Anda di halaman 1dari 9

PENALARAN ISTISHLAHIYYAH

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kegiatan Terstruktur Mata


Kuliah Metode Ijtihad Kontemporer

Dosen Pengasuh:
DR.SARINA AINI, Lc. M.A. Ph.D.

Disusun oleh:
Kelompok 4
1. Al – Furqan (200103024)
2. Raiyani (200103027)
3. Cut Nurul Aflah (200103033)

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN


HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH-2022
M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PENALARAN
ISTISHLAHIYYAH” tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya,
dan tak lupa kepada kita selaku umatnya sampai akhir zaman.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami
sangat terbuka terhadap kritik dan saran, dan kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. demi
perbaikan dimasa depan. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini berguna bagi
para pengajar, mahasiswa, dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………ii

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………………….1

Latar Belakang……………………………………………………………1

Rumusan Masalah………………………………………………………..,1

Tujuan Pembahasan………………………………………………………1

BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………2

A. Pengertian Penalaran Istishlahiyyah ………………………………2


B. Macam-macam Istishlah…………………………………………,..3
C. Kehujjahan Istishlah……………………………………………… 4

BAB IIl

PENUTUP………………………………………………………………….5

KESIMPULAN……………………………………………………………..5

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………6
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah Pada masa Rasul, manakala
muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun
kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk
menjelaskannya.Rasulsebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian penjelasan ini
kepada umatnya untuk di ikuti. Sebagai orang yang di beri wewenang menjelaskan di
satu sisi dan menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang
harus menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum dalam
Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fikih dan Filsafat Hukum
Islm. Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode
penemuan hukum Islam.Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid
dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan
menjawab persoalanpersoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis.
Pengertian hukum sebagai titah Allah berakibat pada metode istinbat hukum. Dalam
perspektif ushul fikih, jadi merupakan pola umum yang dipergunakan dalam
menemukan dan membentuk peradaban fikih dari masa ke masa seperti Istishlahiyyah.
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al- fikih tersebut
adalah kalimat .‫ين أدنتها انتفصيهيح‬Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian
metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih daripada analisis teks.

B. Rumusan masalah

1. Apa itu istishlahiyyah?


2. Apa saja pembagian istishlahiyyah?
3. Apa yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama?

C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui dan memahami apa itu penalaran istishlahiyyah
2. Memahami macam-macam istislah
3. Untuk mengetahui letak perbedaan pendapat para ulama
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian istishlahiyyah
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia baik dalam arti menarik atau menghasilakan keuntungan atau
kesenangan atau dalam artimenolak/menghindarkan kemadharatan atau
kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik
tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu
suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan,maka haltersebut
berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya
manfaat lahir dan batin.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syara’. sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia karena
kemaslahatan manusiatidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’ tetapi
sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah
wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yangmenurut mereka sesuai
dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak
syara karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu
'terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan perbuatanyang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan
syara$ diatas maka dinamakan mashlahah. Al-(hawarizmi menyatakan :
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara
menghindarkan kesusahan dari manusia”
Dari uraian diatas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah
untuk mencapai kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat.
Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu terpeliharanya agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala
bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut
juga dinamakan mashlahah.

B. Macam-Macam Istishlah
1. Mashlahah yang Diakui Ajaran Syari’ah
a. Mashlahah al-Dharuriyyah.
Mashlahah al-Dharuriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini
ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut
dengan al-mashalih al-khamsah. Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena
menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal
yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal
pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya.
Permasalahan di ataslah yang merupakan dasar mashlahah.
b. Mashlahah al-Hajiyah.
Mashlahah al-Hajiyah adalah kemaslahatan untuk menyempurnakan kebutuhan
pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya.
Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas shalat (qashr) dan
berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Dalam bidang mu’amalah
dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik- baik, dibolehkan
jual beli pesanan (bay’ al-salam), dan kerjasama dalam pertanian (muzara’ah)
serta perkebunan (musaqqah). Hal ini disyari’atkan Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah di atas.
c. Mashlahah al-Tahsiniyyah.
Mashlahah al-tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang merupakan kebutuhan
pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam
kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian
yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan
berbagai cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat
menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan
hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan
tahsiniyyah.

2. Mashlahah yang Tidak Diakui Ajaran Syari’ah


Yang dimaksud dengan Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah adalah
sesuatu yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tingkat
pertama (daruriyyah). Mashlahah ini disebut mashlahah al-mulghah.

3. Mashlahah yang Tidak Terikat pada Jenis Pertama dan Kedua.


Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua disebut dengan
Mashlahah al-Mursalah. Mashlahah al-Mursalah adalah kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’
melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi ke dalam dua
macam yaitu:
a. Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara
umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya.
Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa kemaslahatan seperti ini tidak
ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.
b. Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh
sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna
nash (ayat atau hadis).

C. Kehujjahan Istishlah
Mengenai kehujjahan istishlah, terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam
hal boleh atau tidaknya menggunakan mashlahah dalam menanggulangi suatu
persoalan. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
1. Imam Malik dan Imam Ahmad serta para pengikut mazhabnya, mereka
berpendapat bahwa istishlah adalah salah satu metode yang diakui oleh syariat
untuk menetapkan hukum yang tidak ada nashnya. Dan mashlahah yang dianggap
sah untuk ditentukan menjadi hukum syar’i adalah mashlahat yang tidak
mempunyai ketentuan syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima bahkan
menerapkan istishlah sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Argumennya
bahwa mashlahah al-mursalah adalah induksi dari logika sekumpulan nash, dan
bukan dari nash yang rinci seperti halnya qiyas.

2. Imam Syafi’i dan sebagian pengikut mazhabnya. Ulama golongan Syafi’iyah


pada dasarnya juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’ meski
ada sebagian yang tidak membolehkan. Imam Syafi’i mengkategorikannya ke
dalam bagian qiyas. Untuk itu ada beberapa syarat yang ditetapkan untuk
menjadikan istishlah sebagai hujjah dalam mengtistimbatkan hukum, yakni:
mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan syara’, tidak bertentangan dengan
nash syara’, dan termasuk dalam kategori mashlahah yang dharury, baik maslahat
umum maupun maslahat pribadi.

3. Imam al-Thufy, salah seorang pengikut Imam Hanbaliy berpendapat bahwa


istishlah adalah dalil syara’ yang pokok yang memuat aturan muamalah dan
sejenisnya yang disimpulkan pada hukum-hukum yang disyariatkan untuk
menarik manfaat dan menolak mafsadat. Menurutnya lagi, istishlah bukan hanya
dalil asasi bagi syariat dan sarana untuk menentukan hukum secara umum baik
yang ada nash atau pun tidak tetapi juga termasuk muamalat maupun siyasah.
Singkatnya, di mana ada mashlahah di situ ada syariat Allah.

4. Imam Hanafi dan penganut mazhabnya. Pandangan ulama Hanafiyah terhadap


istishlah ini terdapat perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa ulama Hanafi tidak
menggunakannya, tetapi sebagian yang lain sepakat menggunakannya.
Tampaknya, pendapat kedua lebih tepat mengingat kedekatan metode istishlah
yang mirip dengan metode istihsan yang sangat populer di kalangan ulama
Hanafiah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila
dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu
suatu kemaslahatan,maka haltersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut
ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Macam-Macam Istishlah
a. Mashlahah al-Dharuriyyah.
Mashlahah al-Dharuriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
b. Mashlahah al-Hajiyah.
Mashlahah al-Hajiyah adalah kemaslahatan untuk menyempurnakan
kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam
kehidupannya.
c. Mashlahah al-Tahsiniyyah.
Mashlahah al-tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang merupakan kebutuhan
pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam
kehidupan.
Mengenai kehujjahan istishlah, terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam
hal boleh atau tidaknya menggunakan mashlahah dalam menanggulangi suatu
persoalan seperti yang sudah dijelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abd. Majid. Ushul Fiqh. Pasuruan: PT. Garuda Buana Indah, 1994.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, Alih Bahasa Saifullah Ma’shum. Jakarta: PT.
Pusaka Pirdaus, 1994.
Nasrun, Harun. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Khallaf, Abd. Wahab. Mashadir al- Tasyri’ al-Islamiy fi Ma La Nashsha Fiqh.
Kuwait: Dar al- Qalam, 1972.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 322.

Anda mungkin juga menyukai