Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MASLAHAH MURSALAH DAN SADZUDZ DZARI'AH


SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKTALAF

Disusun oleh
Kelompok IV :

Nama Anggota
1. Uswatun Hasanah
2. Agis Suryani
3. Ananda Karina
4. Fauzil Adhim

Kelas : XII AGAMA


Guru Pembimbing : MARWAN S,Ag

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BIMA


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat Ridho-
Nya kami mampu merampungkan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kami haturkan
shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam, beserta
keluarganya, para sahabatnya dan semua ummatnya yang selalu istiqomah sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam dengan tema MASLAHAH MURSALAH DAN SADZUDZ DZARI'AH. Yang
dimana makalah ini menjelaskan lebih ringkas tentang MASLAHAH MURSALAH DAN
SADZUDZ DZARI'AH. Namun, kami sadar bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan. Oleh
karena itu, kami sangat berharap kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat serta mampu memenuhi harapan berbagai
pihak. Aamiin.
Bima, 12 Agustus 2022
Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama sempurna yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW.sebagai Nabi akhir zaman,yang diutus Allah untuk umat manusia di setiap waktu dan tempat.
Al-Qur'an dan Sunnah merupan dua sumber utama Hukum Islam yang wajib menjadi rujukan. Di
sisi lain sejak Wahyu telah sempurna dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW.bermunculah
problematika kehidupan yang membutuhkan jawaban hukum yang secara eksplisit (jelas) tidak
ditemukan di dalam Nash Al-Qur'an dan hadits. Realita ini menuntut adanya kualifikasi khusus bagi
seseorang untuk memehami dilalah (penunjuk) Al-Qur'an dan Sunnah ia harus mempunyai dasar
ilmu untuk itu. Maka lahirlah rumusan-rumusan sumber hukum sekunder (hukum yang memberikan
penjelasan yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas) seperti Ijma', Qiyas, yang
disepakati oleh para ulama fiqih sebagai argumentasi penetapan hukum-hukum. Dari ke-empat
sumber hukum yang disepakati tersebut kemudian dikembangkan kepada metode-metode lain yang
dikalangan ulama menjadi perdebatan dalam kehujjahannya. Seperti Istihsan, Istishab, Maslahah
Mursalah, Sadzudz Dzari'ah, Al-'Urf, Syar'u Man Qablana, dan Mahzab Sahabi. Semua itu
terangkum dalam disiplin ilmu yang diberi nama Ushul fiqih yang kemudian menjadi alat untuk
melakukan proses ijtihad yang dilakukan oleh seorang yang memenuhi syarat untuk itu, yaitu
Mujtahid.
B. Rumusan MasalahAgama
1. Apa pengertian Maslahah Mursalah dan Sadzudz Dzari'ah?
2. Apa saja macam-macam Maslahah Mursalah?
3. Apa kedudukan Maslahah Mursalah dan Sadzudz Dzari'ah?
4. Apa contoh Maslahah Mursalah dan Sadzudz Dzari'ah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian
2. Mengetahui macam-macam
3. Mengetahui kedudukan
4. Mengetahui contoh

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maslahah Mursalahah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Menurut istilah syara’, adalah
memberlakukan suatu hukum berdasar kepada kemaslahatan yang lebih besar dengan
menolak kemudaratan karena tidak ditemukannya dalil yang menganjurkan atau
melarangnya. Maslahah mursalah sering disebut juga istislah.
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan
suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan
kemaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan
(maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya,
sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat.
Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang
masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya
adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash
dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan
memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan. Dari pengertian beberapa
pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah
memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus
tidak tegas dinyatakan oleh Al-qur’an, yang apabila dikerjakan jelas membawa
kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan
kemaslahatan yang bersifat umum pula.

2. Macam-Macam Maslahah Mursalah


a). Maslahah yang dianggap oleh syariat yang biasa disebut masalih mu’tabarah seperti
diberlakukanya hukuman qisas di situ terdapat kemaslahatan yaitu melindungi jiwa.
b). Maslahah yang tidak dianggap atau ditolak oleh syariat atau biasa disebut masalih
mulgah seperti menyamakan bagian anak perempuan dengan bagian anak laki- laki
dalam masalah warisan, masalahah yang ada dalam masalah ini bertentangan dengan
naṣ al qur’an sehingga kemaslahatanya tidak dianggap.

2
c). Maslahah yang tidak dinyatakan oleh syariat secara tegas apakah maslahah tersebut
ditolak atau diakui, inilah yang disebut dengan maslahah mursalah.

3. Tingkatan Maslahah Mursalah


a. Tingkatan pertama; Maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia,
dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan
kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi.
b. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam
hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari
kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami
kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan
lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak
terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak
sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully
atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan
hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja,
memelihara jiwa itu bersifat dharuriyyang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati,
karenanya hukum tersebut tidak berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang
sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja
dikorbankan. Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai
pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia
terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah
dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori maslahah mursalah, baik
macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat
menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan
dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan
hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.

3
4. Kedudukan Maslahah Mursalah
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai
sumber hukum.
a. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1). Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2). pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkankepada maslahat berarti
membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam
Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil
dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis- habisnya. Jika
pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat- maslahat yang ada petunjuknya
dari syari' (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada
masa dan tempat yang berbeda-beda.
2) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al Qur'an dan
sebagainya.

5. Kehujjahan(alasan) maslahah mursalah.


Para ulama’ sepakat bahwa maslahah tidak boleh terjadi di dalam ibadah karena
masalah ibadah adalah masalah yang ketentuannya sudah ditetapkan oleh syariat, sehingga
tidak boleh dilakukan ijtihad.
Adapun selain masalah ibadah mereka berbeda pendapat :
- Menurut ulama’ Syafii dan Hanafi bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan
sebagai sumber hukum atau dalil secara mutlak karena dapat membuka keinginan hawa
nafsu.Lagi pula, apabila dalil nas dan cara-cara qiyās dilaksanakan dengan baik maka akan
mampu menjawab perkembangan dan kemaslahatan umat sepanjang masa.
- Menurut ulama’ Maliki dan Hanbali maslahah mursalah dapat digunakan sebagai hujjah
dalam menetapkan hukum. Mereka beralasan bahwa kemaslahatan manusia itu setiap waktu
berkembang dan beraneka ragam sehingga butuh adanya kepastian hukum. Jika maslahah

4
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah maka akan banyak peristiwa yang tidak diketahui
hukumnya.
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah tidak begitu saja
menggunakanya tetapi menetapkan persyaratan yang cukup ketat diantaranya Maslahah itu
harus bersifat riil dan umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan dan juga harus dapat
diterima akal sehat dengan dugaan kuat bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan
manfaat secara utuh dan menyeluruh. Maslahah ini juga harus sejalan dengan tujuan syara’
dan tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti nas dan ijmak.

6. Contoh maslahah mursalah


Mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’ an, mencetak uang, menetapkan pajak
penghasilan, membuat akta nikah, akta kelahiran, membangun penjara, membangun kantor
pemerintahan, dan lain-lain.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah mursalahdalam
menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan dasar hukumnya, Misalnya
langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Qur'an atas saran Umar bin
Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Qur'an oleh Utsman bin Affan. Dalam
pernikahan juga disyaratkan adanya Surat atau Akta Nikah untuk keperluan gugatan cerai,
pembagian harta pusaka dan sebagainya. Meskipun semua itu tidak ada dasar hukum
Syara'nya, namun sangat bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi umat.

B. Sadzudz Dzari'ah
1. Pengertian Sadzudz Dzari'ah
Saddz berarti menutup, mengunci, mencegah. Zarī’ah menurut bahasa adalah perantara,
sarana, atau ajakan menuju sesuatu secara umum. Tetapi lazimnya kata zarī’ah digunakan
untuk “jalan yang menuju kepada hal yang membahayakan”.
Menurut istilah syara’, adalah “Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun
hal itu akan menuju kepada hal-hal yang dilarang”. Tujuan penetapan hukum secara
saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan
maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk
mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini
syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan- larangan. Dalam memenuhi perintah
dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula

5
yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan
sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru
dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak
akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat
tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat,
sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri. Demikian pula halnya dengan larangan. Ada
perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung.
Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang
dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar,
berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual
khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju
pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat
yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan
menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu
atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar Hukum Sadzudz Dzari'ah


a. Al Qur’an
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umatmenganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am ; 108).
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin
mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan
orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
“...dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan...” (QS. An Nur ; 31).
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya
tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki -Iaki lain untuk
mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk
menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

6
b. Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya.
Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada
perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu
daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling
selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Kedudukan Sadzudz Dzari'ah


a. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab
sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : "Sesunggunya apa- apa yang
dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara
pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari'ah tetapi harus
dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan
kepada maksiat, itulah yang termasuksuddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi
lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.

b. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat
dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. Dikatakan : "Tinggalkan
apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan
melanggar larangan tersebut".

4. Kehujjahan saddzu dzariah


Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa menjerumuskan kepada kemaksiatan,
terbagi menjadi:

7
Pertama: kecil kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat
wanita yang dikhitbah. Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya.
Kedua: besar kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata
pada saat ada perkelahian.
Ketiga: menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan, seperti orang yang
menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa dinikahi kembali oleh mantan
suaminya.
Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat :
Menurut ulama’ Hanbali dan Maliki perbuatan di poin kedua dan ketiga tidak boleh di
lakukan, dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika membuka jalan ke
arah kemaksiatan, hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW :
“Barang siapa yang berputar-putar di sekitar larangan Allah ia akan terjatuh ke
dalamnya”
Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan di poin kedua dan ketiga boleh di
lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan yang pada asalnya mubah harus di perlakukan
mubah tidak bisa menjadi haram hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam
kemaksiatan.

Anda mungkin juga menyukai