Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TEORI MASLAHAH

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah)

Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : SUCIPTO, S.AG., M.H.

Disusun Oleh :

1. AKMAL SUCIAWAN (1921010127)

2. DODY ANGIE ROMADHON (1921010146)

3. PIAN SAPUTRA (1921010184)

4. WAHYU FIRMANSYAH (1921010115)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2022 M/1443
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat rahmat dan

inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Teori Maslahah” yang

dibimbing oleh dosen Sucipto, S.Ag., M.H.. Makalah ini merupakan tugas dalam mata

kuliah Filsafat Hukum Islam.

Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW,

yang memberikan syafaatnya di Yaumil Kiyamah kelak. Tidak lupa pula penulis ucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang membantu terselesainya makalah ini.

Penulis sangat menyadari banyaknya kekurangan serta keterbatasan yang jauh dari

kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan umumnya untuk kita semua.

Bandar Lampung, 15 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maslahah Mursalah.........................................................................................
2.2 Dasar Hukum Maslahah....................................................................................................
2.3 Jenis-jenis Maslahah Mursalah.........................................................................................
2.4 Status Hukum Maslahah Mursalah...................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................10
3.2 Saran …………………………………………………………………………………………11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Marshahah Mursalah merupakan suatu pertimbangan ijtihad yang serasi dengan

kebutuhan hidup masa kini, sesuai dengan maksud-maksud syariat, sekalipun dapat

memperkokoh kebenaran dan keuniversalan syariat Islam, meskipun teks syariat sendiri

tidak menyebutkan secara khusus. 1

Pada dasarnya kemaslahah hidup manusia merupakan tujuan diturunkan syariat dan

semua hukum yang dikandungnya, sehingga memberikan kebaikan dan kebahagiaan.

Syariat juga menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.2 Untuk itu salah satu metode

yang dikembangkan oleh ulama ushul fiiqh dalam mengistimbatkan hukum dari nash

adalah Mashlahah mursalah, yaitu suatu kemaslahah yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang

mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak pula ijma yang

mendukungnya, tetapi kemashlahah itu didukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’

(induksi dari sejumlah nash)

Maslahah Mursalah merupakan salah satu dalil hukum Islam yang masih

diperselisihkan oleh para ulama fikih.3 Marslahah Mursalah adalah dalil untuk menetapkan

suatu masalah baru yang secara eksplisit belum disebutkan dalam sumber utama, Al-qur’an

dan as-Sunnah, baik diterima ataupun di tolak.

1.2 Rumusan Masalah

1
Muardi Chatib, Mashlahah Mursalah sebagai suatu Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan Hukum Fikih yang
Relevan dengan Kebutuhan Mayarakat Masa Kini, (Disertasi, PPs IAIN Syahid, Jakarta, 1989, h.48:
2
Mustafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Fuqaha, Kairo: Muassasah al-Risalah,t.t, h.550
3
Mukhtar Yahya dan Factchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-Ma’arif, 1993,
h.100-118

ii
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian Maslahah?

2. Apa saja jenis-jenis Maslahah Mursalah?

3, Apa status hukum Maslahah Mursalah?

1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian Mashlahah Mursalah.

2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis Mashlahah Mursalah.

3, Untuk mengetahui apa status hukum Mashlahah Mursalah

Bab II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Maslahah Mursalah

Kata “maslaha” berarti pada al-aslu yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja

salaha dan saluha yang secara etimologis berarti manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak,

sesuai. Berdasarkan sudut pandang ilmu saraf (morfologi), kata “maslahah” satu pola dan

semakna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (mashlahah dan manfa’ah) telah diubah ke

dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan ‘manfaat’

Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafaz al-manfa’at, baik artinya,

maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat masdar yang sama artinya dengan

kalimat asl-salah seperti halnya lafaz al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Sedangkan

arti dari manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah SWT yaitu sifat menjaga

agama, jiwa, akal, keturunan dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta

dan makhluk Nya. Adapula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at dengan kenikmatan

atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.4

Kata maslahah secara hakiki adalah maslahah yang secara lafaz memiliki makna

almanfa’ah. Makna seperti in berbeda dengan makna majazi. Almaslahah dalam pengertian

majazi adalah kepastian manusia mengambil manfaat dari apa yang dilakukan. Sedangkan

almaslahah dalam pengertian hakiki adalah di dalam perbuatan itu sendiri mengandung

manfaat.

4
Muhammad bin ‘Afi Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul lla Tahqiq Al-Haq min’ Ilmi Al-Usul, Jilid 2, Betrut : Dar

Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, h.269

ii
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan yang telah

disyariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan kemaslahatan,

disamping tidak terdapatnya dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya,

maslahah al-mursalah disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar

dan salah.5

Dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan

pengembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan

dapat diterima oleh akal yang sehat. Hal ini mengandung makna akal dapat mengetahui

dengan jelas kemaslahatan tersebut.

