BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
. Dalam perspektif Islam, kebutuhan ditentukan oleh mashlahah.
Pembahasan pemenuhan kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari
kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqaşid al-syari’ah.
Jelasnya, tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen
dalam Islam.4 Konsumsi dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah swt.5 Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional, yang tidak
memisahkan antara keinginan (wants), dengan kebutuhan (needs), sehingga
memicu terjebaknya konsumen dalam lingkaran konsumerisme. Karena
manusia banyak yang memaksakan keinginan mereka, seiring dengan
beragamnya produk dan jasa. Banyak kalangan yang memprioritaskan
keinginan mereka karena tuntutan gaya hidup dari pada mempertimbangkan
kemaslahatan yang ada. Padahal seharusnya dipisahkan antara kebutuhan
dengan keinginan, untuk menjembatani beberapa keinginan yang tak
terbendung. Untuk memberikan penjelasan apakah konsumsi dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan atau keinginan, dan bagaimana perbedaan maşlahah
sebagai tujuan konsumsi dalam Islam, dan utility sebagai tujuan konsumsi
secara konvensional, antara konsumsi secara utility dan maşlahah mana yang
lebih menguntungkan. Makalah ini,akan membahas lebih lanjut terhadap
permasalahan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian maslahah
2. Memahami utilitarianisme
3. Memahami keterbatasan utilitarianisme sebagai retorika
4. Perbandingan maslahah dan utilitarianisme
2
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi Tugas
Kelompok dalam mata kuliah FILSAFAT EKONOMI ISLAM dengan
judul “Etika bisnis : Prespektif maslahah dan Utilitariasme”, supaya kita
mengetahui lebih detail serta dapat memahami tentang prespektif
maslahah dan utilitariasme dan perbandingan nya dalam etika bisnis dalam
etika bisnis
3
BAB II
A. Pengertian maslahah
Maslahah adalah prinsip yang dikenal dalam hukum Islam. Maslahah berarti
memelihara tujuan syara’ (syariat) dan meraih manfaat serta mencegah diri dari
kemudharatan. Implementasi konsep maslahah dalam kegiatan ekonomi memiliki
ruang lingkup yang lebih luas jika dibandingkan bidang lain.
1
Bacaan madani, pengertian maslahah,kedudukan dan contohnya,
https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-maslahah-mursalah-kedudukan.html, 3
maret 2020 pukul 11:08
4
Sebab hal ini berbeda dengan bidang-bidang lain seperti ibadah yang bersifat
dogmatik (berbasis kepercayaan). Dengan demikian, prinsip maslahah menjadi
acuan dan patokan penting dalam bidang ekonomi.
Hal ini sangat berbeda pada masa Rasulullah SAW yang melarang adanya
Intervensi harga. Situasi dan kondisi saat ini sangat berbeda karena pergerakan
harga yang sewaktu-waktu dapat merusak mekanisme pasar sehingga
pemerintahan Islam perlu melakukan intervensi agar harga tetap stabil.
Akan tetapi, kelemahan zakat konsumtif ini kurang begitu membantu untuk
kebutuhan jangka panjang mustahik. Hal ini dikarenakan zakat konsumtif hanya
memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan jangka pendek).
Maka dari itu, diperlukan juga pola pendistribusian zakat yang bersifat zakat
produktif. Berbeda dengan zakat komsumtif, zakat produktif dapat didayagunakan
untuk usaha produktif.
Zakat produktif untuk para mustahik akan berefek pada kehidupan mereka
yang mandiri sehingga mereka tidak butuh lagi menerima zakat ketika
ekonominya telah mapan.
Oleh sebab itu, paradigma distribusi zakat dari orientasi konsumtif harus dapat
diubah menjadi orientasi produktif, agar dapat menangani mengubah kemiskinan
menjadi sejahtera.
Pengelolaan zakat produktif harus dipahami oleh semua laposan masyarakat, baik
muzakki (pembayar zakat), amil (pengelola zakat) maupun mustahik (penerima
zakat).
6
Perekonomian yang saat ini masih berbasis bunga atau riba telah menciptakan
corak interaksi keuangan menjadi amburadul.Bunga membuat sistem keuangan
dunia menjadi pincang karena terciptanya ketidakadilan bagi masyarakat sehingga
negara-negara miskin dan berkembang akan terus bergantung secara finansial
kepada negara maju.Sifat pre-determined return yang dimiliki bunga akan
membuat perilaku para pemegang kapital cenderung memutar uangnya sebagai
alat untuk men-generate pendapatan melalui sektor finansial ketimbang
mendapatkan keuntungan melalui aktivitas produktif disektor riil.
