Anda di halaman 1dari 20

SYARIAT ISLAM DAN FIQIH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Pendidikan Agama

Dosen Pengampu;
Dr. Muhammad Faisal Azmi, S.H., M.A.

Oleh:
SAFIRA HANUM
NIM : 220101052
UNIT: 4
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAMUDRA LANGSA
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan
rahmatnya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak Dr. Muhammad Faisal Azmi,
S.H., M.A. sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama yang telah
membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Langsa, 1 November 2022

Safira Hanum

2
DAFTAR ISI

Hlm
COVER…………………………………………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………… 3
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………… 4
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………… 5
1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………................................ 5
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Syariat……………………………………………………………………………………… 6
2.2 Fiqih………………………………………………………………………………………… 9
2.3 Tujuan Allah SWT menurunkannya……………………………………………. 13
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………............................ 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam Al-Qur'an, Sunnah atau


literatur Islam. Untuk itu, perlu dicari padanan istilah hukum Islam dalam
literatur Islam. Jika hukum Islam dipahami sebagai hukum yang bersumber
dari ajaran Islam, maka sulit menemukan padanan istilah yang dalam
literatur Islam sama persis dengan istilah ini. Dua istilah yang dapat
disamakan dengan istilah hukum Islam adalah Syariah dan Fiqh. Kedua istilah
ini, seperti dijelaskan di atas, adalah dua istilah yang berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan, karena sangat erat kaitannya. Dengan memahami kedua
istilah ini dengan karakteristik yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa
hukum Islam tidak persis seperti Syariah dan pada saat yang sama juga tidak
persis seperti Fiqh.

Tetapi ini juga tidak berarti bahwa hukum Islam sama sekali berbeda
dengan Syariah dan Fiqh. Yang dapat dikatakan adalah bahwa konsep hukum
Islam mencakup konsep syariah dan fiqh, karena hukum Islam yang dipahami
di Indonesia kadang-kadang dalam bentuk syariah dan kadang-kadang dalam
bentuk fiqh, jadi jika seseorang mengatakan hukum Islam, seseorang harus
terlebih dahulu mengatakannya. mencari kepastian apa yang dia maksud,
apakah itu dalam bentuk Syariah atau tidak, dalam bentuk fikih.

Inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,


termasuk mayoritas Muslim, sehingga menyebabkan salah tafsir terhadap
syariat Islam, bahkan salah tafsir.

4
1.2Rumusan Masalah
a) Apa pengertian dari Syariat dan Fiqih?, Jelaskan secara bahasa dan istilah
bersamaan dengan dalilnya.
b) Apa Tujuan dan fungsinya bagi umat islam?
1.3Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui tentang Syariat dan Fiqih.
b) Untuk memahami tentang tujuan dan fungsinya bagi umat islam.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Syariah

Terdapat istilah syarî’ah dalam hukum Islam yang harus dipahami


sebagai sebuah intisari dari ajaran Islam itu sendiri.Syarî’at atau ditulis
juga syarî’ah secara etimologis (bahasa) sebagaimana dikemukakan oleh
Hasbi as-Shiddieqy adalah “Jalan tempat keluarnya sumber mata air atau
jalan yang dilalui air terjun”1yang kemudian diasosiasikan oleh orang-
orang Arab sebagai ُ‫ اَلطَّ ِر ْيقَةُ ْال ُم ْستَقِ ْي َمة‬at-thariqah al-mustaqîmah, sebuah jalan
lurus 2 yang harus diikuti oleh setiap umat muslim. Pergeseran makna dari
denonatif,sumber mata air, menjadi jalan yang lurus tersebut memiliki
alasan yang bisa dinalar.

Setiap makhluk hidup pasti membutuhkan air sebagai sarana


menjaga keselamatan dan kesehatan tubuh,guna bisa bertahan hidup di
dunia. Demikian juga halnya dengan pengertian “jalan yang lurus” di
dalamnya mengandung maksud bahwa syariat sebagai petunjuk bagi
manusia untuk mencapai kebaikan serta keselamatan baik jiwa maupun
raga. Jalan yang lurus itulah yang harus senantiasa dilalui oleh setiap
manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam hidupnya.
Secara terminologis (istilah) syarî’ah diartikan sebagai tata aturan atau
hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk
diikuti.
1
M. Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),hlm. 20.
2
Manna’ Khalil al-Qhattan, At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan waManhajan, (ttt:
Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 9.

