Anda di halaman 1dari 76

MODUL ShERINGS (Sharia Economics Learning Class)

Kode Mata Kuliah : DDEI, PA2EI, HKDI, PE, SEI

Sifat : Wajib

Bahan Pembelajaran : Bab 1 Dasar-dasar Ekonomi Islam

Bab 2 Perbandingan antara Ekonomi dan Ekonomi Islam

Bab 3 Harta & Kepemilikan dalam Islam

Bab 4 Perilaku Ekonomi

Bab 5 Sejarah Ekonomi Islam

Prasyarat :-

Durasi : 14 kali pertemuan

Jam tatap muka : 1,5 s.d 2 jam per pertemuan

Ujian : UTS dan UAS

Sistem Nilai : A ≥ 80, B ≥ 70, C ≥ 60, D ≥ 50, E < 50

Komponen Nilai : UTS 50% , UAS 50%

Absen Tatap Muka : Lulus jika kehadiran >75%, tidak lulus jika kehadiran <75%

Tujuan Pembelajaran:

Setelah mempelajari materi ini kita diharapkan untuk:

a. Mampu menjelaskan filosofi dasar ekonomi islam


b. Mampu mejelaskan perbedaan ekonomi konvensional dengan ekonomi islam
c. Mampu menjelaskan konsep harta dan kepemilikan harta dalam pandangan
islam
d. Mampu menjelaskan perilaku konsumen dalam pandangan islam
e. Mampu menjelaskan perilaku produsen dalam pandangan islam
f. Mampu menjelaskan mekanisme pasar pada masa rasulullah
g. Mampu menjelaskan Sejarah perkembangan ekonomi Islam
Materi :

1. Dasar-Dasar Ekonomi Islam


2. Ekonomi Konvensional vs Ekonomi Islam
3. Harta dan Kepemilikan dalam Islam
4. Perilaku Konsumen
5. Perilaku Produsen
6. Mekanisme Pasar
7. Sejarah Ekonomi Islam

Pembahasan Materi:

Dasar-Dasar Ekonomi Islam

Sistem ekonomi dunia saat ini bersifat sekuler, di mana terjadi pemisahan
antara kehidupan agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas
ekonomi. Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal
pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi Hal ini terbukti bahwa pada
masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan
kejayaan Islam. Di mana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh
para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan
sampai saat ini, seperti ilmu aljabar. Ilmuwan muslim klasik memiliki pengetahuan
yang mendalam mengenai ilmu agama dan ilmu yang bersifat duniawi. Proses
perpaduan ilmu pengetahuan tersebut menjadikan umat Islam berjaya ketika
negara-negara Barat mengalami masa kegelapan.

Ekonomi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang


mempelajari perilaku manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang langka dalam
proses maksimalisasi produksi maupun maksimalisasi utilitas individu. Ekonomi
konvensional berbasis pada peningkatan efisiensi dalam perekonomian dengan
mendasarkan penetapan segala sesuatu berdasarkan mekanisme yang terjadi di
pasar, namun hal ini berakibat pada penumpukan modal dan kekayaan pada
sekelompok individu atau kelompok yang memiliki kekuatan akses dan jaringan.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan beberapa permasalahan yang
mengakibatkan perlunya perbaikan menyeluruh terhadap sistem ekonomi yang ada.
Fakta memperlihatkan bahwa berbagai teori dalam ekonomi terutama berkaitan
dengan pembangunan ekonomi dalam masyarakat tidak mampu mewujudkan
ekonomi yang berkeadilan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Realitas di lapangan, perekonomian yang ada justru hanya menguntungkan bagi si
pemilik modal, hal inilah yang menjadikan ekonomi konvensional mendapatkan
kritik atas berbagai konsepnya yang hanya menguntungkan bagi si pemilik modal
semata. Para sarjana dan ilmuwan muslim mulai sadar betapa pentingnya
mengintegrasikan antara keilmuan dengan agama dan akan mampu menjadi suatu
sinergi yang mampu mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa dark ages
di Barat di abad 21 ini. Hal ini terlihat salah satunya dari perkembangan ekonomi
Islam pada masa sekarang. Islam memandang aktivitas ekonomi secara positif,
semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik pula
selama tidak terjadi penyimpangan tujuan dan prosesnya dengan ajaran Islam. Islam
merupakan suatu agama yang memberikan tuntunan pada seluruh aspek kehidupan,
baik hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia
makhluk Tuhan.

Tujuan dari penulisan modul ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
filosofi dasar ekonomi Islam sehingga pembaca dapat mengetahui apakah yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional baik
secara prinsip, filosofi dasar, maupun mekanisme pengambilan hukum yang
dijadikan dasar pada ekonomi Islam. Perbedaan utama antara ekonomi Islam dan
ekonomi konvensional adalah nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Dari perbedaan
nilai itu akan didapatkan perbedaan dalam turunan ilmunya.

Modul ini akan dibagi menjadi tiga kegiatan belajar, kegiatan belajar yang
pertama membahas tentang konsep dasar ekonomi Islam, rancang bangun ekonomi
Islam, dan mazhab yang terdapat pada ekonomi Islam kontemporer. Pada kegiatan
belajar yang kedua akan dibahas tentang sumber hukum dalam ekonomi Islam.
Kemudian pada kegiatan belajar ketiga akan dibahas perbandingan antara sistem
ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi sosialisme dan sistem ekonomi Islam.
Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan
filosofi dasar ekonomi Islam. Secara khusus, setelah mempelajari modul ini dengan
baik, Anda diharapkan mampu menjelaskan:

1. Definisi, hakikat, prinsip-prinsip, tujuan dan pilar-plar ekonomi Islam;


2. Sumber hukum utama dalam ekonomi Islam;

A. Definisi Ekonomi Islam

Ekonomi Islam sebagai suatu ilmu pengetahuan lahir melalui proses


pengkajian keilmuan yang panjang, di mana pada awalnya terjadi sikap pesimis
terkait eksistensi ekonomi Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini. Hal ini
dikarenakan di masyarakat telah terbentuk suatu pemikiran bahwa harus terdapat
dikotomi antara agama dengan keilmuan, dalam hal ini termasuk di dalamnya ilmu
ekonomi. Namun, sekarang hal ini sudah mulai terkikis. Para ekonom Barat pun
sudah mulai mengakui eksistensi dari ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi
yang memberi warna kesejukan dalam perekonomian dunia. Di mana ekonomi
Islam dapat menjadi suatu sistem ekonomi alternatif yang mampu meningkatkan
kesejahteraan umat, di samping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah
terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dari umat.

Ada banyak pendapat di seputar pengertian dan ruang lingkup ekonomi


Islam. Sebagian pihak mengatakan ekonomi Islam merupakan suatu sistem
ekonomi alternatif, makna sistem ekonomi alternatif di sini adalah sistem ekonomi
Islam dapat menjadi suatu sistem ekonomi alternatif pilihan selain sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Akan tetapi, pendapat ini kurang tepat pula
karena memosisikan sistem ekonomi Islam hanya sebagai sistem ekonomi pilihan
atas kegagalan dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis.

Sementara ada pula yang menyatakan bahwa ekonomi Islam sebagai suatu
sistem ekonomi pertengahan. Pendapat ini menempatkan sistem ekonomi Islam
berada pada posisi di tengah-tengah antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialis,
namun pendapat ini pun kurang tepat karena memosisikan sistem ekonomi Islam
layaknya sistem ekonomi tambal sulam atas kelemahan yang terdapat pada sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis.
Terakhir ada yang menyatakan bahwa ekonomi Islam sebagai suatu sistem
ekonomi solutif, inilah pendapat yang lebih tepat, yaitu dengan memosisikan sistem
ekonomi Islam sebagai suatu sistem yang dapat menjawab kegagalan yang terdapat
sistem ekonomi konvensional, baik kapitalis maupun sosialis dengan menawarkan
solusi yang dapat memberikan kesejahteraan maksimal kepada umat.

Dawam Rahardjo, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga


kemungkinan pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu
ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah sebagai suatu sistem. Sistem menyangkut pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode
tertentu. Sedangkan pemaknaan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian
perekonomian umat Islam. Ketiga wilayah tersebut, yakni teori, sistem, dan
kegiatan ekonomi umat Islam merupakan tiga pilar yang harus membentuk sebuah
sinergi.

Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu akan berbeda antara


ekonom yang satu dengan ekonom yang lainnya. Hasanuz Zaman (1984) dalam
bukunya “Economic Function of an Islamic State” memberikan definisi berikut ini.
“Islamic Economics is the knowledge and applications and rules of the shariah that
prevent in justice in the requisition and disposal of material resources in order to
provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations
to Allah and the society”

M.M. Metwally mendefinisikan sebagai berikut. “Islamic economics may


be defined as the study of the economic behavior of the true Muslim in a society
which adheres to the Islamic doctrine from the Holy Qur’an, the Sunna of The Holy
Prophet Muhammad (or the Hadith, or tradition), the consensus (Ijma) and the
analogy (Qiyas).Menurut Metwally (1993), yang membedakan antara Islam dengan
agama lain adalah ajaran yang terdapat dalam Islam tidak hanya terkait masalah
ibadah ritual semata namun turut pula mengatur permasalahan kehidupan dunia
yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dalam kehidupan kesehariannya.
Sedangkan M.N Siddiqi (1992) dalam bukunya “Role of State in the
Economy ” memberikan definisi sebagai berikut. “Islamic economics is the moslem
thinker’s response to the economic challenges of their times. In this endeavor they
were aided by the Qur’an and the Sunah as well as by reason and experience”.

Syed Nawab Heider Naqvi (1994) dalam bukunya “Islam, Economics, and
Society ” memberikan rumusan. “Islamic economics is the representative Moslem’s
behaviour in a typical moslem society”.

Muhammad Abdul Manan (1992) berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam


dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ia mengatakan
bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,
berdasarkan pada sumber hukum Islam, yaitu Alquran, as-Sunah, Ijma’, dan Qiyas.
Setiap pengambilan hukum dalam ekonomi Islam harus berbasis minimal kepada
keempat hal tersebut agar hukum yang diambil sesuai dengan prinsip dan filosofi
yang terdapat pada ekonomi Islam.

Secara umum, ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku


individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan
tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah
(agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).

B. Hakikat Ekonomi Islam

Istilah ekonomi islam atau politik islam dan lan-lainnya tidak pernah ada
pada masa para nabi khususnya pada masa Rsulullah. Beliau mengajarkan Islam
sebagai 1 paket yang utuh, menyeluruh, lengkap dan sempurna, baik istilahnya,
pemahaman dan praktiknya.

Ekonomi Islam, Ajaran Ekonomi Islam, Pemikiran Ekonomi Islam, Doktrin


Ekonomi Islam, Teori Ekonomi Islam, Perekonomian Umat Muslim dan Ilmu
Ekonomi Islam adalah hal yang berbeda, walau sepintas sama.

 Ajaran ekonomi islam adalah wahyu ALLAH SWT dan petunjuk Rasul-
Nya mengenai aktivitas manusia dalam berekonomi.
 Pemikiran ekonomi islam adalah upaya penafsiran manusia atas ajaran
ekonomi islam tersebut.
 Doktrin ekonomi islam adalah pokok-pokok keyakinan mengenai
perekonomian yang seharusnya dipahami, dirasakan dan diamalkan oleh
manusia menurut ajaran ekonomi islam.
 Teori ekonomi islam adalah pernyataan yang terinspirasi dari ajaran
ekonomi islam yang menjelaskan atau memprediksi perilaku atau hubungan
atara fenomena-fenomena yang dapat diamati.
 Perekonomian umat muslim adalah seperangkat fenomena mengenai
kehudupan umat muslim. Perekonomian umat muslim sendiri terbayi
menjadi 2:
a. Perekonomian umat muslim yang seharusnya.
b. Perekonomian umat muslim kenyataannya.

Perekonomian umat muslim yang seharusnya adalah bentuk nyata


masyarakat islam sebagai perwujudan dari ajaran islam dalam bidang ekonomi.
Perekonomian umat muslim yang ideal seperti ini ada pada zaman Rasulullah SAW
karena saat itulah sebaik-baiknya zaman. Setelah zaman Rasulullah SAW,
perekonomian umat muslim muncul dengan berbagai kenyataan dan variasinya di
setiap zaman.

Sedangkan ilmu itu sendiri adalah pemikiran manusia yang memiliki


kualifikasi lebih khusus: ia adalah sekumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematik sehingga dapat mudah dipahami, dipelajari dan dikembangkan lebih
lanjut. Ilmu ekonomi islam adalah ilmu yang mempelajari ajaran, pemikiran,
doktrin dan teori ekonomi islam serta perekonomian umat muslim.

Ekonomi Islam adalah sekelompok fenomena yang meliputi ajaran ALLAH


SWT dan Rasul-Nya tentang ekonomi berikut pemikiran, doktrin, teori dan ilmu
yang menyertainya beserta perekonomian umat Islam sepanjang zaman.

Ekonomi konvensional adalah istilah yang membingungkan dan rancu.


Konvensi adalah kesepakatan, jadi apakah ekonomi konvensional maksudnya
ekonomi yang disepakati manusia pada umumnya? Sepanjang sejarahnya manusia
belum pernah menyepakati satu sistem ekonomi yang dipakainya, sebab semua
sistem ekonomi berjalan dengan alamiah atau memang dengan aturan pemerintah
(dipaksakan kepada masyarakat).

Di dunia ini hanya ada Islam dan non-Islam atau Islam dan kafir. Akibatnya,
jika ada ekonomi islam maka seharusnya lawannya adalah ekonomi non-islam. Tak
ada ekonomi yang netral atau setengah-setengah, setengah baik atau setengah
buruk. Kalau sesuatu masih mengandung keburukan, itu bukan islam dan
dipastikan buatan manusia.

C. Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam

Prinsip-prinsip dari ekonomi Islam menurut M.A. Choudhury (1986)


sebagai berikut.

