Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme
ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan
jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya atau dengan kata lain, untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya, Ushul Fiqih-lah merupakan salah satu penjaganya.

Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada
sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para
Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli
Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-‘adah/Al- ‘urf


Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”.1 Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan
Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Kata al-‘adah
itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.2
Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh.
Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa
makna kaidah secara bahasa “Aladatu“ (‫ )اﻟﻌﺎدة‬terambil dari kata “ al audu” (‫)اﻟﻌﻮد‬
dan “ al muaawadatu “ (‫ ) اﻟﻤﻮادة‬yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu,
secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang
dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah
menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan
sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
Sedangkan “Mukhakkamatun” secara bahasa adalah isim maf’uI dari
“takhkiimun” yang berarti “menghukumi dan memutuskan perkara manusia.”
Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa
dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antara manusia.
Adat adalah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyususn dan
mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau untuk
mewujudkan kemashlahatan dunia. Tujuan dari Al-‘adah itu sendiri ialah
mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan terhadap kehidupan manusia

1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasryi’, (Jakarta: Amzah, Cet ke-1, 2009), hal. 167.
2
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 153

2
umumnya. Al-‘adat tersebut tidak akan pernah terlepas dari kebiasaan sekitardan
kepentingan hidupnya.3 Adat istiadat ini tentu saja berkenaan dengan soal
muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan
pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya: jual beli buah- buahan di
pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan
memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang
atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.4
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia yang telah
menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal yang
meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Karena menurut istilah ahli syara’ tidak
ada perbedaan di antara ‘urf dan adat.5
Dalam ilmu ushul fiqih, yang dimaksud dengan ‘urf itu adalah sesuatu
yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam
hal muamalat dan telah melihat / tetap dalam diri-diri mereka dalam beberapa
hal secara terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat.6
Adapun pandangan ulama secara umum ‘urf atau adat itu diamalkan oleh
semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mazhab hanafiyah dan malikiyah.
Ulama hanafiyah menggunakan istihsan dan berijtihad dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan Al-‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Oleh
ulama hanafiyah ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi dan juga didahulukan atas
nash yang umum dalam arti ‘urf itu mentakhsis umum nash.Ulama malikiyah
menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Sedangkan
ulama syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal- hal tidak menemukan

3
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1967), hal.
22.
4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 123.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 133-134.
6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2010), hal. 164-165.

3
ketentuan batasnya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.7
‘Urf jika dipandang pada perspektif paradigma sosiologis, tentunya akan
membuahkan suatu hal yang banyak sekali mengenai tentang kebiasaan-
kebiasaan atau adat yang berlaku pada suatu Negara-negara, bahkan
kebiasaannya tersebut sudah umum berlaku dan mendunia.‘Urf dalam negara
Indonesia juga sering disebut dengan adat (tradisi) atau juga kebiasaan yang
telah dilaksanakan secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Baik itu
merupakan kebiasaan yang terjadi dan dilakukan oleh sebagian daerah tertentu,
misalkan : kebiasaan di daerah jawa, Madura, Batak, dan lain
sebagainya, atau suatu adat yang sudah menjadi keumuman masyarakat
Indonesia.
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat
kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-‘Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat
manusia.Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat
dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung
akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.Dari keterangan di
atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama
adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh
shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.8
Adapun perbedaan ‘urf dengan ‘adah antara lain sebagai berikut:
‘Urf ‘Adah
Adat memiliki makna yang lebih Adat memiliki cakupan makna yang
Sempit lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau
Buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang Adat mencakup kebiasaan pribadi

7
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hal. 80
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 363

4
Banyak

Adat juga muncul dari sebab alami


Adat juga bisa muncul dari hawa
nafsu dan kerusakan akhlak

B. Kehujjahan dan Dalil Hukum Terhadap Al-‘Adah / Al-‘urf


Kehujjahan ‘urf ini menyebutkan bahwa para ulama sepakat menolak ‘urf
yang fasid, dan mereka sepakat menerima ‘urf yang shahih sebagai hujah
syar’iiyah. Hanya saja dari segi intensitas, mazhab Hanafiyah dan Malikiyah
lebih banyak menggunakan ‘urf dibandingkan dengan mazhab lainnya. karena
perbedaan intensitas itu, ‘urf digolongkan kepada sumber dalil yang
diperselisihkan.9 Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, sebagai berikut :

1. Firman Allah dalam surah Al- A’raf (7) : 199 :


Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A’raf (7) :199)10

2. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 180 :


Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa. (Q.S Al-Baqarah (2) : 180)11

Yang dimaksud mengerjakan yang ma’ruf pada ayat-ayat di atas, yaitu


mengerjakan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan norma agama
Islam serta dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan
manusia yang berlaku.Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai

9
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 237.
10
Dapertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), hal. 255.
11
Ibid hal. 44

5
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

3. Hadits Rasulullah SAW:

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, sesungguhnya Allah


melihat ke dalam hati para hamba, maka dijumpai hati Muhammad SAW.
Sebaik-baik hati para hamba, karena Allah telah mensucikan jiwanya, mengutus
beliau membawa risalahnya, kemudian Allah melihat ke dalam hati para hamba
setelah hati Muhammad SAW., maka dijumpai hati sahabat-sahabatnya, sebaik-
baik hati para hamba, lalu Allah menjadikan mereka sebagai pembantu Nabinya
yang mereka berperang membela agamanya, maka sesuatu yang dipandang baik
oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah, dan sesuatu yang
mereka pandang buruk, maka ia buruk di sisi Allah” (HR Ahmad Ibn Hambal).12

Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf diatas sebagai dalil hukum, maka


ulama, terutama ulama Hanafiyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hokum
yang berkaitan dengan al- ‘Urf yaitu:13 “adat kebiasaan dapat dijadikan dasar
(pertimbangan) hokum “.
Segala sesuatu yang biasa dikerjakan oleh masyarakat bisa menjadi
patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu yang telah
terbiasakan itu selalu menyesuaikan dengan patokan tersebut atau tegasnya tidak
menyalahinya. “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti
menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.

Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang telah memenuhi syarat-


syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang
didasarkan nash. Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusus, seperti urf yang
berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dan lain-lain.

12
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2008), Jilid 3, No. 3418.
13
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : AMZAH, 2010), hal. 213

6
C. Syarat-syarat Al-‘adah / Al-‘urf
Syarat-syarat ‘adah / ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam yaitu: 14
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al- Qur’an
dan Sunnah.
2. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang saja.

Abdul –Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang


bisa dijadikan landasan hukum yaitu :15
1. ‘urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya: ‘Urfdi
masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk
istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah
SWT berfirman dalam QS. Ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi :

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu


bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
14
A. Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 89
15
Satria Effendi,……hal. 156-157.

7
2. ‘urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan
kebiasaanorang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah
sandaran hukum.
3. ‘urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan di
landaskan kepada ‘urf itu.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka
yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. misalnya, adat yang
berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya
pindah dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun
ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah
boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu
melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.
Disamping itu ada beberapa syarat dalam pemakaian ‘Urf antara lain yaitu:16
1. ‘Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang menyalahi nash yang ada
2. Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum.
3. Urf bisa dipakai apabila tidak membawa keburukan atau kerusakan.

D. Macam-macam Al-‘adah/ Al-‘urf


a. ‘Macam-macam ‘Urf
Para ulama‟ ushul membagi ‘urf menjadi tiga macam yaitu:
a. Dari segi objeknya ‘urf dibagi kepada : kebiasaan yang menyangkut
ugkapan dan kebiasaan yang berbentuk perbuatan.
1. Kebiasaan yang menyangkut ungkapan(al-‘Urf al-lafdzi)
Kebisaan yang menyangkut ungkapan ialah kebiasaan masyarakat
yang mengunakan kebiasaan lafdzi atau ungkapan tertentu dalam

16
A. Basiq Djalil, Op., Cit, h.166

8
mengungkapkan sesuatu.16 Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat
mengungkapkan lauk pauk. Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan
laut. Tetapi ini sudah umum pada suatu daerah tertentu.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain,
maka tidak dinamakan ‘urf, misalnya ada seseorang datang dalam
keadaan marah dan ditanganya ada tongkat kecil, saya berucap “ jika saya
bertemu dia maka saya akan bunuh dia dengan tongkat ini.” Dari
ucapanya ini dipahami bahwa yang dia maksdu membunuh tersebut
adalah memukul dengan tongkat. Ungkapan seperti ini merupakan majaz
bukan ‘urf.17
2. Kebiasaan yang berbentuk perbuatan (al-‘urf al-amali)
Kebiasaan yang berbentuk perbuatan ini adalah kebiasaan biasa
atau kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan muamalah
keperdataaan. Seperti kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli
yaitu seorang pembeli mengambil barang kemudian membayar dikasir
tanpa adanya suatu akad ucapan yang dilakukan keduanya.18
b. Dari segi cakupanya ‘urf dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan yang
bersifat umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.
1. Kebiasaan yang bersifat umum (al-‘urf al-‘am)
Kebiasaan yang umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku
secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah dan seluruh
negara. Seperti mandi di kolam, dimana sebagai orang terkadang melihat
aurat temanya, dan akad istishna’ (perburuhan).19 Misalnya lagi dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil
seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual,
tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan
yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah dua puluh kilogram.20

17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 139.
18
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam..., hal. 77-78.
19
Abu Zahro, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet ke-14, 2011), hal. 418.
20
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, cet ke-1, 2005), hal. 154.

