Anda di halaman 1dari 24

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerangka Teoritis

1. Kedaruratan Fiqh di Indonesia.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai penerapan konsep Maslahah Mursalah

dalam memecahkan tinjauan hukum suntik TT (tetanus toksoid) dijadikan sebagai

syarat administrasi pernikahan, diperlukan pembahasan terkait dengan urgensi Fiqh

yang ada di Indonesia. Pembahasan ini akan mendeskripsikan bagaimana Fiqh

bukanlah produk pemikiran ulama yang kaku dan bersifat final. Fiqh merupakan

proses pemikiran yang tidak pernah selesai dan butuh upaya kontekstual di tiap

waktu dan tempat, termasuk dalam status hukum vaksin tetanus toksoid (TT).

Hukum Islam (Fiqh) dalam pembentukannya, tidak hanya terbatas pada Al-Quran

dan Hadis (sunah) semata, tetapi juga mempertimbangkan tempat dan kondisi sosial

yang ada. Oleh karena itu, untuk menghubungkan pemikiran yang sifatnya statis

dengan realita empiris yang selalu berubah dan dinamis, diperlukan kemampuan

dalam menggali sebuah hukum yang dalam Islam disebut Ijtihad.1 Ijtihad dilakukan

oleh para mujtahid, benar benar menjadi sebuah alat yang efektif untuk menjawab

secara utuh permasalahan yang muncul dan menjadikannya sebagai pemecah

masalah yang diharapkan oleh seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Produk

pemikiran hukum Islam merupakan interaksi antara nalar kaum muslim dan kondisi

zaman berdasarkan petunjuk wahyu yang azali dan kekal sebagaimana dijelaskan

oleh Nabi Muhammad Saw.2

1
Abdul Halim Uways (1998). Fiqh Statis dan Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah. Hal 217
2
Abdul Salam Arief (2003). Pembaruan Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: LESFI. Hal. 15

9
10

Oleh karena itu, kontekstual Hukum Islam (Fiqh) ala Indonesia merupakan

kebutuhan yang sangat signifikan agar hukum Islam menjadi solusi dalam melihat

keadaan dan kondisi bangsa Indonesia. Kontekstual hukum Islam dengan melihat

berbagai macam kondisi sosial yang ada di Indonesia, diharapkan mampu melahirkan

hukum dan pemikiran pembaharu yang lebih relevan dengan kondisi dan budaya

masyarakat Indonesia.3 Di sinilah letak urgensi penerapan dalil-dalil syar’i sebagai

sumber dan metode penggalian hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat

Indonesia. Dalil-dalil yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis (sunah), Ijma’, Qiyas,

Istihsan, al-Maslahah wal Mursalah, Syaz al-Zariah, Istishab, ‘Urf, dan Syar’u man

Qablana.4

Adanya dalil-dalil ini dirasa sangat urgen dalam upaya kontekstual hukum Islam

yang memerlukan metode metode penggalian hukum sebagai alatnya. Dengan

menggunakan alat tersebut, diharapkan para mujtahid yang akan melakukan

kontekstual hukum Islam tidak lagi hanya mengambil mentah-mentah pendapat

ulama Fiqh klasik dalam berbagai status hukum tertentu. Dalam bahasa yang lebih

mudah, upaya kontekstual hukum Islam ini tidak lagi hanya menggunakan metode

Qauli sebagai pijakan, akan tetapi lebih diarahkan pada metode Manhaji.

2. Konsep Maslahah Mursalah

a. Pengertian Maslahah Al-Mursalah

Kata “maslahah” berakar pada ”al-aslu”, ia merupakan bentuk masdar dari

kata kerja “salaha” dan “saluha” yang secara etimologis berarti manfaat, faedah,

bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu morfologi, kata

3
Hasan Turabi (2003). Fiqh Demokratis. Bandung: ARASY. Hal. 13
4
Habib As-Siddiqi (2001). Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 12
11

