Disusun Oleh:
Kelas/Semester : A/III
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, karena dengan rahmat, karunia, taufik,
dan hidayah serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid”. Kami juga berterima kasih kepada
Pak Prof. Dr. Ade Dedi Rohayana, M. Ag. selaku Dosen mata kuliah Qowaid
Fiqhiyah yang telah membimbing dan mengajarkan serta memberikan tugas ini
pada kami.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para Pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah
dalam menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan Sunnah,
dengan adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda maka tak
heran kaidah yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung kondisi tempat dan
waktu, Ibn Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya ‘Ilamul
Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa;
“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan,
niat, dan adat kebisaaan”.1
Hal ini lah yang menjadi pertimbang dalam pemikiran para Pakar dalam
merumusakan kaidah fiqih yang bersifat dinamis. Kaidah fiqih sangatlah dinamis
dalam teorinya banyak kaidah fiqih yang dirumuskan secara terperinci sehingga
terbentuklah pemetaan dimana yang bersifat kaidah Ashal, dan mana yang berisfat
furu’iyyah. Beberapa Peneliti menjelaskan sejarah Qoidah fiqih dengan membagi
periodesasinya menjadi tiga periode;2
1 Ibn Qayyim Al Jauzyah, ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘An Rabb ‘Alamin (Beirut: Dar Al Kutub
‘Ilmiah. 1991), Juz II, hlm 38
2 Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm 43
Namun, menurut Penulis dalam kenyataannya kaidah fiqih yang terdapat
sekarang ini terkadang masih banyak yang bersifat “baku” dan perlu kajian yang
lebih lanjut dalam mencari rumusannya sebab terkadang ia kurang relevan dalam
Implikasi sekarang ini. Seperti kaidah;
Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid ini, menurut kami harus diadakan
kajian lebih mendalam, karena kaidah ini akan membatasi suatu hukum, seakan-
akan ketika dalam suatu kasus terdapat kemafsadatan dan kemaslahatan, maka
lebih baik ditinggalkan daripada mengambil kemaslahatan tersebut. Dan yang
membuat Penulis ingin mengkaji kaidah fiqih ini adalah sebatas mana implikasi
dan dampak dari penerapan kaidah ini dalam fiqih madzhab. Karena dalam era
modern ini dengan kecanggihan teknologi mungkin dalam kasus diatas mungkin
akan bisa kita ambil maslahatnya lalu kita minimalisir kemafsadatannya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid
2. Qoidah Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid
3. Penerapan Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid
C. Tujuan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui apa pengertian
Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid, Qoidah Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid,
dan penerapan Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid yang perlu dipelajari sebagai
seorang akademisi dari perguruan tinggi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
2) Landasan Teori
Ushul Fiqih menurut batasan yang diberikan oleh para ahlinya yaitu ilmu
tentang kaidah istinbath hukum syariat dari dalil yang tafsili. 3 Keberhasilan
penggalian hukum dari dalil tafsili (al-Quran dan as-Sunnah) akan sangat
ditentukan oleh pengetahuan tentang maksud syara itu sendiri.
a. Q.S: An-Najm (53): 3-4
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
keinginanya. tiadak lain (al Quran itu) adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya”.
Maksudnya adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak akan
memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah
kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikitpun atau
sebuah maslahat besar meskipun ada sedikit mafsadatnya.
Demikian pula, Allah dan Rasul-Nya tidak akan melarang sesuatu
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada dua
perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik di antara keduanya.
Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat, wiridan setelah
sholat juga maslahat, lalu ketika kita sehabis sholat dan ada seorang tamu yang
datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah wiridan karena menghormati
tamu adalah sesuatu yang membawa maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang
tamu sendiri. Sedangkan mashlahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita
sendiri.
7 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta:
Maktabah as-Sa‟adiyyah Putra, t. th ), h. 46.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu
berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan
bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan
kesulitan yang diluar batas dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
4. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat
bukan kepada sebagian kecil masyarakat.