6
Diperjelas oleh pendapat Manna’ al-Qhaththan, bahwa syarî’at berarti
“segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik
menyangkut akidah,ibadah, akhlak, maupun muamalah”. 3Ulama-ulama
Islam juga mendefinisikan Syariat sebagaimana dikutip dalam buku
Pengantar dan Sejarah Hukum Islam berikut:“Syariat ialah apa (hukum-
hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa
oleh salah seorang Nabi-Nya s.a.w, baik hukum-hukum tersebut
berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut
sebagai hukum-hukum cabang dan amalan, dan untuknya maka
dihimpunlah ilmu fiqih; atau berhubungan dengan cara mengadakan
kepercayaan (i’tiqâd), yaitu yang disebut hukum-hukum pokok dan
kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam.Syariat (syarâ’)
disebut juga agama ُ‫ اَال ِّديْن اَ ْل ِملَّة‬ad-dîn dan almillah).

Sesuai dengan ayat al-Quran surat al-Jasiyah ayat 18:

Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat


(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

3
Manna’ Khalil al-Qhattan, At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa Manhajan, (ttt:
Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 9.

7
Syariah pada mulanya diartikan dengan agama, namun kemudian lebih
dispesifikkan untuk hukum amaliah saja. Pengkhususan makna syariah
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sejatinya Agama
hanya satu dan cakupannya lebih luas(universal), sedangkan Syariah dapat
berbeda-beda antar satu umat dengan umat lainnya. Syariat merupakan
norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, dan kemudian wajib diikuti
oleh umat Islam berdasar keyakinan dan disertai akhlak, baik dalam
hubungannya dengan Allah ( ‫ َح ْب ٌل ِمنَ هَّللا‬/ hablun min Allâh), dengan sesama
manusia hablun min an-nâs, dan juga alam semesta hablun min al=‘âlam).
Syariat sebagai norma hukum yang disyariatkan oleh Allah ini kemudian
diperinci oleh Muhammad, sehingga selain terdapat di dalam al-Quran,
syariat juga terdapat dalam as-Sunnah (qauliyyah, fi’liyyah, dan
taqrîriyyah). Hadits Nabi juga menjelaskan bahwa “Umat Islam tidak akan
pernah tersesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka
berpegang teguh atau berpedoman kepada al-Quran dan sunah
Rasulullah”.Posisi syariat adalah sebagai pedoman dan tolok ukur
bagaimana

manusia dapat hidup di jalan yang benar atau tidak. Selama di dalam hidup
tetap berpatokan kepada ketentuan al-Quran dan Hadits Nabi maka
hidupnya akan menjadi terarah.

Mahmud Syaltut dalam al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah mengatakan, “Syariah


adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan
dasar-dasarnya oleh Allah agar manusia berpegang teguh kepadanya
dalam hubungannya dengan Tuhannya,berhubungan dengan saudaranya

8
sesama muslim, berhubungan dengan saudaranya sesama manusia,
berhubungan dengan alam semesta, dan berhubungan dengan kehidupan.

2.2 Fiqih

Norma hukum dasar yang terdapat di dalam al-Quran masih sangat


umum, sehingga kemudian perkembangannya diperinci oleh hadits Rasul
dan diperkaya dengan pemikiran ulama. Norma hukum dasar yang bersifat
umum dalam al-Quran tersebut kemudian digolongkan dan dibagi ke
dalam beberapa bagian atau kaidah-kaidah yang lebih konkret guna dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mempraktekkan
kaidah-kaidah konkret tersebut dalam kehidupan sehari-hari diperlukan
disiplin ilmu untuk memahaminya terlebih dahulu. Disiplin ilmu tersebut
di antaranya adalah ilm al-fiqh, yang ke dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi ilmu hukum (fiqih) Islam. Sebagaimana dilansir
oleh Muhammad Daud Ali dalam Hukum Islam, ilmu fiqih adalah ilmu yang
mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatian pada
perbuatan (hukum) manusia mukallaf,yakni manusia yang menurut
ketentuan Islam sudah baligh (dewasa),

