Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Dalil Yang Di Sepakati”

“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu filsafat islam”

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Miftahhul Salam 1321019
Silfia Putri Febrisya 1321025

Dosen Pengampu:
Martia Lestari S.HI.M.H

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Bissmillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarrokatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang menguasai sekalian alam yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dpati menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah
pada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, dan segenap keluarganya, sahabatnya,
dan segenap para pengikutnya. Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Ilahi
Robbi yang telah memberikan nikmat dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Hubungan Maqasyid Syariah Dengan
Dalil Yang Di Sepakati”. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
ilmu filsafat islam.
Selain itu, penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk
menambah pengetahuan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Dalam proses
pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan, dukungan, dan semangat dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada bapak Martia Lestari S.HI.M.H selaku Dosen pengampu mata kuliah
Pancasila dan kewarganegaraan yang telah membimbing kami dalam menulis makalah
ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian,semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarrokatuh

Bukittinggi, 18 September 2023

Pemakalah

i
Daftar Isi

Kata Pengantar .......................................................................................................................i


Daftar isi ................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................2
Bab II Pembahasan ................................................................................................................3
A. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Al Quran .......................................................3
1. Contoh kasus ........................................................................................................5
B. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan As Sunnah .....................................................7
1. Contoh Kasus .......................................................................................................8
C. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Ijma ..............................................................9
1. Contoh Kasus .......................................................................................................10
D. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Qiyas .............................................................12
Bab III Penutup ......................................................................................................................17
A. Kesimpulan ................................................................................................................18
B. Saran ..........................................................................................................................19
Daftar Pustaka ........................................................................................................................20
Lampiran ................................................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Islam bersumber dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah, yang diyakini bertujuan mencapai kemaslahatan manusia. Apabila
sebuah hukum tidak menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka perlu adanya
tinjauan kembali terhadap hukum tersebut dan dibuatkan hukum baru yang lebih
maslahah tanpa menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama dan tidak bertentangan dengan
nash.
Kajian terhadap Maqashid al-Syariah sangat penting dalam upaya istibath
hukum, karena Maqashid al-Syariah dapat menjadi landasan penetapan hukum.
Pertimbangan ini menjadi keharusan untuk masalah-masalah yang tidak memiliki
ketegasan dalam nash. Islam diturunkan ke bumi lengkap dengan syariah yang
diperuntukkan bagi manusia. Ini berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara
fungsional dan dalam konteks yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia,
baik secara individu maupun secara sosial (kolektif kemasyarakatan)1.
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqasid syariah
merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang selalu menjadi perhatian
ulama dan pakar hukum Islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-
Qur'an, begitu pula perintah dan larangan Nabi dalam Sunnah yang terumuskan dalam
fiqh, akan terlihat bahwa semuanya memiliki tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia.
Semuanya memiliki kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam pembahasan ini, saya
akan membahas definisi maqasid syariah, hujjah (dalil), cara mengetahui dan tujuan
mengetahui maqasid syariah, jenis-jenisnya, dan contoh penerapannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan maqasyid syariah dengan Al Quran ?
2. Apa hubungan maqasyid syariah dengan As Sunnah?
3. Apa hubungan maqasyid syariah dengan Ijma?
4. Apa hubungan maqasyid syariah dengan Qiyas?

1
alam khazanah fiqh disebut al-kulliyatul al-khamsah.

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan maqasyid syariah dengan Al Quran
2. Mengetahui hubungan maqasyid syariah dengan As Sunnah
3. Mengetahui hubungan maqasyid syariah dengan Ijma
4. Mengetahui hubungan maqasyid syariah dengan Qiyas

2
BAB II
PEMBAHASAN

Maqashid al-Syariah merupakan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh syari'ah


dalam setiap ketetapan hukumnya. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilakukan para
mujtahid dalam menetapkan hukum selalu diarahkan untuk mencapai tujuan yang
dimaksud. Usaha-usaha yang dimaksud adalah dengan menggunakan dalil-dalil dan
metode-metode tertentu agar ijtihad yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
al-Syari'ah2.
Hubungan antara maqashid al-Syariah dengan dalil-dalil atau metode-metode yang
digunakan oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum adalah melalui:
1. Al-Qur'an
2. Sunnah
3. Ijma' (kesepakatan umat Islam)
4. Qiyas (analogi)
5. Maslahah mursalah (kepentingan umum yang tidak memiliki dalil yang khusus)
6. Istihsan (preferensi)
7. Sadd al-dzari'ah (mencegah kemungkaran)
8. Qaul al-shahabi (pendapat para sahabat Nabi Muhammad)
9. Al-'urf (kebiasaan masyarakat)
10. Syar'u man qablana (hukum-hukum yang berlaku sebelum Islam)
11. Istishab (kekaburan hukum yang berlanjut).
Dengan menggunakan dalil-dalil dan metode-metode ini, para mujtahid berusaha
mencapai tujuan-tujuan syari'ah dalam menetapkan hukum-hukum Islam.
A. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Al Quran
Semua perintah dan larangan Allah dalam al-Qur'an dan sunnah mempunyai
tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah tujuan, yaitu
sebagai rahmat bagi umat manusia, hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt. di
dalam QS. al-Anbiyaa'/21: 107