Seluruh ketentuan agama adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Ketaatan hamba tidak akan menambah apa-apa kepada
kemahasempurnaan dan kemahakuasaan Allah dan sebaliknya kemaksiatan hamba
tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah SWT.
Bagaimanapun semua hal yang membuat sesuatu menjadi sempit dan sulit harus
dihilangkan, karena agama diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan
kesulitan bagi manusia, melainkan untuk memberikan kemudahan kepada mereka.
Kaidah pokok itu adalah :
“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.”
Dari kaidah ini diakui adanya dispensasi dalam hukum Islam. Keringanan dalam
lingkup ibadah dan sebagainya dikenakan adanya apabila memenuhi 6 sebab :
Asal muasal dari kaidah di atas adalah dari nash Alquran, yakni firman
Allah dalam surat al-baqarah ayat 185 :
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ۤ
هُدى َوا ْلفُرْ قَا ِن ۚ فَ َم ْن ٰ ت ِّمنَ ْال ِ ِه ْالقُرْ ٰا نُ هُدًى لِّلنَّاQز َل فِ ْيQ
ٍ س َو بَيِّ ٰن ِ Qضا نَ الَّ ِذيْ اُ ْن َ َش ْه ُر َر َم
ُ ُد هّٰللاQفَ ٍر فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَيَّا ٍم اُخَ َر ۗ ي ُِر ْيQا اَوْ ع َٰلى َسQْض
ً ص ْمهُ ۗ َو َم ْن َکانَ َم ِري ُ َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْليَـ
هَدٮ ُك ْم َولَ َعلَّ ُک ْمٰ َر ۖ َولِتُ ْک ِملُوا ْالعِ َّدةَ َولِتُ َکبِّرُوا هّٰللا َ ع َٰلى مَاQQ ُد بِ ُک ُم ْالع ُْسQQْ َر َواَل ي ُِريQQبِ ُک ُم ْالي ُْس
َتَ ْش ُكرُوْ ن
Syahru romadhoonallaziii ungzila fiihil-qur-aanu hudal lin-naasi wa bayyinaatim
minal-hudaa wal-furqoon, fa mang syahida mingkumusy-syahro falyashum-h, wa
mang kaana mariidhon au ‘alaa safaring fa ‘iddatum min ayyaamin ukhor,
yuriidullohu bikumul-yusro wa laa yuriidu bikumul-‘usro wa litukmilul-‘iddata
wa litukabbirulloha ‘alaa maa hadaakum wa la’allakum tasykuruun
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara
yang ada tidak terlepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur
kemafsadatan. Ada yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, ada pula
yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, atau bahkan mengandung
dua-duanya, walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi persentase apakah lebih
besar unsur kemaslahatannya dari pada kemafsadatannya ataupun sebaliknya.
Jalbu al-Mashalih wa Daf‟u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam sehari-
hari tidak jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang dikatakan
oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi
mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari‟ah itu adalah muslahat, baik
dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.
Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu: Jalbul Masholih,
Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama, dan harus dipilih salah
satunya, maka pilihlah yang paling maslahat. Mashlahah “dar‟ul mafasid”
(mashlahah dharuraat) Apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama,
maka cara memilih untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk
akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan
mafsadat berarti mengejar maslahat. Dar‟ul mafaasid muqaddamun „ala jalbil
masholih Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat
dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari pada
meraih maslahat.
Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang
sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan nya. Masihlah untuk mengetahui Allah,
dzat adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui
hukum-hukumnya. Demikian pula wasilah yang menuju kepada Mafsadah juga
berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadahannya Nahi munkar adalah wasilah
menghindarkan kemungkaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta:
Maktabah as-Sa‟adiyyah Putra, t. th ), h. 46
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 27.
Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi tabaqat al-Ushuliyyin, (Mesir: muhammad Amin
Ramji Wassyirkah, 1974), jild II, hlm 204