9
Secara ringkas fiqih adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang
mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Tuhan. 4 Fiqih memiliki
keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
bersumberkan kepada dalil-dalil terperinci. Hukumhukum

syara’ tersebutlah yang dinamai dengan fiqih; baik ia dihasilkan dengan


jalan ijtihad ataupun tanpa ijtihad. Sehingga jelas sekali bahwa hukum-
hukum yang terkait dengan bidang akidah dan akhlak tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu fiqih dan tidak pula

dikatakan sebagai Ilmu Fiqih. Berdasarkan beberapa definisi tersebut di


atas, terdapat

perbedaan pokok antara syariah dengan fiqih:

1. Ketentuan syariat terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadits.


Yang dimaksud syariah adalah wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad
sebagai Rasul-Nya. Sedang

fiqih adalah sebuah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang


syariat dan terdapat dalam kitab-kitab fiqih.

4
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 7-9.
10
2. Syariat bersifat fundamental serta memiliki cakupan ruang
lingkup yang lebih luas, meliputi juga akhlak dan akidah.Sedang fikih
hanya bersifat instrumental, terbatas pada

hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasa disebut sebagai


perbuatan hukum.

3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya.sehingga


berlaku abadi. Sedang fiqih karena merupakan karya manusia, maka
sangat dimungkinkan mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman
dan waktu.

4. Syariat hanya ada satu, sedang fikih berjumlah banyak karena


merupakan pemahaman manusia. Sepertiterdapatnya beberapa aliran ahli
fikih fâqih atau fuqahâ’yang berbeda, dikenal dengan sebutan madzhab
atau madzâhib.

5. Syariat menunjukkan konsep kesatuan dalam Islam,sedang fikih


menunjukkan keragaman pemikiran yang memang dianjurkan dalam
Islam.

Semua tindakan manusia di dunia untuk mendapatkan kehidupan yang


baik tunduk pada kehendak Allah dan Rasul Allah. Kehendak Allah dan Rasul
Allah sebagian tertulis dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang dikenal sebagai
Syariah, sementara sebagian besar wasiat lainnya tersembunyi di balik apa
yang tertulis atau tersirat. Untuk mengetahui segala yang dikehendaki Allah
dari perilaku manusia, maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang
syariah agar mampu mengamalkannya dalam segala kondisi dan situasi.
11
Hasil kesepakatan ini disajikan dalam bentuk ketentuan-ketentuan
yang terperinci. Ketentuan rinci perilaku mukallaf diuraikan dan dibangun di
atas pemahaman Syariah yang dikenal sebagai fiqh. Pengertian hukum syara
atau rumusan fiqh berubah seiring dengan perubahan keadaan dan kondisi
manusia serta dinamika dan perkembangan zaman. Fiqh biasanya dikaitkan
dengan mujtahid yang menciptakannya, seperti Hanafi Fiqh, Maliki Fiqh,
Syafi'i Fiqh, Hanbali Fiqh, Ja'fari Fiqh (Syiah fiqh), dll, sedangkan Syariah
selalu dikaitkan dengan Allah dan amanat-Nya. . . Dari uraian di atas dapat
dipahami bahwa hukum fiqh mencerminkan perkembangan dan dinamika
kehidupan manusia sesuai dengan keadaan dan kondisi zaman. Mazhab fiqih
tidak lain merupakan cerminan dari proses perkembangan kehidupan
masyarakat di dunia muslim, karena itu mengalami perubahan seiring dengan
waktu, situasi dan kondisi perusahaan. Dengan demikian, secara umum
Syariah adalah hukum Islam yang berakar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan
tidak bercampur dengan kekuatan akal (ijtihad), sedangkan fiqh adalah
hukum Islam yang berakar pada pemahaman Syariat atau pemahaman teks,
baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah ini dengan mengatakan


bahwa Syariah adalah lingkaran luar biasa yang cakupannya mencakup
semua perilaku dan tindakan manusia; sedangkan fiqh adalah lingkaran kecil
yang membahas apa yang secara umum dipahami sebagai tindakan bersama.

