Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KAIDAH FIQHIYAH

Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Kaidah Fiqhyah
Dosen Pengampu : H. Yusran, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok 12
Kholifatur Rohmah (2031710062)
M. Navis Maulana Habsji (2031710149)
Nanda Okta Purnamasari (2031710055)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UINSI SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
juga mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya
untuk makalah ini.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi banyak orang.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 9 Desember 2021

Kelompok 12
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................

A. Latar belakang......................................................................................

B. Rumusan masalah.................................................................................

C. Tujuan...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................

A. Pengertian Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid......................................

B. Qoidah Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid............................................

C. Penerapan Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid.......................................

BAB III PENUTUP..........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................

B. Saran.....................................................................................................

C. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang

Para pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah
dalam menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan
Sunnah, dengan adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda
maka tak heran kaidah yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung
kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam
kitabnya ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa;

“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan,
niat, dan adat kebiasaan”.

Hal ini lah yang menjadi pertimbangan dalam pemikiran para pakar dalam
merumuskan kaidah fiqih yang bersifat dinamis. Kaidah fiqih sangatlah
dinamis dalam teorinya banyak kaidah fiqih yang dirumuskan secara terperinci
sehingga terbentuklah pemetaan dimana yang bersifat kaidah Ashal, dan mana
yang bersifat furu’iyyah. Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Qoidah Fiqih
dengan membagi periodesasinya menjadi tiga periode;

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan / tawr al-nusyu wa altakwin


(abad 1-3 H);
2. Zaman perkembangan dan kodifikasi / tawr al-namu’wa al tadwin
(abad ke 4 H);
3. Zaman kematangan dan penyempurnaan / tawr al-rusukh wa al
tansiq (abad 5 H-kini)

Namun, menurut penulis dalam kenyataannya kaidah fiqih yang terdapat sekarang
ini terkadang masih banyak yang bersifat “baku” dan perlu kajian yang lebih
lanjut dalam mencari rumusan sebb terkadang ia kurang relevan dalam implikasi
sekarang jni. Seperti kaidah;
“Meninggalkan kemafsadatan harus didahulukan daripada memgambil
kemaslahatan”

Kaidah Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid ini, menurut kami harus diadakan kejian
lebih mendalam, karena kaidah ini akan membatasi suatu hukum, seakan-akan
ketika dalam suatu kasus terdapat kemafsadatan dan kemaslahatan, maka lebih
baik ditinggalkan daripada mengambil kemaslahatan tersebut. Dan yang membuat
penulis ingin mengkaji kaidah fiqih ini adalah sebatas mana implikasi dan dampak
dari penerapan kaidah ini dalam fiqih madzhab. Karena dalam era modern ini
dengan kecanggihan teknologi mungkin dalam kasus diatas akan bisa kita ambil
maslahatnya lalu kita minimalisir kemafsadatannya.

B Rumusan Masalah

1. Pengertian Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid


2. Qoidah Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid
3. Penerapan Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid

C Tujuaan

1. Untuk mengetahui pengertian Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid


2. Untuk mengetahui Qoidah Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid
3. Untuk mengetahui penerapan Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid

Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak


kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam sehari-hari tidak
jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang dikatakan oleh Izzuddin
bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam
mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara
menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang
membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh
maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang.

Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang
ada tidak lepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur kemafsadatan.
Ada yang hanya memgandung unsur kemaslahatan saja, ada pula yang hanya
mengandung kemafsadatan saja, atau bahkan memgandung kedua-duanya.
Walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi presentase apakah lebih besar unsur
kemaslahatannya dari kemafsadatannya ataupun sebaliknya. Maslahat maksudnya
hal yang membawa kepada tujuan yang sesuai dengan tujuan dan konsep syariat
atau Maqasid As-Syari’ah yaitu Hifz ad-Din (memelihara keberagaman), Hifz an-
Nafs (memelihara jiwa), Hifz ‘Aql (memelihara akal), Hifz Maal (memelihara
harta), Hufz Nasl (memelihara keturunan). Sedangakan maksud dari kemafsadatan
adalah sebaliknya.

B. Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid

‫هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا‬

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam


mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

‫اين ما وجدت المسلحة فثم شرع هللا‬

”Kapan saja ditemukan kemashlahatan, maka itu syari’at Allah”


Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya qawaid al-Ahkam fi Musholih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh Syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara
menolak mafsadah atau dengan meraih maslahah. Kerja manusia itu ada yang
mebawa kepada mashlahat ada pula yang menyebabkan mafsadah. Baik maslahat
maupun mafsadah ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk
kepentingan ukhrowiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan duniawiyah
sekaligus ukhrowiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syariat dan
seluruh yang mafsadat dilarah oleh syariat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-
tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap
kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan
kemudharatannya.

Kemaslahatan dapat dibagi menjadi tiga bagian :

1. Kemaslahatan dari wajibat, setiap hal yang wajib pasti membawa


kemaslahatan. Contohnya sholat fardu.

2. Kemaslahatan dari mandubat (tindakan yang sunah). Contohnya Sholat


Sunah

Semua hal yang wajibat maupun yang mandubat adalah sesuatu yang
membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka
kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan
kepada orang yang bertakwa, diantaranya:

‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬


ِ َّ‫َم ْن يَت‬

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan


baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)

‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ ِم ْن َأ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬


ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬

”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

‫ق هَّللا َ يُ َكفِّرْ َع ْنهُ َسيَِّئاتِ ِه َويُ ْع ِظ ْم لَهُ َأجْ رًا‬


ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS.
Ath-Thalaq: 5)

3. Kemaslahatan dari mubahat (tindakan yang jawaz), yang dimaksud


mubah disini adalah bukan sesuatu yang jika dikerjakan ataupun
ditinggalkan tidak akan mendapat pahala ataupun berdosa. Tapi, sesuatu
yang jika sudah diperbuat maka akan menimbulkan dua kemungkinan
yaitu akan jadi baik atau bahkan buruk. Jika hal mubah yang kita perbuat
sesuai dengan syariat Islam maka insyaallah akan mendapat pahala dan
sebaliknya. Contohnya, Makan dan minum.

Kemafsadatan juga dibagi menjadi dua bagian:

1. Kemafsadatan dari makruhat (tindakan yang makruh), contohnya,


memakan hal-hal yang menyebabkan bau tidak nyaman, berkumur ketika
berpuasa.

2. Kemafsadatan dari muharromat (tindakan yang haram), contohnya


adalah berzina

C. Penerapan Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.

Sebagian besar kemashlahatan dunia dan mafsadatnya telah diketahuai akal


pengetahuan. Melaksanakan kesamashlahatan murni dan menolak kemafsadatan
murni merupkan perbuatan yang sanagat terpuji bagi manusia. Demikian pula,
dalam mendahulukan kemashlahatan yang lebih unggul dan menolak
kemafsadatan yang lebih unggul atau menolak kemafsadatn yang lebih unggul
terlebih dahulu, kemudian mengerjakan kemashlahatan tingkat biasa atau
mengerjakan kemashlahatan yang lebih unggul, kemudian menolak kemafsadatan
tingkat biasa, perihal tersebut sudah ada consensus atas kebaikannya oleh ahli
hukum.

Dalam syariat terdapat perbedaan manayang harus didahulukan antara menolak


kemafsadatan atau mengerjakan kemadharatan, hal ini pada prinsipnya hanya
berorientasi pada sulitnya mengetahui tingkat keunggulan masing-masing. Banyak
manusia yang mengalami kebingungan, akhirnya mereka tidak mengerjakan
kemashlahatn dan tidak memberantas kemafsadatan.

Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu:


1. Jalbul Masholih, Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang
sama, dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling
maslahat

‫فَبَ ِّشرْ ِعبَا ِدالَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ َأحْ َسنَه‬....

“….beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengarkan ucapan-


ucapan orang dan mengambil jalan paling baik diantanya….”(QS. Az-
Zumar: 17-18)

‫ َوْأ ُمرقَوْ َمكَ يَْأ ُخ ُذوا بَِأحْ َسنِهَا‬....

“….perintahkanlah kepada umatmu untuk mengambil yang paling


baik….”(QS. Al-A’raaf: 145)

Dari kedua ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada
dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik diantara
keduanya.

Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat, wiridan


setelah sholat juga maslahat, lalu ketika kita sehabis sholat dan ada
seorang tamu yang datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah
wiridan karena menghormati tamu adalah sesuatu yang membawa
maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang tamu sendiri. Sedangkan
mashlahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita sendiri.