1. Prinsip tauhid dan persaudaraan. Tauhid ialah konsep yang


menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Segala
aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang muslim akan sangat terjaga
karena ia merasa bahwa Allah SWT akan selalu melihat apa yang
dilakukannya. Sementara konsep persaudaraan atau yang biasa dikenal
sebagai ukhuwah Islamiyah memberikan makna persaudaraan dan kerja
sama yang tulus antara sesama muslim dalam aktivitas ekonomi.
2. Prinsip bekerja dan produktivitas. Dalam ekonomi Islam individu
dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin dengan tingkat produktivitas
kerja yang tinggi dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik bagi
kemaslahatan umat. Hasil pekerjaan ini harus dikompensasi secara layak
sesuai dengan standar kehidupan yang layak.
3. Prinsip distribusi kekayaan yang adil. Prinsip ekonomi Islam yang ketiga
adalah pengakuan atas hak masyarakat dan redistribusi
kekayaan.Mekanisme pendistribusian kekayaan dalam Islam adalah dengan
melalui mekanisme zakat. Proses mekanisme zakat akan mampu melakukan
redistribusi kekayaan dari pihak kaya kepada pihak miskin.
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan
konsep dasar dalam Islam, yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Alquran
dan Sunah adalah sebagai berikut.

a) Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan,


kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
b) Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang.
c) Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan
distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
d) Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai
moral.
e) Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan dasar yang menjadi acuan dalam sistem ekonomi Islam menurut
Choudhury adalah sebagai berikut.

a) Pelarangan atas riba (abolition of riba) di dalam perekonomian. Dalam


ekonomi Islam hanya biaya aktual yang diakui sebagai biaya produksi
dengan menambahkan biaya depresiasi namun tidak memasukkan
komponen biaya spekulatif.
b) Penerapan mudharabah dalam perekonomian. Pola kerja sama berbasis
mudharabah memberikan kesempatan akses yang sama baik kepada pemilik
modal maupun pengelola dalam menjalankan aktivitasperekonomiannya.
c) Pelarangan israf atau konsumsi yang berlebihan. Dalam ekonomi Islam
konsumsi yang dilakukan harus berdasarkan atas kebutuhan riil dan bukan
keinginan yang dapat mengakibatkan kemubaziran dalam pola konsumsi.
d) Kehadiran institusi zakat sebagai suatu mekanisme dalam mengatur
distribusi kekayaan di kalangan masyarakat. Hal ini bertujuan agar setiap
kelompok masyarakat dapat memiliki akses yang sama dalam
perekonomian dan dapat memiliki hidup yang layak bagi dirinya dan
keluarganya.
Secara umum, nilai-nilai Islam yang menjadi filosofi ekonomi Islam dapat
dijumpai dalam asas yang mendasari perekonomian Islam yang diambil dari
serangkaian doktrin ajaran Islam. Asas-asas tersebut ialah sebagai berikut.

a) Asas suka sama suka, yaitu kerelaan yang sebenar, bukan kerelaan yang
sifatnya semu dan seketika. Kerelaan ini harus dapat diekspresikan dalam
berbagai bentuk muamalah yang legal dan dapat
dipertanggungjawabkan.Itulah sebabnya kenapa Nabi Muhammad SAW
mengharamkan berbagai transaksi yang terindikasi terkandung maysir,
gharar, dan riba karena dalam transaksi tersebut pasti ada pihak yang
dikecewakan atau dirugikan dan transaksi ini tidak terjadi atas keridaan
kedua belah pihak.
b) Asas keadilan. Keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keseimbangan
atau kesetaraan antarindividu atau komunitas. Keadilan tidak berarti
kesamaan secara mutlak, di mana semua individu harus sama rata sebab
kesetaraan yang mutlak akan menciptakan ketidakadilan. Namun, keadilan
adalah harus mampu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
proporsinya. Dalam ekonomi, keadilan termasuk dalam memberikan akses
atau kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk dapat berkembang
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c) Asas saling menguntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh
karenanya dalam ekonomi Islam dilarang transaksi maysir, gharar, dan riba
sebab dalam transaksi tersebut pasti akan ada pihak yang dirugikan. Dalam
ekonomi Islam harus terjadi suatu kerja sama yang saling menguntungkan
antara pihak yang bekerja sama.
d) Asas tolong menolong dan saling membantu serta dilarang untuk adanya
pemerasan dan eksploitasi. Sistem ekonomi kapitalis ditentang karena
adanya unsur eksploitasi dari si pemilik modal kepada kelompok
masyarakat lain yang kurang memiliki akses terhadap modal dan pasar.

Kerangka institusional suatu masyarakat Islam yang diajukan oleh Muhammad


Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in an Islamic
Perspective” adalah sebagai berikut.
1. Meskipun kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam
Islam diperkenankan suatu kepemilikan pribadi, di mana dibatasi oleh
kewajiban dengan sesama dan batasan-batasan moral yang diatur oleh
syariah.
2. Kebebasan untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap
mendapatkan batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini
kompetisi yang berlangsung haruslah persaingan sehat. Oleh karenanya
dalam ekonomi Islam hak atas kekayaan intelektual (HAKI) sangat dihargai
agar setiap individu dapat menunjukkan kreativitas terbaik dari potensi
dirinya.
3. Usaha gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam
bekerja sama, di mana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko
yang mungkin timbul diterapkan. Transaksi yang berpotensi menimbulkan
pemerasan atau eksploitasi atas salah satu pihak perlu dihindari dalam
ekonomi Islam. Penerapan prinsip bagi hasil akan menjadikan kerja sama
yang saling menguntungkan di antara pihak yang bekerja sama karena
kesetaraan posisi dalam kerja sama.
4. Konsultasi dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam
pengambilan keputusan publik. Setiap keputusan yang dihasilkan harus
berdasarkan atas konsensus publik agar tidak menjadi keputusan yang hanya
memberikan keuntungan kepada sekelompok golongan dengan
mengorbankan masyarakat yang lebih banyak.
5. Negara bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur
individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.
Fungsi regulator yang terdapat pada negara menjadikan negara sebagai
salah satu faktor vital dalam perekonomian suatu negara. Negara harus
mengambil peranan penting dalam menyejahterakan umat.

Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi Islam adalah sebagai berikut.

a) Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan


kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan oleh orang lain. Dalam ekonomi Islam, negara memiliki
peran yang kecil namun sangat penting dalam menjamin stabilitas
perekonomian umat.
b) Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam
setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya
bagi orang lain.
c) Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak
yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
d) Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama, sebab hal ini menjadi
salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.

D. Pilar-Pilar Ekonomi Islam

Sistem ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara
perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi
maupun distribusi. Dengan membaca dan meneliti hukum-hukum syara’ yang
menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampak bahwa Islam telah telah
menjelaskan bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh,
juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengkonsumsi dan
mengembangkan) harta serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada.
Inilah yang sesungguhnya dianggap oleh Islam sebagai masalah ekonomi bagi suatu
masyarakat.

Ketika membahas sistem ekonomi, Islam hanya membahas masalah


bagaimana cara memperoleh harta kekayaan, masalah mengelola harta kekayaan
yang dilakukan manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-
tengah mereka. Atas dasar ini, maka asas yang dipergunakan untuk membangun
sistem ekonomi menurut Islam berdiri di atas tiga pilar (fundamental) yakni :
bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (tamalluk),
pengelolaan (tasharruf) kepemilikan, serta distribusi kekayaan di tengah
masyarakat.

Pilar Pertama : Kepemilikan (Property/Tamalluk)

Harta pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT. Allah SWT kemudian
memberikan izin kepada manusia untuk memanfaatkan harta tersebut. Dengan
demikian, posisi manusia hanya sebagai pelaku atas izin yang diberikan kepadanya.
Konsekuensinya, setiap kepemilikan serta sebab atau cara kepemilikan hanya
ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ yaitu Allah SWT. Melalui hukum-
hukum Islam, Allah memberikan sejumlah aturan mengenai cara dan kepemilikan
yang dapat dilakukan oleh manusia.
Kepemilikan atas harta tidak ditentukan oleh jenis harta yang dapat dimiliki
ataupun berdasarkan dari karakter dasarnya apakah memberikan manfaat atau tidak.
Harta yang bermanfaat menurut pandangan manusia tidak menjadikan dasar untuk
dimiliki. Karena, terdapat banyak benda yang kelihatannya bermanfaat namun
dilarang oleh Islam untuk dimiliki seperti daging babi dan harta hasil riba.

Sistem Islam mengatur bahwa tidak seluruh jenis harta dapat dimiliki oleh
manusia secara bebas. Beberapa di antaranya dilarang kepemilikannya seperti
barang haram atau barang yang harus dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama.

Dalam berbagai nash, Allah SWT telah memberikan penjelasan tentang izin
memiliki beberapa jenis harta benda dan melarang memiliki jenis harta benda yang
lain. Allah SWT juga memberikan izin terhadap beberapa transaksi muamalah
serta melarang bentuk-bentuk transaksi muamalah yang lain. Dalam satu segi, Allah
SWT telah memberi izin untuk memiliki benda-benda yang dihalalkan oleh Allah
SWT sekaligus memanfaatkannya. Allah SWT pun memberi izin terhadap transaksi
jual-beli dan ijarah serta aktivitas bertani dan berburu serta memiliki dan
memanfaatkan benda yang dihasilkan darinya. Di lain segi, Allah SWT melarang
setiap muslim untuk memiliki apalagi memanfaatkan harta yang diharamkan oleh
Allah seperti minuman keras dan babi. Begitu pula Allah SWT melarang seluruh
komponen masyarakat Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian.

Kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga


kelompok, yaitu :

(a) Kepemilikan Individu (private property/Milkiyatu Al-


Fardiyah); Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi –-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli-– dari barang tersebut. Terhadap jenis kepemilikan ini, setiap orang bisa
memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.

Hak pemilikan individu ini dijaga dan ditetapkan berdasarkan syariat


Islam. Adapun sebab-sebab pemilikan yang menjadikan individu legal
memiliki sesuatu adalah : bekerja, waris, kebutuhan harta untuk menyambung
hidup, pemberian negara kepada rakyat, pemberian, atau berjual beli dan
melakukan syarikah sesuai dengan aturan Islam.
Negara harus melindungi hak pemilikan individu ini. Syariat Islam
mengharuskan negara menjatuhkan hukuman bagi siapa saja yang melanggar
hak pemilikan individual tadi seperti pencurian dan kecurangan.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta kalian dan anak-
anak kalian melalikan kalian dari mengingat Allah SWT,” (QS Al
Munafiqun : 9)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (QS. Al Maidah : 38).
Rasulullah SAW bahkan membolehkan setiap individu untuk mempertahankan
hartanya yang sah meski sampai nyawa melayang.
Imam Turmudzi meriwayatkan : “Siapa saja yang terbunuh karena
membela harta maka ia syahid.”

(b) Kepemilikan Umum (collective property/Milkiyatu Al-Aamah); Kepemilikan


umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk secara bersama-
sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh
As-Syari’ bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka
masing-masing saling membutuhkan. As-Syari’ melarang benda tersebut
dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang.
Pemilikan umum ini ada 3 jenis utama, yaitu :

1. Manfaat kolektif seluruh masyarakat di mana kehidupan sehari-hari


masyarakat tidak terlepas darinya.

Rasulullah SAW bersabda : “Manusia berserikat dalam tiga perkara : air,


rumput, dan api” Air, rumput, dan api merupakan benda yang pertama kali
dijadikan oleh Rasulullah SAW dibolehkan pemanfaatannya bagi seluruh
masyarakat serta dijadikannya sebagai milik bersama. Hadits di atas tidak
berarti terbatas kepada 3 benda itu saja melainkan mencakup seluruh
kebutuhan urgen masyarakat sehari-hari. Termasuk di dalamnya adalah
sungai, laut, danau, hutan, gas dan minyak bumi. Hal ini didasarkan pada
peristiwa yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Beliau mengijinkan
para sahabat di Khaibar dan thaif memiliki sumur masing-masing sebagai
milik pribadi. Mereka minum dari situ, demikian pula menyiram kebun dan
memberi minum hewan. Padahal dalam hadits pertama tadi disebutkan
bahwa air merupakan milik umum. Dan faktanya, sumur yang
diperbolehkan dimiliki itu memang kecil-kecil dan kehidupan masyarakat
tidak tergantung kepadanya. Jadi, kompromi kedua
hadits qouli dan fi’li tadi menunjukkan bahwa sesuatu merupakan milik
umum bila sesuatu itu merupakan barang yang dibutuhkan oleh seluruh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain yang
menguasai hajat hidup masyarakat.

2. Barang-barang yang tabiatnya tidak mungkin dimiliki secara individual.

Rasulullah SAW bersabda : “Mina merupakan hidangan (manakh) bagi


siapa saja yang melewati.” Dengan melihat realitas Mina dan jalan umum
ditemukan bahwa hakikat pembentukannya tidak mungkin dimiliki oleh
perseorangan. Mina merupakan tempat singgah para jamaah haji sekaligus
tempat melakukan syi’ar-syi’ar ibadah haji bagi seluruh kaum
muslimin. Jadi, tabiat pembentukannya tidak mungkin dimiliki oleh
individual. Demikian pula halnya dengan jalan umum. Dengan demikian
segala hal yang tabiatnya tidak memungkinkan dimiliki secara individual
merupakan milik umum. Berdasarkan hal ini, laut, sungai, teluk, jalan
umum, terusan (seperti Suez), padang umum, dan masjid merupakan milik
umum.

3. Areal yang luas dan tak terhitung banyaknya.


Areal yang kecil dan terbatas merupakan pemilikan individu. Dulu
Rasulullah SAW pernah memberikan lahan garam kepada Abyadh bin
Hammal. Kemudian para sahabat menanyakan apakah beliau tahu bahwa
tempat tersebut berproduksi banyak tak terbatas. Akhirnya Rasulullah
SAW sebagai kepala negara saat itu membatalkan pemberian kepada salah
seorang rakyatnya itu. Hal ini menunjukkan segala sesuatu yang jumlahnya
banyak atau tak terbatas merupakan milik umum. Misalnya, tambang emas,
perak, minyak, posfat, dan sebagainya.
Pemanfaatan kepemilikan umum adalah sebagai berikut:

Pertama, apabila mudah bagi orang per orang untuk memanfaatkannya secara
langsung seperti air, rumput, pohon, jalan umum, laut, sungai, dan sebagainya
maka setiap individu boleh memanfaatkannya secara langsung. Setiap individu
hanya diperkenankan sekedar mengambil manfaatnya dan bukan memilikinya.

Kedua, apabila tidak mudah bagi perorangan untuk mengambil manfaat


darinya secara langsung seperti gas dan minyak maka negaralah yang
melakukan produksinya sebagai wakil dari seluruh kaum
muslimin. Pendapatannya dimasukkan ke baitul mal (kas negara) untuk
kepentingan masyarakat.

(c) Kepemilikan Negara (state property/Milkiyatu Ad-Daulah); Kepemilikan


negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang
pengelolaannya menjadi wewenang khalifah, dimana dia bisa mengkhususkan
sesuatu kepada sebagian kaum muslimin, sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah
untuk mengelolanya semisal harta fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya. Kalau
pemilikan umum tidak boleh diberikan oleh negara kepada seseorang untuk
dimiliki, barang milik negara boleh diserahkan kepada salah satu rakyatnya
yang membutuhkan (iqtha’).

Termasuk dalam katagori ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang
tidak dihidupkan secara individual; bithaih (tanah yang tenggelam tertutup
air); showafi (semua tanah di tempat futuhat yang tak bertuan atau milik penguasa
negara sebelumnya yang ditetapkan oleh kepala negara/khalifah menjadi milik
baitul mal; dan setiap bangunan yang dibangun oleh negara dan dananya berasal
dari baitul mal, khusunya berkaitan dengan struktur negara.

Pilar Kedua : Pengelolaan (At-Tasharruf) Kepemilikan


Kepemilikian individu tertentu atas harta mencakup juga kegiatan memanfaatkan
dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang
telah secara sah memiliki harta tertentu berhak untuk memanfaatkan dan
mengembangkan hartanya. Hanya saja ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-
ketentuan Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta.

Dalam memanfaatkan harta milik individu yang ada Islam memberikan tuntunan
bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib
seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat dan lain-
lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru
kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut
tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-
barang yang haram seperti minuman keras, babi dan lain-lain.

Demikian pula pada saat seorang muslim ingin mengembangkan harta yang telah
dimiliki, ia terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta.
Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-
cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang
pertanian ,perindustrian maupun perdagangan. Selain itu, Islam juga melarang
pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba, judi serta
aktivitas terlarang lainnya.

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective


property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Hanya
masalahnya, As-Syari’ telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum
(collective property) tersebut dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk
orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain kedua cara tersebut, asal tetap
berpijak kepada hukum-hukum, yang telah dijelaskan oleh syara’, tetap
diperbolehkan.

Adapun mengelola kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara


(state property) dan kepemilikan individu (private property) nampak jelas dalam
hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli,
penggadaian dan sebagainya. As Syari’ juga telah memperbolehkan negara dan
individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara barter
(mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal
tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.

