SYAKK
Tiara Nur Anggraini (934223219), Ahmad Saifudin irga panbudi (22402143),
Chamdhani Alief Maulana (22402145).
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri Kediri
Email: anggrainitiara086@gmail.com, ahmadsaifudinirgapanbudi@gmail.com,
aliiipjonn@gmail.com
Abstrak
Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan sebagai suatu metode dalam penerapan hukum islam, dengan
lebih memahami konteks dari kaidah fiqhiyah tersebut beserta penerapan fiqh dalam perspektif
yang berbeda serta pada waktui tertentu dan juga lokasi yang berbeda pula untuk berbagaii
permasalahan, budaya, serta kondisi yang berbeda-beda. Dengan eksistensi kaidah fiqhiyah,
manusia akani lebih bijak dalam menyikapi suatu permasalahan yang akan terus berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Dalam artikel iini, penulis akan menjabarkan mengenai kaidah al-
yaqin la yuzalubi as- syakk. al-yaqin la yuzalubi as- syakk membahas kemantapan hati tentang
hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi. Penulis menggunakan metode library
research, yaitu metode dengan memanfaatkan pendekatani deskriptif kualitatif.
Kata kunci: Kaidah, al-yaqin la yuzalubi as- syakk
Abstract
Fiqhiyah rules can be interpreted as a method of applying Islamic law, by better understanding
the context of the fiqhiyah rules and the application of fiqh in different perspectives and at
certain times and also different locations for various problems, cultures and different conditions.
With the existence of fiqhiyah rules, humans will be wiser in addressing a problem that will
continue to develop in people's lives. In this article, the author will describe the rule of al-yaqin
la yuzalubi as-syakk. al-yaqin la yuzalubi as-syakk discusses the stability of the heart about the
nature of something, in the sense that there is no doubt anymore. The author uses the library
research method, which is a method using a qualitative descriptive approach.
Keywords: Principles, al-yaqin la yuzalubi as-syakk
A. Latar belakang
Ajaran agama Islam tidak pernah mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir di
muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada. Karena
itu,segala sikap yang cenderung yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam ber agama
sangatlah tidak di benarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan sikap was-was. Inilah yang
menjadikan alasan para ulama menjelaskan bahwa was-was itu disebabkan karena dua hal;
pertama, adanya keraguan adanya kebenaran ajaran agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga merasa perlu untuk ditambah, atau yang kedua,karena lemahnya
akal (kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama).
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa was-was sebenarnya adalah usaha setan untuk
mengganggu ibadah seseorang muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam ibadahnya. Atau
agar dapat meragukan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama. Karena itu, cara yang di
anggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu adalah dengan melawan atau
menentang perasaan was-was itu sendiri dengan di dasari ilmu dan keyakinan.
B. Metode Penelitian
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan suatu cara dalam menetapkan hukum
dari perbuatan mukallaf menggunakan objek kajian yaitu mukalllaf dari sudut pandang
muamalah, qawaid fiqhiyah jauh berbeda dengani ushul fiqh, karena ushul fiqh cenderung
melakukan penggalian terhadap suatu hukum sehingga membuahkan hasil berupa hukum (halal,
haram, makruh, sunnah, mubah). Kaidah fiqh berguna sebagai sarana untuk alat yang
memudahkan dalam pencarian dasar atau patokan suatu aktivitas muamalah karena di dalam Al-
Quran dan Hadits tidak menjabarkan semua kegiatan tersebut secara menyeluruh, maka dari itu,
keberadaan kaidah fiqh sangat dibutuhkan, terutama apabila menghadapi permasalahan yang
terjadi tidak tercantum di dalam nash hukum dan ketetapannya, digunakanlah esesnsi dari kaidah
fiqh tersebut. Salah satu rujukan yang menggunakan Qawaid Fiqhiyah adalah terus menurunnya
tingkat para hafidz Al-Quran dan hadits beserta maknanyai sangat dibutuhkan adanya Qawaid
Fiqhiyah sebagai dasar dalam bermuamalah.
Qawaid Fiqhiyah memiliki lima dasar kaidahi umum diantaranya adalah kaidah “Al-
Umuru bimaqashidiha” (segala permasalahan bergantung pada niatnya). Niat menjadi intisari
pokok dalam setiap perbuatan, niat membuat suatu perbuatan menjadi lebih terarah selaras
dengan maksud dan tujuan suatu perbuatan. Oleh karenanya Qawaid Fiqhiyah sangat dibutuhkan
agar mempunyai dasar yang kuat dalam melakukan sesuatu. Banyak orang yang mengatakan
bahwa niat yang terletak di dalam hati maupun dengan lisan memiliki fungsi yang krusial guna
menjadi patokan perbedaan antara ibadah dengan kebiasaan. Ditinjau dari hal tersebut, maka
setiap orang yang memiliki niat haruslah membedakan setiap bentuk dari niat beserta
penerapannya.
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang di namakan al syakk.[4]
ْ اََأل
ص ُل بَ َرا َءةُ ال ِذ َّم ِة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dَirinya.[6]
Sebagai contoh, anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya
waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan
sampai terbukti adanya akad nikah. Contoh lain, makan dan minum asalnya dibolehkan sampai
datangnya dalil yang melarang makan-makanan dan minum-minuman yang diharamkan.
1. اأْل ضصْ ُل بَقا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti
sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut
tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.
2. ( َأْلصْ ُل بَ َر َءةُ ال ِذ َّم ِةHukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun
hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Misal : Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang
diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti
tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah
terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab
Hanafi juga terdapat ب َأوْ قَاتِ “ ِه ِ ض “فَةُ ْالح““أ ِد
َ ث ِإلَى أ ْق“ َر ْ ( اَأْلHukum asal adalah penyandaran suatu
َ ص “ ُل ِإ
peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan
bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.
5. ( اَأْلصْ ُل فِي اَأْل ْشيَا ِء اِإْل بَا َحةُ َحتَّى يَ“ ُد َّل ال“ َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّحْ“ ِري ِْمHukum asal segala sesuatu adalah kebolehan
sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya
boleh dimakan.
َ ( اَأْلصْ ُل فِي اَأْل ْشيَا ِء ْال َحHukum asal segala sesuatu adalah
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula ظ ُر
larangan(haram)
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan
ْ ( اَأْلصْ ُل فِي ْال ِعبَ َد ِة ْالمبHukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai
kaidah ُطاَل نُ َحتَّى يَقُ َم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى اَأْل ْم ِر
ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan ع ِ ْ( اَل ُح ْك ُم لَِأْل ْف َعا ِل قَبْل ُورُوْ ِد ال َّشرTidak
ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah ك فِي ُوجُوْ بِ ِه اَل ُ ْْال َم ْش ُكو
ُ( يَ ِجبُ فِ ْعلُهYang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).
1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut
tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus
dihukum.
7. ( َأ ْن َماثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُرْ تَفَ ُع ِإاَّل يَقِ ْي ٍنApa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian
dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima.
Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan
bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan
persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan
persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa
menghalalkannya, yakni pernikahan.
ْ َ( اَل ِع ْب َرةُ بِالظَّنِّ الَّ ِذي يTidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
10. ُظهَ ُر خَ طَا ُءه
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka
yang jelas salahnya.
D. Kesimpulan
Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak dalam fikih salat adalah dengan menetapkan bahwa
sebuah keraguan tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah tetap (yaqīn) dan hanya bisa
diangkat dengan sesuatu yang yakin pula seperti gālib al-ẓann atau memang yang sudah jelas
diyakini. Sementara keyakinan itu bisa didapatkan dari bilangan yang paling sedikit atau
mengambil hukum asal yaitu belum dikerjakan amalan yang diragukan tersebut atau datangnya
keyakinan yang menggantikan keyakinan sebelumnya.
Kaidah ini merupakan salah satu kaidah yang agung di dalam syari’at Islam, dan banyak
permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak permasalahan,
mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan dengan hukuman bagi para
pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan sebutan hudud. Sumber dari kaidah
ini dilandasi dari banyak ayat dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.
Kandungan kaedah secara umum, menjelaskan bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada
perasaan atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau
tidaknya suatu ibadah. Penerapan kaedah fiqih dalam urusan pemerintahan, salah satu contohnya
saat menentukan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal di Indonesia, yang mana setiap ulama
dan organisasi memiliki pandapatnya masing-masing. Maka dari itu, dengan adanya kaidah maka
pendapat yang berbeda tersebut bisa diatasi, dengan melihat dasar kaedah ini.
Daftar Pustaka