TEORI MASLAHAH
Disusun Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat rahmat dan
inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Teori Maslahah” yang
dibimbing oleh dosen Sucipto, S.Ag., M.H.. Makalah ini merupakan tugas dalam mata
Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang memberikan syafaatnya di Yaumil Kiyamah kelak. Tidak lupa pula penulis ucapkan
Penulis sangat menyadari banyaknya kekurangan serta keterbatasan yang jauh dari
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maslahah Mursalah.........................................................................................
2.2 Dasar Hukum Maslahah....................................................................................................
2.3 Jenis-jenis Maslahah Mursalah.........................................................................................
2.4 Status Hukum Maslahah Mursalah...................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................10
3.2 Saran …………………………………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
kebutuhan hidup masa kini, sesuai dengan maksud-maksud syariat, sekalipun dapat
memperkokoh kebenaran dan keuniversalan syariat Islam, meskipun teks syariat sendiri
Pada dasarnya kemaslahah hidup manusia merupakan tujuan diturunkan syariat dan
Syariat juga menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.2 Untuk itu salah satu metode
yang dikembangkan oleh ulama ushul fiiqh dalam mengistimbatkan hukum dari nash
adalah Mashlahah mursalah, yaitu suatu kemaslahah yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang
mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak pula ijma yang
mendukungnya, tetapi kemashlahah itu didukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’
Maslahah Mursalah merupakan salah satu dalil hukum Islam yang masih
diperselisihkan oleh para ulama fikih.3 Marslahah Mursalah adalah dalil untuk menetapkan
suatu masalah baru yang secara eksplisit belum disebutkan dalam sumber utama, Al-qur’an
1
Muardi Chatib, Mashlahah Mursalah sebagai suatu Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan Hukum Fikih yang
Relevan dengan Kebutuhan Mayarakat Masa Kini, (Disertasi, PPs IAIN Syahid, Jakarta, 1989, h.48:
2
Mustafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Fuqaha, Kairo: Muassasah al-Risalah,t.t, h.550
3
Mukhtar Yahya dan Factchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-Ma’arif, 1993,
h.100-118
ii
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
Bab II
PEMBAHASAN
Kata “maslaha” berarti pada al-aslu yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja
salaha dan saluha yang secara etimologis berarti manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak,
sesuai. Berdasarkan sudut pandang ilmu saraf (morfologi), kata “maslahah” satu pola dan
semakna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (mashlahah dan manfa’ah) telah diubah ke
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafaz al-manfa’at, baik artinya,
maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat masdar yang sama artinya dengan
kalimat asl-salah seperti halnya lafaz al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Sedangkan
arti dari manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah SWT yaitu sifat menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta
dan makhluk Nya. Adapula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at dengan kenikmatan
Kata maslahah secara hakiki adalah maslahah yang secara lafaz memiliki makna
almanfa’ah. Makna seperti in berbeda dengan makna majazi. Almaslahah dalam pengertian
majazi adalah kepastian manusia mengambil manfaat dari apa yang dilakukan. Sedangkan
almaslahah dalam pengertian hakiki adalah di dalam perbuatan itu sendiri mengandung
manfaat.
4
Muhammad bin ‘Afi Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul lla Tahqiq Al-Haq min’ Ilmi Al-Usul, Jilid 2, Betrut : Dar
ii
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan yang telah
disyariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka menciptakan kemaslahatan,
maslahah al-mursalah disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar
dan salah.5
Dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan
dapat diterima oleh akal yang sehat. Hal ini mengandung makna akal dapat mengetahui
Adapun yang menjadi tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan
mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjjjadi tujuan pokok pembinaan pokok
hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan
kebutuhan itu, yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan
tahsiniyat (kebutuhan tertier).6 Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam, Al-Syatibi
menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat yaitu: maqashid dharuriyat
merupakan dasar dari maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid
dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan tahsiniyat.
Al-Syatibi membuat dua kriteria agar maslahah dapat diterima sebagai dasar
pembentukan Hukum Islam. Pertama, maslahah tersebut harus sejalan dengan jenis
tindakan syara’, karena itu maslahah yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau
5
Sayfuddin Abi Hasan Al Amidi, Al-Ahkam fi ususl al-Ahkam, Juz 3 Riyad: Muassasah Al Halabi, 1972, h.
142
6
Al-Syatibi, Op. Cit, h.8
yang berlawanan dengan dalil syara’ (Al-qur’an, As-Sunnah dan ijma) tidak dapat diterima
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahah seperti criteria nomor satu
diatas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya,
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori maslahah,
diantaranya yaitu:
a. Al-Qur'an.
Artinya: "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam".
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan tujuan-Nya mengutus Nabi Muhammad
SAW yang membawa agamaNya itu, tidak lain hanyalah agar mereka berbahagia di dunia
dan di akhirat. Allah mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW sebagai
rahmat bagi semesta alam, yaitu Dia mengutusnya sebagai rahmat untuk kalian semua,
barang siapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan
ii
ن#َ ُه َو َخْيٌر مِّمَّا جَيْ َمعُ ْو ك َف ْلَي ْفَر ُح ْو ۗا ِ ٰ ْ قُل بَِف
َ ض ِل اللّ ِه َوبَِرمْح َتِ ٖه فَبِ ٰذل ْ
Artinya: Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira, karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan".
adalah agama dan keimanan, serta beribadah kepada Allah, mencintai-Nya dan mengenali-
Nya. Nikmat Islam dan Al-Qur'an merupakan nikmat yang paling besar. Allah SWT
memerintahkan bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya karena yang demikian dapat
senang dengan ilmu dan keimanan yang mendorong seseorang untuk terus menambahnya.
Hal ini adalah gembira yang terpuji, berbeda dengan gembira syahwat dunia dan
kesenangannya dengan kebatilan, maka yang demikian merupakan gembira yang tercela. 15
b. Al-Hadith
قال رسول هللا: انبا نا محمر عن جابر الجعفی عن عكرمة عن ابن عباس قال. حدثنا عبداارزق,حدثنا محمد بن يحي
Artinya: "Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq
bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak boleh berbuat madharat dan pula saling memadharatkan." (H.R Ibnu
Majah).
c. Landasan Ijma'
Perbuatan Para Sahabat dan Ulama seperti Abu Bakar as Shidiq, Umar bin Khattab
dan para Imam Mazhab telah mensyari'atkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip
maslahah. Disamping dasar dasar tersebut di atas, kehujjahan maslahah mursalah juga
didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab
Kholaf bahwa kemaslahatan manusia itu selalu actual yang tidak ada habisnya. Karenanya
jika tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahah baru manusia berkenaan dengan
maslahah baru yang terus berkembanag dan pembentukan hukum hanya berdasarkan
prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar'i saja, maka pembentukan hukum akan
berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan
terabaikan.
Menurut teori Ushul fiqh jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang
mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga maacam, yaitu :
1. Maslahah Al-Mu’tabarah
Yaitu al-maslahah yang diakui secara eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh
dalil (nash) yang spesifik. Disepkati ulama, maslahah jenis ini hujjah shar’iyyah
yang valid dan otentik. Sebagai contoh dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 :
ض َواَل َت ْقَربُ ْو ُه َّن َحىّٰت يَطْ ُه ْر َن ۚ فَاِ َذا تَطَ َّه ْر َن ِ
ِ ۙ ِّساۤءَ ىِف الْ َمحْي ِ ْ َض ۗ قُل ُهو اَ ًذ ۙى ف
َ اعتَزلُوا الن
ِ
َ ْ ِ ك َع ِن الْ َمحْي
َ ََويَ ْسـَٔلُ ْون
ب الْ ُمتَطَ ِّه ِريْ َن ُّ ِث اََمَر ُك ُم ال ٰلّهُ ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ حُي
ُّ ِب الت ََّّوابِنْي َ َوحُي ُ فَْأُت ْو ُه َّن ِم ْن َحْي
ii
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah,
“Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan
jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan
diri.
Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa istri yang sedang haid, tidak boleh
(haram) disetubuhi oleh suaminya karena factor adanya bahaya penyakit yang
ditimbulkan. Apabila hukum ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah
maslahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal, bila ditinjau dari segi yang
kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal. Istilah ini digunkan oleh Ibnu Hajib dan
Baidawi (Al-qadi Al-Badawi: 135). Untuk segi yang ke tiga dipakai istilah al
2. Maslahah al-Mulghah
Yaitu al-maslahah yang tidak diakui syara’, bahkan ditolak dan dianggap
batil oleh syara’. Sebagaimana ilustrasi yang mengatakan bahwa porsi hak
kewarisan laki-laki dan perempuan harus sama besar dan setara, yang mengacu
3. Maslahah al-Mursalah
Yaitu tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak dan
dianggap batil oleh syara’. Contohnya kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan
oleh pemerintah.
III.4 Status Hukum Maslahah Mursalah
Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahah mursalah dapat ditinjau dari tiga
segi, yaitu :
2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara. Misalnya akta nikah
mengandung sifat yang sesuai dengan syara’, antara lain untuk menjaga
status keturunan. Namun sifat ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus.
ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini ada penetapan suatu kasus
nahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.
Apabila hukum ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah maslahah
al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi kedua, dipakai
istilah al-munasib al-mursal. Istilah ini digunakan ole Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-
Qadi Al-Baidawi; 135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah al-istislah yang
Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Maslahah Al-
Mursalah bias dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada
dasaarnyaa Allah SWT telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia
ii
sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa diperoleh darinya. Sebagaimana firman
ۚ ِ ض ربَّنا ما خلَ ْقت ٰه َذا ب ِ َّ الَّ ِذين ي ْذ ُكرو َن ال ٰلّه قِياما َّو ُقعودا َّوع ٰلى جُنوهِبِم ويَت َف َّكرو َن يِف خ ْل ِق
ك
َ َاطاًل ا ُسْب ٰحنَ َ َ َ َ َ ِ ۚ الس ٰم ٰوت َوااْل َْر َ ْ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ َ ً ُْ ً َ َ ْ ُ َ َ ْ
atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
mendefinisikan maslahah mursalah adalah maslahah yang ditemukan pada kasus yang tidak
ditunjuk oleh maslahah tertentu tetapi mengandung kemaslahatan yang sejalan dengan
tindakan syara. Kesejalanan ini tidak harus didukung dengan dalil tertentu yang berdiri
sendiri dan menunjuk pada maslahah tersebut tetapi dapat merupakan kumpulan dalil yang
member faedah yang pasti. Apabila dalil yang pasti ini memiliki makna kulli, maka dalil
kulli yang bersifat pasti tersebut kekuatannya sama dengan satu dalil tertentu.
meliputi kemaslahatan dunia dan akhirat, maka untuk mengukurnya harus dilihat dari
tingkat dasar kebutuhan manusia. Menurut al-Syatibi ada 3 kategori tingkatan kebutuhan
itu, yaitu : dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyat
(kebutuhan tertier).
III.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi kita
semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang berkenan kami mohon maaf.
Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
ii
Mustafa Sa’id al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Fuqaha, Kairo: Muassasah
al-Risalah,t.t, h.550
Mukhtar Yahya dan Factchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
Bandung: al-Ma’arif, 1993, h.100-118
Muhammad bin ‘Afi Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul lla Tahqiq Al-Haq min’ Ilmi Al-
Usul, Jilid 2, Betrut : Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, h.269
Sayfuddin Abi Hasan Al Amidi, Al-Ahkam fi ususl al-Ahkam, Juz 3 Riyad :
Muassasah Al Halabi, 1972, h. 142
Al-Syatibi, Op. Cit, h.8