Pilar Ketiga : Distribusi Kekayaan Di Tengah-Tengah Manusia

Tata cara (mekanisme) distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan


mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang
wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam masalah kemampuan dan kebutuhan
akan suatu pemenuhan, bisa juga menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan
tersebut di antara mereka. Sehingga kesalahan yang terjadi dalam distribusi
tersebut memang benar-benar terjadi. Kemudian kesalahan tersebut akan
membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja,
sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat
tukar yang fixed, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara’ melarang
perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya. Kemudian, syara’
mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT
berfirman :

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu.” (QS. Al-Hasyr : 7)

Di samping syara’ juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak,


meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah : 34)

Demikianlah gambaran umum dasar-dasar sistem ekonomi Islam. Untuk


memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh aspek
yang dikemukakan di atas perlu dilakukan. Insya Allah penjelasan/perincian
tersebut akan diberikan pada bagian-bagian khusus sesuai dengan topik
pembahasannya.

E. Rancang Bangun Ekonomi Islam

Dalam pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, kita
harus mengetahui terlebih dahulu mengenai rancang bangun ekonomi Islam,
dengan mengetahui rancang bangun ekonomi Islam kita dapat memperoleh
gambaran utuh dan menyeluruh secara singkat tentang ekonomi Islam. Rancang
bangun ini terdiri dari atap, tiang dan landasan. Diharapkan nantinya dengan
mengetahui rancang bangun ini, dapat memahami lebih lanjut mengenai apa
ekonomi Islam itu sendiri.

Landasan terdiri atas aqidah, adil, nubuwwa, khilafah, dan ma’ad. Aqidah
(tauhid) merupakan konsep ketuhanan umat Islam terhadap Allah SWT. Di mana
dalam pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontology tauhid, dan hal ini menjadi
prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari
tauhid yang dipegangnya sehingga rukun Islam yang pertama adalah syahadat yang
memperlihatkan betapa pentingnya tauhid dalam setiap insan `beriman. Oleh
karenanya, setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip
yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Oleh karenanya,
setiap tindakan yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab akan dapat
menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia, baik bagi individu itu
sendiri maupun bagi orang lain.

Adil di sini mengandung makna bahwa dalam setiap aktivitas ekonomi yang
dijalankan tidak terjadi suatu tindakan yang menzalimi orang lain. Konsep adil ini
mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut
konteks individual, janganlah dalam aktivitas perekonomiannya ia sampai
menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai
merugikan orang lain. Oleh karenanya, harus terjadi keseimbangan antara
keduanya. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan
oleh insan beriman haruslah adil agar tidak ada pihak yang tertindas. Karakter
pokok dari nilai keadilan bahwa masyarakat ekonomi haruslah memiliki sifat
makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran menurut syariat Islam.

Mungkin beberapa orang menganggap bahwa tuntunan dalam ekonomi


Islam ini hanya bisa dijalankan oleh Nabi. Anggapan ini keliru, sebab ilmu yang
diajarkan oleh Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad SAW pasti benar
adanya. Dengan konsep nubuwwa ini, kita dituntut untuk percaya dan yakin bahwa
ilmu Allah itu benar adanya dan akan membawa keselamatan dunia dan akhirat,
serta dapat dijalankan oleh seluruh umat manusia dan bukan hanya oleh nabi saja.
Ajaran Nabi Muhammad SAW adalah suatu ajaran yang memiliki nilai-nilai
universal di dalamnya, sehingga prinsip-prinsip yang terkandung dalam ekonomi
Islam merupakan prinsip-prinsip ekonomi universal yang dapat diterapkan oleh
seluruh umat, baik oleh umat Islam maupun umat selain Islam. Sifat-sifat
keteladanan Rasulullah seperti shidiq, amanah, tablig, dan fathonah mampu
dilaksanakan oleh umatnya meskipun tidak akan sesempurna seperti yang telah
ditunjukkan oleh Rasulullah. Namun, hal ini membuktikan bahwa ekonomi Islam
pun mampu dilaksanakan oleh setiap individu.

Khilafah atau berarti pemimpin, membawa implikasi bahwa pemimpin umat


dalam hal ini bisa berarti pemerintah adalah suatu yang kecil namun memegang
peranan penting dalam tata kehidupan bermasyarakat. Islam menyuruh kita untuk
mematuhi pemimpin selama masih dalam koridor ajaran Islam. Ini berarti negara
memegang peranan penting dalam mengatur segenap aktivitas dalam
perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi dan aturan tersebut tetap
dibutuhkan, namun selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan kata
lain, peran negara adalah berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan
mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan.
Ma’ad atau return, ini berarti dalam Islam pun membolehkan mengambil
keuntungan dalam melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya, salah besar
yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh mengambil keuntungan.
Keuntungan merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu aktivitas
ekonomi. Namun, yang dilarang dalam Islam adalah mengambil keuntungan yang
berlebihan apalagi sampai merugikan orang banyak, misal dengan melakukan
penimbunan–untuk menciptakan kelangkaan barang–agar mendapat harga yang
berlipat ganda.

Setelah membahas landasannya, sekarang kita membahas mengenai tiang


dari ekonomi Islam, yang terdiri atas multitype ownership (kepemilikan multi
jenis), freedom to act (kebebasan berusaha), dan social justice (kesejahteraan
sosial).

Multitype ownership, Islam mengakui jenis-jenis kepemilikan yang


beragam. Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan yang diakui hanyalah kepemilikan
individu semata yang bebas tanpa batasan. Sedangkan dalam ekonomi sosialis,
hanya diakui kepemilikan bersama atau kepemilikan oleh negara, di mana
kepemilikan individu tidak diakui dan setiap orang mendapatkan imbalan jasa yang
sama rata. Dalam Islam kedua-dua kepemilikan diakui berdasarkan batasan-batasan
yang sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karenanya, Islam mengakui adanya
kepemilikan yang bersifat individu, namun tetap ada batasan-batasan syariat yang
tidak boleh dilanggar–seperti akumulasi modal yang hanya menumpuk di
sekelompok golongan semata. Kepemilikan individu dalam Islam sangat dijunjung
tinggi, akan tetapi tetap ada batasan yang membatasi agar tidak ada pihak lain yang
dirugikan karena kepemilikan individu tersebut. Pemilikan dalam ekonomi Islam
adalah sebagai berikut.

1. Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan menguasai secara


mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
2. Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila orang
tersebut meninggal harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut
ketentuan Islam.
3. Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi
yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat hidup orang
banyak, sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara.

Economic freedom, dalam ekonomi Islam setiap manusia bebas melakukan


aktivitas ekonomi apa saja, selama aktivitas ekonomi yang dilakukan bukan
aktivitas ekonomi yang dilarang dalam kerangka yang Islami. Hal ini berbeda
dengan ekonomi kapitalis yang tidak terdapat pembatasan dalam kebebasan
beraktivitas sehingga terjadi kebebasan yang terlalu berlebihan bahkan
menyebabkan tertindasnya pihak lain, dalam ekonomi kapitalis berlaku hukum
rimba di mana yang terkuatlah yang dapat menguasai semuanya termasuk sumber
daya modal dan alam. Hal ini berakibat teraniayanya hak orang lain diakibatkan
kebebasan tanpa batasan. Tidak seperti ekonomi sosialis yang terlalu membatasi
kebebasan beraktivitas seseorang sehingga cenderung menghilangkan kreativitas
dan produktivitas umat. Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas
ekonomi menyebabkan stagnasi dalam produktivitas.

Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable
–bukan karena kebaikan hati kita. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat
berasal dari usaha sendiri secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di
dalamnya sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, Islam
mewajibkan zakat dan voluntary sector (infak, sedekah, wakaf, dan hibah) agar
terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan. Namun, pemerataan di sini bukan
berarti sama rata, sama rasa, melainkan sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat
adalah salah satu instrument pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu
sistem jaminan social yang ada di Barat. Selain itu, kerja sama (cooperative)
merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islami versus kompetisi bebas dari
masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Kerja sama ekonomi
harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi
barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam adalah
qirad. Qirad adalah kerja sama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha
pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit
ekonomi atau proyek usaha.

Yang terakhir adalah atap dari rancang bangun ekonomi Islam itu sendiri
yaitu akhlak yang menjadi perilaku Islami dalam perekonomian. Atau dalam
kaitannya dengan ekonomi bisa diartikan sebagai suatu etika yang harus ada dalam
setiap aktivitas ekonomi. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup
untuk membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun, harus dilengkapi dengan
akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan
sampai merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah. Akhlak
yang mulia mampu menuntun umat dalam aktivitas ekonominya tidak merugikan
pihak lain, misalnya dengan tidak melakukan gharar, maysir, dan riba sebab teori
yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuai dengan syariah sama sekali bukan
jaminan secara otomatis akan memajukan perekonomian umat. Sistem ekonomi
Islami hanya memastikan tidak adanya transaksi yang bertentangan dengan syariat.
Kinerja ekonomi sangat tergantung pada siapa yang ada di belakangnya. Baik
buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses dan gagalnya bisnis
yang dijalankan. Dengan melihat pengertian di atas dapat kita Tarik beberapa
pengertian, yaitu pertama, Ekonomi Islam sebagai ilmu adalah merupakan landasan
dari rancang bangun ini. Kedua, Ekonomi Islam sebagai suatu sistem atau sistem
ekonomi Islam adalah yang menjadi tiang dari rancang bangun. Ketiga, Ekonomi
Islam sebagai suatu perekonomian atau perekonomian Islam adalah yang kita sebut
sebagai atapnya.

F. Mazhab Dalam Ekonomi Islam

Ekonomi konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan


ekonomi Islam. Oleh karena ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu
yang sekuler dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan) di
dalamnya sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas
nilai (positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas prinsip-prinsip
syariah. Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda pendapat. Namun, ketika
diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam itu mulai
muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran para ekonom muslim
kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini
dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah
tersusun secara sistematis.

Tiga mazhab tersebut adalah mazhab:

1. Iqtishaduna,

2. Mainstream,

3. Alternatif-kritis.

 Mazhab Iqtishaduna

Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”. Di mana
mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa berjalan
seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah tetap
Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian dan
filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi Islam
(Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada perbedaan
cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi termasuk pula
dalam alat analisis yang dipergunakan. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi
muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber
daya yang tersedia terbatas, di mana faktor utama permasalahan ekonomi adalah
masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena menurut mereka
Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang mereka
pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Alquran Surat Al
Qamar ayat 49.

“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-
tepatnya”.

Dengan demikian, segala sesuatu telah terukur dengan sempurna,


sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia.
Kemudian mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak
terbatas, menurut mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh,
manusia akan berhenti makan bila sudah kenyang sehingga ditarik suatu
kesimpulan bahwa keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas. Mazhab
ini berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi muncul karena adanya
distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang
membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang lemah oleh
sekelompok pihak yang lebih kuat. Pihak yang kuat akan mampu menguasai
sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah sama sekali tidak
mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut sehingga masalah ekonomi
muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan
manusia yang tidak terbatas.

Oleh karena itu, istilah ekonomi Islam adalah istilah yang tidak tepat dan
menyesatkan sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan. Sebagai gantinya
ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yaitu iqtishad.
Iqtishad menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad
berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equilibrium atau keadaan
sama seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi
konvensional ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun
berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunah.

 Mazhab Mainstream

Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab


kedua atau yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa
masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada
keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalil yang dipakai adalah Alquran surat Al
Baqarah ayat 155.

“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi
orang-orang yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal
yang alamiah dan bersifat sunatullah. Dalil yang dipakai adalah Alquran surat At-
Takaatsur ayat 1-5

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang


kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)”.

Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam


penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan.
Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan
berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan
dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain, pilihan dilakukan
berdasarkan tuntutan nafsu semata (homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi
Islam penentuan pilihan tidak bisa seenaknya saja sebab semua sendi kehidupan
kita telah diatur oleh Alquran dan Sunah sehingga kita sebagai manusia ekonomi
Islam (homo Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.

Tokoh-tokoh mazhab antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, M.A.


Mannan, M.N. Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas mereka adalah para pakar ekonomi
yang belajar serta mengajar di universitas-universitas Barat, dan sebagian besar di
antara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Mazhab ini tidak
pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang
sampah. Salah seorang tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha
pengembangan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis
yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional.
Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang sehingga terjadi suatu
proses transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip
syariah Islam sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada
dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para
ilmuwan muslim pada era dark ages sehingga bukan tak mungkin ilmu yang
berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan
pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.
 Mazhab Alternatif–Kritis

Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dan
lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama
dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang
pada hakikat aslinya sudah ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan
teori lama, untuk kemudian menggantinya dengan teori baru yang notabenenya
sebagian telah ditemukan. Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari
ekonomi konvensional dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan
variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka
berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi
konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri.
Ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Alquran dan Sunah, di mana
tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda
atasnya. Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji
kebenarannya agar ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di
dunia ini.

PERBANDINGAN SISTEM EKONOMI KONVENSIONAL DAN SISTEM


EKONOMI ISLAM

A. Definisi Sistem Ekonomi

Dalam sejarah peradaban manusia, ada beberapa bentuk sistem ekonomi


yang pernah ditemukan. Bentuk paling primitif adalah despotisme, di mana
ekonomi diatur oleh sebuah otoritas tunggal, baik itu seorang atau sekelompok
orang yang menjadi pemimpin. Sistem despotisme bukannya tidak berhasil,
peradaban-peradaban besar di masa lalu dibangun di atas sistem ini. Problem
dengan despostisme adalah ia tidak berkelanjutan. Sistem ini tidak mampu
mengatasi problem yang makin kompleks yang dihadapi oleh umat manusia. Oleh
karena itulah sistem ini kemudian punah. Setidaknya, sistem ini eksis hanya di
tingkat masyarakat yang terbatas.
Menurut Gregory Grossman (1995: 20) sistem ekonomi ialah:

“Sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang terdiri atas unit-


unit dan agen-agen ekonomi serta lembaga-lembaga (institusiinstitusi) ekonomi,
yang bukan saja saling berhubungan dan berinteraksi, melainkan juga sampai
tingkat tertentu saling menopang dan memengaruhi”

Dengan demikian, komponen-komponen tersebut memiliki hubungan


fungsional yang dapat menjadi alat koordinasi alokasi sumber daya ekonomi.
Perekonomian yang di dalamnya terdapat individu-individu dan keluargakeluarga
memiliki saling ketergantungan disebut sosial ekonomi (social economy).

John F. Due berpendapat bahwa sebuah sistem ekonomi:

“…is the group of economic institution or, regarded as a unit, the economic
system, the organization through the operation of which the various resources
scarce, relative to the need for them are utilized satisfy the wants of man”

Theodore Morgan memberi pengertian mengenai sistem ekonomi yang


dinilai lebih lengkap, sistem ekonomi adalah bagian dari suatu konstelasi
(kumpulan) lembaga-lembaga ekonomi, sosial, politik dan ide-ide.

Kemudian Winardi (1984) berpendapat bahwa sistem ekonomi merupakan


suatu organisasi yang terdiri atas sejumlah lembaga atau pranata (ekonomi, sosial,
politik, dan ide-ide) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang
ditujukan ke arah pemecahan masalah-masalah produksi, distribusi, konsumsi yang
merupakan permasalahan dasar setiap perekonomian.

