Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
. Dalam perspektif Islam, kebutuhan ditentukan oleh mashlahah.
Pembahasan pemenuhan kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari
kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqaşid al-syari’ah.
Jelasnya, tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen
dalam Islam.4 Konsumsi dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah swt.5 Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional, yang tidak
memisahkan antara keinginan (wants), dengan kebutuhan (needs), sehingga
memicu terjebaknya konsumen dalam lingkaran konsumerisme. Karena
manusia banyak yang memaksakan keinginan mereka, seiring dengan
beragamnya produk dan jasa. Banyak kalangan yang memprioritaskan
keinginan mereka karena tuntutan gaya hidup dari pada mempertimbangkan
kemaslahatan yang ada. Padahal seharusnya dipisahkan antara kebutuhan
dengan keinginan, untuk menjembatani beberapa keinginan yang tak
terbendung. Untuk memberikan penjelasan apakah konsumsi dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan atau keinginan, dan bagaimana perbedaan maşlahah
sebagai tujuan konsumsi dalam Islam, dan utility sebagai tujuan konsumsi
secara konvensional, antara konsumsi secara utility dan maşlahah mana yang
lebih menguntungkan. Makalah ini,akan membahas lebih lanjut terhadap
permasalahan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian maslahah
2. Memahami utilitarianisme
3. Memahami keterbatasan utilitarianisme sebagai retorika
4. Perbandingan maslahah dan utilitarianisme
2

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi Tugas
Kelompok dalam mata kuliah FILSAFAT EKONOMI ISLAM dengan
judul “Etika bisnis : Prespektif maslahah dan Utilitariasme”, supaya kita
mengetahui lebih detail serta dapat memahami tentang prespektif
maslahah dan utilitariasme dan perbandingan nya dalam etika bisnis dalam
etika bisnis
3

BAB II

A. Pengertian maslahah

Maslahah mursalah menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan manfaat,


baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa
definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan
bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Ada juga yang
berpendapat Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di
singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari
kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang belum ada
ketentuannya oleh agama. Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang
syara’ atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang
menjadi dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada pula sesuatu yang
munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum. 1

Maslahah adalah prinsip yang dikenal dalam hukum Islam. Maslahah berarti
memelihara tujuan syara’ (syariat) dan meraih manfaat serta mencegah diri dari
kemudharatan. Implementasi konsep maslahah dalam kegiatan ekonomi memiliki
ruang lingkup yang lebih luas jika dibandingkan bidang lain.

1
Bacaan madani, pengertian maslahah,kedudukan dan contohnya,
https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-maslahah-mursalah-kedudukan.html, 3
maret 2020 pukul 11:08
4

Nash-nash (dalil) terkait ekonomi yang pada umumnya bersifat global


membuat ruang gerak ijtihad (penetapan hukum baru berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis) menjadi lebih luas. Sedikitnya nash-nash yang membahas aspek ekonomi
secara khusus membuat ijtihad berbasis maslahah menjadi jalan keluar.

Sebab hal ini berbeda dengan bidang-bidang lain seperti ibadah yang bersifat
dogmatik (berbasis kepercayaan). Dengan demikian, prinsip maslahah menjadi
acuan dan patokan penting dalam bidang ekonomi.

Maslahah telah menjadi dasar pengembangan ekonomi Islam dalam


menghadapi perubahan dan kemajuan zaman. Dengan pertimbangan maslahah,
regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash menjadi konteks nash yang
mengandung prinsip maslahah.Implementasi maslahah dalam kegiatan ekonomi
dapat dijumpai dalam berbagai contoh, seperti pada penentuan mekanisme pasar,
pengelolaan zakat produktif, dan lembaga keuangan syariah.

1. konsep maslahah pada mekanisme pasar yaitu dilakukannya


intervensi harga.

Menurut konsep maslahah, pemerintahan Islam perlu melakukan intervensi


harga saat terjadi situasi dan kondisi tertentu seperti terancamnya kebutuhan
masyarakat, terjadinya monopoli, pemboikotan, atau terjadinya kolusi antar
penjual.