Adapun yang menjadi tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan

mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjjjadi tujuan pokok pembinaan pokok

hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan

kebutuhan manusia ini bertingkat-tingkat. Menurut al-Syatibi ada 3 kategori tingkatan

kebutuhan itu, yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan

tahsiniyat (kebutuhan tertier).6 Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam, Al-Syatibi

menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat yaitu: maqashid dharuriyat

merupakan dasar dari maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid

dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan tahsiniyat.

Al-Syatibi membuat dua kriteria agar maslahah dapat diterima sebagai dasar

pembentukan Hukum Islam. Pertama, maslahah tersebut harus sejalan dengan jenis

tindakan syara’, karena itu maslahah yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau

5
Sayfuddin Abi Hasan Al Amidi, Al-Ahkam fi ususl al-Ahkam, Juz 3 Riyad: Muassasah Al Halabi, 1972, h.
142
6
Al-Syatibi, Op. Cit, h.8
yang berlawanan dengan dalil syara’ (Al-qur’an, As-Sunnah dan ijma) tidak dapat diterima

sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahah seperti criteria nomor satu

diatas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya,

maka menurut Al-Syatibi termasuk dalam kajian qiyas.

II.2 Dasar Hukum Maslahah

Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori maslahah,

diantaranya yaitu:

a. Al-Qur'an.

1) Surat Al-Anbiya' [21] ayat 107

ِ ِ ‫ومٓا اَرس ْلن‬


َ ‫ٰك ااَّل َرمْح َةً لِّْل ٰعلَمنْي‬
َ َ ْ ََ

Artinya: "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi

seluruh alam".

Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan tujuan-Nya mengutus Nabi Muhammad

SAW yang membawa agamaNya itu, tidak lain hanyalah agar mereka berbahagia di dunia

dan di akhirat. Allah mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW sebagai

rahmat bagi semesta alam, yaitu Dia mengutusnya sebagai rahmat untuk kalian semua,

barang siapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan

berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa yang menolak menentangnya,

niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat. ¹3

2) Surat Yunus [10] ayat 58

ii
‫ن‬#َ ‫ُه َو َخْيٌر مِّمَّا جَيْ َمعُ ْو‬ ‫ك َف ْلَي ْفَر ُح ْو ۗا‬ ِ ٰ ْ ‫قُل بَِف‬
َ ‫ض ِل اللّ ِه َوبَِرمْح َتِ ٖه فَبِ ٰذل‬ ْ

Artinya: Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu

mereka bergembira, karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang

mereka kumpulkan".

Karunia dalam ayat tersebut adalah Al-Qur'an. Sedangkan rahmat maksudnya

adalah agama dan keimanan, serta beribadah kepada Allah, mencintai-Nya dan mengenali-

Nya. Nikmat Islam dan Al-Qur'an merupakan nikmat yang paling besar. Allah SWT

memerintahkan bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya karena yang demikian dapat

melegakan jiwa, menyemangatkannya dan membantu untuk bersyukur, serta membuat

senang dengan ilmu dan keimanan yang mendorong seseorang untuk terus menambahnya.

Hal ini adalah gembira yang terpuji, berbeda dengan gembira syahwat dunia dan

kesenangannya dengan kebatilan, maka yang demikian merupakan gembira yang tercela. 15

b. Al-Hadith

Hadah Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah yang berbunyi:

‫ قال رسول هللا‬: ‫ انبا نا محمر عن جابر الجعفی عن عكرمة عن ابن عباس قال‬.‫ حدثنا عبداارزق‬,‫حدثنا محمد بن يحي‬

‫ الضرر وال ضرار‬: ‫صلى هللا عليه و سلم‬.

Artinya: "Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq

bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW

bersabda, "Tidak boleh berbuat madharat dan pula saling memadharatkan." (H.R Ibnu

Majah).

c. Landasan Ijma'
Perbuatan Para Sahabat dan Ulama seperti Abu Bakar as Shidiq, Umar bin Khattab

dan para Imam Mazhab telah mensyari'atkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip

maslahah. Disamping dasar dasar tersebut di atas, kehujjahan maslahah mursalah juga

didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab

Kholaf bahwa kemaslahatan manusia itu selalu actual yang tidak ada habisnya. Karenanya

jika tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahah baru manusia berkenaan dengan

maslahah baru yang terus berkembanag dan pembentukan hukum hanya berdasarkan

prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar'i saja, maka pembentukan hukum akan

berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan

terabaikan.

II.3 Jenis-Jenis Maslahah Mursalah

Menurut teori Ushul fiqh jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang

mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga maacam, yaitu :

1. Maslahah Al-Mu’tabarah

Yaitu al-maslahah yang diakui secara eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh

dalil (nash) yang spesifik. Disepkati ulama, maslahah jenis ini hujjah shar’iyyah

yang valid dan otentik. Sebagai contoh dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 :

‫ض َواَل َت ْقَربُ ْو ُه َّن َحىّٰت يَطْ ُه ْر َن ۚ فَاِ َذا تَطَ َّه ْر َن‬ ِ
ِ ۙ ‫ِّساۤءَ ىِف الْ َمحْي‬ ِ ْ َ‫ض ۗ قُل ُهو اَ ًذ ۙى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬
ِ
َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمحْي‬
َ َ‫َويَ ْسـَٔلُ ْون‬

‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِريْ َن‬ ُّ ِ‫ث اََمَر ُك ُم ال ٰلّهُ ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ حُي‬
ُّ ِ‫ب الت ََّّوابِنْي َ َوحُي‬ ُ ‫فَْأُت ْو ُه َّن ِم ْن َحْي‬

ii
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah,

“Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan

jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,

campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.

Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan

diri.

Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa istri yang sedang haid, tidak boleh

(haram) disetubuhi oleh suaminya karena factor adanya bahaya penyakit yang

ditimbulkan. Apabila hukum ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah

maslahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal, bila ditinjau dari segi yang

kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal. Istilah ini digunkan oleh Ibnu Hajib dan

Baidawi (Al-qadi Al-Badawi: 135). Untuk segi yang ke tiga dipakai istilah al

2. Maslahah al-Mulghah

Yaitu al-maslahah yang tidak diakui syara’, bahkan ditolak dan dianggap

batil oleh syara’. Sebagaimana ilustrasi yang mengatakan bahwa porsi hak

kewarisan laki-laki dan perempuan harus sama besar dan setara, yang mengacu

kepada dasar pemikiran persaan gender.

3. Maslahah al-Mursalah

Yaitu tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak dan

dianggap batil oleh syara’. Contohnya kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan

oleh pemerintah.
III.4 Status Hukum Maslahah Mursalah

Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahah mursalah dapat ditinjau dari tiga

segi, yaitu :

1. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya

pembuatan akte nikah. Akta nikah tersebut memiliki kemaslahatan, namun

kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan

pentingnya pembuatan akta nikah.

2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara. Misalnya akta nikah

mengandung sifat yang sesuai dengan syara’, antara lain untuk menjaga

status keturunan. Namun sifat ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus.

3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang

ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini ada penetapan suatu kasus

nahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.

Apabila hukum ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah maslahah

al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi kedua, dipakai

istilah al-munasib al-mursal. Istilah ini digunakan ole Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-

Qadi Al-Baidawi; 135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah al-istislah yang

dipakai oleh Imam Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa (Al-Ghazali: 311).

Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Maslahah Al-

Mursalah bias dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada

dasaarnyaa Allah SWT telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia

ii
sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa diperoleh darinya. Sebagaimana firman

Allah dalam QS. Ali Imran ayat 191.

ۚ ِ ‫ض ربَّنا ما خلَ ْقت ٰه َذا ب‬ ِ َّ ‫الَّ ِذين ي ْذ ُكرو َن ال ٰلّه قِياما َّو ُقعودا َّوع ٰلى جُنوهِبِم ويَت َف َّكرو َن يِف خ ْل ِق‬
‫ك‬
َ َ‫اطاًل ا ُسْب ٰحن‬َ َ َ َ َ َ ِ ۚ ‫الس ٰم ٰوت َوااْل َْر‬ َ ْ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ َ ً ُْ ً َ َ ْ ُ َ َ ْ

‫اب النَّا ِر‬ ِ


َ ‫فَقنَا َع َذ‬

Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk

atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit

dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua

ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

BAB III

PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Syatibi

mendefinisikan maslahah mursalah adalah maslahah yang ditemukan pada kasus yang tidak

ditunjuk oleh maslahah tertentu tetapi mengandung kemaslahatan yang sejalan dengan

tindakan syara. Kesejalanan ini tidak harus didukung dengan dalil tertentu yang berdiri

sendiri dan menunjuk pada maslahah tersebut tetapi dapat merupakan kumpulan dalil yang

member faedah yang pasti. Apabila dalil yang pasti ini memiliki makna kulli, maka dalil

kulli yang bersifat pasti tersebut kekuatannya sama dengan satu dalil tertentu.

Kemaslahatan adalah tujuan utama adanya syariah. Menurut Al-Syatibi, maslahah

meliputi kemaslahatan dunia dan akhirat, maka untuk mengukurnya harus dilihat dari

tingkat dasar kebutuhan manusia. Menurut al-Syatibi ada 3 kategori tingkatan kebutuhan

itu, yaitu : dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyat

(kebutuhan tertier).

III.2 Saran

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita
semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf.
Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Muardi Chatib, Mashlahah Mursalah sebagai suatu Pertimbangan Ijtihad


Mengembangkan Hukum Fikih yang Relevan dengan Kebutuhan Mayarakat Masa
Kini, (Disertasi, PPs IAIN Syahid, Jakarta, 1989, h.48

ii
Mustafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Fuqaha, Kairo: Muassasah
al-Risalah,t.t, h.550
Mukhtar Yahya dan Factchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
Bandung: al-Ma’arif, 1993, h.100-118
Muhammad bin ‘Afi Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul lla Tahqiq Al-Haq min’ Ilmi Al-
Usul, Jilid 2, Betrut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, h.269
Sayfuddin Abi Hasan Al Amidi, Al-Ahkam fi ususl al-Ahkam, Juz 3 Riyad :
Muassasah Al Halabi, 1972, h. 142
Al-Syatibi, Op. Cit, h.8

Anda mungkin juga menyukai