“maslahah” satu pola dan semakna dengan kata “manfa’ah”. Kedua kata ini telah

diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat dan manfaat.5

Dari segi bahasa, kata “maslahah” adalah seperti lafaz “al-manfa’at”, baik

artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat masdar yang sama

artinya dengan 1 kalimat “al-salah” seperti halnya lafaz “al-manfa’at” sama

artinya dengan “al-naf’u”. Bisa juga dikatakan bahwa “maslahah” itu merupakan

bentuk tunggal dari kata “al-masalih”. Sedangkan arti dari manfaat sebagaimana

yang dimaksudkan oleh pembuat hukum syara’ (Allah SWT) yaitu sifat menjaga

agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata

antara Pencipta dan makhlukNya. Ada pula ulama yang mendefinisikan kata

manfaat sebagai kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada

kenikmatan.6

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh”

menjelaskan arti maslahah al-mursalah secara lebih luas, yaitu suatu

kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada

pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat dan

tidak ada ‘illat yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum kejadian

tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara, yakni

suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk

menyatakan suatu manfaat maka kejadian tersebut dinamakan maslahah al-

mursalah. Tujuan utama maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan, yakni

memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.7

5
Asmawi (2011). Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Penerbit Amzah. hal 127.
6
Muhammad bin ‘Ali Al-Shaukani (1999). Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min‘ Ilmi Al-Usul Jilid 2.
Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Hal. 269
7
Rachmat Syafe’i (2010). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group. Hal. 117
12

Menurut Sayfuddin Abi Hasan Al-Amidi seorang ahli ushul fiqh, maslahah al-

mursalah ialah kemaslahatan yang telah disyariatkan oleh syara dalam wujud

hukum, di dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya

dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah

itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan salah.8

Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan

kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan

manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang menguntungkan, dan juga

menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas. Maslahat itu

merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan perkembangan yang selalu ada

di setiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum ini, terkadang tampak

menguntungkan pada suatu saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru

mendatangkan mudharat. Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang

menguntungkan pada lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.9

Pendapat lain, dikemukakan oleh Imam Maliki sebagaimana yang tertuang

dalam kitab karangan Abu Zahrah yang berjudul, “Ushul fiqh” menjelaskan

bahwa syarat-syarat maslahah al-mursalah bisa dijadikan dasar hukum ialah:

1) Kecocokan/kelayakan di antara kebaikan yang digunakan secara pasti menurut

keadaannya dan antara tujuan-tujuan orang-orang yang menggunakan

maslahah al-mursalah. Sementara maslahah al-mursalah sendiri tidak

menolak dari dalil-dalil pokok yang telah ditetapkan dan tidak pula

bertentangan dengan dalil-dalil Qat’i.

8
Sayfuddin Abi Hasan Al Amidi (1972). Al-Ahkam fi usul al-Ahkam, Juz 3. Riyad: Muassasah AlHalabi. Hal.
142
9
Miftahul Arifin (1997). Ushul fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam. Suabaya: Citra Medika. Hal.
143
13

2) Hendaknya dapat diterima secara rasional di dalam keadaannya terhadap

permasalahan yang ada. Artinya terhadap permasalahan sesuai secara akal.

Kemudian apabila maslahah al-mursalah ditawarkan kepada yang

cendekiawan, maka mereka dapat menerimanya.

3) Hendaknya menggunakan maslahah al-mursalah itu tidak menghilangkan yang

sudah ada, dan sekiranya apabila tidak menggunakan teori itu secara rasional,

maka manusia akan mengalami kesempitan dalam berpikir.

b. Jenis-Jenis Maslahah Al-Mursalah

Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil yang

mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga

macam, yaitu:

1) Maslahah Al-Mu’tabarah, Maslahah al-mu’tabarah yakni al-maslahah yang

diakui secara eksplisit oleh syara dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang

spesifik. Disepakati oleh para ulama, bahwa maslahah jenis ini merupakan

hujjah shar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis al-

maslahah ini ialah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, di dalam QS. Al-Baqarah

2:222, Allah swt. berfirman:

