Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana didalamnya hanya
terdiri dari suami, istri, dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan
sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada di rumah
maupun ketika berada diluar rumah. Dimana seluruh hak dan kewajiban bisa mereka
dapatkan dan laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup bersama.

Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat zaman sekarang seperti yang kita ketahui
dari media-media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang lainnya banyak sekali
keluarga yang mengalami perceraian. Diantara sebab-sebab yang mengakibatkan perceraian
tersebut salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri
dan terjadinya pembangkangan (nusyus) seorang istri kepada suami dan atau suami
terhadap istrinya. Hal semacam ini, biasanya tidak lepas dari adanya suatu kecurigaan antara
kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh pikiran bahwa dirinya lebih baik dan atau merasa
lebih memiliki kekuasaan.

Melihat fenomena tersebut, dalam makalah ini membahas tentang apa itu syiqaqa dan
hakamain beserta apa saja bentuk-bentuk dari syiqaq yang dapat menyebabkan terjadinya
perceraian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Syiqaq ?


2. Apa itu Hakamain ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang Syiqaq
2. Mengetahui tentang Hakamain

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. SYIQAQ

1. Arti Syiqaq dan Dasar Hukumnya

Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang di
selesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak istri.

Dasar hukumnya ialah Firman Allah SWT:

‫وان خفمت شقاق بيهنام فابعثوا حكام من اههل وحكام من اهلها ان يريدا اصالحا يوفق هللا بيهنام ان هللا اكن علامي خبريا‬
Artinya:

"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru
damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya
(juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 35).

Ayat 35 An-Nisa tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara
suami memberi pelajaran kepada istrinya yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara yang di
terangkan ayat 34 telah di lakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya
tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak
sebagai juru pendamai.1 Dalam ayat ini kita jumpai hanya satu alternative, yaitu usaha ishlah
oleh para hakam.Hal ini memberikan ketentuan bahwa para hakam supaya dengan sekuat tenaga
beruaha mempertemukan kembali suami istri.Hanya dalam keadaan yang memang telah
memaksa, barulah para hakam mengambil alternatif lain, yaitu menceraikan antara suami istri.

Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh dua belah pihak suami dan istri, dapat pula disebabkan
oleh salah satu, suami atau istri. Syiqaq yang terjadi disebabkan oleh dua belah pihak, suami dan
istri, misalnya karena adanya perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan; masing-masing
bertahan pada wataknya, sama-sama tidak mau mengalah sehingga kehidupan rumah tangga
penuh dengan ketegangan-ketegangan yang tidak kunjung reda. Syiqaq yang disebabkan oleh
suami, misalnya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap istri, sehingga amat
berat bagi istri untuk dapat bertahan sebagai istri. Syiqaq yang terjadi dari pihak istri, misalnya
sikap nusyus yang tidak dapat ditundukkan suami dengan jalan bertahap; nasihat, pisah tempat
tidur, dan pukulan yang menjadi hak suami memberi pelajaran kepada istrinya.

Dalam hal syiqaq benar-benar tidak dapat diatasi sehingga menurut pertimbangan para
hakam lebih maslahat apabila diceraikan saja antara suami dan istri bersangkutan, dalam
1
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung : CV Pustaka Setia ) hl.187-188
2
mencerikan keduanya itu, dapat diajukan pertanyaan apakah hakam berkedudukan sebagai wakil
suami istri atau mempunyai kuasa penuh untuk menentukan keputusan. Dalam hal para hakam
berkedudukan sebagai wakil suami istri bersangkutan, mereka hanya dapat bertindak apabila
mendapat persetujuaan suami istri yang mewakilkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
Hanifah, Syafii dalam salah satu riwayat yang kuat dan ahmad dalam salah satu riwayat yang
paling masyhur.Hasan Basri, Atha, Qatadah, Zaid, Abu Tsaur, ulama-ulama Dhahiri Syiah
Ja’fariyah, dan Syiah Zaidiyah juga berpendapat demikian.

