Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dewi Ayu Klarasati

NIM : 1831710082

Prodi/Semester : Ekonomi Syariah3/4 9empat0

Mata kuliah : Filsafat Ekonomi Islam

1. Tuliskan ayat-ayat tentang riba secara urut menurut turunnya


ayat, dan terjemahkan.
Beberapa tahapan turunnya ayat tentang riba, antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Riba dicela disebabkan karena keberadaan unsur negatif yang
dikandungnya (QS ar-Rûm: 39)
۟ ‫اس َفاَل َيرْ ب‬
‫ُوا عِ ندَ ٱهَّلل ِ ۖ َو َمٓا َءا َت ْي ُتم مِّن َز َك ٰو ٍة‬ َ ٰ َ‫َو َمٓا َءا َت ْي ُتم مِّن رِّ بًا لِّ َيرْ ب َُو ۟ا ف ِٓى أ‬
ِ ‫مْو ِل ٱل َّن‬
ٓ
َ ُ‫ِك ُه ُم ْٱلمُضْ ِعف‬
‫ون‬ َ ‫ُون َوجْ َه ٱهَّلل ِ َفأ ُ ۟و ٰلَئ‬ َ ‫ُت ِريد‬
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya).

2) Selanjutnya riba dicela disebabkan karena adanya unsur


zalim (aniaya) di dalam praktik riba orang yahudi (QS an-
Nisa’: 160-161)

ِ ‫ص ِّد ِه ْم عَن َسبِي ِل هَّللا‬ َ ِ‫ت لَهُ ْم َوب‬ْ َّ‫ت أُ ِحل‬


ٍ ‫فَبِظُ ْل ٍم ِّمنَ الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّبَا‬
‫اس بِ ْالبَا ِط ِل ۚ َوأَ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم‬
ِ َّ‫َكثِيرًا َوأَ ْخ ِذ ِه ُم الرِّ بَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنهُ َوأَ ْكلِ ِه ْم أَ ْم َوا َل الن‬
‫َع َذابًا أَلِي ًما‬

“Maka disebabkan kedhaliman orang Yahudi, maka kami


haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Dan Kami telah
menjadikan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” (QS an-Nisa: 160-161)

3) Selanjutnya riba dicela disebabkan karena keberadaan


ziyadah yang berlipat-lipat dalam praktik riba masyarakat
jahiliyah (QS Ali Imran: 130-132)

‫ار الَّتِي‬ َ ‫اع َف ًة َوا َّتقُوا هَّللا َ َل َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح‬


َ ‫ُون َوا َّتقُوا ال َّن‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا ال َتأْ ُكلُوا الرِّ َبا أَضْ َعا ًفا م‬
َ ‫ُض‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ين َوأَطِ يعُوا هَّللا َ َوالرَّ سُو َل لَ َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم‬
‫ُون‬ ْ ‫أُعِ د‬
َ ‫َّت ل ِْل َكاف ِِر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian


memakan riba dengan beberapa lipat lagi dilipat-
lipatgandakan. Bertakwalah kalian kepada Allah supaya
kalian beruntung. Takutlah kalian akan api neraka yang
disiapkan untuk orang-orang kafir. Taatlah kalian kepada
Allah dan rasul-Nya supaya kalian dirahmati.”

4) Terakhir, riba mutlak diharamkan, namun ‘illah (alasan


dasar) keharamannya belum disebutkan secara rinci oleh
Rasulullah ‫( ﷺ‬QS. Al-Baqarah: 278-280)

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَاإِن ُكنتُم ُّم ْؤ ِمنِينَفَإِن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْ َذنُوا‬
َ‫ظلَ ُمونَ َوإِن َكان‬ ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬ ْ ‫ب ِّمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه ۖ َوإِن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أَ ْم َوالِ ُك ْم اَل ت‬
ٍ ْ‫بِ َحر‬
َ ُ ُ ُ َّ
َ‫ص َّدقوا َخ ْي ٌر لك ْم ۖ إِن كنت ْم تَ ْعل ُمون‬ُ َ
َ َ‫ُذو ُعس َْر ٍة فنَ ِظ َرة إِل ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوأن ت‬
َ ٌ َ

“Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang


tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang
beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka
umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika
kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian.
Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang
yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan.
Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila
kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 278-280).
2. Dari kronologis turunnya ayat riba tersebut bagaimana
pemahaman tentang riba menurut para ulama.
a. Pandangan ulama mutaqaddimin (Abad I – V H)
1) Zaid bin Aslam berkata:

‫يَ ُكوْ ُن لِل َّر ُج ِل‬ ِّ‫ْف َوفِي ال ِّسن‬ ِ ‫إِنَّ َما َكانَ الرِّ بَا فِي ْال َجا ِهلِيَّ ِة فِي التَّضْ ِعي‬
– ‫ت َِز ْي ُدنِ ْي‬ ِ ‫فَضْ ُل َد ْي ٍن فَيَأْتِ ْي ِه إِ َذا َح َّل األَ َج ُل فَيَقُوْ ُل لَهُ تَ ْق‬
ْ‫ض ْينِ ْي أَو‬
90 :4 ‫تفسير الطبري‬
Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah dalam pelipat gandaan
dan usia (waktu) adalah seseorang  yang memiliki piutang (atas
mitranya). Pada saat jatuh tempo, ia mendatanginya lalu berkata,
“Lunasi sekarang atau tambah pembayaran”. Tafsir at-Thabari,
IV:90.
2) Mujahid berkata :

‫َكانُوْ ا يَبِ ْيعُوْ نَ ْالبَ ْي َع إِلَى أَ َج ٍل فَإ ِ َذا َح َّل األَ َج ُل زَا ُدوْ ا فِي الثَّ َم ِن َعلَى‬
202 :4 ‫أَ ْن يُؤَ ِّخرُوْ ا – تفسير القرطبي‬
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah
jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), mereka (si pembeli)
memberikan tambahan harga atas tambahan waktu” Tafsir al-
Qurthubi, IV:202

Namun dalam versi lain, beliau berkata:

َ َ‫َكانُوْ ا فِي ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَ ُكوْ ُن لِل َّر ُج ِل َعلَى ال َّرج ُِل ال َّدي ُْن فَيَقُوْ ُل ل‬
‫ك َك َذا‬
ُ‫َو َك َذا وتؤخر َعنِّ ْي فَيُؤَ َّخ ُر َع ْنه‬
“(Riba yang diharamkan pada masa jahiliyyah) adalah seseorang
berutang pada orang lain, lalu si peminjam berkata, ‘Bagimu
(tambahan) sekian dan sekian, dan berilah aku tempo’. Maka dia
diberi tempo”Tafsir at-Thabari, III:101

3) Qatadah berkata :
‫أَ َّن ِربَا ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَبِ ْي ُع ال َّر ُج ُل ْالبَ ْي َع إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَإ ِ َذا َح َّل األَ َج ُل‬
:3 ‫ضا ٌء زَا َدهُ َوأَ َّخ َر َع ْنهُ – تفسير الطبري‬ َ َ‫احبِ ِه ق‬ ِ ‫ص‬ َ ‫َولَ ْم يَ ُك ْن ِع ْن َد‬
101
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara
tempo (kredit) hingga waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo
dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran
atas penangguhan” Tafsir at-Thabari, III:101

4) Ketika Imam Ahmad ditanya tentang riba, ia mejawab :

ِ ‫ض ْي أَ ْم تُرْ بِ ْي فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْق‬


‫ض ِه‬ ِ ‫َوهُ َو أَ ْن يَ ُكوْ نَ لَهُ َدي ٌْن فَيَقُوْ ُل لَهُ أَتَ ْق‬
‫زَا َدهُ فِي ْال َما ِل َوزَا َدهُ ه َذا فِي األَ َج ِل‬
“Riba itu adalah seseorang memiliki utang, lalu dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau
tidak mampu melunasi, ia harus menambah pada harta
(pinjaman) itu atas penambahan waktu.”

b. Pandangan ulama mutawasithin (abad VI – X)


1) Imam as-Sarkhasi (W. 483 H)

‫ض ْال َم ْشرُوْ طُ فِي ْالبَي ِْع‬


ِ ‫الربَا هُ َو ْالفَضْ ُل ْالخَ الِ ْي َع ِن ْال ِع َو‬
ِ
“Riba adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti
atau penyeimbang) yang disyaratkan dalam jual-beli” Al-
Mabsuth, XII:109
2) Ibnul ‘Arabi (W. 543 H)

‫الزيَا َدةُ َو ْال ُم َرا ُد بِ ِه فِي األَيَ ِة ُكلُّ ِزيَا َد ٍة لَ ْم يُقَابِ ْلهَا‬
ِّ ‫أل ِّربَا فِي اللُّ َغ ِة هُ َو‬
ٌ‫ِع َوض‬
“Riba secara bahasa adalah kelebihan atau penambahan, dan
yang dimaksud dengan riba dalam ayat (Alquran) itu adalah
setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi
pengganti atau penyeimbang.”
3) Fakruddin ar-Razi (W. 604 H)

