Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu fiqih
Dosen pengampu : H.Wawan S. Abdillah ,M.Ag

Kelompok 10 :
Nurul Khotimah Fauzi 1208010148
Rahman Ma’mun 1208010162
Rina Fitria Khairani 1208010174

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Lembaga Hukum di Indonesia ini. Makalah ini
sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
berkontribusi didalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari
segi susunan kalimat maupun bahasanya. Oleh karena itu, kami terbuka untuk
menerima segala masukan dan kritikan yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga kami dapat melakukan perbaikan makalah sehingga menjadi makalah
yang baik dan benar.

Bandung, November 2020


Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. I
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….1
A.LATAR BELAKANG…………………………………………………………1
B.RUMUSAN MASALAH………………………………………………………1
C.TUJUAN……………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………..….2
A.PEGERTIAN………………………………………………………………...…2
B. LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM DI INDONESIA……………………...….3
C.KODIFIKASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA…………………………….7
BAB III PENUTUP……………………………………………………………..14
A.KESIMPULAN……………………………………………………………......14
DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………….15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagaimana halnya sejarah pada umumnya, sejarah peradilan islam adalah


sebuah kajian yang sangat penting dilakukan untuk melihat jejak-jejak masa lalu
tentang praktik-praktik yang dilakukan oleh umat islam dalam bidang peradilan
sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Bagaimana ajaran dan hukum
agama (Islam) ditegakkan, dan bagaimana para penegak hukum dimasa lalu
menjalankan amanah yang dipikulkan kepada mereka,adalah kajian yang tidak
boleh dilengahkan, demi mencapai kemaslahatan dimasa datang, baik didunia
maupun diakhirat.

Pada masa Rasulullah SAW,demikian pula masa Khulafa’ al Rasyidin, atau


Dinasti Bani Umayyah, maupun Dinasti Abbasiyah, peradilan merupakan sebuah
sistem yang mencakup tidak saja proses peradilan, tetapi juga mencakup lembaga-
lembaga lain yang saling mendukung. Dengan demikian,selain Peradilan Agama,
di Indonesia terdapat lembaga-lembaga yang mengeluarkan fatwa terkait dengan
hukum Islam. Lembaga-lembaga tersebut tidak bersifat mandiri, karena merupakan
bagian dari organisasi sosial/kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia. Oleh
karena itu, metode ijtihad dan produk fatwanya dipengaruhi oleh corak khusus
masing-masing organisasi yang menaunginya.

Dalam makalah ini,akan dikemukakan lembaga-lembaga hukum Islam yang ada di


Indonesia serta metode ijtihad yang digunakannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana Lembaga Hukum di Indonesia.
2.Apa saja Lembaga-Lembaga Hukum di Indonesia .
3.Bagaimana Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia .

1
C. TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka terdapat beberapa tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui mengenai Lembaga-Lembaga Hukum Islam di Indonesia.
2. Mengetahui Apa saja Lembaga Hukum di Indonesia.
3. Mengetahui Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Jika dilihat dari kamus besar bahasa indonesia, akan didapat beberapa arti dari
kata lembaga. Arti pertama adalah asal sesuatu; kedua, acuan; sesuatu yang
memberi bentuk kepada yang lain; ketiga, badan atau organisasi yang bertujuan
melakukan sesuatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Lembaga
yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah arti yang kedua.

Lembaga hukum islam adalah lembaga yang mengatur norma/aturan yang


didasarkan pada ajaran islam. Kebutuhan itu bermacam-macam, antara lain
kebutuhan keluarga, pendidikan, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sebagai lembaga, ia mempunyai bebrapa fungsi, diantaranya; 1) memberikan
pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka harus bertingkah
laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan
pokok mereka; 2) memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengadilan sosial menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan 3) menjaga kebutuhan masyarakat.