@‫@س @ ا@ َء@ فِ@ ي‬ @َ @ِّ‫ض@ ۖ قُ@ ْ@ل@ هُ@ َ@و@ َأ ًذ@ ى@ فَ@ا@ ْع@ تَ@ ِز@ لُ@و@ا@ ا@ل@ن‬
ِ @‫ك@ َع@ ِ@ن@ ا@ ْل@ َم@ ِ@ح@ ي‬ َ @َ‫َ@و@ يَ@ ْس@ َأ لُ@و@ن‬
@‫ط@ ه@ُ@@@@ ْ@ر@ َ@ن@ ۖ فَ@@@@@ِإ َذ@ ا@ تَ@ طَ@ هَّ@ ْ@ر@ َ@ن‬ ْ @َ‫ا@ ْل@ َم@ ِح@ ي@ض@ ۖ َ@و@ اَل تَ@ ْق@ َر@ ب@ُ@@@@و@هُ@ َّن@ َ@ح@ تَّ@ ٰ@ى@ ي‬
ِ
َّ
@‫ب@ ا@ل@ت@ َّو@ ا@بِ@ ي@ َ@ن‬ ‫هَّللا‬ َّ ۚ ‫ُ هَّللا‬
@ُّ @‫ث@ َم@@@@@@@ َر@ ك@ ُم@ ُ@ ِإ ن@ َ@ يُ@ ِ@ح‬ ‫َأ‬ @ @‫فَ@@@@@@@ ْأ تُ@و@هُ@ن@ ِم@ @ن@ َ@ح@ ْي‬
ُ ْ َّ
‫۝‬۲۲۲ @‫ب@ ا@ ْل@ ُم@ تَ@ طَ@ هِّ@ ِر@ ي@ َن‬ @ُّ @‫َ@و@ يُ@ ِح‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
(QS. Al-Baqarah 2:222)
14

Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa isteri yang sedang menstruasi

(haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya

bahaya penyakit yang ditimbulkan.

2) Maslahah Al-Mulghah, Maslahah al-mulghah merupakan al-maslahah yang

tidak diakui oleh syara, bahkan ditolak dan dianggap batil oleh syara’.

Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan opini hukum yang mengatakan

porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara dengan porsi hak

kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat

kesetaraan gender. Dasar pemikiran yang demikian memang mengandung

al-maslahah, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan

oleh Allah SWT, sehingga al-maslahah yang seperti inilah yang disebut

dengan al-maslahah al-mulghah.

3) Maslahah al-mursalah, Maslahah al-mursalah yaitu al-maslahah yang tidak

diakui secara eksplisit oleh syara dan tidak pula ditolak dan dianggap batil

oleh syara, akan tetapi masih sejalan secara substantif dengan kaidah-kaidah

hukum yang universal. Sebagaimana contoh, kebijakan hukum perpajakan

yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut mengenai

perpajakan tidak diakui secara eksplisit oleh syara dan tidak pula ditolak dan

dianggap palsu oleh syara. Akan tetapi kebijakan yang demikian justru

sejalan secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni

tasarruful imam ‘ala al-ra’iyyah manutun bil al-maslahah. Dengan

demikian, kebijakan tersebut mempunyai landasan shar’iyyah, yakni

maslahah al-mursalah.
15

Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah (tendensi) dalam menetapkan

hukum, maslahah terbagi menjadi tiga macam:10

1) Maslahah Daruriyah, merupakan kemaslahatan yang menduduki kebutuhan

primer. Kemaslahatan ini erat kaitannya dengan terpeliharanya unsur agama

dan dunia. Keberadaan maslahah daruriyah ini bersifat penting dan

merupakan suatu keharusan yang menuntut setiap manusia terlibat di

dalamnya dan merupakan unsure terpenting dalam kehidupan manusia. Hal

ini bisa dipahami sebagai sarana perenungan bahwa pada hakikatnya

manusia tidak bisa hidup dengan tentram apabila kemaslahatan ini tidak

dimilikinya.