‫ال َعلَى أَ ْن يَأْ ُخ ُذوْ ا ُك َّل َشه ٍْر قَ ْدرًا ُم َعيَّنًا‬ َ ‫أَنَّهُ ْم َكانُوْ ا يَ ْدفَعُوْ نَ ْال َم‬
ْ ْ
ِ ‫ ثُ َّم إِ َذا َح َّل ال َّدي ُْن طَالَبُوْ ا ْال َم ِد ْينَ بِ َرأ‬,‫َويَ ُكوْ ُن َرأسُ ْال َما ِل بَاقِيًا‬
‫س‬
‫ فَه َذا هُ َو‬.‫ق َواألَ َج ِل‬ ِّ ‫ال فَإ ِ ْن تَ َع َّذ َر َعلَ ْي ِه األَدَا ُء زَا ُدوْ ا فِي ْال َح‬ ِ ‫ْال َم‬
‫ال ِّربَا الَّ ِذيْ َكانُوْ ا فِي ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَتَ َعا َملُوْ نَ بِ ِه‬
“Sesungguhnya mereka menyerahkan/meminjamkan dana
(dengan syarat) mereka akan mengambil setiap bulannya besaran
tertentu (tambahan), sedangkan harta pokoknya tetap. Apabila
telah jatuh tempo, mereka menuntut pengembalian harta pokok
itu. Jika si peminjam kesulitan membayar, mereka menambah
hak dan tempo (pembayaran). Inilah riba yang dilakukan kaum
jahiliyah”
4) Imam an-Nawawi (W 676 H)

‫طَلَبُ ال ِّزيَا َد ِة فِي ْال َما ِل بِ ِزيَا َد ِة األَ َج ِل‬


“Menuntut tambahan atas harta pokok karena penambahan
waktu” al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, IX:442
5) Badruddin al-‘Aini (W. 855 H) berkata:

‫ال ِّزيَا َدةُ َعلَى أَصْ ِل َما ٍل ِم ْن َغي ِْر َع ْق ِد تَبَاي ٍُع‬
“Riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya akad
jual-beli” Umdatul Qari, juz V, h. 436

c. Pandangan ulama mutaakhirin (abad XI – XV)


1) Ali as-Shabuni

‫ض ُمقَابِ َل األَ َج ِل‬ ْ


ِ ‫ِزيَا َدةٌ يَأ ُخ ُذهَا ْال ُم ْق ِرضُ ِمنَ ْال ُم ْستَ ْق ِر‬
“Riba adalah kelebihan atau penambahan yang diambil oleh
kreditor (pemberi pinjaman) dari debitor (peminjam) sebagai
pengganti waktu”Rawa-i’ul Bayan, I:383
2) Muhamad al-Qadhuri berkata:
‫ ِربَا ْالفَضْ ِل‬:‫ض َوهُ َو نَوْ عَا ِن‬
ِ ْ‫ْالفَائِ َدةُ أَ ِو ال ِّزيَا َدةُ تُ ْؤخَ ُذ ع َِن ْالقَر‬
‫َو ِربَا النَّ ِس ْيئَ ِة‬
“Riba adalah faidah atau tambahan yang diambil dari pinjaman”
Dalilul Musthalahatil Fiqhiyyah:70.
3) Al-Jurjani berkata:

ٍ ‫ع هُ َو فَضْ ٌل َخا ٍل ع َْن ِع َو‬


‫ض‬ ِّ ‫ال ِّربَا هُ َو فِي اللُّ َغ ِة‬
ِ ْ‫الزيَا َدةُ َوفِي ال َّشر‬
‫ُش ِرطَ أِل َ َح ِد ْال َعاقِ َدي ِْن‬
“Riba menurut bahasa artinya penambahan, dan menurut syar’i
adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau
penyeimbang) yang disyaratkan kepada salah satu pihak yang
berakad” At-Ta’rifat:146
3. Apa yang menjadi dasar utama pelarangan riba menurut para
ulama. Adapun yang menjadi dasar dari pengharaman dari riba
bagi umat Islam adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 275:

‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬

Artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Dan dalam masalah riba, Al-Qur’an telah menjelaskan
beberapa tahap pengharaman, sehingga umat Islam dapat
memahami rahasia syariat, yakni terdapat empat tahapan
pengharaman yang terdapat di dalam ayat-ayat
Allah. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
1) Pertama, Firman Allah di dalam surat Ar-Rum ayat 39
Ayat di atas di turunkan di Mekkah, dari zahir ayat tidak
menunjukkan haramnya riba. Akan tetapi hanya sebagai
isyarat bahwa Allah benci terhadap praktek riba ini dan
bahwasanya riba tidak memperoleh pahala disisi Allah.
Jelaslah bahwa ayat ini sebagai peringatan Allah kepada
manusia agar riba tidak dipraktekkan.
2) Kedua, firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 161
Ayat ini diturunkan di Madinah. Ini menjadi suatu
pelajaran sejarah yang diceritakan kembali oleh Allah
mengenai kehidupan orang Yahudi, Allah telah
mengharamkan kepada mereka memakan riba, tetapi
mereka tetap mempraktekkannya. Oleh sebab itu mereka
berhak menerima azab dan kemurkaan Allah. Ayat ini
menunjukkan kepada pengharaman riba, tetapi hal
tersebut diungkapkan dalam bentuk isyarat bukan secara
terus terang sebab ayat tersebut hanyalah merupakan satu
cerita yang menjelaskan tentang kejahatan orang-orang
Yahudi. Pada ayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang
menunjukkan secara positif bahwa riba diharamkan
kepada kaum muslimin.
3) Ketiga, firman Allah dalam surat Ali imran ayat 130
Ayat di atas diturunkan di Madinah, di dalamnya
mengandung pengertian bahwa riba secara terus terang
(langsung) diharamkan, tetapi hanya sebagian saja tidak
menyeluruh, sebab yang diharamkan hanya semacam riba
yang disebut riba fadhal (riba yang sangat kejam), yaitu
riba fadhal yang keburukannya telah sampai pada
puncaknya, sedang kejahatannya telah sampai pada
tingkat tinggi, karena riba seperti itu dalam kenyataannya
atau praktek bunganya bertambah terus menerus sampai
berlipat ganda, yang sangat memberatkan orang yang
berhutang untuk membayar hutangnya.
4) Terakhir keempat, firman Allah dalam surah Al-Baqarah:
278-280
b. As-Sunnah
Di dalam Hadits, Rasulullah telah meriwayatkan beberapa
larangan riba secara tegas dan jelas, bahwa riba itu adalah
diharamkan di dalam syari’at Islam. Hadits-Hadits itu
menunjukkan diharamkannya riba. Hadits dari Abdullah Bin
Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Madjah, yaitu:

‫ َح َّدثَنِي َع ْب ُد‬،‫ك‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ب ُْن يُون‬


ٌ ‫ َح َّدثَنَا ِس َما‬،ٌ‫ َح َّدثَنَا ُزهَ ْير‬،‫س‬
‫صلَّى‬
َ ِ ‫ لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫ ع َْن أَبِي ِه‬،‫الرَّحْ َم ِن ب ُْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن َم ْسعُو ٍد‬
ُ‫ َو ُم ْؤ ِكلَهُ َو َشا ِه َدهُ َو َكاتِبَه‬،‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل ال ِّربَا‬

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah


menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada
kami Simak, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin
Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang makan riba,
orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya.(HR.
Ibnu Madjah)"

4. Jelaskan bagaimana cara berfikir ulama yang menyamakan riba


dan bunga, dan juga ulama yang berpendapat bahwa riba dan
bunga itu tidak sama.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat
ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum
bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank
menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama
yang membolehkannya meyakini bahwa ia tidak termasuk riba.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum
bunga bank. Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf
Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad
al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram,
karena termasuk riba. Pendapat ini juga merupakan pendapat
forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’
Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
Kedua, sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti syaikh
Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi,
Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa
bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat
ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-
Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H.
Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wata’ala
Surat an-Nisa’ ayat 29:
ِ َ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ٍ ‫اط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََر‬
‫اض ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain
dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan
cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan
dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha.
Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk
menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang
terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam. Di samping itu, mereka
juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan
atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu
tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud
hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada
beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman
tersebut.
Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang
menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya halal
menurut syariat, dan tidak apa-apa.
Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun
1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank:
Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank
dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank
dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya
syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari
jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan
hukum Islam.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga
bank merupakan masalah khilafiyah.
Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan
ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya
sebagai riba. Tetapi mereka semua sepakat bahwa riba
hukumnya haram.
Terhadap masalah khilafiyah seperti ini, prinsip saling
toleransi dan saling menghormati harus dikedepankan. Sebab,
masing-masing kelompok ulama telah mencurahkan tenaga
dalam berijtihad menemukan hukum masalah tersebut, dan pada
akhirnya pendapat mereka tetap berbeda.
Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih
pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya
mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa
mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan
jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang
mengharamkannya.

Anda mungkin juga menyukai