Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGERTIAN DHARURIYYAT HAJIYYAT DAN TAHSINIYYAT

Disusun untuk memenuhi tugas kuliah

Mata kuliah : studi maqashid syari’ah

Dosen pengampu :

ABDULLOH, M.PD.

Disusun Oleh :
MOHAMMAD ZAINAL ABIDIN : 22308401011052

AHMAD MUKTAFI BILLAH : 22308401011052

MUFLIHATUL QOLBI : 22308401011057

SEMESTER I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM AL-QOLAM MALANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaaca.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu sayat penilaian pada mata
kuliah studi maqashid syari’ah ini. Harapan kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini dengan lebih baik untuk kedepannya.

Makalah ini kami akui masih memiliki banyak kekurangan karna pengetahuan yang kami
miliki masih sangat kurang dan terbatas. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan pada para
pembaca maupun dosen pembimbing untuk memberikan masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah.

Malang 27 oktober 2023

1
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................1
Daftar Isi......................................................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat..........................................................................4
B. Alasan penetapan ketiga Kategori tersebut........................................................................................5
C. Hubungan Antara Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat.................................................................6
D. Contoh Konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap Kategori...............................................................7
BAB III......................................................................................................................................................10
PENUTUP.................................................................................................................................................10
Kesimpulan............................................................................................................................................10
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................11

BAB I

2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Puncak perkembangan dan penggunaan maslahat sebagai prinsip bahkan metode


penalaran dalam ushul Fiqh (Sejarah ushul fiqh) kelihatan terjadi ditangan Abu Ishaq al-Syathibi
al-Gharnathi (w 790 H/1388 M), yang telah berusaha melakukan semacam penyempurnaan dan
bahkan pembeharuan. Beliau menulis sebuah kitab tentang ushul Fiqh yang relatif tebal dan
mendalam (Al-Muwaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, empat jilid). Dengan sistematika yang relatif
baru. Dalam buku ini beliau berupaya mengaitkan uraian tentang maslahat dengan uraian tentang
maqhasid al-syari’ah (tujuan syari’at) secara lebih erat dan sungguh-sungguh dan menjadikan
sebagai salah satu syarat untuk kebolehan berijtihad. Pembahasan ini dia jadikan sebagai sebuah
topik baru yang berdiri sendiri didalam usgul fiqh karena sebelumnya topik tentang maqashid al-
Syari’at tidak menjadi perhatian besar, dan kalaupun diuraikan selalu dikaitkan atau dibahas
sebagai bagian dari metode lain. Berikut ini akan diuraikan kategori maqhasid syari’ah dan
perannya dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi.

B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dari makalah ini adalah:

1. Penegertian dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyat serta isi dan kandungan setiap kategori

2. Dalil dan alasan penetapan ketiga kategori tersebut (apakah mungkin ditambah atau
dikurangi)

3. Hubungan antara ketiga kategoti tersebut

4. Contoh konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap kategori

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan untuk mencapai kemashlahatan,
yaitu:

1. Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan
primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia.
Keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat ini dalam buku ushul fiqh, termasuk as-Sythibi,
membagi menjadi lima buah, yaitu pemenuhan keperluan serta serta perlindungan yang
diperlukan untuk :

a. keselamatan agama (ketaatan ibadah kepada Allah SWT)

b. keselamatan nyawa (perindividu),

c. keselamatan akal (termasuk hati nurani),

d. keselamatan atau kelangsungan keturunan (eksistensi manusia) serta terjaga dan


terlidunginya harga diri dan kehormatan seorang dan

e. keselamatan serta perlindungan atas harta kekayaan yang dikuasai atau dimiliki seorang.

Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya
Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya.
Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau
mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat
mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus
dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok
itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan
bagi manusia. Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam
kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan.

4
Mengenai masalah urutan ada ulama berpendapat bahwa urutan sesuai dengan yang disebutkan
diatas, artinya perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas empat yang
dibawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan atas tiga dibawahnya dan begitulah seterusnya
secara berurutan. Dan ada juga ulama yang menganggap empat dari lima keperluan diatas yaitu
selain agama setingkat, artinya seorang boleh memilih mana yang akan diutamakan dan mana
yang akan ditinggalkan atau dikorbankan sesuai dengan pertimbangan dan keadaan nyata yang
dia hadapi. Dan semua ulama sepakat bahwa perlindungan agama merupakan yang tertinggi.

2. Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan


keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan
kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan
kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang membedakan al-dharuriyyah dengn al-
hajiyyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan manusia. Namun demikian, keberadaannya
dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam
kehidupan mukallaf.

3. Al-tahsiniyyat adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar
kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan lebih mudah lagi, lapang dan
lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah lain adalah keperluan yang dibutuhkan
manusia agar kehidupan mereka berada dalam kemudahan, kenyamanan, kelapangan.

B. Alasan penetapan ketiga Kategori tersebut

Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam.
Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum
Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu
Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.

5
Dengan memperhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis secara teliti, baik yang bersifat khusus
(spsesifik, nash khusus) yang menjadi dalil untuk suatu masalah dan juga yang bersifat umum
(nash umum) yang berisi prinsip-prinsip akan diketahui adanya kemaslahatannya yang ingin
dicapai dan dilindungi oleh al-qur’an pada setiap perintah, larangan atau keizinan yang diberikan
Allah, inilah yang disebut dengan mashalih yang ingin dijaga, dipenuhi dan dilindungi oleh al-
Qur’an atau lebih tepatnya menjadi maqashid al-syari’ah.

Menurut al-Syathibi dan para ulama mendukung mashalih mursalah, pembagian maslahat
menjadi tiga jenis yaitu mu’tabarah, mulghah dan mursalah serata adanya pembagian maslahat
kepada tiga tingkatan yaitu al-dharuriyyat, ah-hajiyyat, al-tahsiniyyat . dan dapat dianggap sudah
bersifat qath’I karena bersifat final karena diperoleh melalui istiqra’ ma’nawi (induksi
menyeluruh) atas semua ayat dan hadis.

Mengenai penambahan atau pengurang dari kategori ini sangat mungkin dilakukan, karena
perubahan yang terjadi dimasyarakat sekarang sekiranya dibandingkan dengan masa al-Syathibi
sudah sangat jauh berbeda , utamanya ada perubahan paradigma. Jadi perubahan sekarang
utamanya terjadi karena adanya perubahan paradigma sehingga perlu merumuskan metode
penalaran yang sesuai dengan paradigma baru yang digunakan sekarang. Menurut prof Dr Al
Yasa’ bu Babakar Dalam buku metode ishtishlahiyah kategori-kategori yang sudah dihasilkan
sudah bersifat final atau qath’i karena diperoleh melalui istiqra ma’nawi tetap kategori tersebut
diperolah melalui ijtihad walaupun metodenya istiqra ma’nawi, tetap harus dianggap sebagai
hasil ijtihad yang tidak akan sampai kepada tingkat qath’i. karena itu sekiranya perlu atay ketika
ada ijtihad yang lebih baik maka kategori ini boleh saja diubah atau dikembangkan lagi.

C. Hubungan Antara Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Mengenai hubungan antara ketiga kategori ini mempunyai hubungan yang berjenjang, mulai dari
yang paling terpenting sampai kepada yang dianggap pelengkap, yaitu al-Dharuriyyat (keperluan
dan perlindungan yang bersifat asasiah, dasariah, primer, elementer, fundamental), al-Hijiyyat
adalah keperluan dan perlindungan yang bersifat sekunder, suplementer dan al-Tahsiniyyat
adalah keperluan yang bersifat tersier, komplementer. Hubungan antara ketiga jenis dan tingkat
keperluan dan perlindungan ini oleh as-Sythibi dijelaskan sebagai berikut:

1. Al-Dharuriyyat adalah dasar bagi al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat

6
2. Kerusakan al-Dharuriyyat akan menyebabkan kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-
Tahsiniyyat

3. Kerusakan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat tidak akan menyebabkan kerusakan al-


Dharuriyyat.

4. Kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat akan mengakibatkan kerusakan sebagian


al-Daruriyyat

5. Keperluan dan perlindungan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat perlu dipelihara untuk


kelestarian al-Dharuriyyat.

Dengan uraian diatas terlihat bahwa al-Dharuriyyat adalah pokok dan landasan bagi dua
keperluan dan perlindungan ditingkat bawahnya. tidak Keberadaan dua terakhir (al-Hajiyyat dan
al-Tahsiniyyat) tergantung penuh kepada al-Dharuriyyat, dengan arti kalau pertama tidak ada
maka yang dua dibawahnya menjadi tidak bermanfaat. Sedangkan keberadaan al-dharuriyyat
tidak bergantung pada dua yang dibawahnya. Dengan arti kalaupun dua yang dibawahnya tidak
ada sama sekali, al-dharuriyyat masih tetap ada walaupun dalam bentuktdk sempurna. Jadi
keberadaannya tidak bergantung kepada dua dibawahnya. Tetapi perlu untuk sempurnanya al-
dharuriyyat, maka al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat harus dipelihara dan diusahakan
penyempurnaanya.

D. Contoh Konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap Kategori

1. Al-dharuriyyat

Al-dharuriyyat adalah kebutuhan yang harus terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup
diatas permukaan bumi secara manusia,kalau salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan
terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan dan akan membawa
kepada kepunahan. Contoh: kalau pembunuhan dibiarkan terjadi dan dan tidak ada perlindungan
terhadap nyawa manusia, maka kehidupan manusia dipermukaan bumi akan terancam, karena
tidak bisa hidup tentram, bahkan bisa membawa kepada kepunahan, karena bisa jadi akan saling
membunuh dengan alasan yang sepele atau hanya dengan alasan untuk memuakan dendam.
Contoh lain kalau pemeliharaan harta tidak ada perlindungan maka manusia tidak dapat hidup

7
tentram dan tidak dapat dikembang keadaan lebih tinggi dari keadaan primitif, dan apa bila hal
seprti ini tidak ada perlindungan sangat mungkin suatu saat semua hartanya akan dicuri. Begitu
juga dengan keselamtan akal/ hati nurani, keselamatan keturnan.

Para ulama berpendapat, kalau ada bertentangan antara dua keperluan dari jenis yang berbeda
pada urutan yang lima tersebut, maka perlindunagan pada agama harus didahulukan. Dan para
ulama sepakat bahwa pemenuhan keperluan dan perlindungan tidak boleh dengan cara
merugikan atau mengorbankan perlindungan dan dan kepentingan orang lain. Contoh untuk
menyelamatkan diri sendiri diri dari kematian atau tekanan, paksaan orang lai, seorang tidak
boleh membunuh orang lain, merusak kehormatan orang lain atau menghancurkan harta orang
lain.

2. Al-hajiyyat

Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah, dan kalaupun tidak ada maka
sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi tidak sampai kepada tingkat menyebabkan
kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Contoh: keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat
karena manusia memerlukan untuk berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan
lain-lain, tempat yang masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi kebutuhan dasariah
diatas tidak musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu yang kokoh, gua atau cabang-cabang
kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
dasariah, karena manusai dapat berlindung didalamnya walaupun tentunya dengan cara yang
sederhana dan boleh jadi sama sekali tidak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Jadi
keperluan rumah yang dibuat secara khusus dengan dinding dan atap yang kuat serta lantai yang
hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan fungsin dan kegunaan yang berbeda masuk
kedalam kategori al-hajiyyat.

3. Al-Tahsiniyyat

Keperluan dan perlindungan tingkat ketiga ini adalah semua keperluan dan perlindungan yang
diperlukan agar kehidupan lebih nyaman, lebih mudah, dan seterusnya. Kebutuhan ini
kelihatannya tidak menyentuh kepada kegiatan atau suatu yang menjadi kebutuhan pokok atau
subtansial bagi kehidupan, tetapi hanya berhubungan dengan suatu yang menjadi fasilitas, tata

8
cara atau upaya menghasilkan barang-barang yang dapat mempermudah pemenuhan dan
perlindunga al-dharuriyyat dan al-hajiyyat yang sudah disebutka diatas. Contoh: tidur diatas
kasur, memasak makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu, menci[takan dan
menggunakan berbagai alat untuk transportasi ,dan sebagainya termasuk kedalam al-tahsiniyyat.

Namun bila dikaitkan dengan pada masa sekarang (modern) tentu sangat berbeda dengan masa
lalu (masa imam mazhab dan masa sahabat), maka yang awalnya bersifat al-hajiyyat berubah
menjadi al-dharuriyyat. Contoh: listrik, tentu kita berpikir tanpa listrikpun manusia tetap hidup
dan tidak membawa kepada kepunahan, minsalnya orang yang hidup masih dalam dasariah atau
primitif disebuah kota modern, ketergantungan pada listrik relative tinggi sekali, pengaturan lalu
lintas, penyulingan air, dan penglirannya kegedung-gedung tinggi dan menjalan berbagai
aktivitas dirumah sakit, menjalan kan pabrik, menjalankan berbagai alat rumah tangga , dan
semua tergantung kepada listrik, bila listrik mati total maka kota akan lumpuh total, dengan arti
bawa kegiatan dan aktivitas tdk bisa dilaksanakan, maka listrik masuk dala kategori al-
dharuriyyat.

Contoh pada masa lalu petani merasa puas dengan mengelola sawahnya dengan teknologi
sederhana, seperti cangkul, parang, ditarik dengan lembu, kuda kerbau, serta irigasi seadanya
bahkan tadah hujan, dengan bibit biasa tanpa pupuk dan lain-lain, sedangkan pada sekarang
petani yang hanya menggunakan alat-alat diatas kalah bersaing dengan dengan petani
menggunakan traktor dan hasil ilmu pengetahuan modern lainnya. Jadi untuk dapat
mempertahankan tingkat kesejahteraannya, agar tidak dikalahkan oleh petani yang sudah
modern, maka petani tradisional harus meningkatkan kualitas dan dan pekerjaan berpindah alih
ke traktor dan alat modern lainnya.

Oleh karena itu layak untuk dipertimbangkan bahwa kualitas capaian keperluan dan
perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat
standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka
pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi
hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan
meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi
lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup

9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Kemaslahatan tidak lebih dati 3 macam yaitu kemaslahatan al-Dharuriyyat (Primer),


kemaslahatan al-Hajiyyat (sekunder), kemaslahatan al-Tahsiniyyat (tersier).

2. Kemaslahatan al-Dharuriyyat adalah perlindungan dan kebutuhan yang paling penting


dibandingkan kategori lainnya, Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam
keselamatan umat manusia bahkan kepunahan.

3. Kemaslahatan al-Dharuriyyat terbagi kepada, dan kelimanya harus lengkap, Bila salah
satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar
dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan

4. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan
hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut
Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.

5. Kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak
memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai
ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu
akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan
dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah
sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup

10
Daftar Pustaka

Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul Ma’rifah, Bairut, 1997


Al Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul
Fiqh, (Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, 2012)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008)
Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994)
Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000)
Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999)
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul
Fiqh, (Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, 2012), Hal 39-40
Al Yasa’ Abubakar. Hal 85
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
hal 209
Al Yasa’ Abubakar. Hal 85
Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999),
hlm.79
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul Ma’rifah, Bairut, 1997, jilid 1-2, hal. 324
Alyasa’ Abubakar. Hal 58
Al Yasa’ Abubakar. Hal 83-84
Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.22.
Alyasa’ Abubakar. Hal 91
Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.267
Alyasa’ Abubakar. Hal 101

11

Anda mungkin juga menyukai