Karena fungsinya yang sangat penting dalam masyarakat, dahulu lembaga


Islam di perkenalkan melalui kurikulum perguruan tinggi. Sebagai contoh yaitu
pada Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan pada tahun 1925 di Batavia
memasukkan lembaga Islam kedalam kurikulumnya dengan
namaMohammedansche Recht Instellingen van den Islam, yang artinya adalah
Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam. Selain itu juga dahulu Sekolah Tinggi
Hukum atau Recht Hogescool yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum serta

2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan sadar mencantumkan
lembaga-lembaga Islam di dalam kurikulumnya dengan maksud agar mereka yang
bekerja di Hindia Belanda yang penduduknya beragama Islam dapat memahami
tingkah laku masyarakat Islam. Dari sini dapat kita lihat dengan jelas betapa
pentingnya lembaga-lembaga Islam.

B. LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Di Indonesia terdapat beberapa lembaga hukum islam, diantaranya adalah:

1. Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama

Secara historis, forum bahsul masail sudah ada sebelum NU berdiri. Latar
belakang munculnya Lajnah Bahsul Masail (Lembaga Pengkajian Masalah-
Masalah Agama) adalah karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum
Islam, terutama menyangkut kebutuhan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini
mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan
melakukan bahtsul masail. Bahtsul masail ini pertama dilaksanakan pada tahun
1926,yaitu beberapa bulan setelah berdirinya NU. Secara resmi institut Lajnah
Bahtsul Masail diusulkan pembentukannya pada Muktamar XXVIIIdi Yogyakarta
tahun 1989.

Forum bahtsul masail dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah(legislatif)


Nahdlatul Ulama. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum
islam baik yang berkaitan dengan masalah fiqh,ketauhidan, dan bahkan masalah
tasawuf(tarekat). Metode istinbath Hukum Lajnah Basul Masail diartikan sesuai
sikap dasar bermazhab,yaitu memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha
dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Dalam forum bahtsul masail,
Mazhab Syafi’i menempati posisi yang dominan. Namun demikian, bukan berarti
ulama NU menolak pendapat ulama diluar Syafiiyyah.

Metode pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yaitu, sebagai berikut :

• Dalam kasus yang jawabannya ditemukan hanya satu qaul (pendapat),


maka qaul itu yang diambil.
• Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat dilakukan taqrir
jama'i dalam memilih salah satunya.

3
• Bila tidak ditemukan pendapat sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin
nadhariha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu
yang sama yang telah ada) secara jama’i oleh para ahlinya.
• Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa
dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur
madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.

2. Majlis Tarjih Muhammadiyah


Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama
pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Pembaharuan itu mmemiliki
dua arti yaitu memurnikan ajaran dan memodernkan. Dengan adanya kekhawatiran
timbulnya perpecahan dikalangan orang-orang Muhammadiyah, karena perbedaan
paham dalam masalah-masalah hukum agama, maka berdasarkan keputusan
Kongres Muhammadiyah ke-XVI tahun 1927 dipekalongan atas usul dari K.H
Mansyur didirikanlah Majlis Tarjih.

Fungsi Majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang
masalah-masalah tertentu. Masalah-masalah tersebut tidak hanya pada bidang
agama dalam arti sempit,tetapi juga menyangkut masalah sosial kemasyarakatan.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh, majis ini
disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
(MTPPI). Prinsip-prinsip metodologis yang telah dirumuskan dalam manhaj al-
istimbathnya yaitu sebagai berikut:

• Mengubah istilah al-sunnah al-shahihah menjadi al-maqbullah sebagai


sumber hukum sesudah Al-Qur’an.
• Ijtihad dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
• Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah
kebahasaan),metode ta’lili(menggunakan pendekatan hukum ‘illat hukum)
dan metode istihshlahi(menggunakan metode kemaslahatan).
• Manhaj menetapkan 4 pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum
yaitu : hermeneutika,sejarah,sosiologis,dan antropologis.

4
• Ijma’,qiyas, maslahah mursalah, serta ‘urf, berkedudukan sebagai teknik
penetapan hukum.
• Ta’arudl al-adillah iselesaikan secara hierarkis melalui al-jam’u wa al-
taufiq, al-tarjih, al-nasakh, dan tawaqquf.
• Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi : segi
sanad, segi matan,segimateri hukum,dan segi eksternal.
• Hal yang tidak dirubah masih tetap berlaku, seperti : mendasarkan akidah
hanya kepada dalil mutawwatir, pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-
sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral, peran akal dalam
memahami teks al-Qur’an dan al-Sunnah dapat diterima, dll.

Mekanisme pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalan


yang memerlukan pemecahan dalam perspektif Islam, yaitu dengan cara berupaya
mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath, kemudian menarik
natijah hukumnya, hasil keputusan majlis ini kemudian diajukan ke pimpinan
Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya.selanjutnya pimpinan
Muhammadiyahlah yang memiliki otoritasntuk mentanfidzkan atau tidak,sesuai
dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki.

3.Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama
dan cendekiawan muslim Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 26 Juli 1975
di Jakarta. Dalam kittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan 5
fungsi dan peran utama MUI,yaitu :
• Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasatul anbiya)
• Sebagai pemberi fatwa (mufti)
• Sebagai pembimbing dan pelayan umat (khadim al-ummah)
• Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
• Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar

5
Metode Ijtihad Komisi Fatwa MUI

Sumber fatwa didalam MUI berasal dari fatwa yang ditetapkan dalam
sidang Komisi Fatwa,Musyawarah Nasional MUI, dan fatwa ijtima’ ulama Komisi
Fatwa MUI se-Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses penetapan fatwa
meliputi :

a) Pendekatan Nash Qath’i, dilakukan dengan berpegang kepada Al-Qur’an atau


Hadist untuk sesuatu masalah.

b) Pendekatan Qauli adalah pendekatan yang mendasarkan pada pendapat para


imam mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).

c) Pendekatan Manhaji, dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok(al


qawaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab
dalam merumuskan hukum suatu masalah.

Dalam masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan imam mazhab, maka


penetapan fatwa dilakukan dengan mencari titik temu diantara pendapat-pendapat
mazhab( al-Jam’u wa al-taufiqi). Jika usaha tersebut tidak berhasil maka dilakukan
melalui metode tarjih (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan
argumentasinya) yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab dan
dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.

Jika dalam masalah yang belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan
tetapi terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penetapannya dilakukan
melalui metode ilhaqi yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus
padanannya dalam al-kutub al mu’tabarah. Jika tidak ada padanan kasusnya, maka
dipergunakan metode istinbathi. Hal yang juga diperhatikan dalam metode
istimbath Komisi Fatwa MUI adalah kemaslahatan umum dan intisari agama.

6
C.KODIFIKASI HUKUM ISLAM

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang


majemuk. Disetbut demikian karena adanya tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu
sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat (kontinental)."
Dalam bidang hukum perdata, yang disebutkan era tarkhir itu adalah hukum tertulis,
dianya telah tertulis dalam kitab Undang- Undang, seperti Burgerlijk Wetboek
(B.W.). Selanjutnya, untuk dua hal lainnya sampai saat ini masih merupakan hukum
yang tidak tertulis. Artinya kedua hukum tersebut tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan.

Hukum Islam adalah hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia ini
sejak masa yang cukup lama, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesaia ini. Menurut
seminar nasional masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Medan,
dinyatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-l H/8 M.
Bandingkan dengan hukum Barat yang baru diperkenal kan oleh Vo.c. Belanda
pada awal abad ke-17M. Oleh karena itu, ketika Belanda datang ke Indonesia,
hukum Islam tidak secara serta-merta dihilangkan, bahkan pemerintah Belanda
memberikan keleluasaan kepada umat lslam untuk mengamalkan hukum lslam
secara bebas. Hal yang membuat lega perasaan umat Islam, pada tahun 1760
diterbitkan compendium rejer, yaitu kitab hukum yang menghimpun hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang diberlakukan di pengadilan-
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa umat Islam. Selain itu terbit pula kitab-
kitab hukum Islam, seperti kitab mugharrar untuk Pengadilan Negeri Semarang,
kitab pepakem Cirebon, dan kitab peraturan untuk daerah Bone dan Goa di
Sulawesi Selatan.

Gejala di atas dapat dipahami sebagai upaya awal ke arah kodifikasi hukum
Islam, yang dimulai sejak penjajahan Belanda. Ternyata upaya itu tidak berjalan
mulus, tapi harus terhenti dengan lahirnya teori receptie" yaitu suatu teori yang
berhasil melahirkan Sistem hukum adat. Lahirnya teori ini ternyata telah mampu
menghentikan gerak maju perkembangan hukum Islam. Sejak itu pula berlaku di
Indonesia tiga sistem hukum, adat, Islam, dan Barat.

7
Munculnya angin segar ke arah kodifikasi hukum Islam ini adalah setelah
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini lebih jelas lagi setelah
lahinya Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di mana dipahami
bahwa sebahagian besar materi hukumnya adalah diambil dari hukum perkawinan
Islam.

Setahun kemudian disusul pula dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No.9


Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU Perkawinan tersebut.
Untuk menyahuti amanat dan keinginan Undang Undang No.14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, maka lahirlah Undang
Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal ini menambah kokohnya
eksistensi hukum Islam di Indonesia.

Sekedar mengenang sejarah lahirnya UU No.7 Tahun 1989 tersebut. Pada


saat UU No.7 Tahun 1989 tersebut baru berupa rancangan, dia telah menimbulkan
polemik di kalangan praktisi hukum dan anggota badan legislatif, bahkan mendapat
tantangan dari pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkannya, di samping
adanya dukungan dari pihak mayoritas, hal ini terlihat dari munculnya reaksi para
penentang dan pendukung undang-undang tersebut. Khusus mengenai penentang
undang-undang tersebut, secara umum reaksi penentang undang-undang ini terpola
kepada tiga bentuk, yaitu; 1). Pertama, kelompok yang menganggap bahwa ROU-
PA tidak diperiukan dalam rangka unitikasi hukum nasional. Adanya Peradilan
Agama mengesankan munculnya dualism hukum, namun demikian Peradilan
Agama masih periu ada, hanya saja pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam
Pengadilan Umum. 2 ). Kedua, kelompok orang yang menganggap tidak periu ada
RO0-PA, dan Pengadilan Agama supaya dibubarkan saja, kepada umat Islam
supaya mengurus sendiri hukum Islam yang dianutnya. 3).Kelompok orang yang
berpendapat bahwa bukan saja menolak ROU-PA, bahkan menolak RO0-PA dan
Pengadilan Agama, dan mempertanyakan UU No.14 Tahun 1970 yang
menginginkan Peradilan Agama tersebut. Tokoh utamanya antara lain; Frans
Magnis Suseno dan Mgr. Leo Soekoto dengan dukungan kuat harian sore Suara
Pembaruan." Berkat pengertian dan perjuangan semua pihak terkait, RO0-PA yang
sudah berada dalam polemik besar tersebut akhirnya bisa ditemukan kata sepakat,
dan RUU-PA tersebut pun disahkan menjadi Undang-Undang. Sejalan dengan hal

8
ini Mohammad Daud Ali mengomentari bahwa pengesahan itu semakin
memantapkan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksanan
kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air.

Untuk melengkapi materi-materi hukum di Pengadilan Agama, dan untuk


menciptakan keseragaman putusan hakim Pengadilan Agama maka digagas suatu
usaha untuk menyusun buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di
lingkungan Peradilan.

Agama yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam, dengan harapan bahwa hal
itu akan dapat dijadikan pedoman oleh para hakim agama dalam melaksanakan
tugasnya. Dengan demikian akan dapat dicapai kesatuan dan kepastian hukum.

Kita mengetahui bahwa untuk berlakunya hukum dalam masyarakat harus


ada kesatuan faham dan kejelasan akan peraturan-peraturan tersebut. Apabila
peraturan yang menyangkut kepentingan anggota masyarakat saling berbeda,
mungkin akan menimbulkan silang sengketa di antara mereka. Kita di Indonesia ini
mempunyai doktrin yang telah menjadi doktrin hukum nasional, doktrin tersebut
berbunyi; Hukum itu berlaku kalau telah ditunjang oleh tiga tonggak, Lemah atau
kuatnya hukum tersebut tergantung kepada tiga tonggak sebagai tiang penyangga
hukum tersebut, ketiga tonggak itu adalah; Aparat hukum; Peraturan-peraturan
hukum yang jelas; Kesadaran hukum masyarakat. Ketiga hal ini saling menopang
untuk terciptanya penaatan terhadap hukum tersebut.

Khusus untuk yang kedua, yaitu adanya peraturan-perafuran hukum yang


jelas adalah merupakan satu aspek penting untuk terciptanya penaatan terhadap
hukum tersebut. Ketiga hal tersebut adalah merupakan suatu sistem penaatan
hukum yang padu, ketiganya tidak dapat dibagi-bagi, kelemahan satu aspek, atau
bahkan menafikannya akan mengakibatkan gagalnya dua komponen lainnya.
Dengan demikian aspek kejelasan peraturan-peraturan hukum adalah merupakan
suatu hal yang sangat urgen.

9
Suatu upaya yang sangat penting dalam rangka memciptakan kejelasan
peraturan hukum tersebut adalah dengan melakukan kodifikasi. Dengan demikian
kodifikasi ini diperlukan. Busthanul Arifin mengatakan, "Keperluan suatu
kompilasi hukum atau kodifikasi hukum sebenanya adalah hal yang wajar bagi ahli-
ahli hukum. Hal itulah yang menyebabkan Ibn Muqaffa menulis surat kepada
khalifah Abü Ja far al-Mangur mengusulkan tentang perlunya diresmikan
peraturan-peraturan hukum yang jelas. Khalifah Omar ibn Abd al-Aziz juga
mengusahakan kodifikasi. Aurenzeb di India menerbitkan Fatwa Alamgiri. Turki
Usmani menerbitkan al-Majallah alAhkäm al- Adliyah. Pada tahun 1983 Sudan,
dengan presidennya waktu itu adalah Ja far Numeiri mencoba menerapkan hukum
Islam. Terakhir, khusus untuk kita di Indonesia ini telah mengkodifikasi hukum
Islam yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

Busthanul Arifin adalah orang pertama penggagas perlunya pembuatan Kompilasi


Hukum Islam tersebut. " Dia mengatakan bahwa ketika gagasan Kompilasi Hukum
Islam tersebut dimajukan, gagasan itu secara umum dapat diterima dan disetujui
kedatipun ada ganjalan-ganjalan kecil yang tidak sempat mengurangi nilai
persetujuan tersebut, akhirnya setelah melalui proses Panjang perjalanannya maka
pada tanggal 10 Juni 1991 melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 Kompilasi
hukum Islam telah lahir, dan dapat diberiakukan. Kompilasi hukum Islam tersebut
terdiri dari tiga buku, Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 bab
dan 170 pasal, buku lI tentang Hukum Kewarisan yang berisi 6 bab dan 44 pasal,
dan buku llI tentang Hukum Perwakafan yang berisi 5 bab dan 14 pasal. Dengan
lahirnya Kompilasi Hukum Islam ini maka semakin mantaplah posisi kodifikasi
hukum lslam di Indonesia.

Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam tersebut maka hal ini dipahami
sebagai hukum Islam pertama hasil produk bangsa Indonesia sendiri dan
dikodifikasi langsung oleh bangsa Indonesia dan melebelkan namanya dengan
hukum Islam. Meskipun telah banyak hukum Islam yang masuk menjadi hukum
nasional dan diterapkan sebagaimana mestinya hukum positif, namun tidak
melebelkannya dengan nama hukum Islam, misalnya 0U Na.l Tahun

10
1974, PP No.9 Tahun 1975, dan yang lainnya.
Kita sadar bahwa Kompilasi Hukum Islam yang merupakan kebanggaan
umat Islam Indonesia ini telah lahir, namun hal ini bukanlah upaya yang telah final.
Dikatakan demikian karena Kompilasi itu sendiri masih memiliki sisi sisi
kelemahan, di antaranya keterbatasan materinya yang hanya menyangkut tiga hal,
yaitu; hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan sementara
pengertian hukum Islam itu sendiri sangat komprehensif dan umum, di samping
mungkin masih banyak lagi kelemahan lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Busthanul Arifin menanggapi bahwa
Kompilasi Hukum Islam belumlah dapat dikatakan dengan kodifikasi hukum Islam,
tetapi dia hanya dapat digolongkan kepada compendium hukum Islam, meskipun
dia hanya diambil dan bersumber kepada berbagai kitab fikih namun tetap saja
dapat dipergunakan sebagai sumber hukum dalam persoalan-persoalan
keperdataan, khususnya hukum keluarga bagi umat Islam Indonesia.30
Menurutnya, meskipun Kompilasi Hukum Islam belum sampai ke tingkat
kodifikasi namun mesti diakui sebagai karya besar umat Islam Indonesia dalam
rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan mereka. Sejalan dengan hal
tersebut, Abdurrahman mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam itu tidak boleh
dianggap sebagai sesuatu yang telah final, tetapi dia harus dilihat sebagai suatu
jenjang. dan sekaligus menjadi batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih
baik di masa mendatang.
Pendapat yang lebih keras tentang hal ini terihat dikemukakan oleh A.
Hamid S. Attamimi, dia berpendapat bahwa meskipun Kompilasi Hukum Islam itu
telah dikodifikasi tapi dia bukan hukum tertulis, karena dia tidak diatur dengan
perangkat formal sumber hukum tertulis Indonesia, akibatnya tidak mengikat dan
tidak wajib diamalkan. Dalam ungkapan yang lebih tegas dia mengatakan bahwa;
"KHI adalah himpunan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur,
KHI bukanlah peraturan perundang undangan, bukan hukum tertulis meskipun dia
ditulis, bukan Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Keputusan
Presiden, dan seterusnya. KHl menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang
hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebahagian besar rakyat Indonesia
yang beragama islam.

11
Pendapat seperti ini dipedomaninya setelah terlebih dahulu mencari tempat
Kompilasi Hukum lslam itu sendiri dalam struktur sumber hukum yang berlaku di
Indonesia. Dia mengatakan bahwa Kompilasi itu diatur dengan INPRES No.l tahun
1991. Ternyata setelah dicari dan disesuaikan maka dapat disimpulkan bahwa
INPRES tersebut tidak termasuk salah satu dari sumber hukum yang ada.
Di antara para ahli hukum, misalnya Ismail Suni tidak sependapat dengan
hal tersebut, dia berpendapat bahwa meskipun Kompilasi Hukum Islam itu tidak
dapat dinyatakan sebagai hukum tertulis namun dia merupakan hukum yang diakui
keberadaannya di Indonesia ini, sebab di samping hukum tertulis ada hukum tidak
tertulis yang sama- sama berlaku, hukum tertulis tersebut adalah hukum Barat,
sedang hukum tidak tertulis tersebut adalah hukum Islam dan hukum adat, ketiga
macam hukum ini sama-sama eksis dan dipatuhi di Indonesia. Lebih dari itu,
Kompilasi Hukum Islam itu telah diatur dengan INPRES No.1 Tahun 1991, dan
Kep. Menag No. 154 Tahun 1991, tentu dia sudah lebih tinggi statusnya ketimbang
hanya sekedar hukum tidak tertulis pada umumnya. Dengan demikian keberadaan
Kompilasi Hukum islam tidak kurang nilainya dengan hukum tertulis lainnya.
Penulis melihat bahwa, meskipun banyak orang yang menafikan
keberadaan Kompilasi Hukum Islam untuk dikatakan sebagai hukum tertulis, yang
jelas Kompilasi itu telah ditulis, hanya saja status penulisannya yang dipertanyakan,
maka penulisan itu sendiri sudah merupakan suatu upaya ke arah kodifikasi hukum
Islam Indonesia. Sejalan dengan hal ini diantara ilmuan ada yang mengatakan
bahwa lahirnya KHI seperti keberadaannya yang kita kenal sekarang ini belumlah
dapat dikatakan bahwa hal itu telah sempurna, tetapi dia lebih tepat dianggap
sebagai langkah awal ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum Islam Indonesia.
Dengan demikian upaya penyempurnaan KHl masih tetap diperlukan.
Jadi kesimpulan dari kodifikasi hukum islam diIndonesia yaitu :
Dari perjalanan panjang sejarah hukum Islam dan pelembagaannya secara
universal, baik di dunia Islam, demikian Juga halnya dengan di Indonesia sendiri
ternyata dapat disimpulkan bahwa kodifikasi hukum Islam itu adalah sesuatu hal
yang penting untuk dilaksanakan. Meskipun dipahami ada kemungkinan dampak
negatif yang dapat lahir dari upaya kodifikasi hukum lslam tersebut, namun
kodifikasi itu sendin adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi setiap negara,