2
Busyro,Maqashid Al-Syari’ah (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), h.145

3
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Berdasarkan ayat tersebut Allah swt. memberitahukan bahwa Allah swt.
menjadikan Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta. Berbahagialah di
dunia dan di akhirat mereka yang menerima rahmat tersebut dan
mensyukurinya.Sedangkan yang menolak dan mengingkarinya merugi di dunia dan di
akhirat.
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan
umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik
dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa
akal dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu
karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya
oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi. Kemaslahatan yang dijelaskan secara
langsung oleh Allah swt. terdapat dalam QS. al-'Ankabut/29: 45

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah adalah lebih besar . Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa shalat mengandung dua hikmah, yaitu
sebagai pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Shalat sebagai
pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong
pelakunya dapat menghindarinya
Al-Qur'an merupakan sumber dan dalil pertama dalam hukum Islam yang
didefinisikan sebagai kalam Allah, dengan tujuan mencapai tujuan syari'ah.3
Secara umum, ulama Ushul Fiqh terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu aliran
Mutakallimin dan Fuqaha'. Aliran Mutakallimin, yang juga dikenal sebagai aliran
Syafi'i atau jumhur, menawarkan cara pemahaman teks melalui mantuq, yaitu cara
memahami nash Al-Qur'an secara tekstual sesuai dengan yang tertulis dalam nash.

3
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah

4
Mafhum adalah pegembangan makna dari sebuah teks Al-Qur'an secara muwafaqah
(sesuai) dan mukhalafah (berlawanan).
Sementara itu, aliran Fuqaha' lebih disandarkan kepada nama besar Imam Abu
Hanifah. Mereka cenderung memahami nash Al-Qur'an dengan lebih fleksibel,
menggunakan pendekatan ijtihad dan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum-hukum
Islam. Ini berarti mereka mungkin mengambil kira faktor-faktor lain seperti maslahah
(kemaslahatan) dan 'urf (kebiasaan masyarakat) dalam penafsiran hukum.
Kedua aliran ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan dan
mengaplikasikan hukum Islam, tetapi keduanya bertujuan untuk mencapai tujuan
syari'ah yang diungkapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah4.
Walaupun dalam proses ijtihad yang mereka lakukan terdapat perbedaan-
perbedaan metodologi, tetapi setidaknya hasil usaha mereka dalam menemukan hukum
Allah SWT untuk sesuatu yang tidak dijelaskan dalam nash secara rinci atau untuk
menjawab suatu persoalan yang sama sekali tidak terdapat dalam nash sudah diizinkan
oleh Rasullah SAW.
Contoh kasus :
1. Sertifikasi Halal MUI
Dalam ajaran Islam, umat Islam diharuskan untuk mengkonsumsi
produk halal. Keharusan ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
168;

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Perintah ini dikaitkan dengan arti makanan itu sendiri bagi manusia,
yaitu membentuk keturunan yang sehat, tidak hanya secara jasmani tetapi juga
rohani. Maka, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang
sertifikasi halal guna melindungi umat Islam dari makanan, minuman, obat-
obatan, serta kosmetik yang tidak halal untuk dikonsumsi atau digunakan.