Hal ini sangat berbeda pada masa Rasulullah SAW yang melarang adanya
Intervensi harga. Situasi dan kondisi saat ini sangat berbeda karena pergerakan
harga yang sewaktu-waktu dapat merusak mekanisme pasar sehingga
pemerintahan Islam perlu melakukan intervensi agar harga tetap stabil.

Adapun tujuannya semata-mata untuk mencegah terjadinya tindak kezaliman


terhadap masyarakat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
5

2. konsep maslahah dalam kebijakan pengelolaan zakat yaitu


pengelolaan zakat produktif.

Pengelolaan zakat di Indonesia diatur dalam UU No.23 Tahun 2011 tentang


pengelolaan Zakat. Secara umum, pendistribusian zakat yang sering kita jumpai
berupa zakat konsumtif kepada para mustahik (penerima zakat) yang tergolong ke
dalam 8 asnaf untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Akan tetapi, kelemahan zakat konsumtif ini kurang begitu membantu untuk
kebutuhan jangka panjang mustahik. Hal ini dikarenakan zakat konsumtif hanya
memenuhi kebutuhan sehari-hari (kebutuhan jangka pendek).

Maka dari itu, diperlukan juga pola pendistribusian zakat yang bersifat zakat
produktif. Berbeda dengan zakat komsumtif, zakat produktif dapat didayagunakan
untuk usaha produktif.

Zakat produktif dapat dimanfaatkan sebagai program pengentasan kemiskinan


dengan cara pendistribusian zakat berupa modal usaha, alat-alat usaha, pelatihan
keterampilan, serta bimbingan usaha.

Zakat produktif untuk para mustahik akan berefek pada kehidupan mereka
yang mandiri sehingga mereka tidak butuh lagi menerima zakat ketika
ekonominya telah mapan.

Oleh sebab itu, paradigma distribusi zakat dari orientasi konsumtif harus dapat
diubah menjadi orientasi produktif, agar dapat menangani mengubah kemiskinan
menjadi sejahtera.

Pengelolaan zakat produktif harus dipahami oleh semua laposan masyarakat, baik
muzakki (pembayar zakat), amil (pengelola zakat) maupun mustahik (penerima
zakat).
6

3. konsep maslahah pada lembaga-lembaga perbankan dan keuangan


syari’ah.

Perekonomian yang saat ini masih berbasis bunga atau riba telah menciptakan
corak interaksi keuangan menjadi amburadul.Bunga membuat sistem keuangan
dunia menjadi pincang karena terciptanya ketidakadilan bagi masyarakat sehingga
negara-negara miskin dan berkembang akan terus bergantung secara finansial
kepada negara maju.Sifat pre-determined return yang dimiliki bunga akan
membuat perilaku para pemegang kapital cenderung memutar uangnya sebagai
alat untuk men-generate pendapatan melalui sektor finansial ketimbang
mendapatkan keuntungan melalui aktivitas produktif disektor riil.

Sebagai solusi, Islam menawarkan sistem bagi hasil dimana setiap usaha akan
mengalami pemerataan resiko, yaitu adanya resiko untung atau rugi.Setiap pihak
harus menerima resiko untung ataupun rugi sesuai dengan akad yang telah
ditentukan di awal perjanjian.Selain itu, dalam mekanismenya bagi hasil harus
sesuai dengan prinsip syariah, tidak diperkenankan mengandung unsur riba, judi
dan gharar (ketidakpastian), serta larangan memproduksi barang haram seperti
khamr (minuman keras).