12
karena maslahat yang dapat dipetik dari padanya jauh lebih besar dari madarat yang
akan timbul dari padanya, sehingga Muhammad Abů Zahrah mengatakannya
sebagai suatu hal yang darurat. Dengan demikian pelembagaan hukum Islam
dalam suatu negara tidak mungkin tidak (mesti) dengan melakukan kodifikasi
hukum Islam.
Berhubung Kompilasi Hukum Islam digali dari empat jalur, yaitu;
Jalur penelitian kitab fiqh yang cukup dikenal dan diamalkan di Indonesia ini, jalur
wawancara terhadap ulama-ulama indonesia yang dianggap telah mewakili, dan
jalur penelitian yurisprudensi terhadap putusan-putusan Pengadilan Agama yang
selama ini dipahami sebagai Syaf 'iyah, serta jalur studi perbandingan ke negara-
negara Islam di Timur Tengah, demikian juga dengan proses perumusannya dengan
melibatkan pihak ulama Indonesia sepenuhnya, maka penulis menyarankan kiranya
kita berkenan menerima dan mengamalkannya kendatipun tidak dibarengi dengan
sankssan formal yang bersifat keduniaan, karena Kompilasi Hukum Islam itu dapat
dinyatakan sebagai hukum Islam yang berpahala kalua dikerjakan dan berdosa
kalau ditinggalkan.

13
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Lembaga hukum islam adalah lembaga yang mengatur norma/aturan yang
didasarkan pada ajaran islam. Kebutuhan itu bermacam-macam, antara lain
kebutuhan keluarga, pendidikan, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sebagai lembaga, ia mempunyai bebrapa fungsi, diantaranya; 1) memberikan
pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka harus bertingkah
laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan
pokok mereka; 2) memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam
melakukan pengadilan sosial menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan 3) menjaga kebutuhan masyarakat.
kodifikasi hukum Islam itu adalah sesuatu hal yang penting untuk
dilaksanakan. Meskipun dipahami ada kemungkinan dampak negatif yang dapat
lahir dari upaya kodifikasi hukum lslam tersebut, namun kodifikasi itu sendin
adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi setiap negara, karena maslahat yang
dapat dipetik dari padanya jauh lebih besar dari madarat yang akan timbul dari
padanya, sehingga Muhammad Abů Zahrah mengatakannya sebagai suatu hal yang
darurat. Dengan demikian pelembagaan hukum Islam
dalam suatu negara tidak mungkin tidak (mesti) dengan melakukan kodifikasi
hukum Islam.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://najibarahma26.blogspot.com/2015/12/makalah-ushul-fiqh-lembaga-hukum-
islam.html
http://repository.uinsu.ac.id/2957/1/kodifikasi%20hukum%20islam.pdf
https://www.academia.edu/8947916/lembaga_hukum_islam_indonesia

15

Anda mungkin juga menyukai