Sebagai solusi, Islam menawarkan sistem bagi hasil dimana setiap usaha akan
mengalami pemerataan resiko, yaitu adanya resiko untung atau rugi.Setiap pihak
harus menerima resiko untung ataupun rugi sesuai dengan akad yang telah
ditentukan di awal perjanjian.Selain itu, dalam mekanismenya bagi hasil harus
sesuai dengan prinsip syariah, tidak diperkenankan mengandung unsur riba, judi
dan gharar (ketidakpastian), serta larangan memproduksi barang haram seperti
khamr (minuman keras).
B. Pengertian utilitariasme
Utilitariasme berasal dari kata latin utilis yang berarti “ bermanfaat” ,menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
7
Utilitariasme disebut juga lagi suatu teori teologis (dari kata Yunani telos =
tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan di peroleh dengan
dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak
menghasilkan apa-apa, menurut utilitariasme tidak pantas di sebut baik. Menepati
janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena hasil baik
yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari perbuatan-perbuatan
tersebut. Sedangkan ingkar janj, berbohong, atau mencuri adalah perbuatan buruk
karena akibat buruk yang di bawakannya, bukan karena suatu sifat buruk dari
perbuatan-perbuatan itu. Utilitiarisme dapat memberi tempat juga kepada
pengertian “kewajiban”, tapi hanya dalam arti bahasa manusia harus
menghasilkan kebaikan bukan keburukan.
2
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( yogyakarta : Kanisius 2000) hal. 66
3
K. Bertens, pengantar etika bisnis, kanisius, yogyakarta, 2000, 66.
8
Utilitarisme pertama kali dimunculkan oleh filsuf inggris jeremy betham (1748-
1832), dalam bukunya introduction to the principles of moral and legistation
(1789). Pada mulanya utilitarisme di ajukan betham sebagai dasar etis untuk
memperbarui hukum pidana kerajaan inggris. Dalam mengawali teori utilitariasme
Pertama, aspek keadilan. Menurut teori ini, suatu tindakan secara moral di
katakan baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak. Walau demikian, penegasan seperti itu sama sekali tidak berarti bahwa
tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak
itu juga merupakan suatu tindakan yang adil. Kondisi berikut dapat di pakai
sebagi ilustrasi aplikatif gagasan utilitaristik di atas. Dengan alasan, untuk
pertumbuhan ekonomi kerakyatan pemerintah berencana membangun jalan tol
yang menghubungkan BSD City, kebon jeruk,dan banndara internasional
Soekarno-Hatta Cengkareng. Pembebasan tanah tentu merupakan persoalan
pertama yang harus di hadapi pemerintah. Dua pertimbangan utama yang mau
tidak-mau di perhitungkan pemerintah dalam hal ini adalah investasi yang bersifat
jangka panjang serta ketersedian dana.
4
L. Sinour Yosephus, etika bisnis ( Jakarta : Yayasan Pustaka Obor indonesia 2010 ) hal. 94
9
dengan harga rendah) sama sekali tidak diikuti dengan kemauan baik untuk secara
bertanggung jawab membayar ganti rugi tanah dengan harga yang sesui. Secara
moral, utilitarianisme cacat karena tidak di ikuti prinsip keadilan.
bagi pecandu alkohol, utility yang dimilikinya sangat tinggi karena bisa
membantu menghilangkan permasalahan yang dialaminya, namun
bagi yang lain, minuman alkohol hanya dapat menyebabkan
kemudaratan. Demikian pula, apakah mobil Mercedes merupakan
utility ditentukan berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Mobil
memberikan kenyamanan sehingga merupakan utility ataupun untuk
dipamerkan, kebanggaan dan prestise bagi seseorang atau karena
suka dengan desainnya, hal ini juga utility. Jadi, banyak sekali kriteria
yang menjadi dasar bagi seseorang untuk menentukan apakah segala
sesuatu itu memiliki utility atau tidak. Hal ini tidak terdapat dalam
konsep maslahah, kriteria jelas/pasti bagi setiap orang dan keputusan
ditentukan atas dasar kriteria ini.
Menurut Imam as-Shatibi dan imam al-Ghazali maslahah dari sesuatu harus
memenuhi beberapa kriteria:
Jelas dan factual, jadi maslahah itu obketif, terukur dan nyata
. Bersifat produktif, jadi maslahah itu memberikan dampak konstruktif
bagi kehidupan yang Islami.
Tidak menimbulkan konflik keuntungan di antara swasta dan pemerintah.
Jadi terdapat keselarasan maslahah dalam pandangan pemerintah dengan
pandangan swasta atau masyarakat.
Serta tidak menimbulkan kerdapat keselarasan maslahah dalam pandangan
pemerintah dengan pandangan swasta atau masyarakat.
Serta tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, jadi tidak terdapat
konflik antara maslahah individu maupun maslahah sosial.5
5
Jurnal-iainambon.ac.id, maslahah versus utility,
http://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/download/8/pdf, 03 maret 2020 pukul 01.
15
15
BAB III
Kesimpulan
Daftar Pustaka