Anda di halaman 1dari 15

ISTINBATH HUKUM DAN APLIKASINYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu : H. Wawan Setiawan A, M. Ag.

Disusun oleh :

Nurul Evany (1208010147)

Raden Alpiyan Sanjaya (1208010156)

Regina Damayanti (1208010166)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘’ Istinbath Hukum dan
Aplikasinya’’ secara tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah terbesar bagi
seluruh alam semesta.

Adapun penulisan makalah yang berjudul ‘’Istinbath Hukum dan Aplikasinya’’ ini disusun
guna memenuhi tugas dari Bpk. H. Wawan Setiawan A, M.Ag. selaku dosen Mata Kuliah Ilmu
Fiqih di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang istinbath hukum dan aplikasinya serta
mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bandung, November 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................

A. Latar Belakang............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................

A. Pengertian Istinbath Hukum......................................................................................6


B. Macam-Macam Metode Istinbath Hukum................................................................7
C. Aplikasi Istinbath dalam Bidang Fiqih........................................................................11

BAB III PENUTUP............................................................................................................

A. Kesimpulan.................................................................................................................14
B. Saran..........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum dalam sebuah masyarakat bertujuan untuk mengendalikan masyarakat, Ia


merupakan satu sistem yag harus ditegaskan terutama untuk melindungi hak-hak individu atau
masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki ciri dan ruang lingkupnya sendiri.
Begitu juga Islam dengan sistem hukumnya yang dikenal dengan fiqih. Hukum ini mencakup
seluruh bidang agama, politik, ekonomi dan lainnya yang bersumber dari wahyu Ilahi.

Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan


nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur‟an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang
ditemukan dalam Al-Qur‟an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk
pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu
dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan
yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada
dalam Al- Qur‟an atauSunnah.

Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan satu sistem yang ditegakkan terutama untuk
melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakatnya. Perintah dan larangan
literaturnya bertujuan mengatur dan menyeimbangkan kehidupan manusia (muslim khususnya)
dalam berinteraksi baik horizontal maupun secara vertikal.

Istinbath hukum dikenal dalam ilmu fiqih sendiri sebagai metode deduktif, yaitu metode
penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil yang umum (al-Qur’an dan hadits).

Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak diperlukan
karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum. Dalam makalah
ini akan dibahas tentang apa itu Istinbath hukum dan aplikasinya dalam studi hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini, yaitu :
1. Apa pengertian Istinbath hukum?
2. Macam-macam metode istinbath hukum?
3. Bagaimana aplikasi Istinbath hukum dalam bidang fiqih?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian istinbath hukum
2. Untuk mengetahui macam-macam metode istinbath hukum
3. Untuk mengetahui aplikasi istinbath hukum dalam bidang fiqih

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istinbath Hukum

Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda an-nabṭ, bentuk Masdar dari
Nabata Yanbuṭu-Nabṭan, yang berarti air yang keluar dari dalam sumur yang kali pertama digali.
Menurut Haitsam Hilal kata Istinbath berarti mengeluarkan air dari dalam tanah. Dengan
demikian, kata Istinbath digunakan dalam arti Al-istikhraj (mengeluarkan) yaitu mengeluarkan
atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih belum jelas.
Secara terminologis kata Istinbat berarti upaya mengeluarkan makna dari nash (Al-
Qur’an dan As-Sunnah) yang berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan
mencurahkan kekuatan nalar dan kemampuan yang optimal.

Pengertian secara istilah tersebut masih bersifat umum sehingga Istinbath bisa saja
dilakukan oleh ulama fiqh dan ulama yang ahli di bidang selain Fiqh. Oleh karena itu, pengertian
istinbaṭh secara terminologis harus dibatasi pada wilayah fiqh (hukum Islam). Dengan adanya
pembatasan pada wilayah hukum Islam, maka secara ringkas istinbaṭh adalah upaya untuk
menarik hukum dari nash (Al-Qur‟an dan As-Sunnah) dengan jalan ijtihad.

Penggunakan istilah ijtihad memberikan isyarat bahwa istinbath harus dilakukan dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushuliyyah sebagai pedoman operasional dalam menjelaskan
nash-nash Syar’i berdasarkan perspektif hukum Islam.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpukan bahwa istinbath adalah suatu upaya
menemukan hukum-hukum syara dari nash al-Qur'an dan As-Sunnah yang dilakukan dengan
dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan pikiran. Secara sepintas memang nampak ada
persamaan antara pengertian Istinbath dan Ijtihad. Namun pada hakekatnya antara istinbath
dan ijtihad terdapat perbedaan.

Ijtihad mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan istinbath, karena istinbath
merupakan kerangka kerja dari ijtihad. Fokus istinbath adalah nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari kedua sumber
tersebut disebut istinbath. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan hukum yang
dilakukan melalui metode qiyas, istiṣhab, dan istiṣlah dan dalil rasional lainnya disebut ijtihad.

B. Macam-Macam Metode Istinbath Hukum

Metode Istinbath hukum ialah bagaimana pembahasan mengenai sumber-sumber hukum,


metode penggalian hukumnya, dan kriteria pelaku yang melangsungkan penggalian hukum
tersebut.
Sumber-sumber hukum yang dimaksud adalah berupa wahyu dan realita. Dalam artian,
Islam memiliki dua sumber yaitu: metodologi istinbath dari sumber-sumber hukum Islam dan
metodologi tathbiq hukum islam atau dapat dikatakan dari wahyu yang tertulis dan wahyu yang
tidak tertulis. Pada bagian sumber kedua tidak selamanya stagnan dan substansinya selalu
mengalami pekembangan.

Pada masa periode Tabi’-Tabiin, setiap mahzab baik Syafi'i, Maliki, Hanafi mempunyai
keunikan masing-masing. Keunikan-keunikan tersebut terletak dalam metode serta aplikasi dari
istinbath hukum yang digunakan masing-masing mahzab dan dasar yang digunakan. Seperti
misalnya Imam syafi'i mempunyai metode yang berbeda dengan imam-imam mazhab lainnya
dalam menetapkan hukum, yaitu sangat menekankan sunnah, an-nash dan ra'yu.

Berikut perbedaan tentang dasar-dasar para ulama dalam berijtihad dan mengambil
metode istinbath hukum, khususnya pada periode Tabi'-Tabi'in dan ulama mutaakhirin.

1. Metode Istinbath hukum Imam Abdu Hanifah

Langkah-langkah ijtihad Imam Abu Hanifah secara berurutan merujuk pada Al-Qur’an,
sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (Ijma’ ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa
sahabat yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan
Istinbāţh hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan
tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama tabi’in sebagai
rujukan karena rentang weaktu yang sudah jauh antara Rosulullah dan ulama dari generasi
tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan tabi’in dalam hal berijtihad.

Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan, “Inilah
pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka
pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah
yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia
adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”. Dari keterangan ini, tampak bahwa Imam
Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya
secara qath’iy dari Al-Qur’an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu
menggunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits.

2. Metode Istinbath hukum Imam Malik


Imam Malik dalam berijtihad dan menetapkan Istinbāţh hukum adalah dengan
berpegang pada Al-Qur’an. Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum
berdasarkan atas zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah
dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya. Sedangkan dalam berpegang kepada
sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang
kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan
pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-
Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir
Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl
Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada
zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).

Imam Malik sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat
Madinah (‘Amal Ahl al-Madinah). Hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan
hadits-hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah yang dinilainya tidak valid karena
bertentangan dengan tradisi Arab.

Dalam menggunakan Ijma’ Ahl al-Madinah maka harus dibedakan terlebih dahulu
menjadi dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh
Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh
Imam Malik. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo,
yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah pada masa
lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan
ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-
Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin
sebagai hujjah. Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada
khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar
ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.

3. Metode Istinbath hukum Imam Syafi'i


Dalam kitab ar-Risalah asy-Syafi’i karya Imam Syafi’i ditegaskan, bahwa Imam Syafi’i
sangat menekankan al-qiyas sebagai metode ijtihad. Bahkan dalam beberapa bagian dari buku
tersebut menegaskan al-qiyas merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata,
al-ijtihad huwa al-qiyas (Ijtihad itu tiada lain adalah al-qiyas.

Metode ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin
dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut: rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah.
Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan
qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar mufrad. Makna
yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz ihtimal (mengandung makna
lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab.
AsAsltidak boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh
dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’.

Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Qoul Qadim dan Qoul Jadid.
Qoul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Di Irak, beliau
belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-
ra’yi. Qaul Qadim merupakan pendapat Imam Syafi’ie yang pertama kali di fatwakan ketika
tinggal di bagdad irak (195 H), setelah diberi wewenang untuk berfatwa oleh gurunya, yaitu
Syeh Muslim bin Kholid (seorang ulama besar yang menjadi mufti di mekah) dan Imam Malik
(Pendiri mazhab Malikiyah dan yang pertama kali mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan
hadits dalam kitab sunah). Sedangkan Qoul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang
dikemukakan dan ditulis di Mesir.

Setelah tinggal di Irak, imam imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian
tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada
umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai
ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut Qoul Jadid. Dengan demikian, Qoul Qadim adalah
pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Qoul Jadid adalah pendapatnya yang
bercorak sunnah.
4. Metode Istinbath Hukum Imam Ahmad bin Hanbal

Metode Istinbāţh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum apabila beliau telah
mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam
menetapkan hukum adalah dengan nash itu. Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang
jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwafatwa dari
para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan
di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad bin Hanbal memilih pendapat yang lebih
dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka
beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam
Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if. Apabila
Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if, maka ia
menganalogikan/menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam keadaan
dharurat (terpaksa). Dan yang terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal juga menggunakan sadd al-
dzara’i untuk melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.

C. Aplikasi Istinbath dalam Bidang Fiqih

Salah satu contohnya adalah Aplikasi Qawaidh Fiqhiyyah dalam Istinbath Dewan Hisbah

Dewan Hisbah dalam pengistinbathan hukumnya tidak mempunyai suatu rumusan


metode secara jelas, namun merujuk pada teori/konsep yang telah ada sebelumnya. Tentunya
tak lepas dari ketentuan dan sumber pokok hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyah sebagai petunjuk operasional dalam


pengistinbathan hukum Islam (Muchlis Usman), merupakan satu bentuk perumusan untuk
mempermudah para mujtahid dalam meneliti dan memutuskan hukum suatu persoalan apalagi
di era sekarang. Begitu juga halnya Dewan Hisbah, penggunaan qawaidh fiqhiyah dipergunakan
dalam proses penyelesaian suatu kasus dari segi hukumnya.

Dalam sebuah artikel tentang terapi urine dalam Islam (urine sebagai obat), dijelaskan
mengenai status hukum urine sebagai obat oleh Dewan Hisbah pada sidang tahun 1995. Dalam
sidang itu juga dihadiri seorang dokter sebagai pemakalah ahli dan mengajukan pandangannya
mengenai urine sebagai obat dari segi ilmu kedokterannya.

Ustad Ghazie Abdul Qadir, Salah seorang ulama anggota Dewan Hisbah, mengemukakan
bahwa pengobatan dengan urine ada dua macam, yaitu pengobatan dengan urine binatang dan
pengobatan dengan urine manusia. Dalam hadits Bukhari terdapat riwayat mengenai bolehnya
meminum urine dan susu unta betina sebagai obat, sebab urine binatang itu tidak tergolong
barang najis. Sedangkan pengobatan dengan urine manusia tidak sama dengan urine
binatang,karena urine manusia adalah barang najis. Berarti hukumnya haram untuk diminum
sebagaimana kaidah ulama fiqih berbunyi: ‘’Setiap yang naajis itu haram, tetap tidak setiap
yang haram itu najis”.

Dewan hisbah mengenai hal ini, dengan memperhatikan keterangan hadits-hadits Nabi
SAW yang menyatakan bahwa:

1. Allah tidak menjadikan obat dari barang-barang yang diharamkan.


2. Air seni manusia itu najis
3. Air seni unta pernah dipakai sebagai obat di zaman nabi

Kemudian Dewan Hisbah ini memutuskan bahwa:

1. Urine manusia itu adalah najis dan haram dijadikan obat, dan
2. Berobat dengan urine binatang tidak dilarang

Keputusan Dewan Hisbah ini merujuk pada dalil dari hadits Bukhari dan satu kaidah
ulama fiqih sebagaimana telah tercantum diatas. Dari keputusan itu, ada dua persoalan yang
dilihat dan diputuskan, yaitu harmnya berobat dengan urine binatang. Jika dilihat dari
kapasitas kaidah fiqih terhadap persoalan diatas, maka kaidah itu dapat dijadikan sebagai salah
satu dalil mandiri bagi persoalan pertama (dilarang urine manusia sebagai obat) dan menjadi
pelengkap (suplemen) terhadap persoalan kedua (tidak dilarangnya obat dari urine binatang).

Kaidah fiqih ini dikatakan mandiri bagi persoalan/kasus pertama, karena tidak ada dalil
lain yang menunjukkan hal tersebut. Alasan yang dikemukakan Dewan Hisbah tentang
pengharaman itu berdasarkan bahwa urine manusia itu najis, maka dilarang penggunaannya
sebagai obat,. Sedangkan bagi kasus yang kedua, karena ada dalil lainnya (hadits) yang
menunjukkannya maka kaidah ini dianggap sebagai pelengkap, artinya dijadikan penguat
terhadap hadits tersebut yang menjadi dalil utama.

Dilihat dari keputusan tersebut berdasarkan penggunaan kaidaah fiqih tersebut,


khususnya pada kasus pertama mungkin dapat dianalisis lebih jauh. Secara normal (keadaan
biasa), pengharaman terhadap urine manusia sebagai obat berdasarkan kaidah fiqh itu bisa
ditolerir karena ada dalil hadits yang mengatakan bahwa “sesugguhnya Allah SWT telah
menciptakan penyakit dan obat, karena itu berobatlah kamu, tapi jangan berobat dengan yang
haram”. Namun demikian, timbul pertanyaan dari kondisi yang berbeda - bagaimana dengan
kondisi darurat? padahal secara nalar, obat itu berarti penyembuh bagi penyakit dan bisa juga
dikatakan dengan kondisi yang memudharatkan karena posisinya tidak dalam keadaan normal.
Terlepas dari pertanyaan tadi, kaidah ini dapat dijadikan hujjah karena didukung juga oleh
sabda Rasul SAW:

‫ن هلال لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم‬

“Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan penyembuhan kamu pada sesuatu yang
diharamkan.’’

Dari satu sisi, pengharaman urine manusia sebagai obat berdasarkan penggunaan
kaidah fiqh itu dan adanya dalil yang mendukung kaidah ini adalah sesuatu yang dapat diterima.
Pada sisi lain, penggunaannya sebagai obat dalam kondisi yang mengharuskannya, dalam artian
darurat perlu ditelusuri dan dianalisis kembali. Karena terdapat firman Allah surat al-An’am:
119, yang mengandung arti, Allah telah menerangkan apa yang diharamkan atasmu kecuali
yang kamu terpaksa memakannya.

Dalam konsep darurat mengenai persoalan pengobatan sebagaiman juga berobat


dengan khamar, para ahli fiqh hanafiah berpendapat bolehnya berobat dengan yang haram jika
ia yakin padanya ada penyembuh dan tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya. Kalau
hanya dalam batas perkiraan, maka itu tidak boleh, sedangkan pendapat dokter tidak
menghasilkan keyakinan (ilmu), dalam arti kata, bahwa pendapat satu orang dokter tidak
melahirkan keterangan yang meyakinkan.

Dari keadaan yang berbeda ini, dilihat dari keputusan hukum Dewan Hisbah dalam
penggunaan kaidah fiqh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kaidah ini sesuai
dipergunakan terhadap penyelesaian persoalan haramnya obat dari urine manusia, namun
dalam situasi tertentu kaidah ini pnggunaan kaidah ini perlu diteliti dan dianalisis lebih jauh lagi.
Ibn ‘Arabi berpandangan, tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram karena ada
penggantinya dan tidak dipergunakan untuk berobat ketika ada penggantinya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istinbath hukum adalah suatu upaya menemukan hukum-hukum syara dari nash al-Qur'an
dan As-Sunnah yang dilakukan dengan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan
pikiran.

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama. Adapun
konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya dari Allah swt yaitu dari al-Qur’an. Para ulama ushul
fiqih dan fiqih mufakat bahwa pengambilan Istinbath dari kitabullah dan ijma’, Qiyas. Hanya
saja ada sebagian yang mengambil keseluruhan atau sebagian dari padanya.

Metode Istinbath hukum ialah bagaimana pembahasan mengenai sumber-sumber hukum,


metode penggalian hukumnya, dan kriteria pelaku yang melangsungkan penggalian hukum
tersebut.

Dalam pengistinbathan hukumnya tidak mempunyai suatu rumusan metode secara jelas,
namun merujuk pada teori/konsep yang telah ada sebelumnya. Tentunya tak lepas dari
ketentuan dan sumber pokok hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Meskipun arah pengembangan ushul fiqih berbeda-beda pada masing-masing mahzab,


namun semua menerima dan mengembangkan empat dalil ulama yang ditegaskan oleh asy-
Syafi’i, yaitu : Al-Qur’an, sunnah,al-ijma’, dan al-qiyyas.
B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
senantiasa menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang bersifat
membangun demi perbaikan makalah di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul. Th. XIII(Desember,2011). Penerapan Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, (No.55).

M.Ali Rusdi Bedong. Juli 2019, Istinbath Hukum.

Nigrum, Ita Sofia. (2017) Dasar-Dasar Para Ulama dalam Berijtihad dan Metode Istinbath
Hukum, Mizan: Jurnal Imu Syariah, Vol. 5 (No.1).

Anda mungkin juga menyukai