12
2.3 Tujuan
Dari segi bahasa maqasid al-syari’ah berarti maksud atau tujuan
disyari’atkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di
dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan ‘illat ditetapkannya
hukum. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam
merupakan kajian yang menarik dalam bidang usul fiqh. Dalam
perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam
filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqasid al-
syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Istilah yang disebut
terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan
ditetapkan suatu hukum.

Menurut Al-Syatibi, penetapan kelima pokok (hifz al-din; hifz al-nafs;


hifz al-‘aql; hifz al-nasl; dan hifz al-mal) didasarkan atas dalil-dalil Al-
Qur’an dan hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al-
kulliyyat dalam menetapkan al-kulliyyat al-khams. Ayat-ayat Al-Qur’an
yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah, yang
tidak di naskh dan ayat-ayat Madaniyyah yang mengukuhkan ayat-ayat
Makkiyah. Diantara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan
kewajiban salat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum
minuman yang memabukkan, larangan berzina dan larangan memakan
harta orang lain dengan cara tidak benar. Ia setelah mengadakan
penelitian dengan seksama, berkesimpulan bahwa oleh karena dalil-
dalil yang digunakan untuk menetapkan al-kulliyyat al-khams termasuk
dalil qat’i, maka ia juga dapat dikelompokkan sebagai qat’i. Agaknya
yang dimaksud dengan istilah qat’i oleh al-Syatibi adalah bahwa al-
kulliyyat al-khams, dari segi landasan hukum, dapat dipertanggung
jawabkan, dan oleh karena itu ia dapat dijadikan dasar menetapkan
hukum.

     Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur di atas


dibedakan menjadi tiga peringkat, daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala
prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya,
manakala ke-maslahat-an yang ada pada masing-masing peringkat satu
sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat daruriyyat menempati
urutan pertama, disusul oleh hajiyyat, kemudian disusul oleh
tahsiniyyat. Namun di sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga
melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi
peringkat pertama.

13
  Yang dimaksud dengan memelihara kelompok daruriyyat adalah
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi
kehidupan manusia. Kebutuhan yang esesnsial itu adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai
eksistensi kelima pokok itu terancam. Tidak terpenuhinya atau tidak
terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya
eksistensi kelima pokok di atas. Berbeda dengan kelompok daruriyyat,
kebutuhan dalam kelompok hajiyyat, tidak termasuk kebutuhan yang
esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia
dari kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanyaa kelompok ini tidak
mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan
menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya
dengan rukhsah atau keringanan dalam ilmu fiqh. Sedangkan
kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang
menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di
hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.

  Pada hakikatnya, baik kelompok daruruyyat, hajiyyat, maupun


tahsiniyyat, dimaksudkan memelihara atau mewujudkan kelima pokok
seperti yang disebutkan di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya
berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama dapat
dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang kalau kelima pokok itu
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok
itu. Kebutuhan dalam kelompok kedua dapat dikatakan sebagai
kebutuhan sekunder. Artinya, kalau kelompok diabaikan, maka tidak
akan mengancam eksistensinya, melainkan akan mempersulit dan
mempersempit kehidupan manusia 5 . Sedangkan kebutuhan dalam
kelompok ketiga erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga etiket
sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi
mengancam eksistensi kelima pokok itu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat
komplemeter, pelengkap. Guna memperoleh gambaran yang utuh
tentang teori maqasid al-syari’at, berikut ini akan dijelaskan kelima
pokok ke-maslahat-an dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini
bertitik tolak dari kelima pokok ke-mas}lah}at-an, yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.

5
Rahmat Rosyadi, Formalisasi Syariat Islam dalam Tata Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 46.

14
1.    Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Menjaga dan memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.   Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara


dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer.
Contoh: melaksanakan salat lima waktu adalah kewajiban. Kalau salat
itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

b.    Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan


ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, contoh: salat
jama’ dan shalat qasr bagi orang yang sedang bepergian. Kalau
ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya

c.  Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti


petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, contoh: menutup
aurat, baik di dalam maupun di luar salat, membersihkan badan,
pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang
terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak
akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi
orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat,
seseorang boleh salat, jangan sampai meninggalkan salat yang
termasuk kelompok daruriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak
dapat dikategorikan sebagai pelengkap (tahsiniyyat), karena
keberadaannya sangat diperlukan bagi kepentingan manusia.
Setidaknya kepentingan ini dimasukkan dalam kategori hajiyyat atau
daruriyyat. Namun, kalau megikuti pengelompokan di atas, tidak
berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu dianggap tidak penting,
karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajiyyat dan
daruriyyat.

2.    Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)


Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:

a.  Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, contoh: memenuhi


kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

15
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b.  Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, contoh: diperbolehkan


berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi
manusia,melainkan akan mempersulit hidupnya.

c.   Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, contoh:


diterapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya
berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan
mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
sesorang.

3.    Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql)


Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat dlaruriyyat, contoh: diharamkan


meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b.  Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, contoh: dianjurkannya


menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak
akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, contoh:


menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.

4.    Memelihara Keturunan (Hifz al-Nasl)


Memelihara keturunan, ditinjau dari segi kebutuhannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.    Memelihara keturunan dalam peringkat dlaruriyyat, contoh:


disyari’atkannya nikah dan dilarangnya berzina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b.    Memelihara keturunan dalam perringkat hajiyyat, contoh:


ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu
16
akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak
disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan,
karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talaq,
suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak
talaqnya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.

c.    Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, contoh:


disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak
pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5.    Memelihara Harta (Hifz al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan


menjadi tiga peringkat:

a.  Memelihara harta dalam peringkat dlaruriyyat, contoh: syari’at


tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang
lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka
berakibat terancamnya eksistensi harta.

b.    Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, contoh: syari’at


tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai,
maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan
mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: ketentuan


tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini
erat kaitannya dengan etika bermu’ammalah atau etika bisnis. Hal ini
juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab
peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang
kedua dan pertama.

     Dalam setiap peringkat, seperti telah dijelaskan di atas, terdapat hal-


hal atau kegiatan yang bersifat penyempurnaan terhadap pelaksanaan
tujuan syari’at Islam. Dalam peringkat daruriyyat, misalnya ditentukan
batas minimal minimum yang memabukkan dalam rangka memelihara
akal, atau ditetapkan adanya perimbangan (tamasul) dalam hukum
qisas, untuk memelihara jiwa. Dalam peringkat hajiyyat, misalnya
ditetapkan khiyar dalam dalam jual-beli untuk memelihara harta, atau
17
ditetapkan kafa’ah dalam perkawinan, untuk memelihara keturanan.
Sedangkan dalam peringkat tahsiniyyat, misalnya ditetapkan tatacara
taharah dalam rangka pelaksanaan salat, unutuk memelihara agama.

     Mengetahui urutan peringkat maslahat di atas menjadi penting


artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya,
ketika ke-maslahat-an yang satu berbenturan dengan ke-maslahat-an
yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat, harus
didahulukan dari pada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat ketiga,
tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan
mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat yang kedua dan
ketiga, manakala kemaslahat-an yang masuk peringkat pertama
terancam eksistensinya. Misalnya seseorang diwajibkan untuk
memenui kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi
jiwanya. Makanan yang dimaksud haruslah makanan yang halal.
Manakala pada suatu saat ia tidaka mendapakan makanan yang halal,
padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut
ia diperbolehkan makan makanan yang diharamkan, demi menjaga
eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam
peringkat dlaruriyyat; sedangkan makanan yang halal termasuk
memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat. Jadi harus didahulukan
memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat daripada peringkat
hajiyyat. Begitu pula halnya manakala peringkat tahsiniyyat
berbenturan dengan peringkat hajiyyat, maka peringkat hajiyyat harus
didahulukan dari pada peringkat tahsiniyyat. Misalnya melaksanakan
salat berjama’ah termasuk peringkat hajiyyat, sedangkan persyaratan
adanya imam yang salih, tidak fasiq, termasuk peringkat tahsiniyyat.
Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang
memenuhi persyaratan tersebut, maka dibenarkan berimam pada imam
yang fasiq, demi menjaga shalat berjama’ah yang bersifat hajiyyat.

       Keadaan di atas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat.


Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat
daruriyyat dengan peringkat daruriyyat, dan seterusnya, maka
kemungkinan penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

1.   Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima
pokok ke-maslahat-an tersebut, maka skala prioritas didasarkan pada
urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan daripada jiwa,
dan jiwa harus didahulukan daripada akal, dan begitu seterusnya.
Dengan kata lain urutan kelima pokok ke-maslahat-an itu sudah
18
dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat tersendiri.
Agaknya pembakuan urutan itu hanya didasarkan pada penelitian yang
dikemukakan oleh pencetus teori ini. Namun, apabila dicermati,
diantara kelima unsur itu maka memelihara jiwa itu merupakan unsur
yang sentral dalam kaitannya dengan ke-maslahat-an yang bersifat
duniawi. Karena itu dalam kasus tertentu memelihara jiwa dapat
didahulukan dari pada memelihara keyakinan. Itulah yang dikehendaki
oleh firman Allah dalam surat al-Nahl/16: 106. Contohnya:

a.    Jihad di jalan Allah termasuk daruriyyat, bila dihubungkan dengan


memelihara eksistensi agama. Dalam batas terancam eksistensinya,
memelihara agama adalah daruriyyat, dan untuk disyari’atkan jihad
yang tidak jarang membawa korban manusia. Dalam hal ini,
memelihara agama dengan jihad harus ddahulukan dari pada
memelihara jiwa.

b.    Seseorang dibenarkan meminum minuman keras, yang pada


dasarnya merusak akal, apabila ia terancam jiwanya karena tidak
didahulukan memelihara jiwa dari pada memelihara akal.

2.    Jika berbenturan terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama,


seperti sama-sama menjaga harta atau menjaga jiwa di dalam peringkat
daruriyyat, maka mujtahid berkewajiban untuk meneliti dari segi
cakupan ke-maslahat-an itu sendiri atau adanya faktor lain yang
menguatkan salah satu ke-maslahat-an yang harus didahulukan.
Misalnya, penggunaan tempat tertentu untuk kepentingan orang
banyak, seperti untuk jalan atau pengairan, kadang-kadang
berbenturan dengan milik seseorang yang harus dilepaskan, demi
kepentingan orang banyak. Dalam hal ini kepentingan orang banyak
harus didahulukan dari pada kepentingan perorangan. Kedua ke-
maslahat-an ini berada pada peringkat hajiyyat dalam rangka
memelihara harta.

BAB III
19
PENUTUP

3.1Kesimpulan

Hubungan antara syariah dan fiqh sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan. Syariah adalah asal usul atau dasar fiqh, sedangkan fiqh
adalah pengertian syariah. Penggunaan kedua istilah ini sering
dibingungkan, artinya ketika seseorang menggunakan istilah syariah
terkadang berarti fiqh, dan sebaliknya ketika seseorang menggunakan
istilah fiqh terkadang berarti syariah. Hanya saja kemungkinan yang
terakhir ini jarang terjadi. Meskipun Syariah dan Fiqh tidak dapat
dipisahkan, namun keduanya berbeda. Syariah didefinisikan dengan
istilah atau aturan yang ditetapkan oleh Allah mengenai perilaku manusia
di dunia untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Ketentuan syariat terbatas pada kalam Allah dan penjelasannya melalui
sabda Nabi.

20

Anda mungkin juga menyukai