Disusun Oleh :
Kelompok 12
Kholifatur Rohmah (2031710062)
M. Navis Maulana Habsji (2031710149)
Nanda Okta Purnamasari (2031710055)
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
juga mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya
untuk makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi banyak orang.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
A. Latar belakang......................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
C. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Para pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah
dalam menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan
Sunnah, dengan adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda
maka tak heran kaidah yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung
kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam
kitabnya ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa;
“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan,
niat, dan adat kebiasaan”.
Hal ini lah yang menjadi pertimbangan dalam pemikiran para pakar dalam
merumuskan kaidah fiqih yang bersifat dinamis. Kaidah fiqih sangatlah
dinamis dalam teorinya banyak kaidah fiqih yang dirumuskan secara terperinci
sehingga terbentuklah pemetaan dimana yang bersifat kaidah Ashal, dan mana
yang bersifat furu’iyyah. Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Qoidah Fiqih
dengan membagi periodesasinya menjadi tiga periode;
Namun, menurut penulis dalam kenyataannya kaidah fiqih yang terdapat sekarang
ini terkadang masih banyak yang bersifat “baku” dan perlu kajian yang lebih
lanjut dalam mencari rumusan sebb terkadang ia kurang relevan dalam implikasi
sekarang jni. Seperti kaidah;
“Meninggalkan kemafsadatan harus didahulukan daripada memgambil
kemaslahatan”
Kaidah Jalbul Mashlih wa Daf’u Mafasid ini, menurut kami harus diadakan kejian
lebih mendalam, karena kaidah ini akan membatasi suatu hukum, seakan-akan
ketika dalam suatu kasus terdapat kemafsadatan dan kemaslahatan, maka lebih
baik ditinggalkan daripada mengambil kemaslahatan tersebut. Dan yang membuat
penulis ingin mengkaji kaidah fiqih ini adalah sebatas mana implikasi dan dampak
dari penerapan kaidah ini dalam fiqih madzhab. Karena dalam era modern ini
dengan kecanggihan teknologi mungkin dalam kasus diatas akan bisa kita ambil
maslahatnya lalu kita minimalisir kemafsadatannya.
B Rumusan Masalah
C Tujuaan
PEMBAHASAN
Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang
ada tidak lepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur kemafsadatan.
Ada yang hanya memgandung unsur kemaslahatan saja, ada pula yang hanya
mengandung kemafsadatan saja, atau bahkan memgandung kedua-duanya.
Walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi presentase apakah lebih besar unsur
kemaslahatannya dari kemafsadatannya ataupun sebaliknya. Maslahat maksudnya
hal yang membawa kepada tujuan yang sesuai dengan tujuan dan konsep syariat
atau Maqasid As-Syari’ah yaitu Hifz ad-Din (memelihara keberagaman), Hifz an-
Nafs (memelihara jiwa), Hifz ‘Aql (memelihara akal), Hifz Maal (memelihara
harta), Hufz Nasl (memelihara keturunan). Sedangakan maksud dari kemafsadatan
adalah sebaliknya.
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
Semua hal yang wajibat maupun yang mandubat adalah sesuatu yang
membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka
kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan
kepada orang yang bertakwa, diantaranya:
”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
فَبَ ِّشرْ ِعبَا ِدالَّ ِذينَ يَ ْستَ ِمعُونَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُونَ َأحْ َسنَه....
Dari kedua ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada
dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik diantara
keduanya.
ال يُ ِحبُّ هَّللا ُ ْال َج ْه َر بِالسُّو ِء ِمنَ ْالقَوْ ِل ِإال َم ْن ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا ُ َس ِميعًا َعلِي ًما
Perkataan yang buruk adalah suatu hal yang tidak baik, sedangkan dzalim
ke pada orang lain juga termasuk perbuatan tercela. Alah Swt. tidak
menyukai perkataan, dengan demikian perkataan yang buruk adalah hal
yang mafsadat karena segala sesuatu yang makruh adalah mafsadat, tapi
jika ada orang yang dzalim kepada kita maka kita diperbolehkan
mengucapkan perkataan yang buruk itu karena untuk menangkal
kerusakan yang lebih besar bisa dilakukan dengan kerusakan yang lebih
kecil.
Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan
mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari
pada meraih maslahat.
Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu ketika
berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah, namun
ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan akan
membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur tersebut.
[5]
Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih adalah yang
maslahatnya. Sebagai contoh:
Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang
sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan nya. Masihlah untuk mengetahui Allah,
dzat adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui
hukum-hukumnya. Masihlah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama
daripada mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa usaha salat berjamaah
yang diwajibkan lebih utama dari wasilah yang berupa usaha salat berjamaah yang
disunahkan. Jadi ada wasilah yang menuju kepada maksud dan ada yang menuju
kepada wasilah lain seperti menuntut ilmu adalah wasilah untuk mengetahui
hukum hukum Allah dan mengetahui hukum-hukum Allah adalah wasilah untuk
taat kepada Allah, taat kepada Allah dan Rasulnya untuk mencapai pahala dan
keridhaan Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang
ada tidak lepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan kemafsadatan.
Ulama ushul membagi maslahah pada tiga bagian yaitu: Jalbul Masholih, dar’ul
mafasid, dar’ul mafasid muqaddamun.
Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang
sesuai dengan tujuan dan kemaslahatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta:
Maktabah as-Sa’’adiyah Putra, t. th), h. 46
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logis Wacana Ilmu. 1999
Usman, Muchlis. Filsafat Hukum Islam Malang: LBB YAN’S PRESS. 2006
https://bocahhukum.blogspot.com/2018/06/kaidah-jalbu-al-mashalih-wa-dafu-
al.html?m=1