Kemudian Lemhannas mengartikan sistem ekonomi sebagai susunan


organisasi ekonomi yang mantap dan teratur. Dalam sistem ekonomi dibahas
persoalan pengambilan keputusan dalam tata susunan organisasi ekonomi untuk
menjawab persoalan-persoalan ekonomi masyarakat tersebut dalam mewujudkan
tujuan nasional. Sehingga secara umum dapat ditarik suatu pengertian umum dari
sistem ekonomi, yaitu suatu sekumpulan institusi-institusi ekonomi yang memiliki
keteraturan, di mana setiap institusi ekonomi tersebut bersifat saling mempengaruhi
dalam pencapaian tujuan bersama dalam perekonomian.
B. Sistem Ekonomi Kapitalisme

Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi muncul pada abad ke-16 yang
didorong oleh revolusi industri yang terjadi di Eropa, yang ditandai dengan
peralihan dari dominasi modal perdagangan di atas modal bagi industri menuju arah
dominasi modal industri atas modal perdagangan. Proses terjadinya cepat dan inilah
yang memunculkan Adam Smith sebagai bapak ekonomi modern dan bapak
kapitalisme. Meskipun sebenarnya lahirnya sistem ekonomi kapitalis merupakan
perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian di
Eropa pada masa sebelumnya (era merkantilisme).

Ciri-ciri dari sistem ekonomi kapitalis adalahsebagai berikut (Rivai, 2009).

1. Kebebasan memiliki harta secara perorangan.

Hak milik individu merupakan suatu hal yang mutlak, tanpa memandang
cara mendapatkan maupun penggunaannya. Setiap individu bebas untuk
memiliki dan menggunakannya tanpa ada seorang pun yang berhak untuk
melarangnya. Pemberian hak milik secara mutlak akan menciptakan
perilaku individu untuk menggunakan semaksimal mungkin sumber daya
yang dimiliki dan berdampak pada distribusi pendapatan masyarakat.

2. Persaingan bebas (free competition).

Persaingan bisa terjadi antarprodusen dalam menghasilkan produk,


persaingan dapat pula terjadi antara penyalur produk, persaingan dapat pula
terjadi antarkaryawan untuk mendapatkan pekerjaan, dan seterusnya.
Dalam sistem kapitalis, individu atau kelompok yang terkuat yang akan
memenangkan kompetisi dan menguasai seluruhnya.

3. Kebebasan penuh.

Kapitalisme identik dengan kebebasan (liberalisme/laissez faire), yang


dianggap sebagai iklim yang paling sesuai dengan sendi kapitalisme.
Liberalisme adalah suatu paham yang berpendapat dan bercita-cita bahwa
manusia dilahirkan di dunia mempunyai hak untuk bebas seperti yang
diinginkannya.

4. Mementingkan diri sendiri.

Aktivitas individu diyakini tidak akan membawa kekacauan, bahkan


sebaliknya akan membawa kemakmuran bangsa-bangsa. Asumsi self
interest menjadi nilai utama dalam kapitalisme, di mana individu dianggap
paling mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya.

5. Mekanisme harga sebagai penentu.

Kapitalisme meletakkan sistem pasar sebagai suatu sistem yang akan


membawa kemakmuran di masyarakat, proses mekanisme harga di pasar
akan selalu meletakkan ekonomi pada posisi yang paling efisien.

6. Campur tangan pemerintah yang minimum.

Dalam kapitalisme peran pemerintah sangat diminimalkan, sebab


keseimbangan dalam perekonomian sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme harga di pasar.

Dampak positif sistem ekonomi kapitalis:

1. Sistem ekonomi kapitalisme akan mampu mendorong aktivitas ekonomi


secara signifikan, karena setiap individu selalu berusaha untuk melakukan
aktivitas ekonomi yang paling efisien bagi dirinya dan kelompoknya.

2. Persaingan bebas yang terdapat pada sistem ekonomi kapitalis akan


mewujudkan produksi dan harga ke tingkat wajar dan rasional. Hal ini
dikarenakan setiap individu/kelompok akan berusaha memenangi persaingan
sehingga persaingan yang tercipta akan menghasilkan suatu tingkat harga yang
wajar dan rasional dalam perekonomian.

3. Mendorong motivasi pelaku ekonomi mencapai prestasi terbaik, melalui


kegiatan ekonomi yang paling efisien.
Sedangkan dampak negatif yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis terhadap
perekonomian ialah sebagai berikut.

1. Penumpukan harta yang terjadi pada satu individu atau kelompok akan
menimbulkan terjadinya ketimpangan dan distribusi kekayaan tidak merata di
masyarakat. Hal ini menimbulkan terjadinya kesenjangansosial yang cukup
lebar di masyarakat antara kelompok masyarakat kaya dengan kelompok
masyarakat miskin.

2. Individualisme akan mengakibatkan ketidakpedulian individu/kelompok


dengan individu/kelompok lain. Hal ini terlihat di mana setiap individu dalam
sistem ekonomi kapitalis semakin hilang rasa kemanusiaannya terhadap
sesama karena mereka terlalu mementingkan diri dan kelompok mereka
sendiri.

3. Memunculkan distorsi pada nilai-nilai moral karena segala sesuatu selalu


dilihat dari aspek ekonomi tanpa mementingkan nilai-nilai moral, etika dan
agama. Hal ini akan mengakibatkan perekonomian yang penuh dengan intrik
dan kecurangan.

4. Pertentangan antarkelas yang terjadi sebagai akibat ketimpangan dan


distribusi kekayaan yang tidak merata.

C. Sistem Ekonomi Sosialisme

Perkembangan paham kapitalis yang menimbulkan eksploitasi sekelompok


pihak (kaum marjinal) oleh kelompok pemilik modal memunculkan paham sosialis
yang dicetuskan oleh Karl Marx. Perkembangan lebih lanjut dari paham sosialis
adalah paham komunisme. Sistem ini lahir sebagai bentuk keprihatinan Karl Marx
atas munculnya penderitaan dalam kehidupan masyarakat. Sistem ini muncul pada
abad ke-20, di mana mekanisme pasar yang dijanjikan oleh sistem kapitalisme
ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Bahkan
mengakibatkan terjadinya kelesuan ekonomi yang ditandai dengan terjadinya
pengangguran yang berkelanjutan dan meningkatnya kesengsaraan masyarakat,
sementara kapitalis semakin menumpuk kekayaan.
Sistem ekonomi sosialis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

1. Kepemilikan harta dikuasai sepenuhnya oleh negara, kepemilikan individu


tidak diakui dalam sistem ekonomi sosialis. Harta yang dimiliki individu
merupakan pemberian dari negara yang dapat diambil sewaktu-waktu oleh
negara apabiladiperlukan.

2. Setiap individu memiliki kesamaan kesempatan dalam melakukan aktivitas


ekonomi.

3. Disiplin politik yang tegas dan keras merupakan salah satu ciri utama dalam
sistem ekonomi sosialis yang sepenuhnya menganut sistem komando.

4. Tiap warga negara dipenuhi kebutuhan pokoknya, hal ini disebabkan oleh
penguasaan mutlak kekayaan oleh negara.

5. Proyek pembangunan dilaksanakan oleh negara, tanpa memberikan


kesempatan kepada swasta untuk mengolahnya.

6. Posisi tawar menawar individu dalam sistem sosialis sangat terbatas, karena
negara merupakan kunci utama di dalam perekonomian.

Kebaikan yang dimiliki oleh sistem ekonomi sosialis ialah sebagai berikut.

1. Nasib kaum lemah (kaum marjinal) sangat diperhatikan dalam sistem


ekonomi sosialis, hal ini dikarenakan kelahiran sistem sosialis sebagai akibat
penumpukan modal yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sehingga
kaum lemah tidak mendapatkan akses yang sama.

2. Tidak terjadi pengangguran di dalam masyarakat, sebab tujuan utama dalam


sistem ekonomi sosialis adalah pemerataan kesempatan kepada berbagai
lapisan masyarakat.

3. Terciptanya kemakmuran yang merata, karena diberinya pemerataan


kesempatan yang sama kepada setiap individu dalam perekonomian.

Sementara kekurangan sistem ekonomi sosialis ialah sebagai berikut.


1. Karena sistem ekonomi sosialis merupakan sistem ekonomi komando di
mana segala kebijakan terpusat dari negara, maka hal ini akan menghilangkan
kebebasan untuk berkreasi dari warga negaranya. Sebab kebebasan individu
sangat dikekang dalam sistem ekonomi sosialis.

2. Pemilikan individu tidak diakui, sehingga mengakibatkan hilangnya


kebebasan individu dalam memiliki harta dan kekayaan. Kepemilikan
sepenuhnya dikuasai oleh negara. Individu di dalam sistem ekonomi sosialis
hanya diakui sebagai alat pemerintah, tetapi tidak sebagai subjek yang turut
berperan dalam proses pembangunan.

3. Kemerataan yang sifatnya absolut dan pemilikan individu yang tidak diakui
mengakibatkan hilangnya motivasi bekerja dari warga negara, mereka
menganggap tidak ada gunanya mereka bekerja keras maupun tidak karena
penghasilan yang mereka dapatkan akan sama pula dengan warga negara yang
lain.

4. Penguasaan harta oleh negara ternyata mengakibatkan penumpukan harta dan


modal pada kelompok penguasa. Telah terjadi kesenjangan antara masyarakat
dengan kelompok penguasa dalam perekonomian, di mana masyarakat hanya
menerima apa yang diberikan oleh negara.

D. Sistem Ekonomi Islam

Deskripsi paling sederhana dari ekonomi Islam adalah ‟suatu sistem


ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam, ‟ di mana‟ keseluruhan
nilai tersebut sudah tentu Al-Quran, As-Sunah, ijma dan qiyas‟ (Nasution dkk
2006). Secara umum, lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada
pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tentulah tidak
hanya memberikan penganutnya aturan-aturan soal ketuhanan dan iman, melainkan
juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia, termasuk
ekonomi.

Pemikiran-pemikiran Islam klasik dalam hal ekonomi sebenarnya lebih


merupakan ide-ide yang terpencar, belum merupakan sebuah desain komprehensif
mengenai sistem ekonomi yang Islami. Sistem ekonomi Islam merupakan ilmu
ekonomi yang dilaksanakan dalam praktik (penerapan ilmu ekonomi) sehari-
harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat, maupun
pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan
pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-
undangan Islam (sunnatullah).

Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra sebagaiberikut

1. Prinsip tauhid, tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa
segala apa yang di alam semester ini didesain dan di cipta dengan Umer
Chapra, The Future of Economics, (terj) Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, h. 202-206 sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan
dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan
signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang
menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2. Prinsip khilafah. Manusia merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi
dengan dibekali perangkat baik jasmani maupun rohani untuk dapat
berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini
adalah: (1) persaudaraan yang universal; (2) sumber daya adalah amanah;
(3) gaya hidup sederhana; (4) kebebasan manusia.
3. Prinsip keadilan, keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam,
implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia,
(2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan thayyib, (3) distribusi
pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

Kebaikan dari sistem ekonomi Islam ialah sebagai berikut.

1. Nilai-nilai yang tertanam dalam sistem ekonomi Islam sangatlah kuat,


sehingga setiap pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan
pernah melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan pencapaian tujuan
perekonomian dengan cara-cara yang penuh intrik dan tipu daya. Apabila sistem
ekonomi konvensional, baik kapitalisme maupun sosialisme menafikkan nilai-
nilai moral dan agama dalam perekonomian, maka sistem ekonomi Islam
memegang nilai-nilai tersebut pada perekonomian.

2. Sangat memerhatikan kepemilikan individu namun tetap memiliki batasan-


batasan yang diatur sesuai syariat Islam. Karena konsep inti kepemilikan dalam
Islam adalah milik absolut dari Allah SWT, di manamanusia hanya diberikan
amanah untuk mendayagunakannya sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.

3. Negara merupakan salah satu institusi penting dalam perekonomian, di mana


negara salah satu posisi sentral dalam perekonomian. Negara berperan sebagai
pembuat kebijakan dan melakukan fungsi pengawasan agar tidak terjadi distorsi
di dalam perekonomian. Negara akan campur tangan apabila telah terjadi distorsi
di dalam perekonomian, hal ini agar kepentingan ekonomi setiap pelaku
ekonomi dapat terlindungi.

4. Memiliki sistem yang baik bagi pemerataan dalam distribusi pendapatan


melalui instrumen zakat, infak dan sadaqah dari kelompok kaya kepada
kelompok miskin. Dengan sistem ini pertentangan antar kelas tidak akan terjadi
karena telah terjadi saling pengertian antar kelompok kaya dengan kelompok
miskin. Instrumen yang built in dalam sistem ini merupakan mekanisme
distribusi pendapatan yang tidak terdapat pada sistemekonomi konvensional.

5. Setiap individu dalam sistem ekonomi Islam akan termotivasi untuk bekerja
keras, dalam setiap ajaran agama menganjurkan bekerja sebagai kunci
kesuksesan seorang individu. Berbagai praktik ibadah dalam Islam memotivasi
individu untuk bekerja keras seperti zakat dan haji merupakan ibadah yang hanya
dapat dilaksanakan oleh kaum berkecukupan. Namun apakah sistem ekonomi
Islam memiliki kelemahan?

Menurut penulis kelemahan utama dalam sistem ekonomi Islam saat ini adalah
masih belum sistematisnya pembahasan sistem ekonomi Islam secara keilmuan,
sehingga ekonomi Islam belum mampu memberikan pembahasan yang terstruktur
secara baik seperti sistem ekonomi konvensional. Selain itu masih banyak konsep
dalam sistem ekonomi Islam yang belum mampu diaplikasikan secara keseluruhan,
karena belum ada negara yang mengaplikasi sistem ekonomi Islam secara penuh
dalam perekonomiannya.

E. Perbandingan Antar Sistem

Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktik ekonomi Islam, dalam


konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu
utama. Pertama, praktik transaksi keuangan dan posisi mengenai sistem bunga.
Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya.
Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan
ekonomi.

Selain itu, para ekonom muslim juga menekankan pentingnya intervensi


negara terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama
sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam
spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik,
berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.

Perbedaan pertama dan utama ialah secara epistemologis: ekonomi Islam


dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam itu sendiri, sehingga
pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam
dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di
dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Ini
kemudian membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa
yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi,
melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan
imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu,
sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tidak bisa
diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dibenarkan oleh Islam.

Sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda
dari sistem ekonomi lainnya (konvensional). Selanjutnya akan dilihat perbandingan
antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro
foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosophic foundations).
HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM ISLAM

A. Konsep Harta

Kekayaan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-ghina, yang berarti
tidak ada kebutuhan dan dikenal sebagai al-ghaniyu berarti diri cukup, yang
merupakan salah satu atribut allah swt. Seperti terdapat dalam firman allah swt.

”dan tuhanmu maha kaya, penuh rahmat. Jika dia menghendaki, dia akan
memusnahkan kamu dansetelah kamu(musnah) akan dia ganti dengan yang dia
kehendaki, sebagaimana dia menjadikan kamu dari golangan lain.” Q.s. al-an’am
(6); 133

Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa kekayaan dalam islam terdiriatas
dua elemen kehidupan, yaitu yang bersifat jasmani dan rohani. Sisipertama
menggambarkan dimensiyang bersifat material yang dikenal sebagai mal (atau
dalam jamaknya sebagai amwaal), atau harta. Harta menurut istilah syar’I adalah
sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada segala sesuatu legal menurut
hokum syara’ (hokum islam) seperti; jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibah atau
pemberian adapun yang berikutnya menunjukkan dimensi rohani, seperti
pengetahuan dan kebaikan yang berada dalam diri mereka sendiri.

Secara alamiah, hubungan antara kedua dimensi tersebut sangat erat.


Kekayaan merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungan yang meliputi
segala yang ada di langit dan di bumi, seperti flora dan fauna dan sebagainya yang
dapat mempermudah manusia untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman di dunia
ini.

Ada tiga konsep dasar yang perlu dipahami dalam masalah harta ditinjau
dalam kerangka islam. Ketiga hal inilah yang membedakannya dengan konsep harta
menurut perspektif konvisional.

1. Harta adalah titipan, bukan milik kita

Uang, harta, dan kekayaan adalah bukanlah milik kita karena tidak ada harta
ataupun uang yang akan kita bawa ketika menghadap illahi rabbi. Harta hanyalah
sebagai amanah yang harus dijaga pemanfaatannya agar mendatangkan kebaikan di
dunia sekaligus keselamtandan kebahagian di akhirat.

2. Perolehan, pengelolaan, dan penggunaan harta harus sesuai dengan syariat

Dari sudut pandang islam, pertanggung jawaban seseorang atas harta yang
penah “dimiliki” dilihat dari dua sudut. Pertama, darimana dan bagaimana
mendapatkanya. Kedua, kemana dan bagaimana ia mempergunakannya.

3. Menata dan merencanakan uang tidak terbatas kebutuhan duniawi

Kehidupan manusia yang sesungguhnya bukanlah kehidupa di dunia.


Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan kelak di akhirat.

B. Konsep Kepemilikan

Kepemilikan harta adalah hubungan antara manusia dan harta yang


ditentukan oleh syara’ dalam bentuk perlakuan khusus terhadap harta tersebut, yang
memungkinkan untuk mempergunakannya secara umum sehingga ada larangan
untuk menggunakannya. Secara bahasa, kepemilikan berarti penguasan manusia
atas harta dan penggunaannya secara pribadi. Adapun secara istilah, kepemilikan
adalah pengkhususan hak atas sesuai tanpa orang lan, dan ia berhak untuk
menggunakannya sejak awal, kecuali ada halangan syar’i

Pembagian harta menurut boleh-tidaknya dimiliki adalah sebagai berikut.

1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihakmilikkan orang lain. Contoh; jalan
umum, jembatan dan taman kota.
2. Harta yang tidak bias dimiliki, kecuali dengan ketentuan syariat. Contoh;
warisan, wasiat, harta wakaf, harta baitul mal dan sebagainya
3. Harta yang dapat dimiliki dan di hakmilikan kepada orang lain. Harta inilah
yang merupakan hak milik pribadi setiap orang.

Pemilikan secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu;


a) Al-milk al-tamm (milik sempurnah), yaitu materi dan manfaat harta itu
dimiliki oleh seseorang, misalnya seseorang memiliki rumah mak ia
berkuasa penuh terhadap rumah itu dan dia boleh memanfaatkannya secara
bebas.
b) Al-milk an-naqish (milik yang tidak sempurna), yaitu seseorang hanya
menguasai materi harta, tetapi manfaatnya dikuasai orang lain, seperti
rumah yang diserahkan kepada orang lain untuk disewa

C. Pengertian dan Sejarah Uang

Mata uang adalah suatu benda yang sudah tidak lagi aneh di dalam
masyarakat atau bisa disebut lumrah . karena pada dasarnya setiap manusia pasti
membutuhkan uang sebagai alat transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang
dikatakan kaya atau miskin bisa dilihat dari berapa banyak seseorang tersebut
memegang uang atau menimbun kekayaan.

Dalam ekonomi islam,secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu,


pengertianya ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti yang baik dari dirham,
menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai.
Sebelum ditemukannya uang sebagai alat tukar, perdagangan dilakukan
secara barter, yaitu penukaran barang dengan barang lain. Untuk melakukan barter,
harus dipenuhi syarat double concidence of wants (kebutuhan yang timbul secara
bersama-sama).
Dengan semakin bertambah banyak kebutuhan manusia, syarat ini semakin sulit
dipenuhi sehingga mendorong orang untuk menemukan suatu komoditas yang
dapat digunakan masyarakat banyak sebagai alat tukar. Beberapa komoditas
digunakan masyarakat sebagai uang, namun yang paling unggul ialah emas dan
perak. Pada awal penggunaan emas dan perak sebagai alat tukar, emas dan perak
digunakan dalam bentuk cair yang membutuhkan timbangan. Hal tersebut lama-
lama terasa merepotkan. Kesulitan ini akhirnya teratasi dengan dikenalkannya koin
(uang logam). Pada masing-masing koin dicantumkan berapa nilai koin tersebut
yang disebut nilai nominal.
Uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk melancarkan
kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Maka uang didefinisikan sebagai benda-
benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan
tukar menukar atau perdagangan.
Manurut Robertson, uang adalah segala sesuatu yang dapat diterima umum
sebagai alat pembayaran barang-barang. Sedangkan menurut Albert Gailort Hart,
uang adalah kekayaan dengan nama pemiliknya yang dapat melunaskan hutangnya
dalam jumlah tertentu pada waktu itu juga.
Uang secara umum adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum
sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran
utang, atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata
lain, uang merupakan suatu alat yang dapat digunakan dalam wilayah tertentu.
Jadi segala sesuatu yang sudah memenuhi definisi uang diatas dapat kita
anggap sebagai uang, apakah uang terbuat dari logam, kertas ataupun dari benda
lainnya, bilamana uang sudah diterima oleh umum (masyarakat) sebagai alat tukar
penukar, satuan nilai dan sebagai alat penyimpan kekayaan, maka kita anggap
sebagai uang.
Selain uang sebagai ukuran nilai barang, uang sebagai media penukaran.
Namun, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk
melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut.

Sejarah uang sangat berhubungan dengan sejarah peradaban manusia.


Semenjak manusia memulai peradabannya dan keluar dari “zaman batu”, mereka
telah menciptakan berbagai bentuk barang yang digunakan sebagai alat perantara
dalam tukar menukar. Uraian tersebut secara ringkas menerangkan perkembangan
bentuk uang sepanjang peradaban manusia.

a) Masa sebelum barter


Pada zaman purba, atau pada masyarakat yang masih sangat sederhana,
orang belum bisa menggunakan uang. Perdagangan dilakukan dilakukan
dengan cara-cara langsung menukarkan barang dengan barang. Cara ini bisa
berlangsung selama tukar menukar masih terbatas pada beberapa jenis barang saja.
b) Masa barter
Pada masa ini untuk memenuhi kebutuhan, orang/kelompok orang sudah
membutuhkan pihak lain/dihasilkan oleh pihak lain, karena jumlah orang sudah
semakin meningkat dan bertambah, maka munculah pertukaran barang, karena pada
masa ini orang belum mengenal produksi barang.
Syarat utama terjadinya barter adalah, bahwa orang yang akan saling tukar
barang, mereka saling membutuhkan.
Kesulitan Barter :
1. Sulit menemukan barang untuk kebutuhan yang mendesak
2. Sulit menentukan perbandingan barang yang ditukarkan
3. Sulit memenuhi kebutuhan yang bermacam-macam

c) Masa uang barang


Pada masa ini, orang sudah mulai berfikir barang perantara sebagai alat
pertukaran, maka dicarilah jenis barang yang dapat mempermudah pertukaran,
sebagai syarat, sebagai alat perantara pertukan barang/uang barang
d) Masa uang
Peradaban yang semakin maju, mengakibatkan kebutuhan yang semakin
banyak dan bertambah pula, hal tersebut mendorong manusia untuk alat perantara
pertukaran yang mudah, praktis, dan mempunyai nilai, maka dikembangkanlah
jenis uang
Suatu barang berfungsi sebagai mata uang, apabila memenuhi syarat sebagai
berikut :
1. Dapat diterima oleh siapapun
2. Tahan lama
3. Mudah disimpan
4. Mudah dibawa kemana-mana
5. Dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil dengan tidak
mengurangi nilainya,
6. Jumlahnya terbatas
7. Nilai uang tetap

D. Kriteria dan Fungsi Uang

1. Kriteria Uang

Untuk dapat terima sebagai alat tukar, uang harus memenuhi persayaratan tertentu
yakni:

a. Nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu.


b. Tahan lama.
c. Bendanya mempunyai mutu yang sama.
d. Mudah dibawa-bawa.
e. Mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya.
f. Jumlahnya terbatas (tidak berlebih-lebihan).
g. Dicetak dan di sahkan penggunaannya oleh pemegang otoritas moneter
(pemerintah).
h. Tidak mudah dipalsukan.

2. Fungsi Uang
a. Alat tukar (Medium of Exchange)
Fungsi uang sebagai alat tukar menukar di dasarkan pada kebutuhan
manusia yang mempunyai barang dan kebutuhan manusia yang tidak
mempunyai barang di mana uang adalah sebagai perantara di antara mereka.
Dengan uang tersebut seseorang bisa memiliki atau mempunyai barang dan
orang yang memiliki barang bisa menerima uang sebagai harga dari barang
tersebut. Jadi dengan demikian uang dapat mempermudah pertukaran.
Dalam Islam, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Jadi uang adalah
sesuatu yang terus mengalir dalam perekonomian, atau lebih dikenal
sebagai flow concept. Ini berbeda dengan sistem perekonomian kapitalis, di
mana uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal tender)
melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Sedangkan dalam islam uang
menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang
lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
b. Satuan Hitung ( Unit Of Account)
Yang dimaksud dengan satuan hitung adalah uang sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan nilai barang dan jasa yang diperjualbelikan
dipasar dan besarnya kekayaan yang bisa dihitung berdasarkan penentuan
harga dari barang tersebut.
c. Penimbun Kekayaan
Fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan akan bisa mempengaruhi
jumlah uang kas yang ada pada masyarakat. Ketika teori konvensional
memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of value di mana
termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini tidak
diperbolehkan dalam Islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi
dan untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini
menurut Al-ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang .
d. Standar Pencicilan Utang
Uang juga berfungsi sebagai standar untuk melakukan pembayaran
berjangka atau pencicilan utang. Dalam Islam, apapun yang berfungsi
sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. Ia
bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara
langsung maupun bukan.

PERILAKU KONSUMEN

A. Etika Konsumsi dalam Islam

Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan


suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di
antara orang- orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak
memiliki bagiannya sehingga banyak di antara anugerah-anugerah yang diberikan
Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak
memperolehnya.

Konsumsi berlebih-lebihan dikutuk dalam Islam dan disebut dengan israf


(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, menuju tujuan-tujuan
yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara
yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta
yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi
konsumerisme. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan
untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat
tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi
dan penggunaan harta secara wajar dan berimbanng, yakni pola yang terletak
diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat
moderat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi Islam.

Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan

menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya


aplikatifnya terhadap orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir. Dalam
hukum (fiqih) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-
pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas
mengurus harta miliknya sendiri. Dalm pandangan syari’ah dia seharusnya
diperlukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk
mengurus hartanya selaku wakilnya.

Etika Islam dalam hal konsumsi sebagai berikut:

1. Tauhid (Unity/ Kesatuan)

Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka


beribadah kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalm hukum-hukum
Allah (syariah). Karena itu, orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan
mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-
barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.
Sedangkan dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan fungsi dari
keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memperdulikan
dimensi spritual, kepentingan orang lain dan tanggung jawab atas segala
perilakunya.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS Adz-Dzaariyat: 56)

2. Adil(Equilibrium / Keadilan)

Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia


kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syaitan: karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 168)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang- orang yang
mengetahui” (QS Al-A’Raaf: 32

Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai
dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan material, ia juga
sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan
norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat material maupun spiritual untuk
menjamin adanya kehidupan yang berimbang.

3. Free Will (Kehendak Bebas)

Alam semesta, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan


(kedaulatan) sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluk–Nya. Manusia
diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya
sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah ini. Atas segala
karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas, namun
kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yng
merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan
kehendak Allah.

4. Amanah (Responsibility / Pertanggungjawaban )

Manusia adalah khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi


kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil
keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal
melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan
mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan
alam, masyarakat, diri sendiri maupu n di akhirat kelak.

5. Halal

Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi


hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian,
keindahan serta akan menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara material
maupun spiritual. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak
bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-
barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudharatan apabila
dikonsumsi akan dilarang.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah:
173)

“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu,
dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka
sesungguhnya binasalah ia” (QS Thaahaa: 81)

6. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuang-buang
harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya
memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang
melampaui batas.

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmua yang indah di setiap


(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-
A’raaf: 31) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-
apa yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
(QS Al-Maaidah: 87)

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,


kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya permboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya” (QS Al-Israa: 26 – 27)

C. Perilaku Konsumen Non-Muslim

Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana dapat kita dapati
dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik
maka jumlah yang diminta oleh konsumen akan barang tersebut akan turun, begitu
pula sebaliknya. Dengan asumsi ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap
konstan)”.

Ada dua pendekatan (approach) untuk menerangkan mengapa konsumen


berperilaku seperti ini:

a. Pendekatan marginal utility, yang bertitik tolak pada anggapan bahwa


kepuasaan (utility) setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan
lain (utility yang bersifat “cardinal”), seperti kita mengukur berat badan.
b. Pendekatan indifference curve, yang tidak memerlukan adanya anggapan bahwa
kepuasan konsumen bisa dikur; anggapan yang diperlukan adalah bahwa tingkat
kepuasaan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa
mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (utility bersifat “ordinal”).
Bagaimanakah perilaku seorang individu non muslim dalam memaksimalkan
kepuasaannya atas suatu barang, hal tersebut dalam dilihat dari fungsi utilitas
berikut ini:

U = Φ (X1,….Xn; Y1,…,Ym)……………………….(1) Dimana,

U = kepuasan rumah tangga dalam mengkonsumsi output dan memiliki


persediaan

modal pada barang-barang konsumsi tahan lama

Xn = jumlah yang dikonsumsi pada periode n

Ym = persediaan barang modal fisik atas konsumsi barang tahan lama yang
dimiliki oleh rumah tangga.

Dari persamaan (1) diatas dapat kita lihat bahwa kepuasaan konsumen
dalam mengkonsumsi suatu output dan memiliki persediaan modal barang-barang
konsumsi tahan lama merupakan fungsi dari jumlah yang dikonsumsi pada suatu
titik periode dan jumlah persediaan barang modal fisik yang dimiliki oleh
konsumen.

D. Perilaku Konsumen Muslim

Analisis konvensional terhadap perilaku konsumen harus dimodifikasi


dalam kaitannya sebagai seorang konsumen muslim. Ada lima alasan atas
modifikasi ini:

1) Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dari konsumen yang lain.


Konsumen muslim tidak mencapai kepuasan hanya dari mengkonsumsi
output dan memegang barang modal saja. Perilaku ekonominya berputar pada
pencapaian atas ridha Allah. Untuk seorang muslim sejati harus percaya kepada Al
Quran, sehingga kepuasan konsumen muslim tidak hanya fungsi satu-satunya atas
barang konsumsi dan komoditi, tetapi juga fungsi dari ridha Allah.

Dengan memodifikasi fungsi kepuasan, sehingga didapat untuk konsumen muslim:

U = f (X1,…,Xn; Y1,…,Ym; G)………………………(4) Dimana G = pengeluaran


untuk amal atau untuk di jalan Allah

2) Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda daripada konsumen


non muslim, meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia. Karena Islam
melarang seorang muslim mengkonsumsi beberapa komoditas. Jadi jika konsumen
non muslim bisa mengalokasikan anggarannya pada barang X1, X2,…Xn; seorang
muslim hanya bisa mengalokasikan anggarannya pada X1, X2,…,Xk. Dimana k <
n. (n-k) menggambarkan atas barang dan jasa yang dilarang sehingga harus
diperkenalkan modifikasi yang lain dari fungsi kepuasan konvensional yang sesuai
dengan syariah Islam.

Modifikasi baru itu adalah:

U = f (X1,…,Xk; Y1,…,Ym; G)……………………….( 5)

3) Karena seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari
pinjaman dalam bentuk apapun. Premi rutin yang dibayar oleh konsumen muslim
atas memegang barang tahan lama i tidak mencakup elemen suku bunga. Suku
bunga dalam ekonomi Islam digantikan oleh biaya dalam kaitannya dengan profit
sharing. Bagaimanapun tidak seperti bunga, biaya ini tidak ditentukan sebelumnya
pada tingkat yang tetap atas sebuah resiko.

4) Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang dapat digunakan untuk


optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat.
5) konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan, yang
berarti konsumen muslim tidak harus menghabiskan seluruh pendapatan bersihnya
untuk konsumsi barang dan jasa.

PERILAKU PRODUSEN

Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi

Secara sederhana produksi merupakan suatu proses penambahan nilai guna


suatu barang atau jasa yang dapat digunakan utuk orang banyak. “Produksi,
distribusi, dan konsumsi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegitan ekonomi
yang tidak bisa di pisahkan. Ketiganya memang saling memengaruhi, namun harus
diakui produksi merupakan titik pangkal dari kegiatan itu.

Tidak akan ada distribusi tanpa produksi. Pada prinsipnya islam lebih
menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan
hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki
dayabeli yang lebih baik. Karena itu bagi islam, produksi yang surplus dan
berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak dengan sendirinya
mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat.”

“Aturan main produksi dalam islam yakni selain produsen dapat


mendapatkan laba yang diinginkan juga ada sebuah aturan bahwa barang yang di
produksi adalah barang yang benar-benar berfaidah dan sesuai dengan kebutuhan
manusia sesuai dengan zamannya”

“Jika dalam konsepsi ekonomi islam tujuan konsumen dalam mengosumsi


barang dan jasa untuk mendapatkan maslahah maka produsen akan dalam
memproduksi barang dan jasa yang dapat memberikan maslahah. Jadi baik
produsen maupun konsumen memiliki tujuan yang sama dalam kegiatan ekonomi
yaitu mencapai maslahah yang optimum.”

Saat kebutuhan manusia masih sedikit, kebutuhan itu masih dilakukan


sendiri dalam proses produksinya, namun ketika kebutuhan semakin banyak dan
kompleks maka butuh orang lain untuk melakukan produksi dan memenuhi
kebutuhan manusia. Dalam prosess produksi juga membutuhkan waktu dan faktor-
faktor lain dalam proses produksi maka dapat diartikan “Produksi adalah suatu
proses atau siklus kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa
tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksidalam waktu tertentu”. Dapat
juga diartikan “Produksi adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam
menghasilkan suatu produk baik barang maupun jasa yang kemudian dimanfaatkan
oleh konsumen”. “Secara teknis produksi dapat diartikan sebagai suatu proses
mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam ekonomi
mencangkup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang
melekat padanya.

Dalam aktifitas produksinya, produsen mengubah berbagai factor produksi


menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi, factor
produksi dibedakan menjadi factor produksi tetap (fixed input) dan factor produksi
variabel (variable input). Factor produksi tetap adalah factor produksi yang jumlah
penggunaannya tidak tergantung pada jumlah produksi. Ada atau tidak adanya
kegiatan produksi, factor ini harus tetap tersedia. Sementara jumlah pengguaan
factor variable tergantung pada tingkat produksinya. Makin besar tingkat produksi,
makin banyak factor produksi yang dipergunakan.

Pengertian factor produksi tetap dan factor produksi variable terkait erat
dengan waktu yang dibuthkan untuk menambah atau mengurangi factor produksi
tersebut. Mesin dikatakan sebagai factor produksi tetap karena dalam jangka
pendek (kurang dari setahun) susah untuk ditambah atau dikurangi. Sementara
buruh dikatakan factor produksi variable karena jumlah kebutuhannya dapat
disediakan dalam waktu kurang dari satu tahun, dalam jang panjang (long run) dan
sangat panjang (very long run) semua factor produksi sifatnya variable. Perusahaan
dpat menambah atau mengurangi kapasistas produksinya dengan menambah atau
mengurangi mesin produksi.

Teori produksi tidak mendefinisikan jangka panjang dan jangka pendek


secara kronologis. Periode jangka pendek adalah periode produksi dimana
perusahaan tidak mampu dengan segara melakukan penyesuaian jumlah
penggunaan salah satau atau beberapa factor produksi. Periode jangka panjang
adalah periode produksi dimana semua factor produksi menjadi factor produksi
variable.

Salah satu yang dilakukan dalam proses produksi ialah menambah nilai
guna suatu barang atau jasa. Dalam kegiatan menambah nilai guna barang atau jasa
ini, dikenal lima jenis kegunaan yaitu:

1. Guna Bentuk

Yang dimaksud guna bentuk yaitu di dalam melakukan proses produksi,


kegiatannya ialah mengubah bentuk suatu barang sehingga barang tersebut
mempunyai nilai ekonomis. Contohnya kayu yang diubah menjadi mabel baik
berupa kursi, meja, maupun bentuk lainnya.

2. Guna Jasa

Guna jasa ialah kegiatan produksi yang memberikan pelayanan jasa.


Contohnya: tukang becak, tukang pangkas rambut, dan pekerjaan lainnya yang
memberikan pelayanan jasa.

3. Guna Tempat

Guna tempat ialah kegiatan produksi yang memanfaatkan tempat-tempat


dimana suatu barang memiliki niali ekonomis. Contohnya: pengangkutan pasir dari
tempat yang pasirnya melimpah ke tempat di mana orang membutuhkan pasir
tersebut.

4. Guna Milik

Guna milik ialah kegiatan produksi yang memanfaatkan modal yang


dimiliki untuk dikelola orang lain dan dari hasil tersebuat ia mendapatkan
keuntungan.

Kemudian bebarapa ekonom muslim turut pula mendefinisikan mengenai produksi


dalam prespektif islam:
1. Kahf mndefinisikan kegiatan produksi dalam prespektif islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga
moralitas sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan
dalam agama yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.

2. Mannan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang


islami, sehingga iya menyikapi dengan hati-hati konsep pareto optimum dan given
demand hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam
ekonomi konvensional.

3. Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi


(distribusi produksi secara merata)

4. Siddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang


dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan dan kemanfaatan (maslahah) bagi
masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan
membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak islami

5. Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam


bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu
sil’atin (mewujudkan dan mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi
isikhadami muzayyin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu muhaddadin (pelayanan
jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsure-unsur
produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).

6. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam
bukunya Muqoddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-islamiy. Adurrahman lebih jauh
menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran
utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut.
Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam
bingkai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seorang maupun kelompok
masyarakat. Dalam hal ini Abdurrahman merefleksi pemikarannya dengan
mengacu pada surat Al-baqarah: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari
manfaat memakai (memproduksi) khamr.
7. Lain halnya dengan Taqiyuddin An-Nabhani , dalam mengantarkan
pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk
mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya An-
Nizham Al-Iqtishadi fi Al-islam memahami produksi itu sebagai sesuatu
yang mubah dan jelas berdasarkan As-sunnah. Sebab, Rasullah Saw. Pernah
membuat cincin.

Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan, “Nabi Saw. Telah membuat


cincin” (HR. Imam Bukhari)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’Ud Nabi saw. Telah membuat cincin yang
terbuat dari emas (HR. Imam Bukhari)

Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata, “Rasulullah saw.
Telah mengutus seorang wanita, (kata Beliau): perintahkan anakmu si tukang kayu
itu membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk diatasnya.”
(HR. Imam Bukhari)

Pada masa Rasulullah saw. Orang-orang biasa memproduksi barang dan


beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Diam Beliau menunjukan adanya
pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan
perbuatan Rasul itu sama dengan sabda Beliau, artinya sama merupakan dalil
syara’.

Berdasarkan definisi-definisi diatas terlihat bahwa kegiatan produksi dalam


prespektif ekonom Islam adalah terkait dengan manusia dan eksistensinya dalam
aktifitas ekonomi. Meskipun setiap definisi diatas memberikan penekanan dan
elaborasi yang bereda-beda. Secara garis besar dari masing-masing definisi adalah
setiap kepentingan manusia yang sesuai dengan aturan dan prinsip syariat harus
menjadi target dari suatu kegiatan produksi, dimana produksi adalah proses
mencari. Mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam
rangka meningkatkan dan memberi maslahah bagi manusia.”

B. Tujuan Produksi dalam Ekonomi Islam


Produksi memilki tujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi orang banyak “yang bisa
diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya:

1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat

Tujuan produksi yang sangat jelas, yaitu pemenuhan kebutuhan manusia


pada tingkatan moderat. Hal ini akan menimbulkan dua implikasi yaitu, pertama,
produsen yang menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun
belum tentu keinginan konsumen karena keinginan manusia sifatnya tidak terbatas,
sehingga seringkali mengakibatkan ketidakjelasan antara keinginan dengan apa
yang benar-benar menjadi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang dihasilkan
harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan, bukan sekedar memberikan kepuasan
maksimum saja. Dalam konsep maslahah, salah satu formulanya adalah harus
memenuhi unsur manfaat. Kedua, kuantitas produk yang diproduksi tidak akan
berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barang dan jasa
secara berlebihan tidak saja menimbulkan misal lokasi dengan pengelolaan sumber
daya ekonomi dan kemubaziran, tetapi juga menyababkan terkurasnya sumber daya
secara cepat padahal sumber daya tersebut seringkali jumlahnya terbatas.

2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya

Meskipun produsen hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia, namun


hal ini bukan berarti produsen bersifat pasif dan reaktif terhadap kebutuhan manusia
yang mau memproduksi hanya berdasarkan permintaan konsumen. Produsen harus
mampu menjadi sosok yang kreatif, proaktif dan inovatif dalam menemukan barang
dan jasa apa yangmenjadi kebutuhan manusia dan kemudian memenuhi kebutuhan
tersebut. Penemuan ini kemudian disosialisasikan atau dipromosikan kepada
konsumen, sehingga konsumen mengatahuinya. Sebab konsumen seringkali tidak
mengatahui apa yang dibutuhkannya di masa depan, sehingga produsen harus
mampu melakukan inovasi agar konsumen mengerti bahwasnnya hal tersebut telah
menjadi kebutuhan dalam hidupnya. Sebagai contoh adalah produksi air dalam
kemasan baik gelas maupun botol, pada awalnya konsumen tidak terbiasa dengan
model minuman dalam kemasan, namun karena inovasi dan pengembangan dari
produsen pada akhirnya konsumen terbiasa dengan minuman dalam kemasan
tersebut.

3. Menyiapkan persediaan barang atau jasa di masa depan

Sikap produktif ini juga harus berorientasi kedepan dalam artian: pertama,
harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan
dimasa mendatang. Sehingga seorang produsen dalam kerangka islami tidak akan
mau memproduksi barang-barang yang bertentangan dengan syariat maupun
barang yang tidak memiliki manfaat riil kepada umat. Produsen harus mampu
melakukan pengembangan produk yang dapat memberikan kemaslahatan bagi
umat di masa depan. Kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi tidak hanya
diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang. Orientasi ke dapan ini akan mendorong produsen untuk terus-menerus
melakukan riset dan pengembangan yang bertujuan sebagai efesiensi dalam
pengelolaan sumber daya ekonomi serta mencari teknologi produksi yang ramah
lingkungan. Implikasi dari aktivitas di atas adalah tersedianya secara memadai
berbagai kebutuhan bagi generasi mendatang, suatu konsep pembangunan yang
berkasinambungan.

4. Pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah

Tujuan yang terakhir yaitu, pemenuhan sarana bagi kegiatan social juga
ibadah kepada Allah dan inilah tujuan produksi yang tidak akan mungkin dapat
tercapai dalam ekonomi konvensional yang bebas nilai. Tujuan produksi adalah
mendapatkan berkah yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh produsen itu
sendiri. Tujuan ini akan membawa implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan
selalu menghasilkan keuntungan material. Namun harus mampu pula memberikan
keuntungan bagi orang lain dan agama. Saat ini pada system ekonomi konvensional
berkembang pula mekanisme corporate social responbility (CSR) sebagai sarana
tanggung jawab social perusahaan kepada masyarakat. Namun mekanisme telah
lebih dahulu terdapat dalam ekonomi Islam, dan dalam ekonomi Islam mekanisme
ini sudah built in dengan system yang ada. Sehingga produsen yang Islami akan
mampu memaksimalkan keuntungan material dan sekaligus keuntungan kepada
masyarakat dan agama.”

C. Motivasi Produsen dalam Berproduksi

Kitab suci Al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian


yang luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi.
Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup
manusia, berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kehidupan manusia
dan bukannya untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk
memproduksi barang tersebut dianggap tidak berproduktif. Hal ini ditegaskan Al-
Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang
berlebihan dalam keadaan apapun.

“Dalam pandangan ekonomi islam, motivasi produsen semestinya sejalan


dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan
produksi adalah menyediakan kebutuhan material dan spiritual untuk
menciptakan maslahah, maka motivasi produsen tentu saja juga
mencari maslahah, dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang
Muslim.”

Namun demikian, secara jelas peraturan ini memberikan kebebasan yang


sangat luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh kekayaan yang lebih banyak
lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan
ruhani bagi manusia, sehingga sifat manusia yang sebelumnya tamak dan
mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.

Di dalam A-Qur’an itu sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas


semuakegiatan ekonomi diterangkan :

“sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (Al-


Ma’arij:19)
Sifat ketamakan manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar dan gelisah dalam
perjuangan mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia umtuk
melakukan berbagai aktivitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan
kehendaknya yang terus bertambah, sehingga akiatnya manusia lebih cenderung
melakukan kerusakan dibandingkan produksi.

Mengacu pada pemikiran As-Syatibi, bahwa kebutuhan dasar manusia harus


mencangkup lima hal yaitu: terjaganya kehidupan beragama(ad-din),
terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql),
terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal) dan keberlamgsumgan meneruskan
keturunan (an-nasl). Maka orientasi yang dibangun dalam melakukan produksi
adalah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslim
dalam mengarahkan kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia yang lima tersebut. Gambaran diatas memberikan pemahaman pada
kita bahwa orientasi yang ingin dicapai oleh proses produksi menjangkau pada
aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Inilah yang menambah keyakinan
bagi akan kesempurnaanajaran islam yang tertulis dalam firman Allah SWT.

“diharamkan bagimu (mamakan) bangkai, darah, daging babi, (dagimg


hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya. Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengn anak panah, (mengundi nasib dengan
anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-maidah: 3)

Dalam ekonomi konvensional, motivasi utama bagi produsen dalam


mencari keuntungan material (uang) secara maksimalsangat dominan, meskipun
saat ini sudah berkembang bahwasannya produsen tidak hanya bertujuan mencari
keuntungan maksimal semata. Namun tetap secara konsep tujuan ekonomi
konvensional selalu menitikberatkan pada penggadaan materi yang akan didapat
oleh perusahaan. Oleh karenanya produsen adalah seorang profit
seeker sekaligus profit maximize. Strategi, konsep dan teknik berproduksi
semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksimum baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Milton Friedman menunjukan bahwa satu-satunya
fungsi bisnis adalah untuk melakukan aktiftas yang ditunjukkan dalam rangka
meningkatkan keuntungan. Isu yang kemudian berkembang menyertai motivasi
produsen ini adalah permasalahn etika dan tanggung jawa social produsen.

Keuntungan maksimal telah menjadi sebuah insentif yang teramat kuat bagi
produsen untuk meleksanakan produksi. Akibatnya motivasi untuk mencari
keuntungan maksimal seringkali menyebabkan produsen mengabaikan etika dan
tanggung jawab sosialnya, meskipun tidak melakukan pelenggaran hukum formal.
Misalnya dalam rangka menekan biaya dalam pengolahan limbahnya, suatu pabrik
membuang sisa hasil produksinya (limbah) ke sungai sehingga menimbulkan
pencemaran bagi warga sekitar. Atau seorang pengusaha di bidang perhutanan yang
menebang pohon-pohon tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap kelestarian
hutan terutama hutan sebagai penampung air yang pada jangka panjang dapat
menyebabkan bencana bagi manusia. Dampak dari kegiatan ekonomi yang
menimbulkankemudharatan bagi pihak lain dalam bahasa ekonomi dikenal sebgai
elsternalitas negative.

Dalam pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan


dengantujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan
produksi adalah berupaya menyediakan kebutuhan material dan spiritual dalam
rangka menciptakan maslahah maka motivasi produsen tentu saja mencari
maslahah, dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang muslim.
Ekonomi islam adalah Maslahah Maximizer, mencari keuntungan melalui produksi
dan kegiatan bisnis lain tidak dilarang sepanjang berada dalam ungkai tujuan dan
hukum islam, hal ini telah tercantum dalam rancang ekonomi Islam di mana salah
satunya adalah ma’ad atau return. Namun keuntungan yang dicari bukanlah
keuntungan yang eksploitatif yang bertjuan unruk mencari keuntungan sebesar-
besarnya dengan menetapkan keuntungan jauh di atas normal. Seorang produsen
muslim akan berupaya mencari keuntungan yang mampu memberikan
kemaslahatan tidak hanya bagi dirinya sendiri, namun juga bagi lingkungan sekitar
termasuk konsumen.

D. Formulasi Maslahah Produsen

“Sebagaiman telah dibahas sebelumnya maslahah terdiri dari dua


komponen, yaitu manfaat ( fisik dan nonfisik) dan berkah. Dalam konteks produsen
yang berorientasi kepada keuntungan maka manfaat ini data berupa keuntungan
material. Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk maslahah lainnya seperti
maslahah fisik, intelaktual maupun social. Untuk itu rumusan Mashlahah bagi
produsen”adalah

Maslahah = keuntungan + berkah,

Produsen akan menggunakan proksi yang sama dengan yang dipakai oleh
konsumen dalam mengidentifikasi berkah, yaitu adanya pahala pada produk atau
kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara
pendapatan total (total revenue (TR)) dengan biaya totalnya ( total cost (TC))

Pada prinsipnya berkah akan diperoleh apabila seorang produsen dalam


menjalankan binisnya menerapkan prinsip dan nilai syariat Islam sehingga ia tidak
akan mau memproduksi yang bertentangan dengan prinsip syariat maupun tidak
memberikan kemashlahatan bagi umat. Namun hal ini bukan berarti perusahaan
tidak dapat memperoleh keuntungan. Sebab seperti yang telah dibahas sebelumnya
bahwasanya salah satu pondasi dasar dalam ekonomi Islam adalah Ma’ad atau
(return). Meskipun pada saat penerapan prinsip syariat ini seringkali menimbulkan
biaya ekstra yang relative lebih besar bila mengabaikannya sebagai contoh adalah
pengelolaan limbah hasil produksi. Akan tetapi di sisi lain, berkah yang diterima
merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen atau berkah
revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkanberkah tersebut atau
berkah cost (BC), yaitu:

Dalam persamaan tersebut penerimaan berkah diasumsikan nilainya nol


atau secara fisik tidak dapat di observasi karena berkah memang sering kali tidak
secara langsung selalu berwujud material. Dengan demikian, masalah didefinisikan
pada persamaan sebelumnya dapat ditulis kembali menjadi persamaan berikut.

Dalam persamaan diatas, ekspresi berkah, BC, menjadi faktor pengurang.


Hal ini masuk akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan
sebagai seorang muslim harus mencari dan mengupayakannya, sehingga
kemungkinan itu akan timbul beban ekonomi dalam rangka tersebut. Sebagai
contoh, seorang produsen dilarang untuk mengeksploitasi karyawannya dan harus
memberikan hak-hak karyawan tersebut sebelum kering keringatnya meskipun
kesempatan tersebut terbuka dan karyawan tidak menyadarinya. Dengan
mengeksploitasi karyawan melalui upah yang rendah dapat meningkatkan efisiensi,
namun sebagai seorang produsen muslim yang berorientasi pada berkah maka hal
tersebut tidak akan dilakukan. Meskipun akan berimbas pada biaya yang lebih
tinggi.

Produsen muslim tersebut harus rela mengeluarkan ekstra biaya untuk


memenuhi hak karyawannya. Namun karena mereka yakin tujuan mereka
memproduksi adalah untuk mencari berkah maka mereka akan ikhlas dalam
melakukannya. Dampak karena kita memenuhi hak karyawan adalah tingkat
loyalitas karyawan terhadap perusahaan yang tinggi, meningkatkan produktivitas
dan etos kerja, yang selanjutnya akan berimbas pada perusahaan itu sendiri.
Komitmen ini akan memberikan citra positif dimasyarakat yang berakibat pada
apresiasi masyarakat terhadap produk perusahaan tersebut yang diwujudkan dalam
bentuk peningkatan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan produsen. Upaya mencari berkah dalam jangka pendek memang dapat
menurunkan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan
mampu meningkatkan keuntungan sebagai akibat peningkatan permintaan di
masyarakat.

Adanya biaya untuk mencari berkah (BC) dalam proses produksi produsen
muslim tentu akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang
dihasilkan produsen. Harga jual produk adalah harga yang telah mengakomondasi
pengeluaran berkah, yaitu:
Dengan demikian rumusan masalah yang diekspresikan dalam persamaan
sebelumnya akan berubah menjadi:

Selanjutnya dengan pendekatan matematis terhadap persamaan di atas maka


bisa ditemukan pedoman yang bisa digunakan oleh produsen dalam rangka untuk
memaksimumkan masalah atau optimum maslahah condition, yaitu menjadi:

Jadi optimum maslahah condition dari persamaan diatas menyatakan bahwasanya


maslahah akan maksimum jika dan hanya nilai dari unit terakhir yang
diproduksi (sama dengan perubahan (tambahan) yang terjadi pada biaya total (dTR)
dan pengeluaran berkah total (dBC) pada unit terakhir yang diproduksi. Jika nilai
dari unit terakhir yang diproduksi masih lebih besar dari pengeluarannya,
dTC+dBC maka produsen akan mempunyai dorongan (insentif) untuk menambah
jumlah produksi lagi. Hanya jika nilai unit terakhir hanya cukup untuk membayar
kompesansi yang dikeluarkan dalam rangkamemproduksi unit tersebut. dTC + dBC
maka tidak aka nada lagi dorongan bagi produsen untuk menambah produksi lagi.
Dalam kondisi demikian produsen dikatakan berada pada posisi keseimbangan
(equilibrium) atau optimal. Hal yang perlu diingat dalam proses produksi dan bukan
maslahan yang maksimal.

E. Nilai-nilai islam dalam Produksi

Upaya produsen untuk memperoleh maslahah yang maksimum dapat


terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam, dengan kata lain,
seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami,
sebagaimana dalam kegiatan konsumsi sejak dari kegiatan mengorganisasi factor
produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen
semuanya harus mengikuti moralitas dan aturan teknis yang dibenarkan oleh islam.
Metwally (1992) mengatakan “perbedaan dari perusahaan-perusahaan non islami
tak hanya pada tujuannya tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan
strategi pasarnya

Apabila produsen menggunakan nilai-nilai islam untuk mencapai maslahah


atau manfa’at maka hal itu akan lebih mudah tercapai. Hal ini dapat diartikan bahwa
semua kegiatan produksi dilakukan sesuai dengan aturan yang telah dibenarkan
oleh islam. [14]

“Nilai-nilai Islam yang relavan dengan produksi dikembangkan


dari tiga nilai-nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu khilafah, adil dan takaful.
Secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi :

1. Berwawasan jangka panjang, yaitu beroriwentasi kepada tujuan akhirat;

2. Menepati janji dan kontrak, bai dalam lingkup internal atau eksternal;

3. Memenuhi akaran, keepatan, kelugasan, dan kebenaran;

4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan diamis;

5. Memuliakan prestasi atau produktivitas;

6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;

7. Menghormati hak mili individu;

8. Mengikuti syarat sah dan rukun akad/ransaksi;

9. Adil dalam bertransaksi;

10. Memiliki wawasan sosial;

11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;

12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam islam”

MEKANISME PASAR

Masa Rasulullah

Pasar memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat muslim


pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Bahkan, Rasulullah SAW
sendiri pada awalnya adalah seorang pebisnis, demikian pula Khulafaurrasyidin dan
kebanyakan sahabat. Pada usia tujuh tahun, Muhammad telah diajak oleh pamannya
Abu thalib melakukan perjalanan perdagangan kenegeri syam. Dari sinilah ilmu
perniagaan beliau diasah.
Kemudian, sejalan dengan usianya semakin dewasa, Muhammad semakin
giat berdagang, baik dengan modal sendiri ataupun bermitra dengan orang lain.
Kemitraan, baik dengan sistem mudarabah atau musyarakah, dapat dianggap cukup
populer pada masyarakat arab pada waktu itu. Salah satu mitra bisnisnya adalah
khadijah seorang wanita pengusaha yang cukup disegani di mekkah, yang akhirnya
menjadi istri beliau. Berkali-kali Muhammad terlibat urusan dagang ke luar negeri
(syam, suria, yaman, dan lain-lain) dengan membawa modal dari khadijah. Setelah
menjadi suami khadijah pun Muhammad juga tetap aktif berbisnis, termasuk
berdagang dipasar lokal sekitar kota mekkah.

Muhammad adalah seorang pedagang profesional dan selalu menjunjung


tinggi kejujuran, ia mendapat julukan ‘al-amin’ (yang terpercaya). Setelah menjadi
Rasul, Muhammad memang tidak lagi menjadi pelaku bisnis secara aktif karena
situasi dan kondisinya yang tidak memungkinkan. Pada saat awal perkembangan
islam di mekkah Rasulullah dan masyarakat muslim mendapat gangguan dan teror
yang berat dari masyarakat kafir mekkah (terutama suku Qurais, suku Rasulullah
sendiri) sehingga perjuangan dan dakwah merupakan prioritas. Ketika masyarakat
muslim telah berhijrah (bermigrasi) ke madinah, peran Rasulullah bergeser menjadi
pengawas pasar atau al-muhtasib. Beliau mengawasi jalannya mekanisme pasar di
madinah dan sekitarnya agar tetap dapat berlangsung secara islam.

Pada masa itu. mekanisme pasar sangat dihargai. Beliau menolak untuk
membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat harga di madinah pada saat
itu tiba-tiba naik sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan
penawaran yang murni, yang tidak di barengi dengan dorongan-dorongan
monopolistik dan monopsonistik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati
harga pasar. Pada saat itu para sahabat berkata:

“Wahai Rasulullah tentukanlah harga untuk kita!”.

Beliau menjawab “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan,


pencurah, serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana
salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan
harta.”
Dalam hadis diatas jelas dinyatakan bahwa pasar merupakan hukum alam
(sunnatullah) yang harus di junjung tinggi. Tak seorang pun secara individual dapat
memengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan kolektif yang telah menjadi
ketentuan Allah. Pelanggaran terhadap terhadap harga pasar, misalnya penetapan
harga dengan cara dan karena alasan yang tidak tepat, merupakan suatu
ketidakadilan (zulm/ injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya
dihadapan Allah. Sebaliknya, dinyatakan bahwa penjual yang menjual
dagangannya dengan harga pasar adalah laksana orang yang berjuang dijalan Allah
(jihad fi sabilillah), sementara yang menetapkan sendiri termasuk sebuah perbuatan
ingkar kepada Allah .

Penghargaan islam terhadap mekanisme pasar berdasar pada ketentuan


Allah bahwa perniagaan harus dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka
(antaradin minkum/mutual goodwill). Dalam al-Qur’an dinyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.” (An-Nisa:29)

Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual
goodwill bagi para pelakunya, maka nilai moralitas mutlak harus ditegakkan.
Secara khusus, nilai moralitas yang mendapat perhatian penting dalam pasar adalah
persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan. Nilai moralitas ini
memeililki akar yang kuat dalam ajaran islam, sebagaimana dicantumkan dalam
berbagai ayat al-Qur’an. Untuk itulah Rasulullah telah menetapkan beberapa
larangan terhadap praktik bisnis negatif yang dapat mengganggu mekanisme pasar
yang islami.

B. Pandangan Ekonom Muslim


Pasar telah mendapatkan perhatian memadai dari para ulama klasik seperti
Abu Yusuf, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Ibn Taimiyah. Pemikiran mereka tentang
pasar tidak saja mampu memberikan analisis yang tajam tentang apa yang terjadi
pada masa itu, tetapi tergolong futuristik. Banyak dari pemikiran mereka baru
dibahas oleh ilmuwan barat beratus-ratus tahun kemudian. (Al-Arif dan Amalia,
2010:267)

1. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798 M)

Pemikiran Abu Yusuf tetntang pasar dapat dijumpai dalam bukunya Al-
Kharaj. Selain membahas prinsip perpajakan dan anggaran negara yang menjadi
pedoman kekhalifahan Harun Al-Rasyid di Baghdad, buku ini juga membicarakan
beberapa prinsip dasar mekanisme pasar. Tulisan pertamanya menguraikan tentang
naik dan turunnya produksi yang dapat mempengaruhi harga. Abu Yusuf
mengatakan, “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat
dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui.
Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena
kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (sunnatullah).
Kadang-kadang makanan sangat sedikit, tetapi harganya murah.” Pernyataan ini
secara implisit bahwa harga bukan hanya ditentukan oleh penawaran, tetapi juga
permintaan terhadap barang tersebut.

Bahkan, Abu Yusuf mengidikasikan adanya variabel lain yang juga turut
memengaruhi harga misalnya jumlah uang beredar di negara itu, penimbunan atau
penuhanan suatu barang, atau lainnya. Pada dasarnya pemikiran Abu Yusuf ini
merupakan hasil observasinya terhadap fakta empiris, sering kali terjadi
melimpahnya barang ternyata diikuti dengan tingginya harga, sementara
kelangkaan barang diikuti dengan harga yang rendah.

2. Evolusi Pasar Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)

AL-Ihya ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali juga membahas topik ekonomi,


termasuk pasar. Dalam magnum opusnya itu ia telah membicarakan barter dan
permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar,
termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam memengaruhi
harga.

Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang


dalam istilah ekonomi modern disebut double coincidence, dan karena itu
diperlukan suatu pasar. Selanjutnya, ia juga memperkirakan kejadian ini akan
berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah atau negara.

Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan


merupakan motif utama dalam perdagangan. Namun, ia memberikan banyak
penekanan kepada etika dalam bisnis, di mana etika ini diturunkan dari nilai-nilai
islam. Keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan yang akan diperoleh di
akhirat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran pemerintah dalam menjaga
keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan
ekonomi.

Dalam buku teks ekonomi konvensional didapati penjelasan bahwa barang-


barang kebutuhan pokok, misalnya makanan, memiliki kurva permintaan yang
inelastis. Al-Ghazali telah menyadari hal ini sehingga ia menyarankan agar
penjualan barang pokok tidak dibebani keuntungan yang besar agar tidak terlalu
membebani masyarakat. Ia mengatakan, “karena makanan kebutuhan pokok,
perdagangan makanan seminimal mungkin didorong oleh motif mencari
keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang lebih
tinggi keuntungan yang lebih besar. Keuntungan semacam ini seharusnya dicari
dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.

3. Pemikiran Ibn Taimiyah

Pemikiran Ibn Taimiyah mengenai mekanisme pasar banyak dicurahkan


melalui bukunya yang sangat terkenal, yaitu Al-Hisbah fi’l Al-Islam dan Majmu’
Fatawa. Pandangan Ibn Taimiyah mengenai hal ini sebenarnya terfokus pada
masalah pergerakan harga yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia letakkan dalam
kerangka mekanisme harga pasar. Secara umum, beliau telah menunjukan the
beauty of market (keindahan mekanisme pasar sebagai mekanisme ekonomi),
disamping segala kelemahannya. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga
tidak selalu disebabkan oleh ketidakadilan (zulm/injustice) dari pedagang/penjual,
sebagaimana banyak dipahami orang pada waktu itu. Ia menunjukan bahwa harga
merupakan hasil interaksi hukum permintaan penawaran yang berbentuk karena
berbagai faktor yang kompleks. Dalam Al-Hisbah-nya, Ibn Taimiyah membantah
bahwa anggapan ini dengan mengatakan bahwa:

“Naik dan turunya harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan
(zulm/injustice) dari beberapa bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya
adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta,
atau tekenan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang
tersebut naik sementara ketersediaanya/penawaranya menurun, maka harganya
akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang akan menaik dan
permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga.
Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin bukan
disebabkan oleh tindakan sebagian orang, kadang-kadang disebabkan karena
tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal ini adalah kehendak Allah yang telah
menciptakan keinginan dalam hati manusia.”

Dalam kitab Fatwa-nya Ibn Taimiyah juga memberikan penjelasan yang


lebih perinci tentang beberapa faktor yang memengaruhi permintaan, dan kemudian
tingkat harga. Beberapa faktor ini yaitu:

a. Keinginan orang (al-raghabah) terhadap barang sering kali berbeda-beda.

b. Jumlah orang yang meminta (demander/tullab) juga memengaruhi harga.

c. Harga juga akan dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kebutuhan terhadap
barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan.

d. Harga akan juga bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-
mu’awid).

e. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis (uang) pembayaran yang digunakan
dalam transaksi jaul beli.

f. Tujuan dari suatu transaksi harus menguntungkan penjual dan pembeli.


g. Kasus yang sama diterapkan pada orang pada orang yang menyewakan suatu
barang.

Pernyataan diatas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas penentu harga


pasar. Pada poin (a) Ibn Taimiyah secara implisit menunjukan peranan ekspetasi
terhadap permintaan, kemudian terehadap harganya. Menurutnya, keinginan
seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh ketersediaan barang tersebut. Jika
ketersediaan suatu barang langka, maka masyarakat khawatir bahwa esok
kemungkinan akan lebih langka sehingga berusaha untuk meningkatkan permintaan
saat ini. Selanjutnya, harga juga akan meningkat jika jumlah orang yang meminta
banyak, demikian pula sebaliknya. Pernyataan ini merupakan logika yang amat
jelas tentang hubungan kuantitas yang diminta dengan tingkat harga. Poin (b)
tersebut juga mengindikasi pengaruh anggregat demand terhadap harga. Sementara
pada pin (c) ditunjukkan bahwa barang yang amat dibutuhkan akan menimbulkan
permintaan kuat terhadapnya sehingga harganya cenderung tinggi. Barang-barang
seperti ini berarti tingkat subtitusinya rendah.

Pernyataan pada poin (d) menunjukkan analisis Ibn Taimiyah pada transaksi
kredit. Jika konsumen kaya dan kredibel, maka kepastian pembayaran akan lebih
tinggi sehingga harga akan lebih rendah jika keadaan konsumen adalah sebaliknya.
Jika konsumen miskin dan tidak kredibel, maka kemungkinan ia menunda atau
mengingkari pembayaran akan lebih besar terjadi. Jadi, disini secara implisit Ibn
Taimiyah sebenarnya memasukkan premi risiko (risk premium) dalam komponen
pembentuk harga. Semakin kredibel seorang konsumen, maka semakin rendah,
demikian sebaliknya. Pembahasannya tentang premi risiko ini juga tampak jelas
pada poin (f), di mana ia juga menyebutkan soal kapasitas fisikal dari barang yang
diperjualbelikan sebagai pembentuk harga. Jika harga transaksi tidak jelas wujud
fisiknya, maka harga juga akan lebih tinggi sebab harus ada premi risiko yang besar
pula.

Masalah penggunaan jenis uang juga dapat mengurangi tingkat harga.


Transaksi menggunakan uang yang diterima luas (naqd rai’ij) dapat menghasilkan
barang yang lebih rendah. Istilah naqd ra’ij sama sama dengan pengertian hard
currencies, maka risiko instabilitas nilai uang akan lebih kecil dibandingkan
menggunakan soft currancies (mata uang lemah) sehingga risiko kesalahan dalam
transaksi bisa di perkecil. Pada masa itu, di damaskus mata uang dirham (uang
perak) lebih umum di terima, sementara uang dirham (emas) tidak banyak dipakai
sebagai uang. Disamping, fakyor-faktor yang telah disebutkan dalam poin, (a)
hingga (f), Ibn Taimiyah memasukkan kemungkinan adanya biaya tambahan
(addtinal cost) dalam transaksi sehingga mengurangi harga. Jika terdapat biaya
tambahan, maka wajar jika tingakat harga akan lebih tinggi, demikian pula
sebaliknya. Biaya tambahan ini ragamnya sangat banyak, meskipun dalam
pernyataannya ia hanya mengambil contoh biaya tambahan yang mungkin timbul
dalm transaksi di daerah berisiko keamanan. Ibn Taimiyah secara umum sangat
menghargai arti penting harga yang terjadi karena mekanisme pasar yang bebas.
Untuk itu, secara umum ia menolak segala campur tangan untuk menekan atau
menetapkan harga (price intervention) sehingga mengganggu mekanisme yang
bebas. Sepanjang kenaikan atau alamiah, maka dilarang dilakukan intervensi harga
dibenarkan pada kasus spesifik dan dengan persyaratan yang spesifik pula,
misalnya adanya ikhtikar.

4. Mekanisme Pasar Menurut Ibn Khaldun (1332-1383M)

Pemikiran Ibn Khaldun tentang pasar termuat dalam buku yang


monumental, Al-Muqadimah, terutama dalam bab “Harga-harga di kota-kota”
(Price in Towns). Ia membagi barang-barang menjadi dua kategori, yaitu barang
pokok dan mewah. Menurutnya, jika suatu kota berkembang dan jumlah
penduduknya semakin banyak, maka harga barang pokok akan menurun sementara
harga barang mewah akan menaik. Hal ini, disebabkan oleh meningkatnya
penawaran bahan pangan dan barang pokok lainnya sebab barang ini sangat penting
dan dibutuhkan oleh setiap orang sehingga pengadaannya akan dipioritaskan.
Sementara itu, harga barang mewah akan naik sejalan dengan meningkatnya gaya
hidup yang mengakibatkan peningkatan permintaan barang mewah ini.

Ibn Khaldun sebenarnya menjelaskan pengaruh permintaan dan penawaran


terhadap tingkat harga. Secara lebih perinci ia juga menjelaskan pengaruh
persaingan di antara para konsumen dan meningkatnya biaya-biaya akibat
perpajakan dan pungutan-pungutan lain terhadap tingkat harga.
Menurut Ibn Khaldun, tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong
tumbuhnya perdagangan. Para pedagang dan produsen lainnya akan kehilangan
motivasi bertransaksi. Sebaliknya, jika tingkat keuntungan terlalu tinggi
perdagangan juga akan melemah sebab akan menurunkan tingkat permintaan
konsumsi.

Ibn Khaldun sangat menghargai harga yang terjadi dalam pasar bebas,
namun ia tidak mengajukan saran kebijakan pemerintah untuk mengelola harga. Ia
lebih banyak memfokuskan kepada faktor yang memengaruhi harga.

C. Peranan Pemerintah Dalam Mengawasi Pasar

Rasulullah SAW sering melakukan inspeksi ke pasar untuk mengecek harga


dan mekanisme pasar. Sering kali dalam inspeksinya beliau menemukan praktik
bisnis yang tidak jujur sehingga beliau menegurnya. Rasulullah SAW juga telah
memberikan banyak pendapat, perintah maupun larangan demi sebuah pasar yang
islami (telah dijelaskan sebelumnya). Semua ini mengindikasikan secara jelas
bahwa Al-Hisbah telah ada sejak masa Rasulullah SAW, meskipun nama Al-Hisbah
baru datang di masa kemudian.

Al-Hisbah adalah lembaga yang berfungsi untuk memerintahkan kebaikan


sehingga menjadi kebiasaan dan melarang hal yang buruk ketika hal itu telah
menjadi kebiasaan umum. Sementara, tujuan dari Al-Hisbah menurut Ibn Taimiyah
adalah untuk memerintahkan apa yang disebut sebagai kebaikan (al-ma’ruf) dan
mencegah apa yang secara umum disebut sebagai keburukan (al-munkar) di dalam
wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya, mengadili dan
wilayah umum khusus lainnya, yang tak bisa dijangkau oleh institusi biasa.
Sementara itu, dengan bahasa yang berbeda tetapi bermakna sama.

Pada pemikiran ekonomi Islam kontemporer, eksistensi Al-Hisbah sering


kali dijadikam acuan bagi fungsi negara terhadap perekonomian, khususnya dalam
pasar. Namun, elaborasi Al-Hisbah dalam kebijakan praktis ternyata terdapat
berbagai bentuk. Beberapa ekonomi berpendapat bahwa. Al-Hisbah akan
diperankan oleh negara secara umum melalui berbagai institusinya. Al-Hisbah
adalah semacam polisi khusus ekonomi. Dengan melihat fungsi Al-Hisbah yang
luas dan strategis ini, adanya suatu independent agency Al-Hisbah, tampak Al-
Hisbah akan melekat pada fungsi pemerintah secara keseluruhan, di mana dalam
teknis operasionalnya akan dijalankan oleh kementerian, departemen, dinas, atau
lembaga lain yang terkait.

SEJARAH EKONOMI ISLAM

Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan


perkembangan pemikiran ekonomi serta peradaban dunia pada umumnya, telah
diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut chapra, meskipun sebagian kesalahan
terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai
kontribusi kaum muslimin, tapi barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak
memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan
pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah Siddiqi menguraikan
sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi
Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi. Penjelasan fase-fase pemikiran ekonomi
Islam adalah sebagai berikut :

1. Fase Pertama (fase abad awal – 11 masehi)


Fase ini dirintis oleh para fuqaha, diikuti sufi dan kemudian para filsuf. Para tokoh
pemikir Islam pada masa tersebut adalah :

a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)


Zaid bin ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan
harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk
transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi
oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak. Keuntungan yang
diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk
kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu
barang tanpa harus membayar secara tunai.
Sebaliknya, seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan
harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya dengan maksud untuk
menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar
akan jatuh di masa yang akan datang.
b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Pada masa hidupnya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan
transaksi salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian
sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati.
Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah
kepada perselisihan. Ia lalu berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam
akad salam dengan diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus
diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi,
kualitas, kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c. Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil
pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian.
Dalam pendangannya, cara ini dianggap lebih adil dan akan memberikan hasil
produksi yang lebih besar. Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu
Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang
penguasa yang menetapkan harga, argumennya di dasarkan pada sunnah
Rasul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang melimpah bukan alasan
untuk menurunkan harga panen, dan sebaliknya kelangkaan tidak
mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan
hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan
kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan
kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun, disisi lain, Abu Yusuf juga
tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
d. Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)
Pandangan Al Syaibani mengenai ekenomi cenderung memperhatikan
perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu. Dalam risalahnya
berjudul al-iktisab fi ar-rizq al-mustahab banyak membahas mengenai
pendapatan dan belanja rumah tangga. Dia juga membagi jenis pekerjaan ke
dalam empat hal, yaitu ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan),
zira’ah (pertanian),dan shina’ah (industri)
e. Ibnu Miskawih (w.421 H/1030M)
Salah satu pandangannya yang terkenal adalah mengenai pertukaran dan
peranan uang. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
bekerjasama dan saling membantu sesamanya. Mereka akan saling
mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu
kompesansi yang pantas.
2. Fase Kedua (abad 11-15 masehi)
Para pemikir ekonomi Islam pada saat ini adalah :

a. Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)


Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas
secara rinci dengan merujuk pada Al Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan
Tabi’in, serta pandangan sufi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban
beribadah kepada Allah. Ia juga mengemukakan bahwasanya penguasa
wajib menolong rakyatnya yang mengalami kekurangan. Dalam hal pajak,
Al-Ghazali bisa menoleransi pengenaan pajak, jika pengeluaran untuk
pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang tersedia.
b. Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral,
dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah.
Secara umum, pandangan-pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah cenderung
bersifat normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan
ekonominya yang dapat dikategorikan sebagai pandangan ekonomi positif.
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyadari sepenuhnya peranan permintaan
dan penawaran dalam menentukan harga. Ia juga mencatat pengaruh dari
pajak tidak langsung dan bagaimana beban pajak tersebut digeserkan dari
penjual yang seharusnya menanggung pajak, kepada pembeli yang harus
membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.
c. Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga
yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan.
Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan tejadi bukan hanya disebabkan
secara alami oleh kegagalan panen, tapi juga disebabkan oleh hal-hal
lainnya. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu
korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap
penggarap lahan dan kenaikan pasokan mata uang fulus.
3. Fase Ketiga (1446-1932 masehi)
Fase ini merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini
dikenal juga fase stagnasi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara
lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w. 1315
H), Muhammad Abduh (w. 1320 H), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H).

Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era


modern. Menurut Khursid Ahmad, ada empat tahapan perkembangan dalam
wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut.

1. Tahapan pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki


pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman
terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk
menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram
dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Masa ini dimulai kira-kira pertengahan dekade 1930-an dan
mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade
1960an.

Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan trial error, sehingga dampaknya
masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar
bagi perkembangan selanjutnya.

2. Tahapan kedua, dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an. Pada tahapan ini para
ekonom muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi
terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-
aspek tertentu dari sistem moneter dan keuangan Islam. Mereka melakukan analisis
ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan tidak
berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi
dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama,
dan ekonom.

Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkemuka,


antara lain Khursid Ahmad, Umer Chapra, M.A. Mannan, Omar Zubair, dan masih
banyak ekonom muslim lainnya. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di
Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral dan
komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik
akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata
dunia.

3. Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan


perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonriba baik dalam sektor swasta
maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara
usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, bankir, para pengusaha, dan
para usahawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi
Islam. pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga
investasi berbasis nonriba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi
yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic
Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini
kerja sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI.

4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih


integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktik
ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator
ekonomi umat.

Anda mungkin juga menyukai