Anda di halaman 1dari 9

KAEDAH KULLIYYAH KUBRO KEDUA AL-YAQIN LA YUZALUBI AS-

SYAKK
Tiara Nur Anggraini (934223219), Ahmad Saifudin irga panbudi (22402143),
Chamdhani Alief Maulana (22402145).
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri Kediri
Email: anggrainitiara086@gmail.com, ahmadsaifudinirgapanbudi@gmail.com,
aliiipjonn@gmail.com

Abstrak
Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan sebagai suatu metode dalam penerapan hukum islam, dengan
lebih memahami konteks dari kaidah fiqhiyah tersebut beserta penerapan fiqh dalam perspektif
yang berbeda serta pada waktui tertentu dan juga lokasi yang berbeda pula untuk berbagaii
permasalahan, budaya, serta kondisi yang berbeda-beda. Dengan eksistensi kaidah fiqhiyah,
manusia akani lebih bijak dalam menyikapi suatu permasalahan yang akan terus berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Dalam artikel iini, penulis akan menjabarkan mengenai kaidah al-
yaqin la yuzalubi as- syakk. al-yaqin la yuzalubi as- syakk membahas kemantapan hati tentang
hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi. Penulis menggunakan metode library
research, yaitu metode dengan memanfaatkan pendekatani deskriptif kualitatif.
Kata kunci: Kaidah, al-yaqin la yuzalubi as- syakk

Abstract
Fiqhiyah rules can be interpreted as a method of applying Islamic law, by better understanding
the context of the fiqhiyah rules and the application of fiqh in different perspectives and at
certain times and also different locations for various problems, cultures and different conditions.
With the existence of fiqhiyah rules, humans will be wiser in addressing a problem that will
continue to develop in people's lives. In this article, the author will describe the rule of al-yaqin
la yuzalubi as-syakk. al-yaqin la yuzalubi as-syakk discusses the stability of the heart about the
nature of something, in the sense that there is no doubt anymore. The author uses the library
research method, which is a method using a qualitative descriptive approach.
Keywords: Principles, al-yaqin la yuzalubi as-syakk

A. Latar belakang

Ajaran agama Islam tidak pernah mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir di
muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada. Karena
itu,segala sikap yang cenderung yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam ber agama
sangatlah tidak di benarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan sikap was-was. Inilah yang
menjadikan alasan para ulama menjelaskan bahwa was-was itu disebabkan karena dua hal;
pertama, adanya keraguan adanya kebenaran ajaran agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga merasa perlu untuk ditambah, atau yang kedua,karena lemahnya
akal (kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama).
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa was-was sebenarnya adalah usaha setan untuk
mengganggu ibadah seseorang muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam ibadahnya. Atau
agar dapat meragukan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama. Karena itu, cara yang di
anggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu adalah dengan melawan atau
menentang perasaan was-was itu sendiri dengan di dasari ilmu dan keyakinan.

B. Metode Penelitian
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan suatu cara dalam menetapkan hukum
dari perbuatan mukallaf menggunakan objek kajian yaitu mukalllaf dari sudut pandang
muamalah, qawaid fiqhiyah jauh berbeda dengani ushul fiqh, karena ushul fiqh cenderung
melakukan penggalian terhadap suatu hukum sehingga membuahkan hasil berupa hukum (halal,
haram, makruh, sunnah, mubah). Kaidah fiqh berguna sebagai sarana untuk alat yang
memudahkan dalam pencarian dasar atau patokan suatu aktivitas muamalah karena di dalam Al-
Quran dan Hadits tidak menjabarkan semua kegiatan tersebut secara menyeluruh, maka dari itu,
keberadaan kaidah fiqh sangat dibutuhkan, terutama apabila menghadapi permasalahan yang
terjadi tidak tercantum di dalam nash hukum dan ketetapannya, digunakanlah esesnsi dari kaidah
fiqh tersebut. Salah satu rujukan yang menggunakan Qawaid Fiqhiyah adalah terus menurunnya
tingkat para hafidz Al-Quran dan hadits beserta maknanyai sangat dibutuhkan adanya Qawaid
Fiqhiyah sebagai dasar dalam bermuamalah.
Qawaid Fiqhiyah memiliki lima dasar kaidahi umum diantaranya adalah kaidah “Al-
Umuru bimaqashidiha” (segala permasalahan bergantung pada niatnya). Niat menjadi intisari
pokok dalam setiap perbuatan, niat membuat suatu perbuatan menjadi lebih terarah selaras
dengan maksud dan tujuan suatu perbuatan. Oleh karenanya Qawaid Fiqhiyah sangat dibutuhkan
agar mempunyai dasar yang kuat dalam melakukan sesuatu. Banyak orang yang mengatakan
bahwa niat yang terletak di dalam hati maupun dengan lisan memiliki fungsi yang krusial guna
menjadi patokan perbedaan antara ibadah dengan kebiasaan. Ditinjau dari hal tersebut, maka
setiap orang yang memiliki niat haruslah membedakan setiap bentuk dari niat beserta
penerapannya.