4
bid., h.146-147

5
Dalam konteks ini, upaya sertifikasi halal bagi suatu produk terkait dengan
Maqashid Syari'ah, yang muatan intinya adalah kemaslahatan umat manusia.
Selain itu, sertifikasi halal bagi suatu produk diperlukan karena dalam
Islam, keharaman suatu makanan tidak hanya bergantung pada 'illah (sebab
pengharaman) yang dapat diidentifikasi. Artinya, suatu makanan sering kali
dilihat dari perspektif ta'abbudi (kepatuhan terhadap Tuhan). Sebagai contoh,
pengharaman memakan daging babi atau makanan yang mengandung lemak
babi. Meskipun sudah dapat dipastikan bahwa makanan tersebut bebas dari
cacing pita yang dapat membahayakan kesehatan manusia, namun hal ini tidak
mengubah status hukumnya menjadi halal.
Dengan demikian, sertifikasi halal menjadi penting dalam memastikan
bahwa produk-produk yang dikonsumsi oleh umat Islam sesuai dengan prinsip-
prinsip Maqashid Syari'ah yang berfokus pada kemaslahatan dan kepatuhan
terhadap ajaran agama.
2. Larangan riba
Larangan riba dalam Al-Qur'an dapat ditemukan dalam beberapa ayat, termasuk
dalam Surah Al-Baqarah (2:275), yang berbunyi

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba, mereka tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba."
Dalam ayat ini, Allah menggambarkan orang-orang yang terlibat dalam riba
sebagai orang yang terpengaruh oleh syaitan dan mengalami kegilaan penyakit
spiritual. Ayat ini menekankan perbedaan antara riba dan jual beli yang sah. Allah
menghalalkan jual beli sebagai cara yang sah untuk mendapatkan keuntungan,
sementara riba diharamkan.5

5
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah

6
B. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan As Sunnah
Al-Sunnah dalam menjelaskan Maqâṣid dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumber Hukum Al-Qur'an dan Al-Sunnah: Dalam pemahaman Maqâṣid Syarî'ah,
sumber hukum utamanya adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Maqâṣid Syarî'ah merujuk
pada tujuan-tujuan atau makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-
Sunnah. Oleh karena itu, jika seseorang mengabaikan Al-Sunnah, ia sebenarnya telah
meninggalkan sebagian dari ajaran Syarî'ah. Al-Sunnah memberikan penjelasan lebih
lanjut tentang bagaimana ajaran dalam Al-Qur'an diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Memahami Kaidah Umum dan Maqâṣid yang Komprehensif: Untuk memahami
kaidah-kaidah umum dan maqâṣid Syarî'ah secara menyeluruh, seseorang perlu
memeriksa dan memahami sepenuhnya apa yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-
Sunnah. Dengan cara ini, seseorang dapat mendapatkan wawasan yang lebih mendalam
tentang tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Penafsiran dan
pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah kunci untuk
memahami maqâṣid Syarî'ah dengan baik.
3. Bahwa al-Sunnah merupakan penjelasan dari makna yang terkandung dalam al-Qur’an
sebagaimana firman Allah :
‫نز َْلَنآِالَ ْي كَ الذ ِٓ كْ َر ِٓل َُتبَي ِٓ نَ ِٓللنَّاس ِٓ َم ا نُ ِٓز َل ِٓالَ ْي ِٓه م‬
َ َْ َ‫تف كَّ ُر ْو نَ َو ا‬ َ ‫َو لَ َع لَّهُ ْم‬
َ ََ‫ي‬
Sehingga bisa dikatakan bahwa AlSunnah juga merupakan penjelasan Maqâṣid dari
sebagian hukum yang Maqṣad-nya tidak disebutkan oleh al-Qur’an.
4. Bahwa Terkadang as-Sunnah berdiri sendiri dalam beberapa hukum yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, sehingga al-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelas
maqâṣid yang terkandung dalam al-Sunnah tersebut.
Contoh kasus :
1. Hukuman Bagi Pencuri
Hukuman bagi pencuri dalam Islam didasarkan pada berbagai hadits
Nabi Muhammad SAW dan bukan pada ayat Al-Qur'an yang eksplisit. Selain
itu, dalam Islam, hukuman bagi pencuri yang telah terbukti bersalah termasuk
dalam kategori hukuman hudud (hukuman yang telah ditetapkan dalam syariah)
dan bukan tindakan sepihak. Berikut adalah contoh hadits yang relevan dan
penjelasannya:

7
Contoh Hadits :
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW
bersabda:

"ُ‫س ْفلَى َوأَ َّولُ ُه َما ا ْل َج ْل َدة‬


ُّ ‫"ا ْل َي ُد ا ْلعُ ْل َيا َخي ٌْر ِٓمنَ ا ْل َي ِٓد ال‬

Artinya: "Tangan yang di potong adalah yang lebih baik daripada tangan yang
dicuri, dan yang pertama kali diganti kulitnya." (Sahih al-Bukhari)
Analisis:
1. Tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara spesifik mengenai hukuman pencuri
yang telah terbukti bersalah, termasuk hukuman potong tangan. Oleh karena itu,
hukuman ini didasarkan pada hadits dan praktik-praktik Nabi Muhammad
SAW.
2. Hadits di atas menegaskan bahwa tindakan mencuri adalah tindakan yang
sangat serius dalam Islam dan mendapat hukuman yang keras. Hukuman ini
dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan yang kuat untuk mengurangi
kejahatan pencurian dalam masyarakat.
3. Hukuman potong tangan bagi pencuri adalah bagian dari hukuman hudud
dalam Islam, yang ditetapkan dalam syariah dan memiliki ketentuan-ketentuan
yang ketat yang harus dipenuhi sebelum diterapkan. Hukuman ini diterapkan
hanya jika terdapat bukti yang kuat dan syarat-syarat tertentu terpenuhi.
4. Hukuman ini juga menunjukkan pentingnya keadilan dalam Islam dan
perlindungan hak milik individu. Dengan memberlakukan hukuman yang tegas
terhadap pencuri, Islam bertujuan untuk menjaga hak milik dan mencegah
ketidakadilan dalam masyarakat.
Jadi, hukuman bagi pencuri yang telah terbukti bersalah dalam Islam
didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW dan merupakan bagian dari
hukum Islam yang telah ada dalam masyarakat Muslim sejak zaman awal Islam.
Hukuman ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan mencegah tindakan
pencurian yang merugikan masyarakat.

8
C. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Ijma
Pentingnya Ijma' (kesepakatan umat Islam) dalam hukum Islam menjadi jelas
dengan posisinya sebagai sumber hukum yang diakui. Ijma' memiliki hubungan yang
erat dengan Maqâṣid (tujuan-tujuan syari'ah) dalam beberapa aspek:
Mengukuhkan Hukum Ijma' dapat mengukuhkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan Maqâṣid. Ketika terjadi kesepakatan di antara para mujtahid (ahli
hukum Islam) dari berbagai mazhab atau madzhab dalam suatu masalah hukum, itu
menunjukkan bahwa hukum tersebut telah mencapai tingkat konsensus dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan syari'ah.
Menghindari Perselisihan: Maqâṣid yang diperoleh melalui ijma' cenderung
lebih kuat daripada yang masih diperselisihkan. Ini karena ketika terjadi kesepakatan
dalam masyarakat Islam, maka hal tersebut meminimalkan keraguan dan perselisihan
dalam penerapan hukum, yang dapat merugikan tujuan-tujuan syari'ah.
Pengakuan Maqâṣid dalam Ijma': Dalam proses ijma', para mujtahid perlu memahami
Maqâṣid Syarî'ah sebagai panduan dalam mengambil keputusan. Hal ini menunjukkan
pentingnya pemahaman terhadap tujuan-tujuan syari'ah dalam proses ijtihad dan ijma',
karena hukum-hukum yang dihasilkan harus selaras dengan maqâṣid tersebut.
Landasan Ijma': Ijma' kadang-kadang didasarkan pada Al-Qur'an dan Al-
Sunnah, tetapi juga dapat melibatkan ijtihad dan akal yang dibangun dari pemahaman
Maqâṣid dan Maṣâliḣ Syariah. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap
pemahaman Maqâṣid dalam Ijma' adalah sangat penting, karena ijma' tidak akan terjadi
tanpa pemahaman yang benar tentang tujuan-tujuan syari'ah dan nash-nash (teks-teks
hukum) yang relevan.
Contoh kasus :
1. Zakat Fitrah
Dalam konteks zakat fitrah, tidak ada dalil (ayat) yang secara eksplisit
menyebutkan zakat fitrah dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, kewajiban zakat fitrah
didasarkan pada Ijma' (kesepakatan umat Islam) dan Hadits (ajaran dan tindakan Nabi
Muhammad SAW). Ini adalah contoh bagaimana Ijma' dan Hadits digunakan sebagai
sumber hukum dalam Islam ketika tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara spesifik
mengenai suatu masalah.