2. Mashlahah “dar’ul mafasid” (mashlahah dharuraat) Apabila


menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih
untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk
akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang
menimbulkan mafsadat berarti mengejar maslahat.
ِ ْ‫َوِإ َذا قِي َل لَهُ ْم اَل تُ ْف ِسدُوا فِي اَأْلر‬
َ‫ض قَالُوا ِإنَّ َما نَحْ نُ ُمصْ لِحُون‬

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan


di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang
yang mengadakan perbaikan". (QS. Al-Baqarah: 11)

Contohnya. Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kontraksi yang


sangat parah, sampai akhirnya dokter memberikan pilihan kepada keluarga
tersebut untuk memilih salah satu jiwa yang harus dikorbankan. Dalam
kasus ini maka yang harus dikorbankan adalah sang anak. Karena ketika
menyelamatkan seorang ibu kemungkinan sang ibu bisa hamil kembali.
Tapi ketika yang diselamatkan sang anak, anak tersebut hanya akan
dibesarkan oleh sang ayah seorang.

Contoh lain juga terdapat pada surat an-Nisa 148

‫ال يُ ِحبُّ هَّللا ُ ْال َج ْه َر بِالسُّو ِء ِمنَ ْالقَوْ ِل ِإال َم ْن ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا ُ َس ِميعًا َعلِي ًما‬

”Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terang-


terangan kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 148)

Perkataan yang buruk adalah suatu hal yang tidak baik, sedangkan dzalim
ke pada orang lain juga termasuk perbuatan tercela. Alah Swt. tidak
menyukai perkataan, dengan demikian perkataan yang buruk adalah hal
yang mafsadat karena segala sesuatu yang makruh adalah mafsadat, tapi
jika ada orang yang dzalim kepada kita maka kita diperbolehkan
mengucapkan perkataan yang buruk itu karena untuk menangkal
kerusakan yang lebih besar bisa dilakukan dengan kerusakan yang lebih
kecil.

3. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih.

Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan
mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari
pada meraih maslahat.
Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu ketika
berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah, namun
ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan akan
membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur tersebut.
[5]

Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih adalah yang
maslahatnya. Sebagai contoh:

‫اس َوِإ ْث ُمهُ َما َأ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ َّ‫ك َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َمي ِْس ِر ۖ قُلْ فِي ِه َما ِإ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَافِ ُع لِلن‬
َ َ‫يَ ْسَألُون‬

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada


keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah: 219)

Ayat di atas menjelaskan bahwa khamar memiliki mashlahat dan juga


mafsadat. Tapi menurut ayat di atas, mafsadat dari khamar lebih banyak
dari pada mashlahat nya. Maka dari itu tinggalkanlah khamar.

Persyaratan Kemaslahatan adalah :

1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid Al Syari’ah, semangat ajaran,


dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang diluar batas dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
4. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan
kepada sebagian kecil masyarakat.

Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang
sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan nya. Masihlah untuk mengetahui Allah,
dzat adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui
hukum-hukumnya. Masihlah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama
daripada mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa usaha salat berjamaah
yang diwajibkan lebih utama dari wasilah yang berupa usaha salat berjamaah yang
disunahkan. Jadi ada wasilah yang menuju kepada maksud dan ada yang menuju
kepada wasilah lain seperti menuntut ilmu adalah wasilah untuk mengetahui
hukum hukum Allah dan mengetahui hukum-hukum Allah adalah wasilah untuk
taat kepada Allah, taat kepada Allah dan Rasulnya untuk mencapai pahala dan
keridhaan Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang
ada tidak lepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan kemafsadatan.

Jalbu al mashalih wadafvu al mafasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak


kemafsadatan. Karena pada dasarnya manusia dalam sehari hari tidak jauh dengan
hal yang maslahah dan mafsadat.

Ulama ushul membagi maslahah pada tiga bagian yaitu: Jalbul Masholih, dar’ul
mafasid, dar’ul mafasid muqaddamun.

Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang
sesuai dengan tujuan dan kemaslahatannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta:
Maktabah as-Sa’’adiyah Putra, t. th), h. 46

A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:


Kencana, 2011), h. 27

Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi tabaqat al-Ushuliyyin, (Mesir: muhammad Amin


Ramji Wassyirkah, 1974), jilid II, hlm 204

Ash-Shiddiqiey, Habibi. Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki


Putra, 1986

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logis Wacana Ilmu. 1999

Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan


Manusia, terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), hlm. 7

Usman, Muchlis. Filsafat Hukum Islam Malang: LBB YAN’S PRESS. 2006

https://bocahhukum.blogspot.com/2018/06/kaidah-jalbu-al-mashalih-wa-dafu-
al.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai