Anda di halaman 1dari 17

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM ISLAM

Makalah dibuat untuk Memenuhi


Tugas Kegiatan Terstruktur Matakuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dosen Pengasuh:
Nadhilah Filzah, S.H, M.H.

Disusun oleh:
Zahra (200103023)
Muhammad Syarief (200103015)
Rendi Agustipal (170104106)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH-2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين سيدنا محمد و‬
‫ أشهد أن الاله إالهللا وأشهد أن محمد عبده و رسوله ال نبي‬.‫على اله وصحبه أجمعين‬
.‫بعده‬
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta‘ala Tuhan
semesta alam, yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis sebagai
mahasiswa yang telah diberi tugas dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Alternatif
Penyelesaian Sengketa Dalam Islam” dengan semaksimal mungkin yang bisa penulis
rangkum. Selawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas kegiatan terstruktur dari
matakuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa, di mana dalam makalah ini akan membahas
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Islam dalam matakuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ucapan terimakasih, penulis ucapkan kepada orangtua dan keluarga tercinta yang telah
membesarkan dan selalu mendoakan penulis sehingga dapat belajar sampai ke tingkat
universitas. Dan juga kepada dosen penulis yaitu Ibu Nadhilah Filzah, S.H, M.H, selaku
pengasuh matakuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena telah memberikan tugas
untuk membuat makalah dengan judul yang sangat bagus dan begitu menarik yang berjudul
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Islam.
Terakhir, semoga dengan hasil usaha sederhana ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Ámín Yá Rabbal ‘Alamín.

Banda Aceh, 14 Februari 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
A. Landasan Hukum Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Dalam Islam ...................... 3
B. Penyelesaian Sengketa Dalam Sejarah Islam ........................................................... 5
C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Menurut Islam ............................................ 6
D. Integrasi Penyelesaian Islam ke Dalam Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Pada
Umumnya ......................................................................................................................... 9
BAB III .............................................................................................................................. 13
PENUTUPAN ................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai manusia, kita terlahir sebagai makhluk sosial ( Jins Al-Basyar) yang
diciptakan dengan berbagai perbedaan, baik itu ras, warna kulit, kebiasaan, bahasa,
ekosistem, dan jenis. Selain itu, manusia juga diciptakan dengan berbagai potensi baik itu
akal, nafsu juga perasaan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu maka muncullah beberapa
perbedaan, baik itu perbedaan pemikiran, ide, cara pandang, serta perasaan yang dapat
mengakibatkan terjadinya konflik diantara sesamanya.

Munculnya konflik-konflik yang berkepanjangan mendorong umat manusia untuk


mencari jalan penyelesaian yang humanist, mudah dan adil dimana kedua belah pihak tidak
merasa dirugikan (win-win solution). Namun kenyataannya yang berkembang dalam
mekanisme hukum kontinental yang ada dan berkembang selama ini tidak mampu
mengakomodir keinginan manusia ini sehingga hampir setiap permasalah sengketa yang
diselesaikan dipengadilan disamping mahal juga cenderung menguntungkan satu pihak
(win and lose solution). Berbagai penelitian dan inovasi dilakukan oleh banyak pakar
hukum untuk mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (Alternative Dispute
Resolution/ ADR) sebagai cita-cita yang luhur untuk mencapai perdamaian.

Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad dengan misi rahmatan lil
aalamin (kasih sayang untuk seluruh alam. Termasuk manusia) yang menyeluruh dan
komprehensif (As-Syaamil Al-Mutakammil) dan mengedepankan keadilan sosial (Al-
Adaalah Al-Ijtima’iyah). Maka syariat Islam juga mengatur bagaimana cara menyelesaikan
konflik diantara mereka, dimana metode ini disebut As-sulhu atau Al-Islah yang berarti
perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan
Islam (fiqih), ash-sulhu dikategorikan sebagai konsep alternatif penyelesaian sengketa
berupa perjanjian (Aqad) diantara dua orang, kelompok atau bahkan negara yang berselisih
atau bersengketa untuk menyelesaikan atau mencapai kesepakatan diantara keduanya.

Dalam Islam hukum islah dipandang sebagai suatu yang disunnahkan dan tidak
mengapa seorang hakim menasehatkan kepada kedua pihak yang berseteru untuk berdamai,
namun tidak boleh memaksakannya. Dan tidak selayaknya melakukan desakan hingga

1
seperti mengharuskan. Karena yang disunahkan dalam islah adalah apabila belum
diketemukannya jalan terang/kebenaran dari salah satu pihak. Apabila telah diketemukan
kebenaran maka hukum memihak pada yang benar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa dalam Islam?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam sejarah Islam?
3. Apa saja bentuk-bentuk penyelesaian sengketa menurut Islam?
4. Bagaimana integrasi penyelesaian Islam ke dalam bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa pada umumnya?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui dasar atau landasan hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa
dalam Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa dalam sejarah Islam
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyelesaian sengketa menurut Islam
4. Untuk mengetahui integrasi penyelesaian Islam ke dalam bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa pada umumnya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Hukum Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Dalam Islam


Sumber hukum Islam yang pertama adalah Alquran, sebuah kitab suci umat Muslim
yang diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat
Jibril. Al-Qur’an memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran,
kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Qur’an menjelaskan secara rinci
bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang
berakhlak mulia. Maka dari itulah, ayat-ayat Alquran menjadi landasan utama untuk
menetapkan suatu syariat.

Sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yakni segala sesuatu yang
berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di
dalam Hadits terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global
dalam Al-Qur’an. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijma, yaitu kesepakatan seluruh ulama
mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama. Dan
ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi pada zaman sahabat, tabiin
(setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para
ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga
tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.

Sumber hukum Islam yang keempat adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan
sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al-Qur’an ataupun hadits dengan cara
membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya
tersebut. Artinya jika suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dalam
agama Islam dan telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui permasalahan
hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya

3
itu dalam suatu hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus
yang ada nashnya.1

Al-Qur’an dan Hadits telah menempatkan sejumlah prinsip penyelesaian sengketa


baik dalam lingkup peradilan (litigasi), maupun diluar peradilan (non litigasi). Spirit Islam
menunjukkan bahwa hendaknya penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara-cara di luar
pengadilan, seperti implisit dijelaskanan oleh Umar Bin Khattab: “Kembalikanlah
penyelesaian perkara kepada sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan
perdamaian karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu dapat menimbulkan rasa
tidak enak”.

Mekanisme atau proses penyelesaian sengketa Hukum Islam dapat melalui proses
litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan Agama dan non litigasi, yakni
melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk umum (close door session)
dan kerahasiaan para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan
efisien. Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang
diakibatkan prosedural dan administratif sebagaimana beracara di pengadilan dan win-win
solution.

Secara normatif bahwa Hukum Islam di Indonesia ada dalam berbagai produk
pemikiran yang terdiri dari:

1. Fikih, ialah pemikiran yang tidak dijadikan undang-undang/tidak mengikat.


2. Fatwa, yaitu pendapat ulama tentang suatu masalah.
3. Tafsir, yaitu keterangan atau penjelasan agar maksudnya mudah dipahami.
4. Yurisprudensi, yaitu kumpulan putusan hakim yang digunakan di pengadilan.
5. Unifikasi/kodifikasi/kompilasi/undang-undang.2

Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga


arbitrase Islam di Indonesia merupakan salah satu kaitan yuridis yang sangat menarik
dalam prespektif Islam. Berdasarkan kajian yuridis, historis maupun sosiologis keislaman
dapat dikemukakan bahwa sangat kuat landasan hukum yang bersumber dari AL-Qur’an

1
Jefry Tarantang, Hukum Islam (Paradigma Penyelesaian Sengketa Hukum Islam di Indonesia),
(Yogyakarta: K-Media, 2020), hlm. 2-3.
2
Edi Rosman, “Paradigma Sosiologi Hukum Keluarga Islam di Indonesia: (Rekonstruksi Paradigma
Integratif Kritis)”, Al-Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam, Volume IX, Nomor 1, Juni 2015, hlm. 54-55.

4
dan As-Sunnah serta Ijma’Ulama. Terdapat sejumlah alsan dan argumentasi tentang
keharusan adanya Lemabaga Arbitrase Islam seperti halnya Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS). Demikian juga kenyataan sosiologis menunjukkan bahwa
masyarakat dimanapun sangat membutuhkan suatu lembaga untuk menyelesaikan sengketa
di antara mereka dengan cara mudah, murah, dan memperoleh rasa keadilan.

Dari segi kajian yuridis formal keislaman, menunjukkan bahwa keharusan dan
keberadaan Lembaga Arbitrase Islam (Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
yang bertujuan menyelesaikan sengketa atau permasalahan umat Islam merupakan suatu
kewajiban. Sumber hukum yang mengharuskan adanya Lembaga Arbitrase Islam (Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam
pertama, hadits sebagai sumber hukum Islam kedua, kemudian ijma’ sebagai sumber
hukum Islam ketiga dan qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat.

B. Penyelesaian Sengketa Dalam Sejarah Islam


Untuk penyelesaian sengketa dalam Islam dapat dilihat dalam perjanjian Madinah
antara umat Islam dan Yahudi pada masa Rasulullah, yaitu tertuang dalam konstitusi
Madinah. Perjanjian dengan komunitas Yahudi ini dapat disebut sebagai contract social
pertama di dalam sejarah umat manusia, yang mana tujuannya adalah untuk membina
kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Piagam Madinah yang telah disahkan
Nabi SAW terdiri dari 47 pasal. Dalam pasal 17 disebutkan bahwa seorang mukmin tidak
boleh membuat perdamaian kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan.

Dalam menyelesaikan sengketa pun didasarkan atas hukum Allah dan salah satunya
seperti disebutkan dalam al-Quran sebagai sumber utama dalam hukum Islam, dalam surat
al-Hujurat ayat 9 dan 10 bahwa apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya
diselesaikan dengan pendekatan al-ishlah. Bunyinya ayat tersebut adalah sebagai berikut:

ۡ ۡ ۡ ۢ ۡ ‫ان ِمن ۡٱلم ۡؤِمنِني ۡٱق ت ت لوا فأ‬


‫َصلِ ُحواْ بَ ۡي نَ ُه َما ۖ فَِإن بَغَت إِ ۡح َد ٰى ُه َما َعلَى ٱۡلُخ َر ٰى فَ َٰقتِلُواْ ٱل ِ يِت بَ ۡغ ِغ‬ َ ْ ُ َ َ َ ُ َ ِ َ‫َوإِن طَآئَِفت‬
ِ ‫ٱ ُّب ۡٱلم ۡق ِس‬ ۡ ۡ ِۡ ۡ ‫َصلِحوا ب‬ ۡ ‫ٱَّلل ۚ فِإن فاء ۡت فأ‬ ۡ ٓ ِ‫حَّت ب ِف ء إ‬
‫ني‬
َ ‫ط‬ ُ ‫ل‬ ِ
‫ي‬ُ ‫ٱَّلل‬
َ ‫ن‬ِ
‫إ‬ ۖ ‫ا‬
ْ‫و‬ٓ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َٓ َ ِ ‫ل أَم ِر‬
ُ‫ط‬ ‫س‬ ِ ‫َق‬‫أ‬‫و‬ ِ
‫ل‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ٱل‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ْ َٰ َ ٓ َ ٰ َ
"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada

5
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 9)

‫َخ َو ۡي ُك ۡم ۚۚ َوٱب قُواْ ٱَّللَ لَ َعل ُك ۡم بُ ۡر ََحُو َن‬ ۡ ‫إَِّنا ۡٱلم ۡؤِمنون إِ ۡخوة فأ‬
ۡ ‫َصلِحوا ب‬
َ ‫ني أ‬
ََ ُ َ َ َ ُ ُ َ
ْ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat."
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 10)

Sejarahnya dapat kita lihat pada asbabunnuzul dari ayat tersebut, yaitu bahwa Nabi
Muhammad SAW pada suatu hari menaiki keledai kendaraannya, lalu beliau melewati Ibnu
Ubay. Ketika melewatinya tiba-tiba keledai yang dinaikinya itu kencing, lalu Ibnu Ubay
menutup hidungnya, maka berkatalah Ibnu Rawwahah kepadanya, "Demi Allah, sungguh
bau kencing keledainya jauh lebih wangi daripada bau minyak kesturimu itu," maka
terjadilah antara kaum mereka berdua saling baku hantam dengan tangan, terompah dan
pelepah kurma (berperang). Dhamir yang ada pada ayat ini dijamakkan karena memandang
dari segi makna yang dikandung lafal Thaaifataani, karena masing-masing Thaaifah atau
golongan terdiri dari sekelompok orang. Menurut suatu qiraat ada pula yang membacanya
Iqtatalataa, yakni hanya memandang dari segi lafal saja (maka damaikanlah antara
keduanya) dan Dhamir pada lafal ini ditatsniyahkan karena memandang dari segi lafal.
(Jika berbuat aniaya) atau berbuat melewati batas (salah satu dari kedua golongan itu
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali) artinya, rujuk kembali (kepada perintah Allah) kepada jalan yang
benar (jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil) yaitu dengan cara pertengahan (dan berlaku adillah) bersikap jangan
memihaklah. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.)

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Menurut Islam


1. Suluh

Secara etimologis, suluh atau perdamaian berarti penghentian konflik. Dalam


syariat, perdamaian adalah akad yang mengakhiri persengketaan antara dua orang yang
bersengketa.3 Suluh merupakan istilah bahasa Arab yang berarti meredam pertikaian,

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 5, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta:
Tinta Abadi Gemilang, 2013), hlm. 321.

6
menyelesaikan perselisihan sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau
perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa
secara damai. Islah (perdamaian) dalam penyelesaian sengketa non litigasi bisa diartikan
sebagai negosiasi, karena ini adalah sebuah upaya mendamaikan atau membuat
harmonisasi antara dua atau beberapa pihak yang berselisih.

Perdamaian dalam Islam sangat dianjurkan demi menggantikan perpecahan dengan


kerukunan dan untuk menghancurkan kebencian di antara dua orang yang bersengketa
sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Suluh
merupakan upaya untuk menghentikan permusuhan atau perselisihan melalui perjanjian
untuk menghentikan persengketaan kedua belah pihak.

Suluh sebagai sarana pewujudan perdamaian dapat diupaya oleh pihak yang
bersengketa atau dari pihak ketiga yang berusaha membantu para pihak menyelesaikan
sengketa mereka yang di dalamnya terdapat proses negosiasi dan rekonsiliasi untuk
mencapai kesepakatan damai. Keterlibatan pihak ketiga dapat bertindak sebagai mediator
atau fasilitator dalam proses suluh.

Penerapan suluh dalam hukum Islam, sebenarnya sangat luas, tidak hanya
digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang berkait dengan harta (muamalah), tetapi
dapat juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa keluarga dan politik. Suluh dalam
sengketa keluarga dapat digunakan dalam kasus perkawinan maupun perceraian seperti
seperti kasus khulu’. Seorang istri tidak tahan lagi menghadapi sikap kasar suaminya.
Kemudian istri meminta khulu’ dengan kesediaan mengembalikan maskawin (mahar) yang
diterimanya terdahulu. Apabila suami rela dengan khulu’ yang diminta istrinya tersebut,
berarti mereka telah melakukan suluh.

Penerapan suluh diluar pengadilan sangat luas cakupannya. Hal ini juga diakui
dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

7
2. Tahkim

Tahkim berasal dari kata hakkama. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan
seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.4 Secara umum, tahkim memiliki pengertian
yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau
lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai. Orang yang menyelesaikannya disebut hakam.

Lembaga tahkim juga dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum datangnya agama
Islam. Pertikaian yang terjadi di antara mereka biasanya diselesaikan dengan menggunakan
lembaga tahkim. Pada umumnya apabila terjadi perselisihan antar anggota suku maka
kepala suku yang bersangkutan yang mereka pilih dan mereka angkat sebagai hakamnya.
Namun, jika perselisihan terjadi antar suku maka kepala suku lain yang tidak terlibat dalam
perselisihan yang mereka minta untuk menjadi hakam.

Lembaga tahkim dalam praktik peradilan di Indonesia dikenal dengan


dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan yang merupakan penegasan ulang terhadap peraturan sebelumnya
yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. Lahirnya acara
mediasi melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan merupakan penegasan ulang terhadap Peraturan Mahkamah Agung
sebelumnya yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003
dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam
perkara kasasi, mediasi dianggap instrumen efektif dalam proses penyelesaian sengketa
yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para
pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

3. Wasatha

Kata wasatha dalam bahasa Arab berarti pusat dan tengah. Menurut Al-Qur’an, kata
ini berarti keadilan, sikap moderat, keseimbangan dan kesederhanaan. Sedangkan secara
istilah yaitu masuknya penengah atau pihak ketiga yang netral untuk membantu
menyelesaikan perselisihan pihak yang bersengketa. Dalam alternatif penyelesaian

4
Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung: Citra Aditya Bhakti,
2002), hlm. 43.

8
sengketa kata wasatha ini dapat sepadankan dengan proses mediasi karena keduanya
merupakan proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penengah dalam memberikan nasihat.5

4. Al-Qadha

Secara bahasa al-qadha berasal dari kata qadha’a, yaqdhi, qadha jamaknya aqdhyah.
Kata al-qadha dalam banyak ayat Al-Qur’an yang semuanya menggunakan makna bahasa,
diantaranya berarti menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu kepastian,
memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, dan mengakhiri. Pengertian al-
qadha secara syariat, sekalipun memiliki banyak makna, secara tradisi difokuskan pada
makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariat pun memutlakan
istilah al-qadha dalam masalah praktik dan putusan peradilan.6

Makna pengadilan adalah proses penetapan hukuman bagi setiap orang yang telah
bersalah dengan cara diadili tanpa tebang pilih meskipun dengan keluarga sendiri. Oleh
karena itu, kata peradilan berasal dari kata adil, kemudian berawalan “per-” dan berakhiran
“-an” yang diartikan sebagai tempat memperoleh keadilan atau rasa adil. Adapun prosedur
peradilan dalam Islam meliputi tindakan, praduga, pembuktian, pertimbangan kesaksian
dan keputusan yang dilanjutkan dengan eksekusi. Tujuan peradilan adalah memberikan
putusan yang legal dan formal berdasarkan Al-Qur’an dan hadits.

D. Integrasi Penyelesaian Islam ke Dalam Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa


Pada Umumnya
Penyelesaian sengketa Hukum Islam dapat dilakukan dengan menggunakan
alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Agama atau secara non-litigasi dengan
melakukan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.

1) Konsultasi

Menurut Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, konsultasi adalah tindakan yang
bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain
yang merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada satu rumusan yang

5
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 165.
6
Moh. Fauzan Januri, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm.
35.

9
mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan oleh konsultan. Dalam hal
ini konsultan hanya memberikan pendapatnya (secara hukum) sebagaimana diminta oleh
kliennya yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan
diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
kesempatan untuk merumuskan bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para
pihak yang bersengketa tersebut.

Jadi, konsultasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan secara


tertutup dengan cara meminta pendapat dan nasihat-nasihat tertentu, namun tidak bersifat
mengikat kepada si klien. Konsultasi dapat menjadi bagian dalam proses penyelesaian
sengketa untuk membentuk pemahaman pribadi atas sengketa yang dihadapinya.
Konsultasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah untuk dilakukan bahkan
secara tidak disadari kita pun sering melakukan konsultasi terhadap orang yang kita anggap
lebih memahami tentang persoalan yang sedang dihadapi.7

2) Negosiasi

Negosiasi adalah salah satu strategi penyelesaian sengketa, di mana para pihak
setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan proses musyawarah atau
perundingan. Proses ini melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya
berinisiatif sendiri menyelesaikan sengketa mereka. Para pihak terlibat secara langsung
dalam dialog dan prosesnya.154 Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu
perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan
variasinya, serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai
orang.8

Semua tahapan dalam negosiasi ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang


dimiliki sendiri, mulai dari proses pertemuan sampai kepada penentuan nilai-nilai
penawaran dilakukan berdasarkan kehendak dan inisiatif pribadi. Namun walaupun
demikian metode penyelesaian secara negosiasi juga memiliki kelemahan, yaitu jika para
pihak tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, maka nyaris metode ini tidak

7
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung:
Alfabeta, 2008), hlm. 15-16.
8
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah..., hlm. 9.

10
mungkin bisa berjalan dengan sempurna, bahkan jika prosesnya dipaksakan justru akan
menimbulkan konflik dan sengketa baru yang jauh lebih kompleks.9

3) Mediasi

Mediasi merupakan suatu proses damai di mana para pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seorang yang mengatur
pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang
adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya
oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediasi adalah metode
penyelesaian yang termasuk dalam kategori tripartite karena melibatkan bantuan atau jasa
pihak ketiga.

Mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan


kepada kehendak dan kemauan bebas para pihak. Mediator tidak mempunyai kewenangan
memberikan putusan terhadap objek yang dipersengketakan, melainkan hanya berfungsi
membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang sedang bersengketa.
Pengalaman, kemampuan, dan integritas dari seorang mediator sangat menentukan
keefektifan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa.10

4) Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana


disebutkan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Konsiliasi permufakatan adalah
penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah, hakikatnya adalah untuk menghindari
proses pengadilan dan akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu putusan pengadilan.
Konsiliasi juga dapat diartikan sebagai perdamaian, konsiliasi dapat dilakukan untuk
mencegah proses litigasi dalam setiap tingkat peradilan, kecuali putusan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan konsiliasi.

Pada tahapan konsiliasi ada konsiliator yang bertugas sebagai fasilitator dalam hal
melakukan komunikasi diantara para pihak yang bersengketa, sehingga para pihak dapat
menemukan solusi penyelesaian sengketa. Konsiliator kurang lebih tugasnya adalah

9
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi…, hlm. 17.
10
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 313-314.

11
memfasilitasi pengaturan tempat dan waktu pertemuan, mengarahkan subjek pembicaraan,
membawa pesan-pesan dari salah satu pihak ke pihak lainnya terutama apabila tidak
mungkin disampaikan secara langsung atau para pihak tidak bersedia bertemu muka secara
langsung.11

5) Penilaian ahli

Penilaian ahli atau biasa juga disebut pendapat ahli adalah suatu keterangan yang
dimintakan oleh para pihak yang sedang bersengketa kepada seorang ahli tertentu yang
dianggap lebih memahami tentang suatu materi sengketa yang terjadi. Permintaan pendapat
ahli disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak. Pendapat
ahli dimintakan, baik terhadap persoalan pokok sengketa maupun di luar pokok sengketa
jika itu memang diperlukan, atau dengan kata lain pendapat ahli pada umumnya bertujuan
untuk memperjelas duduk persoalan di antara yang dipertentangkan oleh para pihak.

Pendapat ahli yang dimintakan terhadap suatu persoalan yang sedang


dipertentangkan harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak, apakah akan dianggap
mengikat ataukah tidak. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan menyangkut
hasil dari pendapat ahli yang dimintakan terhadap proses pengambilan kesimpulan. Jika
dianggap sebagai pendapat yang mengikat, maka pendapat tersebut akan dijadikan
pedoman dalam mengambil kesimpulan, namun jika pendapatnya hanya sebatas menjadi
pandangan saja, para pihak tetap dapat mengesampingkan pendapat tersebut.12

11
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan..., hlm. 314.
12
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi…, hlm. 21-22

12
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Ada beberapa sumber hukum yang dijadikan sebagai landasan penyelesaian
sengketa dalam Islam, yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Al-Qur’an dan Hadits telah
menempatkan sejumlah prinsip penyelesaian sengketa baik dalam lingkup peradilan
(litigasi), maupun diluar peradilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa Hukum Islam dapat
melalui proses litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan Agama dan non
litigasi, yakni melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative Dispute
Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk umum
(close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara
lebih cepat dan efisien.

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dalam Islam ada 4, yaitu suluh, tahkim,


wasatha, dan al-qadha. Suluh adalah suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri
perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. Tahkim adalah
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih,
guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Wasatha adalah masuknya
penengah atau pihak ketiga yang netral untuk membantu menyelesaikan perselisihan pihak
yang bersengketa. Sedangkan al-qadha berarti menetapkan, menentukan, memerintahkan
sesuatu kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, dan
mengakhiri.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun untuk memberikan beberapa penjelesan
terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Islam. Dalam makalah
ini, kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari seluruh pembaca untuk perbaikan
terhadap makalah kedepannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abbas. Syahrizal, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2009.

Hutagalung. S. M, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.

Januri. Moh. Fauzan, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung: CV Pustaka Setia,
2013.

Rosman. Edi, “Paradigma Sosiologi Hukum Keluarga Islam di Indonesia: (Rekonstruksi


Paradigma Integratif Kritis)”, Al-Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam, Volume IX,
Nomor 1, 2015.

Rosyadi. Rahmat, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2002.

Sabiq. Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 5, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.

Tarantang. Jefry, Hukum Islam (Paradigma Penyelesaian Sengketa Hukum Islam di Indonesia),
Yogyakarta: K-Media, 2020.

Witanto. D. Y, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, Bandung: Alfabeta, 2008.

14

Anda mungkin juga menyukai