Dari sudut pandang tersebut menunjukkan konsep maslahah merupakan konsep


fundamental dalam perkembangan ekonomi Islam.Para ulama sepanjang sejarah
senantiasa menempatkan maslahah sebagai pinsip utama dalam syariah,
begitupula dalam muamalah. Maslahah bukan hanya sekedar hukum namun
tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu memperoleh falah (kesejahteraan dan
keadilan)

B. Pengertian utilitariasme

Utilitariasme berasal dari kata latin utilis yang berarti “ bermanfaat” ,menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
7

keseluruhan. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran


utilitariasme ( utilitarianism ) kriteria untuk menentukan baik buruk nya suatu
perbuatan adalah the greatest happines of the greatest number,2 kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling
banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa
melestarikan lingkungan hidup, misal nya, merupakan tanggung jawab moral
kita? Utilitariasme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi
umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk juga generasi generasi sesudah kita.
Kita tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam dengan
teknologi dan industri, hingga sumber daya alam rusak karena itu, menurut
utilitariasme upaya pembangunan berkelanjutan ( suistainable development )
menjadi tanggung jawab moral kita.3 Mudah dapat di pahami bahwa utilitariasme
sebagai teori ini cukup dekat dengan costbenefit yang banyak di pakai dalam
konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitariasme bisa di hitung juga
sama seperti kita menghitung untung atau rugi atau kredit dan debet dalam
konteks bisnis. Dan memang pernah ada penganut utilitariasme yang
mengusahakan perhitungan macam itu di bidang etika

Utilitariasme disebut juga lagi suatu teori teologis (dari kata Yunani telos =
tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan di peroleh dengan
dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak
menghasilkan apa-apa, menurut utilitariasme tidak pantas di sebut baik. Menepati
janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena hasil baik
yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari perbuatan-perbuatan
tersebut. Sedangkan ingkar janj, berbohong, atau mencuri adalah perbuatan buruk
karena akibat buruk yang di bawakannya, bukan karena suatu sifat buruk dari
perbuatan-perbuatan itu. Utilitiarisme dapat memberi tempat juga kepada
pengertian “kewajiban”, tapi hanya dalam arti bahasa manusia harus
menghasilkan kebaikan bukan keburukan.

2
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( yogyakarta : Kanisius 2000) hal. 66
3
K. Bertens, pengantar etika bisnis, kanisius, yogyakarta, 2000, 66.
8

Utilitarisme pertama kali dimunculkan oleh filsuf inggris jeremy betham (1748-
1832), dalam bukunya introduction to the principles of moral and legistation
(1789). Pada mulanya utilitarisme di ajukan betham sebagai dasar etis untuk
memperbarui hukum pidana kerajaan inggris. Dalam mengawali teori utilitariasme

C. Keterbatasan utilitarisme sebagai teori etika

Prinsip utilitarisme atau utilitarianisme yang mendahulukan akibat baik


sebesar-sebesarnya dari suatu tindakan serta tanggung jawab atas akibat yang di
timbulkan oleh tindakan tersebut merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam
penilaian moral. Baik utilitarisme maupun utilitarianisme pasti merupakan teori
etika yang baik, namun apakah sekaligus juga merupakan teori yang menandai
secara etis? Ada sejumlah hal penting yang belum terakomodasi dalam teori
kebahagian tersebut itu yang sekaligus juga merupakan keterbatasan utilitarisme
dan utilitarianisme sebagi teori etika.4

Pertama, aspek keadilan. Menurut teori ini, suatu tindakan secara moral di
katakan baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang
terbanyak. Walau demikian, penegasan seperti itu sama sekali tidak berarti bahwa
tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak
itu juga merupakan suatu tindakan yang adil. Kondisi berikut dapat di pakai
sebagi ilustrasi aplikatif gagasan utilitaristik di atas. Dengan alasan, untuk
pertumbuhan ekonomi kerakyatan pemerintah berencana membangun jalan tol
yang menghubungkan BSD City, kebon jeruk,dan banndara internasional
Soekarno-Hatta Cengkareng. Pembebasan tanah tentu merupakan persoalan
pertama yang harus di hadapi pemerintah. Dua pertimbangan utama yang mau
tidak-mau di perhitungkan pemerintah dalam hal ini adalah investasi yang bersifat
jangka panjang serta ketersedian dana.

