Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
Hubungan Hukum Islam Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hubungan Hukum Islam
Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah yang mencakup: Apa itu maqasid
alsyari’ah ? Bagaimana peranan maqasid al-syari’ah dalam pengembangan Islam?
Dan bagaimana hubungan maqasid al-syari’ah dengan metode-metode ijtihad
lainnya?. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis
memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Maqasid Al syari’ah......................................................................................3
B. Peranan maqasid Al-Syari’ah dalam pengembangan Islam..........................4
C. Hubungan Maqasid Al-Syari’ah Dengan Metode-Metode Ijtihad................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................12
A. Kesimpulan.................................................................................................12
B. Saran...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber
ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber
tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua
persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring dengan perjalanan
waktu dan perubahan zaman.
Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena itu ijtihad menjadi hal
yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan hukum. Ijtihad
dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai hal guna
mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu
pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah
mempertimbang kan maqasid al-syariah sebagai dasarnya.
Teks tidak selalu memberi jawaban yang terperinci dan konkrit atas
kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar pasti terhadap nya, dan terbuka lebar
ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu meluas dan terus
berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi perkembangan
zaman.Makalah ini akan membahas hubungan maqasid al-syariah dengan
ijtihad.
Hukum Islam melarang perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan
manusia, sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia dan perbuatan itu
dilakukan hanya oleh seorang tanpa merugikan orang lain. Seperti seorang
yang meminum khamar (minuman yang dapat memabukkan). Dalam
pandangan Islam perbuatan orang tersebut tetap dilarang, karena dapat merusak
akalnya yang seharusnya ia pelihara. Allah mensyari’atkan hukum Islam untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk mengghindari mafsadat
baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di
dunia dan akhirat, menurut para ulama’ ushulfiqih, ada lima unsur pokok yang
harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Seorang hamba akan memperoleh kemaslahatan,
manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan
memperoleh kemafsadatan manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur
tersebut dengan baik.
Kelima pokok di atas kemudian oleh ulama’ ushul fiqih dikatakan sebagai
al-kulliyyay al-khams yang kemudian menjadi bagian dari pada al-maqasid al-
syari’ah (maksud atau tujuansyari’athukum Islam) yang kemudian oleh ulama’
ushul fiqih dijadikan sebagai alat dalam menetapkan hukum yang kasusnya
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakasud dengan maqasid al syari’ah?
2. Bagaimana peranan maqasid al-syari’ah dalam pengembangan Islam?
3. Bagaimana hubungan maqasid al-syari’ah dengan metode-metode ijtihad
lainnya?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian maqasid al syari’ah.
2. Mengetahui perananan maqasid al syari’ah.
3. Mengetahui hubungan maqasid al syari’ah dengan metode-metode ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqasid Al syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata
yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata
Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-
hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. iSedangkan Syari’ah secara bahasa
berarti Jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan. Al-Syatibi menegaskan
bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat.
Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan
posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam,
berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan
hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu
bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah,
hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Konsep maqasid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-
Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali
kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fikih bermadzhab
Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu
ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqasid al-Syari’ah.
Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan)
maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan
hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hambaii
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqasid
menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqasid dharuriyat, Maqasid hajiyat, dan
Maqasid tahsiniyat. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba,
yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilang kannajis,
dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima
3
4
tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-
nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifz an-nasl); (5)
menjaga harta (hifz al-mal)
Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang
dibuat oleh para ulama Usulfiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan
mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat
ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan
fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat,
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan)
kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”, dan “Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba”iii
2. Ulama yang tidak menempuh zahirnas. Kelompok ini terbagi menjadi dua
golongan. Pertama, Ulama’ yang berpendapat bahwa maqasid al-syari’ah
diketahui bukan dari zahir lafaz dan bukan pula dari tunjukan zahir lafaz,
akan tetapi ia merupakan hal lain yang ada dibalik tujuan zahir lafaz yang
berpendapat dalam semua aspeksyari’at. Kelompok ini disebut Ulama’ al-
Ratiniyah. Kedua, Ulama’ yang berpendapat bahwa maqasid al-syari’ah
harus dikaitkan dengan pengertian lafaz. Artinya zahirlafaz tidak harus
mengandung tujuan mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahirlafaz
dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian
nalar, baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak.
Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqin fi al-Qiyas.
3. Ulama yang melakuakan penggabungan dua pendekatan (zahirlafaz dan
pertimbangan illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian
zahirlafaz dan tidak pula merusak kandungan makna atau illat, sehingga
tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini
disebut ulama’ al-Rasikin. Kaitannya dengan hal tersebut, al-Syatibi dalam
memahami maqasid al-Syari’ah merumuskan dua cara, yaitu: 1.
Melakukan analisis terhadap lafaz perintah dan larangan. Suatu perintah
menurutnya menghendaki perwujudan dari sesuatu yang diperintahkan.
Persujudan isi dari perintah itu menjad itujuan yang dikehendaki oleh
syari’. Demikian pula sebaliknya. Sebuah larangan menghendaki suatu
perbuatan yang dilarang itu ditinggalkan, keharusan meninggalkan
perbuatan yang dilarang Tuhan. Menelaah illat al-amr (perintah) dan al-
nahy (larangan). Menurutnya pemahaman maqasid al-syari’ah dapat
dilakukan melalui analisis illat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadis. Illat adalah kemaslahatan-kemaslahatan dan hikmah-hikmah yang
berkaitan dengan perintah (al-amr) kebolehan (al-ibahah), dan
kemafsadatan (al-mafasid) yang berkaitan dengan larangan (al-nahy).
Dengan demikian, illat suatu hukum adalah kemaslahatan dan
kemafsadatan itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa Metode maqasid al-syari’ah dikembangkan untuk mencapai tujuan
akhir dari ditetapkan dan dilaksanakannya hukum Islam yaitu
kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
pemikiran ushulfiqh terdapat tiga cara penentuan legalitas maslahat yang
sekaligus membagi maslahat kepada tiga macam. Ketiga macam
penentuan legalitas maslahat itu adalah sebagai berikut:
Pertama, maslahat yang legalitasnya berdasarkan tunjukan dari suatu
nash dalam bentuk illat. Nash itu sendiri menyebut suatu itu diangggap
sebagai suatu maslahat. Ini yang disebut maslahat al-mu’tabarah. Pemelharan
jiwa manusia misalnya, merupakan kemaslahatan yang harus diwujudkan.
7
Keharusan perwujudan ini ditunjukkan oleh Tuhan sebagai al-Syari’ dalam al-
Qur’an, yaitu sebagaimana yang termaktub dalam suran al-Baqarah ayat 178
yang menyatakan tentang pelaksanaan hukum qishas. Demikian juga dengan
pembebanan hukuman terhadap pencuri, yang dalam al-Qur’an disebutkan
dalam surat al-Ma’idahayat 38, dimana hal ini merupakan realisasi dari
kemaslahatan pemilikan harta benda yang ditunjukkan oleh al-Syari’.
Sedangkan dalam rangka menjaga kemaslahatan keturunan dan kehormatan
manusia, Tuhan melarang untuk mendekati zina, sebagaimana yang termaktub
dalam al-Isra ayat 32. Dalam transaksi ekonomi, misalnya, keharusan adanya
persaksian yang adil adalah dalam upaya mewujudkan bentuk-bentuk
mu’amalah dan mekanis meniaga yang jujur dan membawa kemaslahatan bagi
kedua belah pihak.
[6]
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,
(Jakarta:RajaGrafindo Persada,1994), hlm.126
[7]
Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam, (bandung:al-Ma’arif,1986), hlm.373
[8]
Ibid, Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan ,………hal 126-127
[9]
Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antarateks,
realitas, dan kemaslahatan social, Jakarta: PenerbitErlangga, 2002, hal. 1
[10]
Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaandalam Fiqh Islam, (
Jakarta : Bumi Aksara, 1991), 43-44
[11]
Ibid, FathurahhmanDjamil, Metode Ijtihad............hlm.16
[12]
Ibid, Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar ,......hal 373
[13]
Ibid, Asafri Jaya Bakri, KonsepMaqashidSyai’ahMenurut al-
Syatibi, ……hlm.129i
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan.
Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal.
Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqasyid al-syari’at. Oleh karenanya pengetahuan
tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh
seorang mujtahid.
Kemaslahatan dijadikan sebagai argumen dalam penetapan hukum
syariat serta menjadi prioritas dalam berijtihad. Tetapi banyak berbagai
pengertian kemaslahatan diantaranya adalah kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka sangat beragam bentuk
dan coraknya. Jika diringkas maka akan didapatkan lima kemaslahatan
utama yaitu kemaslahatan agama (maslahahad-din), kemaslahatan
jiwa (maslahah an-nafs), kemaslahatan reproduksi dan
berkeluarga (maslahah an-nasl), kemaslahatan terhadap akal (maslahah al-
aql), dan kemaslahatan terhadap harta benda (maslahah al-mal).
Ketika kita yakin dan sepakat bahwa Syariat tidak memiliki tujuan
lain selain kemaslahatan umat manusia, begitu pula bahwa seluruh teks
dan hukum-hukumnya berfungsi merealisasikan kemaslahatan dan
mencegah kerusakan, maka menjadi kewajiban kita dalam berinteraksi
dengan teks dan hukum-hukumnya untuk berlandaskan pada prinsip ini,
yaitu memahami teks sebagai kemaslahatan, aplikasi praktisnya dalam
lingkup kemaslahatan, dan kita jadikan pula teks sebagai standar
kemaslahatan.
B. Saran
Demikianlah tadi informasi mengenai Hubungan Hukum Islam
Dengan Ijtihad dan Maqashid Al-Syariah, semoga makalah diatas dapat
menambah wawasan pengetahuan kita terhadap manajemen mutu dan
segala cakupannya. Kami harap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan
atau kata yang mempunyai makna menyinggung ataupun salah dalam
penerapan dalam kehidupan pembaca/bertentangan maka kami mohon
maaf, karena kami pembuat makalah ini hanya ciptaan yang mungkin
masih memiliki kekurangan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II, Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.
Abu Zahra, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Ara- biy, 1958.
Aibak, Khutbuddin Al-Mashlahah al-Mursalah sebagai Penalaran Istislahi dalam
Upaya Penerapan Maqasid asy-Syari’ah, dalam Jurnal Ahkam, volume 11,
nomor 1, Juli 2009.
Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad antara teks,
realitas, dan kemaslahatan social. Jakarta: Penerbit Erlangga
Anwar, Syamsul, “Dilalah al-Khafi wa Alayat al-Ijtihad: Dirosah ushulyah bi
ikhalah khos qodiyah al-qotl al-rakhim” dalam Al-Jami’ah Journal of
Islamic Studies, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Bakrie, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi,cet. Ke-1
(Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996.
Bakri, Asfari Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
Dahlan, Abdul Azis, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Majlis Tarjih Muhammadiayah. Jakarta :
Logos Wacana Ilmu
Fata, Rohadi Abd. 1991. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam. Jakarta :
Bumi Aksara
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jilid. VIII, Beirut: Dar al-Sadr, t.th. Qorib, Ahmad,
Ushul Fikih 2, cet. Ke-2, Jakarta: PT. Nimas Mul-tima, 1997.
Qorib, Ahmad. 1997. UshulFikih 2. Jakarta: PT. Nimas Multima
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, cet.Ke-1, Bandung:
Pustaka, 1994.
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Yahya, Mukhyar dan Fachurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung: al-Ma’arif
Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh Islamy, juz II, Damaskus: Dar al Fikr, 1986
i
Ahmad Qorib, UshulFikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. II, hlm. 170.
ii
Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th.), 2-
13
14
iii
Asafri Jaya Bakrie, KonsepMaqashidSyari’ahmenurut al- Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: P.T. Raja
grafindoPersada, 1996), 64. Urgensikemaslahatan.
iv
Al-Syatiby, al-Muwafaqat…,
i