9
Ulama‟ Madzab Hanafi menetapkan bahwa ‘urf ini (‘urf ‘am)
dapat mengalahkan qiyas, yang kemudian dinamakan istihsan ‘urf . ‘urf
ini dapat men-takhsis nash yang ‘am yang bersifat zhanni, bukan qath’i.
Di antara meninggalkan keumuman dari nash zhanni karena adanya ‘urf
ialah larangan nabi SAW mengenai jual beli yang disertai dengan adanya
syarat. Dalam hal ini, jumhur ulama madzab Hanafy dan Maliky
menetapkan kebolehan diberlakukanya semua syarat, jika memang
berlakunya syarat itu dipandang telah menjadi ‘urf (tradisi).21
Akan tetapi apa sesunggunya ‘urf ‘am yang dapat mentakhsis
nash ‘am yang zhanni dan dapat mengalahkan qiyas?. Dalam hubungan
ini, kami menemukan alasan yang dikemukakan oleh fuqaha’ tentang
dibolehkanyan meninggalkan qiyas dalam akad isthisna’ sebagai berikut
“menurut qiyas, akad isthisna’ tidak diperbolehkan. Akan tetapi kami
meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah berjalan
dimasyarakat tanpa seorangpun yang menolak, baik dari kalangan
sahabat, tabi‟in, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa”. Ini
merupakan hujjah yang kuat, yang dapat dijadikan alasan untuk
meninggalkan qiyas. ‘Urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma’ yang
paling kuat karena didukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun diluar
ulama-ulama mujtahid; oleh golongan sahabat maupun orang- orang
yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ‘urf
‘am yang berlaku diseluruh negeri kepada kenyataan pada abad-abad
yang telah silam.
2. Kebiasaan yang bersifat khusus (al-urf al-khash)
Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku di
daerah dan di masyarakat tertentu.22 Sedangkan menurut Abu Zahra lebih
terperinci lagi yaitu‘urf yang berlaku di suatu negara, wilayah atau golongan

21
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,418.

22
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam...,hal. 135

10
masyarakat tertentu,23 Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat
cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang
tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang-barang tertentu.24 ‘Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan
nash. Hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang ilat-nya ditemukan tidak
melalui jalan qat}hiy, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari
segi jelas dan terangnya.25
c. Dari segi keabsahanya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu
kebisaaan yang dianggap sah dan kebiasaan yang dianggap rusak.
1. Kebiasaan yang dianggap sah (al-‘Urf al-s ah ih )

Kebiasaan yang dianggap sah adalah kebiasaan yang berlaku


ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau
hadits) tidak meghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
mad}arat kepada mereka.26 Atau dengan kata lain tidak menghalalkan yang
haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Misalnya, dalam masalah
pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempun dan
hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.27

2. Kebiasaan yang dianggap rusak (al-„Urf fasi d)

Kebiasaan yang dianggap rusak adalah kebiasaan yang bertentangan


dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan
riba, seperti peminjaman uang antar sesama pedangang. Uang itu sebesar
sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas
juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunga 10%. Dilihat dari
keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah

23
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,hal. 419.
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...hal. 365.
25
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,hal. 419.
26
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh...,hal. 154.
27
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam...,hal. 134.

11
memberatkan, karena yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin
melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.
Dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman
Jahiliah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang muncuk
dari pinjam meminjam). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
ulama‟ ushul fikih termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.

E. Pertentangan ‘urf dengan dalil syar’i

‘Urf yang berlaku ditengah-tengah masyarakat adalakalanya bertentang


dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan
dalil syara‟ lainya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ulama‟
ushul memerincinya sebagai berikut:28
1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan
tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat
diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi
anak, dimana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak
kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkat wafat.
‘urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Dalam kaitanya pertentangan antara ‘urf dengan nash yang
bersifat umum apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat
umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafz}i dengan ‘urf al-‘amali.
Pertama, apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafz}i, maka ‘urf
tersebut bisa diterima, sehingga nash yang umum dikhususkan sebatas
‘urf al-lafz}i yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada
indikator yang menunjukkan bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan

28
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1…,hal. 144.