Dari segi investasi, pembangunan jalan tol yang di rencanakan adalah


investasi jangka panjang, sementara dari segi dana, pemerintah tidak memiliki
dana yang cukup untuk membebaskan tanah rakyat yang terkena jalur

4
L. Sinour Yosephus, etika bisnis ( Jakarta : Yayasan Pustaka Obor indonesia 2010 ) hal. 94
9

pembangunan jalan tol yang secara finansial sangat menjanjikan pertumbuhan


ekonomi di masa depan. Berdasarkan kedua pertimbangan itu, pemerintah
memutuskan untuk membayar ganti rugi dengan harga yang rendah kepada para
pemilik tanah dengan alasan para pemilik tanah jugalah yang akan menikmati
pertumbuhan ekonomi karena pembanguna jalan tol tersebut, baik secara tidak
langsung maupun secara langsung. Di sinilah persoalan menyangkut prinsip
utilitarisme dan keadilan yang tidak mau akan muncul. Oleh karena alasan
pertumbuhan ekonomi kerakyatan atau demi kesejahteraan hidup orang banyak,
sejumlah pemilik tanah menerima ganti rugi yang rendah atas tanahnya.
Persoalannya, adilkah pemerintah dalam hal ini? Apakah memang relevan jika
prinsip utilitarisme dipakai sebagi keputusan pemerintah untuk membayar ganti
rugi tanah dengan harga rendah, meskipun diterima oleh para pemilik tanah?
Sebagimana telah ditegaskan di atas,bagi kaum utilitaris atau utilitarian prinsip
yang berlaku agar sebuah keputusan dan tidakan baik secara moral, jika prinsip
dan tindakan tersebut menghasilkan kesenangan atau kebahagian terbesar bagi
jumlah orang terbanyak. Pada tataran ini, krleputusan dan tindakan pemerintah
membayar ganti rugi tana dengan harga yang rendah kepada para pemilik diterima
karena pembangunan jalan tol tentu akan berdampak positif, mendatangkan
kesenangan bagi jumlah orang terbesar, yakni para pengguna jalan tol yang tentu
saja kuantatif melampaui jumlah para pemilik tanah. Hal ini dengan sendirinya
akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi rakyat. Dengan demikian
secara utilitaristik keputusan pemerintah untuk bangunan jalan tol dan tindakan
pembebasan tanah dengan haraga mmurah dapat di terima. Kesenangan atau
kebahagiaan yang akan di timbulkan jauh lebih besar dari pada derita sejumlah
kecil kelompok masyarakat yang menerima ganti rugi tanah dengan harga murah.
Namun, patut di catat bahwa semua kelemahan konsepsi utilitarisme juga
sekaligus menjadi kelemahan keputusan dan tindakan pemerintah dalam hal ini.
Kelemahan yang paling mendasar adalah yang berhubungan dengan rasa keadilan.
Adilkah keputusan danbtindakan pemerintah yang sah secara utilitaristik itu? Di
sinilah keterbatasan paham utilitarisme juga utilitarianisme, saldo ke untungan
yang di peroleh akibat keputusan dan tindakan pemerintah (pembebasan tanah
10

dengan harga rendah) sama sekali tidak diikuti dengan kemauan baik untuk secara
bertanggung jawab membayar ganti rugi tanah dengan harga yang sesui. Secara
moral, utilitarianisme cacat karena tidak di ikuti prinsip keadilan.

Kedua, utilitarisme juga tidak menjamin hak-hak asasi manusia.


Keputusan dan tindakan aparat kepolisian yang menembak mati pelaku penodong
dan perampok yang melarikan diri ketika hendak di tangkap dapat di pakai
sebagai ilustrasi untuk memperlihatkan kelemahan lain dalam menerapkan
perinsip utilitarisme. Jika seluruh penduduk ibu kota yang merasakan keamanan
dan kenyamanan hidup sebagi sesuatu yang mengkhawatirkan di ajukan
pertanyaan, apakah perlu semua perampok dan penodang yang meresahkan itu di
tembak mati saja, barangkali semua yang pernah dirampok dan dilukai oleh
permpok akan memberi jawaban positif.

Merasa telah mendapatkan informasi dari masyarakat yang terauma


karena aksi perampokkan, aparat kepolisian tidak segan-segan akan menembak
mati perampok yang ketika hendak ditangkap justru melarikan diri ketika hendak
di tangkap justru melarikan diri. Sekali lagi, menurut utilitarisme, tindak aparat
kepolisian menembak mati perampok yang melarikan diri ketika hendak di
tangkap itu jelas di terima karena menghasilkan saldo keuntungan. Semua
masyaraka yang pernah resah karena merasakan keberutalan perampok akan
meras senang. Tindakan aparat kepolisian menimbulkan efek jera bagi para
perampok dan penodong. Namun, apakah hal itu juga adil dan bertanggung
jawab? Bukankah seorang perampok sekalipun berhak untuk di perlakukan secara
adil, misalnya perbuatannya di peroses secara hukum di pengadilan dan di bela
oleh seorang pengacara? Apkah tindakan yang di maksudkan hanya untuk
menimbulkan efek jera itu secara pasti juga membuat semua perampok jera?
Inilah kelemahan yang paling besar dari utilitarisme sebagi teori etika.
Utilitarisme hanya memperhatikan jumlah akibat baik yang di timbulkan oleh
suatu tindakan tanpa memperhatikan bagaimana akibat baik tersebut di peroleh.
Akibatnya, demi dampak baik (tujuan), hak asasi orang lain dapat di langgar dan
diinjak. Prinsip tujuan menghalalkan cara yang pada dirinya sendiri rentah
11

terhadap ketidak adilan justru mendapatkan peluang dalam utilitarisme.


Singkatnya utilitarisme sama sekali tidak menjamin rasa keadilan dan hak-hak
asasi karena lebih menomor-satukan akibat baik dari suatu tindakan. Ketiga,
utilitarisme begitu saja mengidentikan kesenangan dan kebahagiaan, padahal
secara substansial keduanya berbeda. Dengan mengatakan bahwa tujuan suatu
tindakan secara utilitarisme adalah kebahagiaan hidup memang bener. Namun,
mengidentikan kebahagiaan dengan kesnangan, demikian pula sebaliknyaa.
Secara substansial, kebahagiaan merupakan nilai yang tertinggi sekaligus terakhir.
Semua nilai lain, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian, tanggung jawab dan ke
uletan bahkan kesenangan sekalipun hayalan intrumen atau prasyarat untuk
mencapai kebahagiaan. Secara substantif, kebahagiaan merupakan sesuatu yang
bernilai pada dirinya sendiri. Meras bahagia adalah identik dengan merasa penuh
(bring gracefull) atau merasa diridhoi. Jadi tidak memerlukan apa-apa lagi. Orang
yang merasa bahagia sudah mendapatkan kepenuhan hidup. Disinilah locus
kelemahan terbesar utilitarisme.

Utilitarisme mengidentikan rasa senang atau rasa nikmat dengan


kebahagiaan. Logika utilitarisme keliru. Mengidentikan kebahagiaan dengan
kenikmatan atau kesenangan merupakan bukti bahwa menurut utilitarisme di atas
kebahagiaan atau kesenangan itu masih ada nilai lain yang lebih tinggi dari
kebahagiaan itu sendiri. Buktinya, orang tidak pernah merasa puas dengan apa
yang di nikmati. Setelah menik mati kepuasan, orang akan mencari kenikmatan
atau kepuasan dalam hal yang lainnya lagi. Seharusnya, prinsip utilitarisme
berbunyi : “ suatu tindakan secara moral adalah benar dan baik jika menghasilkan
kesenangan bagi masyarakat luas sebagai salah satu syarat untuk mencapai
kebahagiaan hidup.”

