Anda di halaman 1dari 12

bochins.

paw

Maslahah Mursalah
USHUL FI
QIH
AN G G OTA

Ratu Julia P
Harsya Shelivayana Mutiara Maknun N Permata Indah H
Rayssa Zaharani R
Meutia Rasya A Naila Nasywa T Putri Marshanda
Siti Nabila K.M
pengertian

Kata Maslahah merupakan bentuk masdar dari kata


kerja (salaha/ṣaluha) yang secara bahasa berarti manfaat, faedah,
bagus, baik, patut, layak, sesuai.

Sedangkan, Mursalah artinya terlepas bebas, dalam pengertian


tidak terikat dengan naṣṣ baik al-Qur’an maupun hadis yang
membolehkan atau yang melarangnya.
pengertian
Sedangkan secara istilah dalam ushul fikih, maslahah mursalah adalah:

maslahah muṭlaqah
karena tidak dibatasi
oleh dalil yang
mengakuinya atau dalil
yang menolaknya

maslahah mursalah digunakan untuk menetapkan hukum dalam hal-hal


yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun Sunnah,
dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia
yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah dapat digunakan sebagai dalil
syara’ atau sumber hukum Islam. Artinya, ketika terjadi suatu peristiwa yang menuntut
penyelesaian status hukumnya pertama-tama seorang mujtahid harus berusaha
menyelesaikannya dengan naṣṣ baik al-Qur’an maupun hadis. Jika tidak ada naṣṣ, maka
selanjutnya mujtahid melakukan identifikasi apakah ada ijma’ ulama tentang hal itu. Jika tidak
ada ijma’ maka digunakan qiyas untuk menyelesaikan status hukum peristiwa tersebut. Jika
qiyas juga tidak mampu menyelesaikannya, maka diupayakan diselesaikan dengan istihsan.
Dan ketika istihsan tidak bisa menyelesaikannya juga maka baru digunakan maslahah
mursalah

Dasar
Kehujjahan
Dasar yang digunakan jumhur ulama untuk penerapan maslahah mursalah sebagai dalil
syara’ adalah alasan logika akal sebagai berikut :
1. Tujuan penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Sementara kemaslahatan itu memiliki sifat temporal yang senantiasa berubah, sesuai
dengan situasi dan kondisi manusia. Jika kemaslahatan tersebut tidak dicermati secara
seksama dan tidak direspon karena tidak ada nass nya maka kemaslahatan akan hilan dan
bertentangan dengan tujuan hukum islam itu sendiri.
2. Jika kita cermati perkembangan hukum Islam di masa Sahabat dan Tabi’in, tampak
jelas bahwa mereka menetapkan beberapa hukum untuk mewujudkan kemaslahatan
mutlak yang tidak ada naṣṣnya.

Dasar
Kehujjahan
Jenis Jenis Maslahah
Jenis-jenis maslahah dapat ditinjau dari dua segi sebagai berikut:
1. Segi ada atau tidaknya dalil yang mendukung
Maslahah ditinjau dari segi ada tidaknya dalil yang mendukung ada tiga macam, yaitu:
a.. Maṣlaḥah Mu’tabarah, yakni maslahah yang diakui dan ditunjuk secara eksplisit
oleh naṣṣ syara' . Sebagai contoh, maslahah yang terdapat
di dalam QS. Al-Baqarah (2): 222 yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa isteri yang sedang haid tidak boleh
(haram) disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit yang
ditimbulkan. Larangan tersebut mengandung kemaslahatan bagi manusia, dan
kemaslahatan seperti ini merupakan maslahah mu’tabarah yang wajib diikuti.
Jenis Jenis Maslahah
b. Maṣlaḥah mulgah, yaitu maslahah yang tidak diakui oleh syara’ atau bahkan ditolak dan dianggap batil oleh
syara’.Contohnya adalah usulan untuk menyamakan bagian hak warisan anak perempuan dengan bagian anak laki-
laki karena dianggap lebih adil dan mengacu kepada dasar pikiran semangat
kesetaraan gender.
c.Maṣlaḥah mursalah, yaitu maslahah yang tidak ada naṣṣ baik al-Qur’an maupun hadis yang secara tegas
mengakuinya dan tidak pula menolaknya, akan tetapi substansinya sejalan dengan tujuan dan kaidah-kaidah
umum hukum Islam. Misalnya, aturan tentang keharusan pencatatan nikah dan karena itu
pernikahan harus dilakukan di depan pegawai pencatat nikah (PPN). Peraturan
ini tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolaknya. Akan
tetapi peraturan tersebut secara substansi justru lebih menjamin tercapainya
tujuan hukum Islam yaitu, terwujudnya kemaslahatan manusia.
2. Segi tingkat kekuatannya
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:
Jenis Jenis Maslahah
a. Maṣlaḥah ḍarūriyyah, yaitu kemaslahatan yang terkait dengan terpeliharanya lima hal pokok demi tegaknya
kehidupan manusia baik itu di dunia maupun di akhirat. Lima hal pokok tersebut adalah terpeliharanya agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. maṣlaḥah ḍarūriyyah merupakan kemaslahatan yang terkait dengan kebutuhan
primer.
b. Maṣlaḥah ḥājiyyah, kemaslahatan yang menduduki pada taraf kebutuhan sekunder. Yakni kemaslahatan yang
terkait dengan sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk kemudahan dan keluasan hidup dan terlepas dari
kesusahan yang akan menimpa mereka.Misalnya dalam persoalan ibadah, ketentuan tentang rukhsoh untuk
memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan terhadap mereka yang melakukan perjalanan
jauh agar mereka tidak mengalami kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal. Makanya ada aturan
tentang kebolehan menjama’ serta mengqashar salat lima waktu serta dibolehkannya tidak puasa Ramadan bagi
orang yang sakit atau dalam perjalanan. Contoh dalam bidang muamalah misalnya jual beli, sewa menyewa, dan
lain sebagainya yang menjadi kebutuhan manusia.
c.Maṣlaḥah taḥsīniyyah, yaitu kemaslahatan yang menempati pada posisi kebutuhan tersier yang dengan
memenuhinya dapat menjadikan kehidupan manusia terhindar dan bebas dari keadaan yang tidak terpuji.
Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi maslahah ini tidak mengakibatkan rusaknya tatanan
kehidupan dan hubungan antar sesama manusia serta tidak menyebabkan kesulitan yang berarti untuk kehidupan
manusia. Misalnya aturan untuk menjaga kebersihan dan berhati-hati terhadap najis.
Seorang mujtahid yang akan menggunakan maṣlaḥah mursalah sebagai dalil syara’ untuk menyelesaikan suatu
persoalan harus memenuhi beberapa persyaratan sehingga tidak membuka pintu hawa nafsu dalam proses
tersebut. Persyaratan yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut:
1. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan maslahah yang hanya berdasarkan prasangka.
Maksudnya adalah penggunaan maṣlaḥah mursalah sebagai dalil syara’ tersebut benar-benar dapat membawa
kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka
adanya penolakan terhadap kemudaratan, maka penggunaan maṣlaḥah mursalahsebagai dalil syara’ semacam
itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.
2. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan perseorangan. Maksudnya
adalah penetapan hukum dalam suatu persoalan berdasarkan pada maṣlaḥah mursalah dapat mendatangkan
kemaslahatan umum bagi banyak orang atau menolak kemudaratan dari mereka, bukan untuk kemaslahatan
pribadi atau kelompok.
3. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang ditetapkan
berdasarkan naṣṣ atau ijma’. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan
apanila berbeda dengan naṣṣ seperti menyamakan bagian anak laki-laki dengan
perempuan dalam pembagian waris.
Syarat Syarat
Maslahah
Para ulama sepakat bahwa hukum itu berkembang dan berubah karena perubahan tempat dan waktu.
Menurut al-Maraghi maksud ayat di atas adalah ”Sesungguhnya hukum-hukum itu disyariatkan untuk
kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Artinya,
apabila suatu hukum diundangkan pada waktu yang memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka adalah suatu tindakan yang bijaksana menghapus hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum lain yang lebih sesuai dengan waktu terakhir”. Perubahan dari qaul qodim ke
qaul jadid tersebut, jika dianalisis secara mendalam, ternyata Imam Syafi’i selain menggunakan metode qiyas,
juga menggunakan istihsan dan maslahah mursalah. Sebagai contoh adalah pendapatnya yang membolehkan
orang safih (dungu) berwasiat untuk kebaikan, padahal dalam kaedah umum telah ditegaskan bahwa ”tidak sah
suatu wasiat kebaikan oleh orang-orang yang berada di bawah pengampuan”. Dalam fatwanya ini tampak pada
kita hukum maslahah sehingga kaedah umum itu diabaikan, Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Imam
Syafi’i di atas, tidak lain adalah disesuaikan dengan kondisi dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika
syari’at Islam ini difahami dengan mendalam, maka terlihatlah bagaimana prinsip kepentingan umum atau
maṣlaḥah mursalah itu menduduki tempat menonjol dalam syari’at. Dapat dikatakan bahwa penggunaan
kepentingan umum atau maṣlaḥah mursalah ini adalah sebagai salah satu sumber hukum Islam dan merupakan
suatu hal yang telah disepakati sebagai metode alternatif dalam menghadapi perkembangan hukum Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan umum atau maṣlaḥah mursalah sering dilakukan oleh para sahabat
Syarat Syarat
dan ulama terdahulu, hal itu dilakukan dalam rangka untuk mencari alternatif terhadap berbagai masalah yang
timbul dalam masyarakat yang tidak ada penjelasan secara jelas dalam naṣṣ baik al-Qur’an maupun hadis.
Maslahah
bochins.paw

Thank you...
ADD YOUR
TEXT HERE

Anda mungkin juga menyukai