Pendapat tersebut beralasan bahwa suami istri adala orang-orang yag telah dewasa
karenanya hakam tidak mempunyai kekuasaan terhadap mereka. Hakam hanya bertugas untuk
berusaha mengadakan perbaikan hubungan perkawinan suami istri. Tanpa mendapat kuasa dari
suami istri bersangkutan, hakam tidak dapat mengambil keputusan untuk menceraikan suami
istri.Dalam hal hakam tidak mendapat kuasa dari suami istri, padahal untuk mengadakan ishlah
tidak berhasil, persoalannya kembali kepada pengadilan, dan pengadilanlah yang kemudian
mengambil keputusan setelah mendengar keterangan dan pendapat hakam.

Pendapat lain mengatakan bahwa hakam mempunyai wewenang penuh untuk mengambil
keputusan , apakah seharusnya perkawinan dilangsungkan atau lebih maslahat diputuskan.
Dalam hal hakam mengambil keputusan untuk itu dinyatakan sah, pengadilan tinggal
menguatkan saja. Pendapat kedua ini di kemukakan oleh said bin musayyab, said bin jubair, abu
salamah, sya’bi, nakha’i. imam malik, auza’i, ishak juga berpendapat demikian. Salah satu
riwayat dari imam syafii dan imam ahmad mendukung pendapat ini. Ulama-ulama madinah
berpendapat demikian pula.

Pendapat ini mengemukakan alasan bahwa hakam sebagai mana dinyatakan dalam al-qur’an
itu jelas bukan wakil suami istri sebab yang diperintahkan mengangkat hakam bukan suami istri
bersangkutan, tetapi ulul amri dalam hal ini adalah pengadilan. Oleh karnanya, leluasaan hakam
untuk mengambil keputusan untuk melangsungkan perkawinan atau menceraikan antara suami
dan istri telaht memperoleh kekuatan dari ulul amri. Khalifah utsman pernah mengangkat ibnu
abbas dan muawiyah untuk bertindak sebagai hakam antara uqbal bin abi thalib dan istrinya
fathimah binti attabah dengan memberi kekuasaan penuh, apabila mereka mempertimbangkan
yang lebih maslahat adalah menceraikan antara suami dan istri, hendaklah mereka menceraikan.
Khalifah ali juga pernah melakukan hal yang sama, memberi kekuasaan penuh kepada para
hakam yang diangkatnya untuk mengambil keputusan yang lebih maslahat; melangsungkan
hubungan perkawinan atau menghentikannya.2

2. Bentuk-Bentuk Syiqaq
Adapun bentuk-bentuk konflik (Syiqaq) dalam rumah tangga yang sering menghancurkan
bahtera kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut
a. Istri tidak memenuhi kewajiban suami.

2
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, ( Yogyakarta: UII Press, 1999 ) hlm. 90-92
3
Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta sayang adalah kepatuhan
istri dalam rumah tangganya. Allah menggambarkan perempuan yang sholeh dengan
perempuan yang patuh terhadap suaminya serta menjadi wali bagi suaminya. Dalam hal
ini seorang istri harus menta’ati perintah dari seorang suami, asalkan perintah tersebut
tidak melenceng dari jalan Islam.
b. Tidak memuaskan hasrat seksual suami, melakukan pisah ranjang dan menolak untuk
menanggapi panggilannya.
Seks adalah kebutuhan pria dan wanita, karena itu para istri adalah pakaian bagi kamu
(suami) dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Hubungan seks dalam rumah tangga
ternyata bukan sebatas sarana melainkan sebagai satu tujuan. Terpenting yang harus
dijaga oleh kaum perempuan agar kepuasan seks suaminya tetap terjaga. Dari ungkapan
itu istri wajib memuaskan seks suami selagi masih dalam batas-batas kewajaran dan tidak
menyalahi hukum syariat Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap suami.
Istri tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang dapat diterima atau dilarang
hukum.
c. Keluar dari rumah tanpa seizin suami atau tanpa hak syar’i.
Keluarnya istri dari rumah tanpa seijin suami walaupun untuk menjenguk orang tua
adalah merupakan kedurhakaan istri terhadap suami, karena hal itu bisa menyebabkan
kerusakan dan kehancuran rumah tangga.
d. Tidak mampu mengatur keuangan.
Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya, istri juga wajib
memelihara harta suaminya. Dengan kata lain tidak boros, berlaku hemat demi masa
depan anak-anaknya dan belanja secukupnya tidak hura-hura. Kalau istri boros, itu
merupakan kesalahan istri dalam mengatur keuangan keluarga, karena hal itu sama
halnya dengan seorang istri yang tidak dapat menjaga harta kekayaan suami yang
dipercayakan kepadanya. Bila hal ini dilakukan terus maka akan mengakibatkan
munculnya keretakan dalam rumah tangga.
e. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya.
Suami atau istri tidak menjalankan kewajiban dalam tuntutan agama seperti shalat,
puasa, dan zakat serta kewajiban yang lain. Seorang Suami tidak memenuhi kewajiban
istri. Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi kewajibannya sebagai
istri, suami pun harus memenuhi kewajibannya sebagai suami terhadap istri. Karena
kedua belah pihak sudah melakukan ikatan pernikahan. Maka kedua-duanya harus
menjalankan kewajibannya masing-masing.
f. Ketidakmampuan suami menafkahi keluarganya.
Setiap suami harus memahami bahwa istri adalah amanah yang dibebankan di pundak
suami dan merupakan keharusan baginya untuk memberikan nafkah sejauh
kemampuannya. Suami harus memberikan nafkah lahir batin pada istrinya dengan
kemampuannya, suami memberi makan, minum dan pakaian serta menggaulinya dengan
sebaik mungkin dan dengan kemampuannya asalkan tidak menzalimi istrinya.

4
g. Suami tidak pengertian kepada istri. Banyak sang suami yang tidak mengetahui
gangguan-gangguan kodrati yang dialami istri, seperti sedang hamil, haid, nifas, dan lain-

lain. Apalagi disaat istri sedang mengidam sang suami harus pengertian pada sang istri.
Mengidam adalah keinginan sang istri yang sangat mendesak terhadap sesuatu disaat dalam
keadaan hamil. Boleh jadi mengidam itu diingini oleh semangat ketidaksukaannya terhadap
sesuatu, sehingga ia tidak bisa melihat atau menciumnya, kadang juga membenci sang suami dan
rumah. Dalam keadaan ini suami istri harus mengerti kondisi yang dialami sang istri.3

3. Perkara Syiqaq di Indonesia

Sebagimana halnya para ahli fiqih, maka pada Peradilan Agama di Indonesia juga terdapat
dua pendapat dalam masa syiqaq. mula-mula pendapat yang pertama yang banyak di anut
(hakam dengan arti wakil), kemudian pendapat keduanya yang banyak di penganutnya (hakam
dengan arti hakim), bahkan Mahkamah Islam Tinggi mengikuti kedua pendapat ini, dalam
keputusannya 12 Januari 1939 nomor 3, dan tanggal 10 maret 1951 nomor 6.

Akan tetap sampaii sejauh ini belum di ketahui sikap Mahkamah Tinggi Islam apabila
hakam-hakam yang di tunjuk ternyata tidak sanggup mengambil keputusan. Selanjutnya ini
Pengadilan Agama Daerah istimewa Yogyakarta dalam surat keputusannya tanggal 10 Juni 1961
nomor 489 memberikan keputusan perceraian terhadap perkara syiqaq apabila dua orang hakam
yang di angkat tidak mampu memberikan suatu keputusan. Dengan keputusan ini, dapat di
hindarkan kemungkinan-kemungkinan berlarut-larutnya perkara dan kesulitan-kesulitan yang
akan di hadapi suami istri yang sedang bersengketa, dan tidak memperburuk keadaan.

Dalam pada itu Pengadilan Agama Surabaya dengan surat keputusannya nomor 532 tahun
1958 menetapkan perceraian, apabila dua orang hakam pihak tergugat (suami) tidak pernah hadir
pada sidang-sidang Pengadilan yang di adakan untuk menyelesaikan perkara tersebut.4

B. HAKAMAIN

1. Arti Hakamain dan Tugasnya

Hakam artinya juru damai, jadi hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua pihak
suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang
benar dan siapa yang salah diantara suami istri tersebut.

Perhatikan firman Allah SWT berikut:

‫َواِن ِخ ْفمُت ْ ِش َق َاق بَيْهِن ِ َمافَابْ َعث ُْوا َح َكامً ِم ْن َا ْههِل َو َحمَك ًا ِم ْن َا ْه ِله َْا‬
Artinya:
3
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Kesalahan-Kesalahan Suami, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 76.
4
Op.cit hlm.188-189
5
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan”. (QS. An-Nisa:35)

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam yang tersebut pada ayat 35 surat An-
Nisa’ diatas.