Keempat, pengukuran rasa nikmat atau rasa senang. Prinsip utilitarisme: “


kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak” dengan cukup jelas
mengindikasikan bahwa kebahagiaan atau kesenangan oleh kaum utilitarisme
hanya di ukur secara kuantatif. Konsekuensinya dalam contoh tentang kesenangan
tau kebahagiaan semua anggota masyarakat ibu kota Karen pernah mengalami
12

perampokkan karena perampok yang berusaha melarikan diri ketika akan


ditangkap tertembak mati oleh aparat kepolisian, secara kuantatif sama. Semua
anngota masyarakat yang pernah di rampok merasa tenang dan senang. Perasaan
mereka sama. Namun, apakah seperti itu kondisi asalnya? Bukankah dalam
pengalaman konkret manusia kesenangan dan kebahagiaan orang yang satu
berbeda dengan orang-orang lain? Dengan kata lain, setelah perampokan yang
melarikan diri tertembak, masyarakat juga tentu akan terus waspada. Kualiatas
kewaspadaan satu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya tentu
berbeda. Lebih lagi, mengenaskan bahwa kesenangan atau kebahagiaan bahwa
kesenangan atau kebahagiaan dapat diukur secara kuantatif tak akan terlaksana.
Artinya, kesenangan itu lebih merupakan kesenangan pribadi atau kesenangan
khas setiap orang itu dapat mewujudkan suatu kesenangan atau kebahagiaan orang
banyak? Disini juga prinsip utilitarisme Jeremy Bentham dan utilitarianisme John
Stuart Mill dapat di pakai sebagi salah satu acuan yang paling dasar bagi para
pembisnis konntemporer dalam melaksanakan kegiatan bisnis mereka. Namun,
sejau mana pprinsi utilitarisme atau utilitarianisme dapat diterapkan dalam
peraktik bisnis? Bukankah sudah terbukti bahwa dalam banyak hal prinsip
utilitarian tidak tahan uji?.

D. Perbandingan maslahah dan utilitariasme

Beberapa perbedaan keunggulan konsep maslahah dibandingkan dengan


utility:

a. Maslahah lebih objektif, karena bertolak dari pemenuhan need.


Karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif,
maka akan terdapat suatu kriteria yang objektif tentang apakah suatu
benda ekonomi memiliki maslahah atau tidak. Sedangkan dalam
utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang bersifat subjektif,
karena itu dapat berbeda antara satu orang dengan orang lain.
Sebagai ilustrasi apakah alkohol memiliki utility atau tidak ditentukan
secara berbeda berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Mungkin
13

bagi pecandu alkohol, utility yang dimilikinya sangat tinggi karena bisa
membantu menghilangkan permasalahan yang dialaminya, namun
bagi yang lain, minuman alkohol hanya dapat menyebabkan
kemudaratan. Demikian pula, apakah mobil Mercedes merupakan
utility ditentukan berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Mobil
memberikan kenyamanan sehingga merupakan utility ataupun untuk
dipamerkan, kebanggaan dan prestise bagi seseorang atau karena
suka dengan desainnya, hal ini juga utility. Jadi, banyak sekali kriteria
yang menjadi dasar bagi seseorang untuk menentukan apakah segala
sesuatu itu memiliki utility atau tidak. Hal ini tidak terdapat dalam
konsep maslahah, kriteria jelas/pasti bagi setiap orang dan keputusan
ditentukan atas dasar kriteria ini.

b. Maslahah bagi setiap individu selalu konsisten dengan maslahah


sosial, berbeda utility pada seseorang sering konflik dengan
kepentingan sosial. Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang
lebih objektif, sehingga lebih mudah diperbandingkan, dianalisis dan
disesuaikan antara satu orang dengan orang lain, antara individu dan
sosial. Konsistensi ini akan mengurangi konflik sosial sehingga
mempermudah penyusunan kebijakan ekonomi.

c. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi


(produsen, konsumen, distributor) maka arah pembangunan ekonomi
akan menuju pada titik yang sama. Hal ini akan mempercepat dan
meningkatkan kualitas pencapaian tujuan pembangunan, yaitu
kesejahteraan hidup. Hal ini berbeda dengan utilitas, dimana
konsumen mengukurnya dari pemenuhan want-nya sementara
produsen dan distributor dari tingkat keuntungan yang dapat
14

diperolehnya, sehingga berbeda tujuan dan arah yang ingin


dicapainya.

d. Maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan


dapat diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun
prioritas dan pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan
mempermudah perencanaan alokasi anggaran dan pembangunan
ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, tidaklah mudah untuk
mengukur tingkat utilitas dan membandingkannya antara satu orang
dengan orang lain meskipun dalam mengkonsusmsi benda ekonomi
yang sama. Misalnya seorang A dapat mempertahankan
kehidupannya dengan memakan sebuah apel sementara B
memakannya untuk meningkatkan kesehatannya. Dalam hal ini
maslahah bagi A lebih tinggi daripada B.

Menurut Imam as-Shatibi dan imam al-Ghazali maslahah dari sesuatu harus
memenuhi beberapa kriteria:

 Jelas dan factual, jadi maslahah itu obketif, terukur dan nyata
 . Bersifat produktif, jadi maslahah itu memberikan dampak konstruktif
bagi kehidupan yang Islami.
 Tidak menimbulkan konflik keuntungan di antara swasta dan pemerintah.
Jadi terdapat keselarasan maslahah dalam pandangan pemerintah dengan
pandangan swasta atau masyarakat.
 Serta tidak menimbulkan kerdapat keselarasan maslahah dalam pandangan
pemerintah dengan pandangan swasta atau masyarakat.
 Serta tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, jadi tidak terdapat
konflik antara maslahah individu maupun maslahah sosial.5

5
Jurnal-iainambon.ac.id, maslahah versus utility,
http://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/download/8/pdf, 03 maret 2020 pukul 01.
15
15

Apabila dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu


bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility), maka dalam ekonomi Islam
konsumen bertujuan untuk mencapai suatu maslahah. Pencapaian maslahah
merupakan tujuan dari syariat Islam (maqasid al-syariah) yang menjadi tujuan dari
kegiatan konsumsi. Maslahah digunakan dalam ekonomi Islam, dikarenakan
penggunaan asumsi manusia bertujuan untuk mencari kepuasan (utility)
maksimumtidak mampu menjelaskan apakah barang yang memuaskan akan selalu
identik dengan barang yang memberikan manfaat atau berkah bagi penggunanya.
Selain itu batasan seseorang dalam mengkonsumsi hanyalah kemampuan
anggaran, tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip syariat.
16

BAB III

Kesimpulan

Paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada prinsip-


prinsip dasar utilitarianisme dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya
perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan. Prinsip ini
mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang
paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta
individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai
dan terjadilah kerusakan dimuka bumi. Sedangkan perilaku konsumen Islami
didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan
dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas
berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan
dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan
hubungan antara sesama
17

Daftar Pustaka

Ahmad, Ausaf (Ed.). 1992. Lecture on Isamic Economnics, Jeddah: Islamic


Research and Training Institute.

Anto, M.B. Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta:


Ekonisia.

Baudrillard, Jean. Masyarakat Konsumsi, ogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, La


Societe de Consomation, 1970, diterjemahkan dalam bahasa Inggris The
Consumer Society: Myths ND Structures.

Departemen Pendidikan Nasional. 1987. Kamus Bahasa Indonesia, Ed. III,


Jakarta: Balai Pustaka.

Yoshephus, L. Sinuor. 2010. Etika Bisnis : Pendekatan Filsafat moral terhadap


perilaku Bisnis, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Manilet, aisa. 2014.


http://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/download/8/pdf “
Kedudukan Maslahah Dan Utility dalam Konsumsi ( maslahah versus utility ) “.

Bacaan madani, 2017. https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-


maslahah-mursalah-kedudukan.html, . “pengertian maslahah,kedudukan dan
contohnya”.

Mudyaharjo, Redja. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan suatu pengantar , Bandung : PT


Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai