan ekonomi yang
menimbulkankemudharatan bagi pihak lain dalam bahasa ekonomi dikenal sebgai
elsternalitas negative.
Produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh
konsumen dalam mengidentifikasi berkah, yaitu adanya pahala pada produk atau
kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara
pendapatan total (total revenue (TR)) dengan biaya totalnya ( total cost (TC))
Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) dalam proses produksi produsen
muslim tentu akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang
dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomondasi
pengeluaran berkah, yaitu:
Dengan demikian rumusan masalah yang diekspresikan dalam persamaan
sebelumnya akan berubah menjadi:
2. Menepati janji dan kontrak, bai dalam lingkup internal atau eksternal;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam islam”
MEKANISME PASAR
Masa Rasulullah
Pada masa itu. mekanisme pasar sangat dihargai. Beliau menolak untuk
membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat harga di madinah pada saat
itu tiba-tiba naik sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan
penawaran yang murni, yang tidak di barengi dengan dorongan-dorongan
monopolistik dan monopsonistik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati
harga pasar. Pada saat itu para sahabat berkata:
Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual
goodwill bagi para pelakunya, maka nilai moralitas mutlak harus ditegakkan.
Secara khusus, nilai moralitas yang mendapat perhatian penting dalam pasar adalah
persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan. Nilai moralitas ini
memeililki akar yang kuat dalam ajaran islam, sebagaimana dicantumkan dalam
berbagai ayat al-Qur’an. Untuk itulah Rasulullah telah menetapkan beberapa
larangan terhadap praktik bisnis negatif yang dapat mengganggu mekanisme pasar
yang islami.
Pemikiran Abu Yusuf tetntang pasar dapat dijumpai dalam bukunya Al-
Kharaj. Selain membahas prinsip perpajakan dan anggaran negara yang menjadi
pedoman kekhalifahan Harun Al-Rasyid di Baghdad, buku ini juga membicarakan
beberapa prinsip dasar mekanisme pasar. Tulisan pertamanya menguraikan tentang
naik dan turunnya produksi yang dapat mempengaruhi harga. Abu Yusuf
mengatakan, “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat
dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui.
Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena
kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (sunnatullah).
Kadang-kadang makanan sangat sedikit, tetapi harganya murah.” Pernyataan ini
secara implisit bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh penawaran, tetapi juga
permintaan terhadap barang tersebut.
Bahkan, Abu Yusuf mengidikasikan adanya variabel lain yang juga turut
memengaruhi harga misalnya jumlah uang beredar di negara itu, penimbunan atau
penuhanan suatu barang, atau lainnya. Pada dasarnya pemikiran Abu Yusuf ini
merupakan hasil observasinya terhadap fakta empiris, sering kali terjadi
melimpahnya barang ternyata diikuti dengan tingginya harga, sementara
kelangkaan barang diikuti dengan harga yang rendah.
“Naik dan turunya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan
(zulm/injustice) dari beberapa bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya
adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta,
atau tekenan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang
tersebut naik sementara ketersediaanya/penawaranya menurun, maka harganya
akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang akan menaik dan
permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga.
Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin bukan
disebabkan oleh tindakan sebagian orang, kadang-kadang disebabkan karena
tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal ini adalah kehendak Allah yang telah
menciptakan keinginan dalam hati manusia.”
c. Harga juga akan dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kebutuhan terhadap
barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan.
d. Harga akan juga bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-
mu’awid).
e. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis (uang) pembayaran yang digunakan
dalam transaksi jaul beli.
Pernyataan pada poin (d) menunjukkan analisis Ibn Taimiyah pada transaksi
kredit. Jika konsumen kaya dan kredibel, maka kepastian pembayaran akan lebih
tinggi sehingga harga akan lebih rendah jika keadaan konsumen adalah sebaliknya.
Jika konsumen miskin dan tidak kredibel, maka kemungkinan ia menunda atau
mengingkari pembayaran akan lebih besar terjadi. Jadi, disini secara implisit Ibn
Taimiyah sebenarnya memasukkan premi risiko (risk premium) dalam komponen
pembentuk harga. Semakin kredibel seorang konsumen, maka semakin rendah,
demikian sebaliknya. Pembahasannya tentang premi risiko ini juga tampak jelas
pada poin (f), di mana ia juga menyebutkan soal kapasitas fisikal dari barang yang
diperjualbelikan sebagai pembentuk harga. Jika harga transaksi tidak jelas wujud
fisiknya, maka harga juga akan lebih tinggi sebab harus ada premi risiko yang besar
pula.
Ibn Khaldun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas,
namun ia tidak mengajukan saran kebijakan pemerintah untuk mengelola harga. Ia
lebih banyak memfokuskan kepada faktor yang memengaruhi harga.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan trial error, sehingga dampaknya
masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar
bagi perkembangan selanjutnya.
2. Tahapan kedua, dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an. Pada tahapan ini para
ekonom muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi
terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-
aspek tertentu dari sistem moneter dan keuangan Islam. Mereka melakukan analisis
ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan tidak
berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi
dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama,
dan ekonom.