Menurut imam Abu Hanifah, sebagai pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadim dari Imam
Syafi’i, hakam itu berarti wakil. Sama halnya dengan wakil maka hakam tidak boleh
menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami. Begitu
pula hakam dari pihal istri tidak boleh mengadakan khuluk sebelum mendapat persetujuan
suami.

Menurut Imam Malik, sebagian yang lain pengikut Imam Hambali dan Qaul jadid dari imam
syafi’im, hakam itu sebagai hakim, sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat
keduanya tentang hubungan suami istri yang berselisih itu, apakah ia akan memberi keputusan
perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai kembali.

Menurut pendapat pertama yang mengangkat hakam itu ialah pihak suami dan pihak istri,
sebagaimana di sebutkan pada ayat 35 surah An-Nisa di atas.

Menurut pendapat kedua bahwa yang mengangkat hakam itu ialah hakim atau pemerintah,
karena ayat di atas di tunjukan kepada seluruh muslimin. Dalam hal perselisihan suami istri,
urusan mereka di selesaikan oleh pemerintah atau oleh hakim yang di beri wewenang untuk
mengadili perkara tersebut.

Pendapat kedua dikuatkan oleh tindakan Ali Bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh ibnu
jarir At-Tabiri dari Ubaidah, ia berkata, “telah datang kepada Ali Bin Abi Thalib seorang
perempuan dengan suaminya, dan kedua pihak diikuti oleh sekelompok orang dan hakamnya
masing-masing. Ali berkata kepada kedua hakam itu. “Adakah kamu ketahui apa yang wajib
kamu lakukan? Kewajiban kamu ialah jika kamu berdua berpendapat untuk menghimpun
keduanya, maka himpunkanlah, jika kamu berpendapat menceraikan keduanya, maka
ceraikanlah.” Perempuan itu berkata, “aku rela kepada Allah baik dimenangkan ataupun
dikalahkan”. Kemudian suaminya menjawab, “aku tidak bersedia untuk bercerai,” Ali berkata”
engkau dusta, demi Allah engkau tidak boleh berangkat dari tempat ini, sehingga engkau rida
dengan kitab Allah “Azza Wajalla, baik menguntungkan bagimu atau tidak.”

Para ulama ahli fikih sepakat bahwa kedua juru damai itu dikirimkan dari keluarga suami
dan istri, yaitu salah satunya dari pihak suami dan yang lainnya dari pihak istri. Kecuali kalau
dari pihak keduanya tidak ada yang pantas menjadi juru damai, maka dapat dikirim orang lain
yang bukan dari keluarga suami atau istri. Mereka juga sepakat apabila kedua juru damai itu
berselisih, maka keduanya tidak dapat dilaksanakan. Kata-kata keduanya untuk tetap
mengumpulkan kedua suami istri bisa berlaku tanpa pemberian kuasa dari kedua belah pihak.
Akan tetapi, mereka berselisih paham tentang pemisahan suami istri yang dilakukan oleh juru
6
damai, jika keduanya sepakat untuk menceraikan mereka. Apakah diperlukan persetujuan dari
kedua belah suami istri atau tidak?

Imam Malik dan para pengikutknya berpendapat bahwa, juru damai boleh mengadakan
pemisahan atau pengumpulan tanpa pemberian kuasa atau persetujuan dari kedua belah pihak
suami istri.

Sedangkan Imam Malik Syafi’i dan Abu Hanifah serta para pengikut dari keduanya
berpendapat bahwa kedua juru damai itu tidak boleh mengadakan pemisahan, kecuali jika suami
menyerahkan pemisahan tersebut kepada juru damai. Alasan yang dikemukakan Imam Malik
adalah apa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a bahwa ia megatakan tentang kedua juru
damai itu :

‫الهيام التفرقة بني الزوجني وامجلع‬


Arinya :
“kepada kedua juru damai ituhak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami istri itu”.

Adapun imam syafi’i dan Abu hanifah beralasan bahwa pada dasarnya talak itu tidak berada
ditangan siapapun, kecuali suami atau orang yang diberi kuasa olehnya. Sehubungan dengan hal
tersebut, para pengikut Imam Malik berbeda pendapat dalam hal apabila kedua juru damai itu
menjatuhkan talak tiga.
Ibn Qasim berpendapat bahwa itu terjadi talak satu, sedangkan Ashab dan Maghirah
berpendapat bahwa terjadi tiga talak juga.
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah juga mengatakn bahwa pada dasarnya talak itu berada
ditangan suami, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan kebalikannya. Mereka beralasan
dengan riwayat yang terdapat dalam hadis Ali r.a ia berkata kepada juru damai :
‫ رضيت بكتاب هللا ومبا فيه ىل وعيل‬: ‫هل تدراين ما عليكام ان رايامت ان جتمعا مجعامت وان رايامت ان تفرقا فرقامت فقالت املراة‬
‫ اما الفرقة فال فقال عيل الوهللا ال ينقلب حىت تقر مبثل ما اقرت به املراة‬: ‫ فقال الرجل‬.
“ Apakah kalian berdua mengetahui kewajiban kalian, jika kalian memandang perlu
mengumpulkan, maka kalian dapat mengumpulkannya, dan jika kalian memandang perlu untuk
memisahkan, maka kalian dapat memisahkannya. Maka berkatalah seorang perempuan, “ Saya
rela dengan kitab Allah dan dengan apa yang ada didalamnya, menguntungkan atau merugikan
saya”. Maka berkatalah suami dari perempuan itu, “ Akan tetapi, tidak mengenai pemisahan”.
Maka Ali pun berkata, “ Tidak ! Demi Allah, jangan berubah, kecuali sesuadah engkau berikrar
seperti apa yang dikrarkan oleh istrimu.”
Berdasarkan hadis ini mereka mengatakan bahwa,kerelann suami itu sangat diperlukan.
Adapun Imam Malik dalam hal ini mempersamakan kedua juru damai dengan penguasa. Dan
baginya penguasa dapat menjatuhkan talak karena adanya tindakan yang merugikan. Jika nyata-
nyata telah terjadi.

7
2. Syarat-Syarat Hakamain
Bagi orang-orang yang ditunjuk sebagai hakim, hendaklah :
a. Berlaku adil terhadap orang yang berperkara
b. Mengadakan perdamain kedua suami istri dengan ikhlas
c. Disegani oleh kedua pihak suami dan istri
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak lain tidak mau berdamai. 5

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang di
selesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak istri Syiqaq merupakan tahap perselisihan suami istri setelah nusyus yang mekhawatirkan
akan dikuti dengan terjadinya perceraian. Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh dua belah pihak
suami dan istri, dapat pula disebabkan oleh salah satu, suami atau istri. Syiqaq yang terjadi
disebabkan oleh dua belah pihak, suami dan istri, misalnya karena adanya perbedaan watak yang
5
Ibid,hlm. 189-193
8
amat sukar dipertemukan; masing-masing bertahan pada wataknya, sama-sama tidak mau
mengalah sehingga kehidupan rumah tangga penuh dengan ketegangan-ketegangan yang tidak
kunjung reda. Syiqaq yang disebabkan oleh suami, misalnya perlakuan suami yang amat
sewenang-wenang terhadap istri, sehingga amat berat bagi istri untuk dapat bertahan sebagai
istri. Syiqaq yang terjadi dari pihak istri, misalnya sikap nusyus yang tidak dapat ditundukkan
suami dengan jalan bertahap; nasihat, pisah tempat tidur, dan pukulan yang menjadi hak suami
memberi pelajaran kepada istrinya. Untuk menyelesaikan syiqaq jika kedua belah pihak tidak
bisa menyelesaikan maka diperlukan adanya Hakamain.
Hakam artinya juru damai, jadi hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua pihak
suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang
benar dan siapa yang salah diantara suami istri tersebut. Adapun bagi orang-orang yang ditunjuk
sebagai hakim, hendaklah : Berlaku adil terhadap orang yang berperkara, mengadakan
perdamain kedua suami istri dengan ikhlas, disegani oleh kedua pihak suami dan istri dan
hendaklah berpihak kepada yang teraniaya, apabila pihak lain tidak mau berdamai.

B. Saran
Demikian tugas makalah yang kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filasafat
Ilmu, didalam makalah ini pasti banyak terdapat kesalahan yang dimana kami masih dalam
proses pembelajaran, oleh karena itu pemakalah memohon agar memaklumi dan memberi
masukan agar pemakalah lebih baik lagi dikemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai