Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
Hubungan Hukum Islam Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hubungan Hukum Islam
Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah yang mencakup: Apa itu maqasid
alsyari’ah ? Bagaimana peranan maqasid al-syari’ah dalam pengembangan Islam?
Dan bagaimana hubungan maqasid al-syari’ah dengan metode-metode ijtihad
lainnya?. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis
memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.

Makassar, September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Maqasid Al syari’ah......................................................................................3
B. Peranan maqasid Al-Syari’ah dalam pengembangan Islam..........................4
C. Hubungan Maqasid Al-Syari’ah Dengan Metode-Metode Ijtihad................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................12
A. Kesimpulan.................................................................................................12
B. Saran...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber
ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber
tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua
persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring dengan perjalanan
waktu dan perubahan zaman.
Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena itu ijtihad menjadi hal
yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan hukum. Ijtihad
dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai hal guna
mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu
pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah
mempertimbang kan maqasid al-syariah sebagai dasarnya.
Teks tidak selalu memberi jawaban yang terperinci dan konkrit atas
kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar pasti terhadap nya, dan terbuka lebar
ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu meluas dan terus
berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi perkembangan
zaman.Makalah ini akan membahas hubungan maqasid al-syariah dengan
ijtihad.
Hukum Islam melarang perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan
manusia, sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia dan perbuatan itu
dilakukan hanya oleh seorang tanpa merugikan orang lain. Seperti seorang
yang meminum khamar (minuman yang dapat memabukkan). Dalam
pandangan Islam perbuatan orang tersebut tetap dilarang, karena dapat merusak
akalnya yang seharusnya ia pelihara. Allah mensyari’atkan hukum Islam untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk mengghindari mafsadat
baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di
dunia dan akhirat, menurut para ulama’ ushulfiqih, ada lima unsur pokok yang
harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Seorang hamba akan memperoleh kemaslahatan,
manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan
memperoleh kemafsadatan manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur
tersebut dengan baik.
Kelima pokok di atas kemudian oleh ulama’ ushul fiqih dikatakan sebagai
al-kulliyyay al-khams yang kemudian menjadi bagian dari pada al-maqasid al-
syari’ah (maksud atau tujuansyari’athukum Islam) yang kemudian oleh ulama’
ushul fiqih dijadikan sebagai alat dalam menetapkan hukum yang kasusnya

1
2

tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam Alquran maupun al-hadis.


Makalah ini akan membahas maqasid al-syari’ah, namun untuk mendapatkan
gambaran dan pemahaman yang lebih sistematis dan terarah, maka
permasalahan dalam makalah ini akan difokuskan pada beberapa persoalan,
yaitu: Apa itu maqasid alsyari’ah ? Bagaimana peranan maqasid al-syari’ah
dalam pengembangan Islam? Dan bagaimana hubungan maqasid al-syari’ah
dengan metode-metode ijtihad lainnya?

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakasud dengan maqasid al syari’ah?
2. Bagaimana peranan maqasid al-syari’ah dalam pengembangan Islam?
3. Bagaimana hubungan maqasid al-syari’ah dengan metode-metode ijtihad
lainnya?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian maqasid al syari’ah.
2. Mengetahui perananan maqasid al syari’ah.
3. Mengetahui hubungan maqasid al syari’ah dengan metode-metode ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maqasid Al syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata
yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata
Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-
hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. iSedangkan Syari’ah secara bahasa
berarti Jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan. Al-Syatibi menegaskan
bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat.
Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan
posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam,
berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan
hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu
bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah,
hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Konsep maqasid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-
Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali
kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fikih bermadzhab
Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu
ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqasid al-Syari’ah.
Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan)
maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan
hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hambaii
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqasid
menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqasid dharuriyat, Maqasid hajiyat, dan
Maqasid tahsiniyat. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba,
yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilang kannajis,
dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima

3
4

tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-
nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifz an-nasl); (5)
menjaga harta (hifz al-mal)
Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang
dibuat oleh para ulama Usulfiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan
mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat
ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan
fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat,
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan)
kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”, dan “Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba”iii

B. Peranan maqasid Al-Syari’ah dalam pengembangan Islam


Metode maqasid al-syari’ah dikembangkan untuk mencapai tujuan akhir
dari ditetapkan dan dilaksanakannya hukum Islam yaitu kemaslahatan umat
manusia. bagi as-Syatibi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
kemaslahatan yang hendak diwujudkan hukum Islam terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyah, dan kebutuhan
tahsinyyah. Kebutuhan atau al-maqasid al-daruriyyah adalah tingkatan
kebutuhan yang harusada atau dapat disebut sebagai kebutuhan primer. Bila
dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam
kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Menurut
as-Syatibi ada lima hal yang termasuk ke dalam ketegori kebutuhan
daruriyyah ini, yaitu: memelihara agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz
al-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl),
dan memelihara harta (hifz al-mal)iv
Untuk menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah sekaligus
melarang hal-hal yang merusaknya. Untuk menyelamatkan jiwa Islam
mewajibkan memakan makanan yang baik-baik lagi halal dan melarang
memakan makanan yang haram (karena adanya hal-hal yang tidak baik
bagi diri manusia), selain itu Islam mewajibakan memelihara jiwa
seseorang dan mengharamkan membunuh jiwa manusia. Untuk
menyelamatkan akal, Islam melarang hal-hal yang dapat merusak fungsi
akal, misalnya meminum minuman yang memabukkan sehingga
menyebabkan manusia hilang kesadaran dirinya. Untuk menyelamatkan
keturunan Islam mewajibkan nikah dan mengharamkan zina. Dan untuk
menyelamatkan harta Islam mensyari’atkan hukum mua’malah yang baik
dan benar dan melarang upaya-upaya yang merusaknya seperti melakukan
pencurian. Kedua, maqasid al-hajiyyah, ialah kebutuhan sekunder, dimana
dalam tingkatan ini apabila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan
5

tidak sampai mengancam kemaslahatan manusia, namun bisa


mengakibatkan terjadinya hambatan dan kesulitan untuk mewujudkan
kemaslahatan tersebut. Oleh karena itu kebutuhan atau maqasid al-
hajiyyah dibutuhkan untuk mempermudah mencapai kepentingan yang
bersifat daruriyyah dan menyingkarkan hal-hal yang mempersulit
terwujudnya kebutuhan daruriyyah.
Oleh karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan
primer, maka kebutuhan hajiyyah ini kehadirannya sangat dibutuhkan.
Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka
dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan
untuk memelihara agama (hifz al-din) tidaklah gagal atau rusak secara
total namun bisa mengakibatkan munculnya berbagai kesulitan.

Ketiga, kebutuhan takhsiniyyah atau kebutuhan tersier, adalah


tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mengancam
eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan
kesulitan. Menurut al-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah
hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindari hal-hal
yang tidak enak dipandang menurut kepatutan dan sesuai dengan tuntutan
norma sosial dan akhlak. Pada tingkatan ini kebutuhan hajiyyah bersifat relatif
dan lokal sejauh tidak bertentangan dengan nashal Qur’an dan al-Hadis.
Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang
dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kebutuhan daruriyyah yakni
memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk-bentuk arstektursusai
dengan taraf perkembangan kebudayaan lokal, misalnya menggunakan model
kubah Madinah, Mekah, atau yang lainnya. semua itu diserahkan pada rasa
dan nilai estetika dan kemampuan lokal. Untuk mencapai pemeliharaan lima
unsur pokok di atas secara sempurna, maka ketiga tingkatan maqasid al-
syari’ah tersebut tidak dapat dipisahkan. Kepentingan daruriyyah merupakan
dasar dan landasan bagi kepentingan yang lainnya, dan kepentingan hajiyyah
merupakan penyanggah dan penyempurna bagi kepentingan daruriyyah
sedangkan takhsiniyyah merupakan unsur penopang bagi kepentingan
hajiyyah atau sekunder. Dalam memahami maqasid al-syari’ah para ulama’
menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga kelompok dengan metode pemahaman
yang berbeda-beda, yakni:

1. Ulama yang berpendapat bahwa maqasid al-syari’ah adalah suatu yang


abstrak, tidak dapat diketahui kecuali lewat petunjuk Tuhan yang
terungkap dalam bentuk zahir lafaz yang jelas. Kelompok ini disebut al-
Zahiriyah.
6

2. Ulama yang tidak menempuh zahirnas. Kelompok ini terbagi menjadi dua
golongan. Pertama, Ulama’ yang berpendapat bahwa maqasid al-syari’ah
diketahui bukan dari zahir lafaz dan bukan pula dari tunjukan zahir lafaz,
akan tetapi ia merupakan hal lain yang ada dibalik tujuan zahir lafaz yang
berpendapat dalam semua aspeksyari’at. Kelompok ini disebut Ulama’ al-
Ratiniyah. Kedua, Ulama’ yang berpendapat bahwa maqasid al-syari’ah
harus dikaitkan dengan pengertian lafaz. Artinya zahirlafaz tidak harus
mengandung tujuan mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahirlafaz
dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian
nalar, baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak.
Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqin fi al-Qiyas.
3. Ulama yang melakuakan penggabungan dua pendekatan (zahirlafaz dan
pertimbangan illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian
zahirlafaz dan tidak pula merusak kandungan makna atau illat, sehingga
tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini
disebut ulama’ al-Rasikin. Kaitannya dengan hal tersebut, al-Syatibi dalam
memahami maqasid al-Syari’ah merumuskan dua cara, yaitu: 1.
Melakukan analisis terhadap lafaz perintah dan larangan. Suatu perintah
menurutnya menghendaki perwujudan dari sesuatu yang diperintahkan.
Persujudan isi dari perintah itu menjad itujuan yang dikehendaki oleh
syari’. Demikian pula sebaliknya. Sebuah larangan menghendaki suatu
perbuatan yang dilarang itu ditinggalkan, keharusan meninggalkan
perbuatan yang dilarang Tuhan. Menelaah illat al-amr (perintah) dan al-
nahy (larangan). Menurutnya pemahaman maqasid al-syari’ah dapat
dilakukan melalui analisis illat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadis. Illat adalah kemaslahatan-kemaslahatan dan hikmah-hikmah yang
berkaitan dengan perintah (al-amr) kebolehan (al-ibahah), dan
kemafsadatan (al-mafasid) yang berkaitan dengan larangan (al-nahy).
Dengan demikian, illat suatu hukum adalah kemaslahatan dan
kemafsadatan itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa Metode maqasid al-syari’ah dikembangkan untuk mencapai tujuan
akhir dari ditetapkan dan dilaksanakannya hukum Islam yaitu
kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
pemikiran ushulfiqh terdapat tiga cara penentuan legalitas maslahat yang
sekaligus membagi maslahat kepada tiga macam. Ketiga macam
penentuan legalitas maslahat itu adalah sebagai berikut:
Pertama, maslahat yang legalitasnya berdasarkan tunjukan dari suatu
nash dalam bentuk illat. Nash itu sendiri menyebut suatu itu diangggap
sebagai suatu maslahat. Ini yang disebut maslahat al-mu’tabarah. Pemelharan
jiwa manusia misalnya, merupakan kemaslahatan yang harus diwujudkan.
7

Keharusan perwujudan ini ditunjukkan oleh Tuhan sebagai al-Syari’ dalam al-
Qur’an, yaitu sebagaimana yang termaktub dalam suran al-Baqarah ayat 178
yang menyatakan tentang pelaksanaan hukum qishas. Demikian juga dengan
pembebanan hukuman terhadap pencuri, yang dalam al-Qur’an disebutkan
dalam surat al-Ma’idahayat 38, dimana hal ini merupakan realisasi dari
kemaslahatan pemilikan harta benda yang ditunjukkan oleh al-Syari’.
Sedangkan dalam rangka menjaga kemaslahatan keturunan dan kehormatan
manusia, Tuhan melarang untuk mendekati zina, sebagaimana yang termaktub
dalam al-Isra ayat 32. Dalam transaksi ekonomi, misalnya, keharusan adanya
persaksian yang adil adalah dalam upaya mewujudkan bentuk-bentuk
mu’amalah dan mekanis meniaga yang jujur dan membawa kemaslahatan bagi
kedua belah pihak.

Kedua, Maslahat yang ditolak legalitasnya oleh al-Syari’. Artinya


manusia memandang bahwa sesuatu itu mengandung suatu kemaslahatan,
akan tetapi al-Syari’ menolak atau membatalkan kemaslahatan tersebut
dengan melalui penunjukan dalam nash. Contoh yang populer dalam literatur-
literatur ushulfiqh adalah fatwa al-Laits tentang seorang raja yang menggauli
istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan. Hukum yang ditetapkan oleh fiqh
terhadap raja tersebut adalah melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut
sebagai ganti kewajiban memerdekakan budak, Menurut al-Laits, bagi seorang
raja keharusan memerdekakan budak sebagai sanksi hukum tidak akan mampu
memberikan dampak positif sehingga ia dapat menghormati bulan Ramadhan
dan menjalankan ibadah puasa. Hal ini disebabkan oleh mudahnya seorang
raja memerdekakan budak karena kondisi kehidupannya yang serba mewah.
Oleh karenanya keharusan berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai sanksi
pada urutan kedua sebagaimana yang ditegaskan oleh nash harus didahulukan
pelaksanaannya karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan
hukum. Kemaslahatan seperti ini oleh jumhur ulama’ dikategorikan sebagai
maslahah yang dibatalkan oleh Syari’ kerena bertentengan dengan urutan yang
terdapat dalam nash. Pengkatan maslahah mulghah yang dilakukan oleh
jumhur terhadap fatwa faqih al-Laits tentang raja yang melakukan
persetubuhan di siang hari bulan Ramdhan, tampaknya dari teks nash memang
beralasan. Namun apabila kita bertolak dari tujuan pensyarii’atan hukum,
maka fatwa besari lama’ besar murid Imam Malik itu patut untuk
dipertimbangkan. Itu pulalah sebab terhadap hadis yang berkaitan dengan
seorang yang melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan itu,
berkembang pendapat di kalangan ulama’ antara menerapkan hadis tersebut
secara berurutan (tertib) dan memilih (takhyir).
8

Ketiga, Maslahah yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap


keberlakuan maupun ketidak berlakuannya. Artinya dalhal ini tidak ada
tunjukan nash baik dalam tingkat macam maupun pada tingkat jenis. Posisinya
yang tidak mendapat legalitas khusus dari nash tentang keberlakuan dan
ketidak berlakuannya. Maka maslahah ini disebut maslahah mursalah atau
mashalihal mursalah, yang artinya lepas dari tunjukan nash secara khusus.
Pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah adalah hal yang sangat penting.
Memahami dan mengerti tentang maqasidal syari’ah dapat dijadikan sebagai
alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-sunnah, dapat pula
membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-dilalah)
dan yang sangat penting lagi adalah maqasid al-syari’ah dapat dijadikan
sebagai sebuah metode untuk menetapkan suatu hukum dalam kasus-kasus
yang ketentuan hukumnya tidak tercantum baik dalam al-Qur’an maupun as-
sunnah
9

C. Hubungan Maqasid Al-Syari’ah Dengan Metode-Metode Ijtihad

Ijtihad menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh menggunakan tenaga


dan pikiran.[6] Secarai stilah ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’idari dalil-dalil syara’, yaitu al-
Qur’an dan as-Sunnah.[7] Abu Zahrah, sebagaimana dikutip Iskandar,
mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan ahli fiqih dalam
mengistinbathkan hukum amaliah daridalil-dalil yang terperinci.[8]
Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan interpretasi
al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah didasarkan pada
implikasi yang luas dari sebuah teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yang itu
berbeda dengan aturan langsung dariteks yang jelas dan terinci, maka teks dan
aturan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum.
Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dan selain keduanya mengatakan : “Jika seorang hakim memutuskan
hukum dengan berijtihad dan kemudian benar maka ia mendapat dua pahala,
dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian salah maka ia
mendapat satu pahala.” Hadis ini ternyata belum cukup untuk membuka pintu
ijtihad dan menetapkan kebolehannya. Padahal hadis ini sangat menekankan
pentingnya ijtihad. Ini adalah jaminan bahwa seorang mujtahid berhak untuk
salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa dan
hukuman. Disamping itu, ini adalah bukti akan kuatnya dorongan untuk
berfikir, meneliti, dan memajukan ilmu pengetahuan. [9]
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli yang dapat saja dilahirkan dalam
bentuk tulisan maupun lisan. Benruk tulisan dan lisan para ulama itulah yang
dikenal dengan fatwa keagamaan untuk kepentingan manusia. Kita tahu
bahwa hukum Islam berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadis sebagian besar
bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan
dalam bentuk mujtahid maka posisi fatwa sangat memperkuat tindakan ijtihad.
Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama, sehingga apabila tidak
berijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau lahir fatwa keagamaan.
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami perubahan-perubahan yang
mendasar, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain :[10]
1. Adanya perubahan kepentingan masyarakat
2. Adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf (kebudayaan)
3. Faktor lingkungan, ruang dan waktu
4. Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
10

Faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahwa ijtihad itu


bersifat kondisional artinya situasi dan kondisi masyarakat sangat mempengaruhi
pola pikir para mujjtahid itu sendiri.
Para ahli ushulfikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam
kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan
as-Sunnah yang masuk kategori zhanni al-dalalah. [11] Oleh karena itu juga hasil
ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan satu-satunya kebenaran (tidak qat’i) tetapi
mengandung kemungkinan lain.
Sedangkan nash yang masuk kategori dalil sharih yang qath’iyu al-
wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) dan qath’iyu al-dalalah (pasti
penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan.
Meskipun dalam pandangan an-Na’im, hal itu sulit dibayangkan.[12] Dalam
melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan
peranan maqasyid al-syari’at yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan
harus bertitik tolak dari objek itu sendiri. Oleh karenanya bertitik tolak dari itu,
maka ada dua corak penalaran yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad
yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan-penerapan maqasyid al-
syari’at. Kedua corak itu ialah penalaran ta’lili dan istislahi.
Corak penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu
pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Dalam
perkembangan pemikiran ushulfikih, corak penalaran ta’lili ini mengambil
bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah upaya
pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Corak
penalaran ini tampak pada metode al-masalihu al-mursalah dan sadduaz-zari’ah.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat
dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara
optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqasyid al-syari’at.[13] Oleh karenanya pengetahuan
tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang
mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam
ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan
mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah
sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini
dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode
penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber
utama fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua
sumber tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua
sumber dimaksud. Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena
memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di
11

dalamnya dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum


disyariatkannya hukum Islam (maqasyid al-syari’at).

[6]
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,
(Jakarta:RajaGrafindo Persada,1994), hlm.126
[7]
Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam, (bandung:al-Ma’arif,1986), hlm.373
[8]
Ibid, Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan ,………hal 126-127
[9]
Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antarateks,
realitas, dan kemaslahatan social, Jakarta: PenerbitErlangga, 2002, hal. 1
[10]
Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaandalam Fiqh Islam, (
Jakarta : Bumi Aksara, 1991), 43-44
[11]
Ibid, FathurahhmanDjamil, Metode Ijtihad............hlm.16
[12]
Ibid, Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar ,......hal 373
[13]
Ibid, Asafri Jaya Bakri, KonsepMaqashidSyai’ahMenurut al-
Syatibi, ……hlm.129i
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan.
Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal.
Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqasyid al-syari’at. Oleh karenanya pengetahuan
tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh
seorang mujtahid.
Kemaslahatan dijadikan sebagai argumen dalam penetapan hukum
syariat serta menjadi prioritas dalam berijtihad. Tetapi banyak berbagai
pengertian kemaslahatan diantaranya adalah kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka sangat beragam bentuk
dan coraknya. Jika diringkas maka akan didapatkan lima kemaslahatan
utama yaitu kemaslahatan agama (maslahahad-din), kemaslahatan
jiwa (maslahah an-nafs), kemaslahatan reproduksi dan
berkeluarga (maslahah an-nasl), kemaslahatan terhadap akal (maslahah al-
aql), dan kemaslahatan terhadap harta benda (maslahah al-mal).
Ketika kita yakin dan sepakat bahwa Syariat tidak memiliki tujuan
lain selain kemaslahatan umat manusia, begitu pula bahwa seluruh teks
dan hukum-hukumnya berfungsi merealisasikan kemaslahatan dan
mencegah kerusakan, maka menjadi kewajiban kita dalam berinteraksi
dengan teks dan hukum-hukumnya untuk berlandaskan pada prinsip ini,
yaitu memahami teks sebagai kemaslahatan, aplikasi praktisnya dalam
lingkup kemaslahatan, dan kita jadikan pula teks sebagai standar
kemaslahatan.

B. Saran
Demikianlah tadi informasi mengenai Hubungan Hukum Islam
Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah, semoga makalah diatas dapat
menambah wawasan pengetahuan kita terhadap manajemen mutu dan
segala cakupannya. Kami harap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan
atau kata yang mempunyai makna menyinggung ataupun salah dalam
penerapan dalam kehidupan pembaca/bertentangan maka kami mohon
maaf, karena kami pembuat makalah ini hanya ciptaan yang mungkin
masih memiliki kekurangan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II, Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.
Abu Zahra, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Ara- biy, 1958.
Aibak, Khutbuddin Al-Mashlahah al-Mursalah sebagai Penalaran Istislahi dalam
Upaya Penerapan Maqasid asy-Syari’ah, dalam Jurnal Ahkam, volume 11,
nomor 1, Juli 2009.
Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad antara teks,
realitas, dan kemaslahatan social. Jakarta: Penerbit Erlangga
Anwar, Syamsul, “Dilalah al-Khafi wa Alayat al-Ijtihad: Dirosah ushulyah bi
ikhalah khos qodiyah al-qotl al-rakhim” dalam Al-Jami’ah Journal of
Islamic Studies, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Bakrie, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi,cet. Ke-1
(Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996.
Bakri, Asfari Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
Dahlan, Abdul Azis, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Majlis Tarjih Muhammadiayah. Jakarta :
Logos Wacana Ilmu
Fata, Rohadi Abd. 1991. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam. Jakarta :
Bumi Aksara
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jilid. VIII, Beirut: Dar al-Sadr, t.th. Qorib, Ahmad,
Ushul Fikih 2, cet. Ke-2, Jakarta: PT. Nimas Mul-tima, 1997.
Qorib, Ahmad. 1997. UshulFikih 2. Jakarta: PT. Nimas Multima
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, cet.Ke-1, Bandung:
Pustaka, 1994.
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Yahya, Mukhyar dan Fachurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung: al-Ma’arif
Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh Islamy, juz II, Damaskus: Dar al Fikr, 1986

i
Ahmad Qorib, UshulFikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. II, hlm. 170.
ii
Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th.), 2-

13
14

iii
Asafri Jaya Bakrie, KonsepMaqashidSyari’ahmenurut al- Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: P.T. Raja
grafindoPersada, 1996), 64. Urgensikemaslahatan.
iv
Al-Syatiby, al-Muwafaqat…,
i

Anda mungkin juga menyukai