9
Dalil tentang kewajiban zakat fitrah didasarkan pada hadits Nabi Muhammad
SAW. Salah satu hadits yang digunakan sebagai dalil adalah hadits yang meriwayatkan
dari Ibn Umar (ra):

‫هللا صلى هللا عليه وسلم َزكَاةَ ا ْل ِٓف ْط ِٓر‬ ِٓ ‫سو ُل‬ ُ ‫ض َر‬ َ ‫ فَ َر‬:َ‫ قَال‬،‫ع ْن ُه َما‬
َ ُ‫ع َم َر َر ِٓض َي هللا‬
ُ ‫ع َِٓن اب ِْٓن‬
ِٓ ‫ َوأَ َم َر بِٓ ِٓإ ْخ َر‬، َ‫س ِٓل ِٓمين‬
‫اج َها‬ ِٓ ‫ َوذُك‬،‫الصغَ ِٓار‬
ْ ‫ُور ا ْل ُم‬ ِٓ ‫اء َو‬ِٓ ‫س‬َ ِٓ‫علَى الن‬َ ،‫ير‬ َ ‫صاعًا ِٓم ْن‬
ٍ ‫ش ِٓع‬ َ ‫صاعًا ِٓم ْن تَ ْم ٍر أَ ْو‬ َ
ِٓ ‫صال ِٓة ا ْل ِٓعي ِٓد بِٓيَ ْو ِٓم‬
‫ين‬ َ ‫قَ ْب َل‬
Artinya: "Ibnu Umar berkata, 'Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah,
yaitu satu sha' (sekitar 2,5 kg) dari kurma atau satu sha' dari gandum, untuk wanita-
wanita, anak-anak, dan laki-laki muslim. Beliau juga memerintahkan agar zakat fitrah
dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum Salat Idul Fitri.'" (Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim)
Analisis :
2. Dalam hadits di atas, Nabi Muhammad SAW secara tegas memerintahkan
wajibnya zakat fitrah, yang meliputi orang-orang tertentu, seperti wanita-wanita,
anak-anak, dan laki-laki Muslim. Ini mencakup seluruh umat Islam.
3. Meskipun Al-Qur'an tidak secara langsung menyebutkan zakat fitrah, hadits ini
menjadi dasar hukum yang kuat untuk kewajiban zakat fitrah dalam Islam. Ini
menunjukkan bahwa Ijma' (kesepakatan umat Islam) telah terbentuk di sekitar
kewajiban ini, dan tidak ada perselisihan yang signifikan di antara para ulama
tentangnya.
4. Zakat fitrah diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum pelaksanaan Salat Idul Fitri.
Ini menunjukkan pentingnya kewajiban ini dalam membantu kaum yang
membutuhkan menjalani hari raya dengan layak dan layak.
Dengan demikian, meskipun tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara spesifik
mengenai zakat fitrah, hadits Nabi Muhammad SAW dan Ijma' umat Islam menjadi
dasar hukum yang kuat untuk kewajiban zakat fitrah pada bulan Ramadan. Hal ini
menunjukkan bagaimana Islam menggunakan sumber-sumber hukumnya, termasuk
Ijma' dan Hadits, untuk menjelaskan dan mengatur masalah-masalah yang tidak
tercakup secara eksplisit dalam Al-Qur'an.

10
2. ijma' tentang Waktu-waktu Salat
Ijma' (kesepakatan umat Islam) tentang waktu-waktu salat telah ada sejak
zaman awal Islam dan didasarkan pada ajaran Nabi Muhammad SAW. Berikut
adalah dalil-dalil dari hadits yang menjelaskan waktu-waktu salat dan analisisnya:
1. Salat Subuh (Fajr):
- Dalil: Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bersalatlah kamu di waktu pagi
(Subuh) ketika masih gelap (sebelum terbitnya matahari)." (Sahih Muslim)
- Analisis: Dalil ini dengan jelas menunjukkan bahwa Salat Subuh dilakukan
sebelum terbitnya matahari, saat masih gelap. Kesepakatan umat Islam dan
ulama dalam hal ini sesuai dengan ajaran Nabi.
2. Salat Dhuhur:
- Dalil: Nabi Muhammad SAW biasanya melaksanakan Salat Dhuhur ketika
matahari telah melewati titik tertinggi (zawal) dan mulai menurun. Ini adalah
waktu ketika bayang-bayang seseorang menjadi sama panjangnya dengan
tinggi tubuhnya.
- Analisis: Kesepakatan umat Islam dan ulama bahwa Salat Dhuhur dilakukan
pada waktu ini sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW.
3. Salat Ashar :
- Dalil: Nabi Muhammad SAW biasanya melaksanakan Salat Ashar setelah
matahari menurun dari titik tertinggi, tetapi sebelum matahari terbenam.
- Analisis: Kesepakatan umat Islam dan ulama bahwa Salat Ashar dilakukan
pada waktu ini sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW.
4. Salat Maghrib :
- Dalil: Nabi Muhammad SAW melaksanakan Salat Maghrib segera setelah
matahari terbenam.
- Analisis: Kesepakatan umat Islam dan ulama bahwa Salat Maghrib dilakukan
setelah matahari terbenam sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
5. Salat Isya :
- Dalil: Nabi Muhammad SAW biasanya melaksanakan Salat Isya setelah
matahari telah sepenuhnya terbenam dan langit menjadi gelap.
- Analisis: Kesepakatan umat Islam dan ulama bahwa Salat Isya dilakukan pada
waktu ini sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW.

11
Seluruh dalil di atas menegaskan bahwa waktu-waktu salat telah ditentukan
berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada perselisihan signifikan
dalam masalah ini di antara umat Islam dan ulama. Kesepakatan ini mengikuti
tuntunan Nabi dan memastikan bahwa ibadah Salat dilaksanakan pada waktu yang
benar sesuai dengan ajaran Islam.
D. Hubungan Maqasyid Syariah Dengan Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti mengukur, menyamakan dan menghimpun atau
ukuran, skala, bandingan dan analogi. Adapun pengertian qiyas secara istilah adalah
“menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu
yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara
keduanya”.
Qiyas sebagai metode Ijtihad dipakai hampir semua madzhab hukum dalam
Islam, walaupun pemakainya dalam intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
qiyas termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafaq „alaih (disepakati) setelah
al-Qur‟an, hadits dan ijma‟.6
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Qiyas adalah Menetapkan hukum sesuatu
yang belum diketahui dengan menyamakan hukumnya dengan sesuatu yang telah
diketahui, karena adanya kesamaan illat (Khoirin YD 2018, 66).
Dari pengertian tersebut, bisa kita pahami bahwa dalam Qiyas harus memiliki
satu ‘Illat yang sama antara Ashl dan Far’, dan ‘illat sebagaimana diketahui adalah
salah satu rukun yang harus dipenuhi dalam Qiyas, dan disayaratkan pula oleh para
Ushuliyun dengan adanya kecocokan illat padaasal dan far’(Al-Yubi 1998, 519).
Bahwa Kecocokan illat menurut al Subki adalah jika dalam kecocokannya
menyebabkan suatu Maslahat atau bisa menghindarkan mafsadat (Al-Yubi 1998,
523).Dengan demikian hubungan antara maqâṣid dan qiyas adalah bahwa salah satu
rukun qiyas adalah illat, dan disyaratkan bagi illat tersebut adanya munâsabah,
sedangkan munâsabahitu sendiri harus memperhatikan adanya maqâṣid syarî’ah baik
yang berupa jalb al-maṣâlih maupun yang berupa daf’ al-mafâsid.

6
Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah

12
Dengan demikian qiyas akan tawaquf atau berkesuaian dalam hubungannya
dengan maqâṣid syari’ah, jika dalam dalam ta’lil-nya tidak ada muhasabah, atau jika
illatnya berupa illat yang mulghah atau berupa illat yang tidak dianggap oleh Syari’at
(Al-Yubi 1998, 523).
Al-Ghazali berpendapat dalam masalah ini, bahwa segala macam munasabah
sebenarnya harus dikembalikan kepada perhatiannya terhadap maqâṣid , sehingga apa
saja yang tidak sejalan dengan maqâṣid , maka tidak bisa disebut dengan suatu yang
munasib. Dan apapun yang bertujuan akhir pada perkara yang sesuai dengan maqâṣid ,
maka itu lah yang disebut sebai suatu illat yang munadi (Al-Yubi 1998, 523).
Masuknya qiyas kedalam dalil yang disepakati dapat ditinjau dari berbagai
pertimbangan, antara lain :
1. Kedekatan qiyas dengan sumber hukum dalam mekanisme penalaran ta‟lili („illat
hukum).
2. Pertimbangan pertama menjadikan qiyas sebagai langkah awal proses panggalian
hukum. Upaya ke arah pemikiran analogi dianjurkan oleh Allah dalam Al-
Qur‟an.7
Contoh qiyas adalah mengkonsumsi narkotika merupakan perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedangkan tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukum. Untuk menetapkan hukumnya ditempuh dengan cara qiyas yaitu menyamakan
perbuatan yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkkan nash, yaitu perbuatan
meminum khamr, berdasarkan Qs. Al-Maidah/5: 90.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

7
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah

13
Arti dasar qiyas adalah metode pengukuran dalam hukum Islam yang digunakan
untuk menemukan 'illat (sebab hukum) yang terdapat dalam nash (teks hukum) untuk
diterapkan dalam kasus yang serupa. Secara umum, definisi qiyas adalah
membandingkan hukum suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash dengan kasus yang
sudah ada dalam nash karena terdapat persamaan dalam 'illat hukum (sebab hukum)8.
Dalam metode qiyas, terdapat empat unsur utama: 'asl (kasus asal), far', hukm
al-'asl (hukum kasus asal), dan 'illat. 'Illat memiliki peran yang sangat penting dalam
qiyas, dan prinsip dasar qiyas adalah bahwa hukum yang diterapkan pada kasus baru
harus memiliki 'illat yang sama dengan kasus yang ada dalam nash.
Ada perbedaan antara 'illat (sebab hukum) dan hikmah (kebijaksanaan). 'Illat
harus dapat diidentifikasi dengan jelas dan objektif, sementara hikmah lebih bersifat
sebagai motif atau alasan dibalik pemberlakuan suatu hukum. Hikmah merupakan
faktor yang penting dalam pemberlakuan suatu hukum, tetapi 'illat digunakan sebagai
dasar penetapan hukum karena lebih konkret.
Beberapa mazhab, seperti Hanafi dan Hanbali, serta ulama seperti Ibn
Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyya, membedakan antara 'illat dan hikmah. 'Illat
dianggap sebagai tujuan yang dekat dan dapat digunakan sebagai dasar penetapan
hukum, sedangkan hikmah dianggap sebagai tujuan yang lebih abstrak dan tidak dapat
digunakan sebagai dasar penetapan hukum. Pandangan ini dianut oleh mayoritas ahli
ushul fiqih.
Dengan demikian, qiyas adalah metode yang digunakan dalam hukum Islam
untuk memperoleh hukum dalam kasus-kasus baru berdasarkan 'illat yang sama dengan
kasus yang sudah ada dalam nash. 'Illat dan hikmah memiliki peran yang berbeda dalam
penetapan hukum, dan 'illat dianggap sebagai faktor yang lebih konkret dalam proses
ini.9
Jauziyah berpendapat bahwa qiyas sangat bergantung pada adanya hikmah
(Abu Zahrah, 1958:250). Senada dengan mereka, al-Syatibi (t.th.:185) berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan 'illat adalah hikmah itu sendiri, dalam bentuk maslahah
dan mafsadah, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau

8
Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah
9
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam

14
kebolehan, baik secara zahir atau tidak, mundabit atau tidak. Dengan demikian,
menurut mereka, 'illat sebenarnya adalah maslahah dan mafsadah itu sendiri. Dalam
pandangan ini, hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmah tanpa harus ada 'illat.
Namun, jika dicermati lebih dalam, tulisan Abu Zahrah (1958:241-243)
menunjukkan bahwa hikmah dan 'illat memiliki hubungan yang erat dalam proses
penetapan hukum. Hikmah merupakan sifat yang ada tetapi tidak langsung dapat
digunakan sebagai dasar hukum. Hikmah baru akan menjadi 'illat setelah dinyatakan
sebagai dasar hukum yang sah. Oleh karena itu, diperlukan indikator atau penjelasan
yang menjelaskan bahwa hikmah tersebut dapat dianggap sebagai 'illat yang sah.
Contoh yang sering digunakan oleh para ulama adalah dalam masalah salat qasr.
Untuk menentukan apakah seseorang boleh atau tidak melakukan salat qasr, 'illatnya
adalah bepergian (safar). Sedangkan hikmahnya adalah untuk menghindari kesulitan
yang mungkin timbul selama perjalanan. Dalam hal ini, perjalanan dianggap sebagai
indikator adanya kesulitan.
Dalam bidang muamalah, contoh sering diberikan mengenai hak syuf'ah, yang
merupakan hak pembelian bagi seseorang yang bersama dengan penjual dalam
kepemilikan tanah atau properti. Dalam hal ini, eksistensi persekutuan menjadi 'illat
adanya hak syuf'ah, karena diasumsikan bahwa masuknya pihak lain ke dalam
persekutuan akan menyebabkan kesulitan. Hikmah di sini adalah untuk menghindari
masalah yang mungkin muncul jika pihak lain ikut campur.
Perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara 'illat dalam konteks ibadah dan 'illat
dalam konteks muamalah. 'Illat dalam ibadah sering kali hanya sebatas manfaat dan
tidak memiliki pengaruh pada penetapan hukum, sementara 'illat dalam muamalah
memiliki peran yang lebih kuat dalam menentukan hukum. Hal ini karena muamalah
lebih terkait dengan pemahaman hikmah dan manfaat dari suatu tindakan atau
peraturan. Praktisnya, qiyas sering digunakan dalam hukum muamalah.10