C. Hasil Dan Pembahasan


1.Makna kaidah al-yaqin la yuzalubi as- syakk
Secara etimologis, al yaqin adalah sesuatu yang menetap (al istiqrar), kepercayaan
yang pasti (al jazim), teguh (al tsabit), dan sesuai dengan kenyataan (al muthabiq al waqi’).
Bisa juga di maknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang
nyata, jadi yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yaqin. Adapula yang
mengartikan al yaqin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Keyakinan yang di maksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari
hatinya, bukan sekedar pura-pura yaqin apalagi dengan alasan malu kepada orang lain, karena
malu kepada allah harus lebih di dahulukan. Ulama malikiyah mengatakan,”seseorang tidak
bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan
meyakinkan. Sholat yang sah hanya jika di dahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan
wudhu yang diragukan apakah sah atau tidak.”
Sedang al syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang berlawanan
tanpa mengunggulkan salah satunya. Menurut Ali Ahmad al-Nadwi mendefinisikan al syakk
sebagai suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.
Secara terminologis, yang dimaksud dengan al yaqin adalah sesuatu yang menjadi
tetap, baik berdasarkan penganalisaan maupun dalil. Sedangkan yang dimaksud dengan al
syakk adalah sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan
itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau
keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau tidaknya suatu
ibadah. Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan
keyakinan dan keraguan. Misalnya, orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia
ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya
saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya (tajdid
al-wudhu).
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam
hukum barat. Selain itu, secara moral, seorang Muslim harus mempunyai husnudzan
(bersangka baik) kepada orang lain sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa orang lain
tersebut tidak baik.

2. Dasar hukum Al-Yaqin La Yuzalu BI as-Syakk


Mengenai rujukan kaidah ini, para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang dinilai
sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya
adalah ayat Al-Qur’an surat Yunus ayat 36:
ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل ظَنًّا ۚ ِإ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق َش ْيًئا ۚ ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُون‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesunggunya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Selain itu, ada juga berkata hadis Nabi SAW yang telah mengajarkan bagaimana cara
supaya keyakinan itu muncul, khususnya bagi orang yang sedang melaksanakan sholat,
sebagaimana pendapat dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
“Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada Rasulullah
SAW permasalahan seorang laki-laki yang muncul keraguannya dengan anggapan adanya
sesuatu yang membatalkan wudhunya padahal dia dalam keadaan sholat, lalu Nabi SAW
berkata: “ia tidak boleh pergi meninggalkan sholatnya, sampai ia mendengar adanya suara
yang keluar (dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak sedap.” (HR Bukhari).
Pada hadis lain dengan redaksi yang berbeda tapi maknanya senada disebutkan:
“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang merasakan
sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka orang
tersebut tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) hingga ia mendengar suara
(kentut) atau mencium baunya.” (HR.Muslim).
“Dari Abi Al Haura’I al-Sa’di berkata, aku bertanya kepada Hasan bin Ali, apa yang
engkau hafal dari Rasulullah SAW ? ia menjawab: aku menhafal hadis dari Rasul:
“tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.”
(HR.Nasa’i).
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang di namakan al syakk.

3. Contoh Pemakaian Kaidah al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syakk


hadis lain dengan redaksi yang berbeda tapi maknanya senada disebutkan:
“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang merasakan sesuatu
dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) hingga ia mendengar suara (kentut)
atau mencium baunya.” (HR.Muslim)
“Dari Abi Al Haura’I al-Sa’di berkata, aku bertanya kepada Hasan bin Ali, apa yang engkau
hafal dari Rasulullah SAW ? ia menjawab: aku menhafal hadis dari Rasul: “tinggalkanlah apa
yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.” (HR.Nasa’i)

Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang di namakan al syakk.[4]

‫ين ِم ْثلِ ِه‬


ِ ِ‫اَليَقِينُ يُ َزا ُل بِاليَق‬
”Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Sebagai contoh, kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula buang air kecil,
maka wudhu kita akan menjadi batal. Contoh lain, kita berpraduga tidak bersalah pada
seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan
kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.[5]

‫َأنَّ َما ثَبَتَ بِيَقِ ْي ٍن الَ يُ ْرتَفَ ُع ِأالَّ بِيَقِ ْي ٍن‬


“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
Sebagai contoh, Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh
putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran ke
enam atau ke lima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang ke lima, karena putaran yang
kelima itulah yang meyakinkan.
Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan
yang terkecil itulah yang meyakinkan.

ْ ‫اََأل‬
‫ص ُل بَ َرا َءةُ ال ِذ َّم ِة‬
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dَirinya.[6]
Sebagai contoh, anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya
waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan
sampai terbukti adanya akad nikah. Contoh lain, makan dan minum asalnya dibolehkan sampai
datangnya dalil yang melarang makan-makanan dan minum-minuman yang diharamkan.

4. Kaidah-Kaidah Turunan al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syak


 Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak dibagi menjadi sebagai
berikut :

1. ‫ اأْل ضصْ ُل بَقا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬ (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)

Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti
sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut
tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.

2. ‫( َأْلصْ ُل بَ َر َءةُ ال ِذ َّم ِة‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)

Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun
hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.

3. ‫ض ِة ْال َع َد ُم‬ ِ ‫ت ْال‬


َ ‫عأر‬ ِّ ‫( اَأْلصْ ُل فِي ال‬Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak
ِ ‫صفَا‬
ada)

Misal : Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang
diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti
tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah
terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.

4. ‫ث تَقَ ِّد ُرهُ بَِأ ْق َربِال َّز َمأن‬


ِ ‫( اَأْلصْ ُل فِي ُك ِّل َحا ِد‬Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)

Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab
Hanafi juga terdapat ‫ب َأوْ قَاتِ “ ِه‬ ِ ‫ض “فَةُ ْالح““أ ِد‬
َ ‫ث ِإلَى أ ْق“ َر‬ ْ ‫( اَأْل‬Hukum asal adalah penyandaran suatu
َ ‫ص “ ُل ِإ‬
peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.

Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan
bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.

5. ‫( اَأْلصْ ُل فِي اَأْل ْشيَا ِء اِإْل بَا َحةُ َحتَّى يَ“ ُد َّل ال“ َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّحْ“ ِري ِْم‬Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan
sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)

Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya
boleh dimakan.
َ ‫( اَأْلصْ ُل فِي اَأْل ْشيَا ِء ْال َح‬Hukum asal segala sesuatu adalah
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula ‫ظ ُر‬
larangan(haram)
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan
ْ ‫( اَأْلصْ ُل فِي ْال ِعبَ َد ِة ْالمب‬Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai
kaidah ‫ُطاَل نُ َحتَّى يَقُ َم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى اَأْل ْم ِر‬
ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan ‫ع‬ ِ ْ‫( اَل ُح ْك ُم لَِأْل ْف َعا ِل قَبْل ُورُوْ ِد ال َّشر‬Tidak
ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah ‫ك فِي ُوجُوْ بِ ِه اَل‬ ُ ْ‫ْال َم ْش ُكو‬
ُ‫( يَ ِجبُ فِ ْعلُه‬Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).

6. ‫باليَقِي ِْن ِم ْثلِ ِه‬


ْ ‫( ْاليَقِنُ يُزَ ا ُل‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
Misal :

1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut
tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus
dihukum.

2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar


utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan
bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari
hutangnya.

7. ‫ ( َأ ْن َماثَبَتَ يَقِ ْي ٍن اَل يُرْ تَفَ ُع ِإاَّل يَقِ ْي ٍن‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi)

Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian
dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima.
Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan
bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.

8.  ُ‫ص“““ ُل فِي ْالكَاَل ِم ال َحقِ ْيقَ“““ة‬


ْ ‫( اَأْل‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah
fiqh. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah
bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
9. ‫اع التَّحْ ِر ْي ُم‬
ِ ‫ض‬َ ‫( َأْلصْ ُل فِي اَأْل ْب‬Hukum asal bersenggama adalah haram)

Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan
persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan
persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa
menghalalkannya, yakni pernikahan.

ْ َ‫( اَل ِع ْب َرةُ بِالظَّنِّ الَّ ِذي ي‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
10. ُ‫ظهَ ُر خَ طَا ُءه‬

Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka
yang jelas salahnya.

11.  ‫ْ“““““““““““““““““رةُ لِلتَّ َوهُّ ِم‬


َ ‫( اَل ِعب‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya.
Sedangkan dalam wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan
meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak
diakui ahli waris yang dikira-kira.

5. Definisi Syakk Dan Tingkatannya


Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak merupakan salah satu dari enam kaidah induk fikih,
dari setiap kaidah induk tersebut terlahir kaidah-kaidah cabang. Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-
Syak terdiri dari beberapa kata dan setiap kata memiliki arti masing-masing, jika dilihat dari
susunan katanya maka terdiri dari dua kata inti yaitu al-Yaqīn dan al-Syak. Secara bahasa al-
Yaqīn adalah pengetahuan yang tidak dibarengi dengan keraguan Al-Yaqīn juga bermakna lawan
dari keraguan.
Al-Yaqīn secara istilah menurut para ulama adalah sebuah keyakinan yang sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Al-Yaqīn yang diinginkan dalam kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak
adalah makna istilah, bukan makna bahasa, karena terkadang yang dinginkan pada kata al-Yaqīn
adalah al-ẓann yang derajatnya lebih rendah.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak secara bahasa adalah keragu-raguan atau
keraguan antara dua hal yang berlawanan tanpa adanya pendapat yang paling kuat antara
keduanya. Pada kaidah ini yang dimaksud al-Syak adalah sesuatu yang derajatnya lebih rendah
yaitu al-Wahm. syekh Muslim ibn Muḥammad ibn Mājid al-Dausarī mendefinisikan al-Wahm
secara istilah dengan munculnya kemungkinan yang tidak dianggap dari dua kemungkinan yang
lain atau lebih sehingga menyebabkan pikiran ragu antara keduanya, baik kemungkinan itu
didasari oleh dalil atau tidak.
Adapun makna dari kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak adalah hukum sesuatu yang tetap
berdasarkan sebuah keyakinan tidak akan terhapus, kecuali dengan dalil yang pasti, dan tidak
boleh dihukumi hilang hanya karena keraguan yang muncul.

D. Kesimpulan

Kaidah al-Yaqīn lā Yazūl bi al-Syak dalam fikih salat adalah dengan menetapkan bahwa
sebuah keraguan tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah tetap (yaqīn) dan hanya bisa
diangkat dengan sesuatu yang yakin pula seperti gālib al-ẓann atau memang yang sudah jelas
diyakini. Sementara keyakinan itu bisa didapatkan dari bilangan yang paling sedikit atau
mengambil hukum asal yaitu belum dikerjakan amalan yang diragukan tersebut atau datangnya
keyakinan yang menggantikan keyakinan sebelumnya.
Kaidah ini merupakan salah satu kaidah yang agung di dalam syari’at Islam, dan banyak
permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak permasalahan,
mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan dengan hukuman bagi para
pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan sebutan hudud. Sumber dari kaidah
ini dilandasi dari banyak ayat dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW.

Kandungan kaedah secara umum, menjelaskan bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada
perasaan atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau
tidaknya suatu ibadah. Penerapan kaedah fiqih dalam urusan pemerintahan, salah satu contohnya
saat menentukan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal di Indonesia, yang mana setiap ulama
dan organisasi memiliki pandapatnya masing-masing. Maka dari itu, dengan adanya kaidah maka
pendapat yang berbeda tersebut bisa diatasi, dengan melihat dasar kaedah ini.
Daftar Pustaka

Prof. H. A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006)

Djazuli, A. “Kaidah-Kaidah Fikih:Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan


Masalah-Masalah Yang Praktis”. (Jakarta:Kencana,2006.)

Fadal, Kurdi. ”Kaidah-Kaidah Fikih”. (Jakarta:Arta Rivera,2008.)

Rohana, Ade. “Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah:Kaidah-kaidah Hukum Islam”. (Jakarta:Gaya Media


Pratama,2008.)

Andiko, Toha. “Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah”. (Yogyakata: Teras,2011)

Anda mungkin juga menyukai