PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme
ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan
jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya atau dengan kata lain, untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya, Ushul Fiqih-lah merupakan salah satu penjaganya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada
sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para
Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli
Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasryi’, (Jakarta: Amzah, Cet ke-1, 2009), hal. 167.
2
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 153
2
umumnya. Al-‘adat tersebut tidak akan pernah terlepas dari kebiasaan sekitardan
kepentingan hidupnya.3 Adat istiadat ini tentu saja berkenaan dengan soal
muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan
pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya: jual beli buah- buahan di
pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan
memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang
atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.4
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia yang telah
menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal yang
meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Karena menurut istilah ahli syara’ tidak
ada perbedaan di antara ‘urf dan adat.5
Dalam ilmu ushul fiqih, yang dimaksud dengan ‘urf itu adalah sesuatu
yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam
hal muamalat dan telah melihat / tetap dalam diri-diri mereka dalam beberapa
hal secara terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat.6
Adapun pandangan ulama secara umum ‘urf atau adat itu diamalkan oleh
semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mazhab hanafiyah dan malikiyah.
Ulama hanafiyah menggunakan istihsan dan berijtihad dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan Al-‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Oleh
ulama hanafiyah ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi dan juga didahulukan atas
nash yang umum dalam arti ‘urf itu mentakhsis umum nash.Ulama malikiyah
menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Sedangkan
ulama syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal- hal tidak menemukan
3
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1967), hal.
22.
4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 123.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 133-134.
6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2010), hal. 164-165.
3
ketentuan batasnya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.7
‘Urf jika dipandang pada perspektif paradigma sosiologis, tentunya akan
membuahkan suatu hal yang banyak sekali mengenai tentang kebiasaan-
kebiasaan atau adat yang berlaku pada suatu Negara-negara, bahkan
kebiasaannya tersebut sudah umum berlaku dan mendunia.‘Urf dalam negara
Indonesia juga sering disebut dengan adat (tradisi) atau juga kebiasaan yang
telah dilaksanakan secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Baik itu
merupakan kebiasaan yang terjadi dan dilakukan oleh sebagian daerah tertentu,
misalkan : kebiasaan di daerah jawa, Madura, Batak, dan lain
sebagainya, atau suatu adat yang sudah menjadi keumuman masyarakat
Indonesia.
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat
kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-‘Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat
manusia.Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat
dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung
akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.Dari keterangan di
atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama
adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh
shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.8
Adapun perbedaan ‘urf dengan ‘adah antara lain sebagai berikut:
‘Urf ‘Adah
Adat memiliki makna yang lebih Adat memiliki cakupan makna yang
Sempit lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau
Buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang Adat mencakup kebiasaan pribadi
7
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hal. 80
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 363
4
Banyak
9
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 237.
10
Dapertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), hal. 255.
11
Ibid hal. 44
5
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
12
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2008), Jilid 3, No. 3418.
13
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : AMZAH, 2010), hal. 213
6
C. Syarat-syarat Al-‘adah / Al-‘urf
Syarat-syarat ‘adah / ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam yaitu: 14
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al- Qur’an
dan Sunnah.
2. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang saja.
7
2. ‘urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan
kebiasaanorang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah
sandaran hukum.
3. ‘urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan di
landaskan kepada ‘urf itu.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka
yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. misalnya, adat yang
berlaku di satu masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh suaminya
pindah dari rumah orang tuanya sebelum melunasi maharnya, namun
ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah
boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu
melunasi maharnya. Dalam masalah ini, yang dianggap berlaku adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku.
Disamping itu ada beberapa syarat dalam pemakaian ‘Urf antara lain yaitu:16
1. ‘Urf tidak boleh dipakai untuk hal-hal yang menyalahi nash yang ada
2. Urf tidak boleh dipakai bila mengesampingkan kepentingan umum.
3. Urf bisa dipakai apabila tidak membawa keburukan atau kerusakan.
16
A. Basiq Djalil, Op., Cit, h.166
8
mengungkapkan sesuatu.16 Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat
mengungkapkan lauk pauk. Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan
laut. Tetapi ini sudah umum pada suatu daerah tertentu.
Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain,
maka tidak dinamakan ‘urf, misalnya ada seseorang datang dalam
keadaan marah dan ditanganya ada tongkat kecil, saya berucap “ jika saya
bertemu dia maka saya akan bunuh dia dengan tongkat ini.” Dari
ucapanya ini dipahami bahwa yang dia maksdu membunuh tersebut
adalah memukul dengan tongkat. Ungkapan seperti ini merupakan majaz
bukan ‘urf.17
2. Kebiasaan yang berbentuk perbuatan (al-‘urf al-amali)
Kebiasaan yang berbentuk perbuatan ini adalah kebiasaan biasa
atau kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan muamalah
keperdataaan. Seperti kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli
yaitu seorang pembeli mengambil barang kemudian membayar dikasir
tanpa adanya suatu akad ucapan yang dilakukan keduanya.18
b. Dari segi cakupanya ‘urf dibagi menjadi dua yaitu kebiasaan yang
bersifat umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.
1. Kebiasaan yang bersifat umum (al-‘urf al-‘am)
Kebiasaan yang umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku
secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah dan seluruh
negara. Seperti mandi di kolam, dimana sebagai orang terkadang melihat
aurat temanya, dan akad istishna’ (perburuhan).19 Misalnya lagi dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil
seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual,
tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan
yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah dua puluh kilogram.20
17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 139.
18
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam..., hal. 77-78.
19
Abu Zahro, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet ke-14, 2011), hal. 418.
20
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, cet ke-1, 2005), hal. 154.
9
Ulama‟ Madzab Hanafi menetapkan bahwa ‘urf ini (‘urf ‘am)
dapat mengalahkan qiyas, yang kemudian dinamakan istihsan ‘urf . ‘urf
ini dapat men-takhsis nash yang ‘am yang bersifat zhanni, bukan qath’i.
Di antara meninggalkan keumuman dari nash zhanni karena adanya ‘urf
ialah larangan nabi SAW mengenai jual beli yang disertai dengan adanya
syarat. Dalam hal ini, jumhur ulama madzab Hanafy dan Maliky
menetapkan kebolehan diberlakukanya semua syarat, jika memang
berlakunya syarat itu dipandang telah menjadi ‘urf (tradisi).21
Akan tetapi apa sesunggunya ‘urf ‘am yang dapat mentakhsis
nash ‘am yang zhanni dan dapat mengalahkan qiyas?. Dalam hubungan
ini, kami menemukan alasan yang dikemukakan oleh fuqaha’ tentang
dibolehkanyan meninggalkan qiyas dalam akad isthisna’ sebagai berikut
“menurut qiyas, akad isthisna’ tidak diperbolehkan. Akan tetapi kami
meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah berjalan
dimasyarakat tanpa seorangpun yang menolak, baik dari kalangan
sahabat, tabi‟in, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa”. Ini
merupakan hujjah yang kuat, yang dapat dijadikan alasan untuk
meninggalkan qiyas. ‘Urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma’ yang
paling kuat karena didukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun diluar
ulama-ulama mujtahid; oleh golongan sahabat maupun orang- orang
yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ‘urf
‘am yang berlaku diseluruh negeri kepada kenyataan pada abad-abad
yang telah silam.
2. Kebiasaan yang bersifat khusus (al-urf al-khash)
Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku di
daerah dan di masyarakat tertentu.22 Sedangkan menurut Abu Zahra lebih
terperinci lagi yaitu‘urf yang berlaku di suatu negara, wilayah atau golongan
21
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,418.
22
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam...,hal. 135
10
masyarakat tertentu,23 Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat
cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang
tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang-barang tertentu.24 ‘Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan
nash. Hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang ilat-nya ditemukan tidak
melalui jalan qat}hiy, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari
segi jelas dan terangnya.25
c. Dari segi keabsahanya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu
kebisaaan yang dianggap sah dan kebiasaan yang dianggap rusak.
1. Kebiasaan yang dianggap sah (al-‘Urf al-s ah ih )
23
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,hal. 419.
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...hal. 365.
25
Abu Zahro, Ushul Fiqh...,hal. 419.
26
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh...,hal. 154.
27
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam...,hal. 134.
11
memberatkan, karena yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin
melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.
Dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman
Jahiliah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang muncuk
dari pinjam meminjam). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
ulama‟ ushul fikih termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
28
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1…,hal. 144.
12
oleh ‘urf. Dan berkaitan dengan materi hukum. Seperti, kata shalat,
puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf. Kecuali ada
indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksud sesuai dengan
arti etimologinya. Contohnya jika seseorang bersumpah tidak memakan
daging, tetapi ternyata ia memakan ikan, maka ia ditetapkanlah dia tidak
melanggar sumpah, menurut ‘urf, ikan bukan termasuk daging,
sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging. Dalam hal ini,
pengertian ‘urf yang dipakai dan ditinggalkan pengertian menurut syara’
sehingga apabila hanya sebuah ucapan dan bukan termasuk kedalam nash
yang berkaitan dengan hukum maka yang lebih didahulukan adalah ‘urf.
Kedua, Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash umum itu
adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang
kehujahanya. Menurut ulama‟ Hanafiyah, apabila‘urf al-‘amali itu
bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash
yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash
tidak dapat diamalkan. Kemudian menurut ulama mahzab syafi’iyah yang
dikuatkan untuk mentakhsis nash yang umum itu hanyalah urf qauli
bukan urf amali. dalam pendapat ulama hanafiyah penghususan itu hanya
sebatas urf al-‘amali yang berlaku di luar nash yang bersifat umum
tersebut tetap berlaku.
13
nash tersebut.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-
Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Istilah ‘urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Kata al-‘adah itu
sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga
menjadi kebiasaan masyarakat
15
Syarat-syarat ‘adah / ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam yaitu:
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al- Qur’an
dan Sunnah.
b. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang saja.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abd. Rahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, Jakarta : AMZAH
Abu Zahro, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet ke-14
A. Basiq Djalil, 2010, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
A. Djazuli, 2005, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Dapertemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: CV. Toha
Putra Semarang
Hasbi Ash Shiddieqy, 1967, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta : PT. Bulan Bintang
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2008), Jilid 3, No. 3418.
Muhammad Daud Ali, 2012, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Rasyad Hasan Khalil, 2009, Tarikh Tasryi’, Jakarta: Amzah, Cet ke-1
Satria Efendi, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
17