10
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah

15
Dalam penemuan 'illat dalam qiyas, salah satu syaratnya adalah bahwa sifat
yang dijadikan 'illat harus muna>sabah, yaitu ada kesesuaian antara hukum dan sifat
dengan manfaat yang dianggap sebagai tujuan dari hukum tersebut. Penelitian tentang
muna>sabah ini bertujuan untuk menjaga maqa>s>id al-Syari'ah dalam berbagai aspek
dan peringkatnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, al-Juwaini bahkan membagi
maslahah (manfaat) menjadi maslahah daruriyyah (penting), hajjiyah (kepentingan)
dan tashniyah (kemudahan). Oleh karena itu, maslahah yang menjadi tujuan utama
dalam hukum Islam menjadi faktor penentu dalam penggunaan qiyas.11

11
Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari Uraian tentang hubungan maqâṣid dengan dalil-dalil fiqih diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa maqâṣid mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
dalil-dalil fiqih, baik yang disepakati (muttafaq ‘alaih) ataupun yang diperselisihkan
oleh para ulama (mukhtalaf fîhâ). Hubungan erat ini bagaikan ‘asal’ dan ‘cabang’ jika
dihubungkan dengan al-Qur’an dan alHadits. Al-Qur`an dan as-Sunnah.
Mengakomodasi maqâṣid sebagai factor utama untuk mewujudkan tatanan
masyarakat yang berperadaban, sejahtera, dan berkeadilan. Demikian pula ketika
maqâṣid disandingkan dengan dalildalil sekunder baik yang dispeakati seperti al-ijmâ’,
al-qiyâs maupun yang diperselisihkan seperti al-maṣlaḣah almursalah, istiḣsân dan sadd
aż-żarî’ah’, maka maqâṣid adalah spirit yang dijadikan landasan dasar dan menjiwai
dalam menerapkan kelima metode ijtihad tersebut. Dengan kata lain, aplikasi dalildalil
mukhtalaf dapat dilakukan jika selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
maqâṣid untuk mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat yang dijiwai oleh
semangat syar’i
Kesimpulan dari uraian tentang hubungan antara maqâṣid dengan dalil-dalil
fiqih adalah bahwa maqâṣid memiliki hubungan yang sangat erat dengan sumber-
sumber hukum Islam, baik yang telah disepakati (muttafaq 'alaih) maupun yang masih
diperselisihkan oleh para ulama (mukhtalaf fîhâ). Hubungan ini dapat diibaratkan
sebagai "asal" dan "cabang" dalam konteks al-Qur'an dan as-Sunnah. Maqâṣid berperan
penting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang beradab, sejahtera, dan adil.
Ketika maqâṣid digunakan bersama-sama dengan dalil-dalil sekunder seperti al-
ijmâ', al-qiyâs, al-maṣlaḥah al-mursalah, istiḥsân, dan sadd aż-żarî'ah, maka maqâṣid
menjadi semacam spirit yang menjadi landasan utama dan menghidupkan kelima
metode ijtihad tersebut. Dengan kata lain, aplikasi dalil-dalil yang masih
diperselisihkan dapat dilakukan jika sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
maqâṣid, dengan tujuan menciptakan keseimbangan dalam masyarakat yang dipenuhi
semangat syar'i.

17
Dalam konteks ini, maqâṣid bukan sekadar panduan, tetapi menjadi prinsip
panduan tingkat tinggi yang memberikan arah dalam menjalankan hukum-hukum
Islam. Dengan memahami maqâṣid, para ulama dan mujtahid dapat mengambil
keputusan yang lebih tepat, mengakomodasi perubahan zaman, dan mewujudkan visi
Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan
dalam masyarakat.
B. Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya
pengetahuan, kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya
dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

18
Daftar Pustaka

Busyro. Maqashid Syariah,Jakata: Rajagrafindo Persada, 2019.

Imam , Mawardi ahmad. Fiqih minoritas. Yogyakarta: lks printing cemerlang, 2010.

Al-Duraini, Muhammad Fathi. Al-Manahij al-Usuliyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah,


1997.

Ismail, Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Wahyuni,Sri. Maqashid Syariah. Surabaya: Copindo, 2020

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I'lam al-Muwaqqi'in. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996.

Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1996.

Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007.

Umam, Khairul, dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.

19
Lampiran

20
21
22
23
24
25

Anda mungkin juga menyukai