12
oleh ‘urf. Dan berkaitan dengan materi hukum. Seperti, kata shalat,
puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf. Kecuali ada
indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksud sesuai dengan
arti etimologinya. Contohnya jika seseorang bersumpah tidak memakan
daging, tetapi ternyata ia memakan ikan, maka ia ditetapkanlah dia tidak
melanggar sumpah, menurut ‘urf, ikan bukan termasuk daging,
sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging. Dalam hal ini,
pengertian ‘urf yang dipakai dan ditinggalkan pengertian menurut syara’
sehingga apabila hanya sebuah ucapan dan bukan termasuk kedalam nash
yang berkaitan dengan hukum maka yang lebih didahulukan adalah ‘urf.
Kedua, Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash umum itu
adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang
kehujahanya. Menurut ulama‟ Hanafiyah, apabila‘urf al-‘amali itu
bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash
yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash
tidak dapat diamalkan. Kemudian menurut ulama mahzab syafi’iyah yang
dikuatkan untuk mentakhsis nash yang umum itu hanyalah urf qauli
bukan urf amali. dalam pendapat ulama hanafiyah penghususan itu hanya
sebatas urf al-‘amali yang berlaku di luar nash yang bersifat umum
tersebut tetap berlaku.

“ Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan


memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (H.R. al-Bukhari dan Abu
Daud) “.

Hadits Rasullah ini, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh


bentuk jual beli yang barangnya belum ada termasuk kedalamnya adalah
jual beli salam (pesanan atau indent). Umumnya nash melarang jual beli
salam yang sewaktu berlangsung tidak ada barangnya. Tetapi karena jual
beli salam ini ‘urf yang berlaku dimana saja, maka dalam hal ini ‘urf
telah dikuatkan. Akan tetapi imam al-Qarafi berpendapat bahwa ‘urf
seperti itu tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung

13
nash tersebut.

3. ‘Urf terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan


dengan ‘urf tersebut.

Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat


umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama
fiqih sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini baik yang bersifat lafz}hi
maupun yang bersifat ‘amali, sekalipun ‘urf itu bersifat umum, tidak
dapat diajadikan dalil penetapan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf
ini mucul ketika nash syara’ telah menetukan hukum secara umum.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-
Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Kata al-‘adah itu
sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga
menjadi kebiasaan masyarakat

Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh.


Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa
makna kaidah secara bahasa “Aladatu“ (‫ )اﻟﻌﺎدة‬terambil dari kata “ al audu” (‫)اﻟﻌﻮد‬
dan “ al muaawadatu “ (‫ ) اﻟﻤﻮادة‬yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu,
secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan
berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.

Adapun perbedaan ‘urf dengan ‘adah antara lain sebagai berikut:


‘Urf ‘Adah
Adat memiliki makna yang lebih Adat memiliki cakupan makna yang
Sempit lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau
Buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang Adat mencakup kebiasaan pribadi
Banyak
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa
nafsu dan kerusakan akhlak

15
Syarat-syarat ‘adah / ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam yaitu:
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al- Qur’an
dan Sunnah.
b. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang saja.

Macam-macam urf yaitu:

a. Dari segi objeknya ‘urf dibagi kepada : kebiasaan yang menyangkut


ugkapan dan kebiasaan yang berbentuk perbuatan.
b. Dari segi cakupanya ‘urf dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan yang bersifat
umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.
c. Dari segi keabsahanya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu
kebisaaan yang dianggap sah dan kebiasaan yang dianggap rusak.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abd. Rahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, Jakarta : AMZAH

Abu Zahro, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet ke-14

A. Basiq Djalil, 2010, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
A. Djazuli, 2005, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Amir Syarifuddin, 2009, Ushul Fiqh II, Jakarta : Kencana

Dapertemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: CV. Toha
Putra Semarang

Hasbi Ash Shiddieqy, 1967, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta : PT. Bulan Bintang

Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2008), Jilid 3, No. 3418.

Mardani, 2013, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Muhammad Daud Ali, 2012, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nasrun Haroen, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Rasyad Hasan Khalil, 2009, Tarikh Tasryi’, Jakarta: Amzah, Cet ke-1

Satria Efendi, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Sulaiman Abdullah, 1995, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan


Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika

17

Anda mungkin juga menyukai