2) Maslahah, Hajiyah, adalah kemaslahatan yang menduduki pada taraf

kebutuhan sekunder. Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan oleh manusia

agar terlepas dari kesusahan yang akan menimpa mereka. Maslahah

Hajiyah jika seandainya tidak terpenuhi maka tidak sampai mengganggu

kelayakan, substansi serta tata sistem kehidupan manusia, namun dapat

menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan bagi manusia dalam menjalani

kehidupannya.14 Contoh sederhana dari maslahah hajiyah yaitu Allah SWT

telah memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan

terhadap mereka yang melakukan perjalanan jauh sehingga mereka

mengalami kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal, dalam hal ini

menjama’ serta mengqashar salat lima waktu.

3) Maslahah Tahsiniyah, adalah kemaslahatan yang menempati pada posisi

kebutuhan tersier yang dengan memenuhinya dapat menjadikan kehidupan

10
Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani (2008). Mu‘alim Usul Al-Fiqh. Riyad: Dar Ibnu Al-Jauzi. Hal
235
16

manusia terhindar dan bebas dari keadaan yang tidak terpuji. Dengan

memenuhi maslahah ini, seseorang dapat menempati posisi yang unggul.

Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi maslahah ini tidak

mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan dan hubungan antar sesama

manusia serta tidak menyebabkan kesulitan yang berarti untuk kehidupan

manusia.

c. Status Hukum Maslahah Al-Mursalah

Menurut para ulama usul, sebagian ulama menggunakan istilah maslahah al-

mursalah itu dengan kata al-munasib al-mursal. Ada pula yang menggunakan al-

istislah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah

tersebut walaupun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan, masing-masing

mempunyai tinjauan yang berbedabeda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar

mas}lah}ah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

1) Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya

pembuatan akta nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa

sekarang. Akta nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi,

kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan

pentingnya pembuatan akta nikah tersebut. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini

disebut maslahah al-mursalah.

2) Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-wasf al-munasib) yang

mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu

kemaslahatan. Misalnya surat akta nikah tersebut mengandung sifat yang

sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan
17

tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Inilah yang

dinamakan al-munasib al-mursal.

3) Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan

oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu

diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini dinamakan

istislah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah

maslahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi

yang kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal. Istilah tersebut digunakan oleh

Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-Qadi Al-Baidawi: 135). Untuk segi yang ketiga

dipakai istilah al-istislah yang dipakai oleh Imam Ghazali dalam kitab Al-

Mustashfa (Al-Ghazali: 311) atau dipakai istilah al-istidlal al-mursal, seperti yang

dipakai oleh Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat (Al-Muwafaqat Juz I :39).11

Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori Maslahah al-

mursalah bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat hukum karena pada

dasarnya Allah SWT telah menciptakan segala hal di dunia ini tidak sia-sia

sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa diperoleh darinya, sebagaimana firman

Allah SWT dalam QS. Ali Imran : 191.

@‫ا@لَّ@ ِذ@ ي@ َ@ن@ يَ@ ْذ@ ُك@ ُر@ و@ َ@ن@ هَّللا َ@ قِ@ يَ@ا@ ًم@ ا@ َو@ قُ@ ُع@ و@ ًد@ ا@ َو@ َع@ لَ@ ٰ@ى@ ُج@ نُ@@@و@بِ@ ِه@ ْم@ َ@و@ يَ@ تَ@فَ@ َّك@ ُر@ و@ َ@ن@ فِ@ ي‬
@ُ ‫ت@ ٰهَ@@ َذ@ ا@ بَ@@ ا@ ِط@ اًل‬
َ @َ‫س @ ْب@ َ@ح@ ا@ن‬
@‫ك‬ ِ @‫ت@ َ@و@ ا@َأْل ْ@ر‬
@َ @‫ض@ َ@ر@ بَّ@نَ@@ا@ َم@@ ا@ َ@خ@ لَ@ ْق‬ ِ @‫ق@ ا@ل@ َّس@ َم@ ا@ َو@ ا‬ ِ @‫َ@خ@ ْل‬
‫۝‬۱۹۱ @ِ‫فَ@قِ@نَ@ا@ َع@ َذ@ا@ َ@ب@ ا@ل@نَّ@ا@ر‬
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 3:191)

11
Abi Ishaq Al-Shatibi (2005). Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari'at Juz I. Kairo : Dar Al Hadits, 2005. Hal. 39
18

Perbedaan Pendapat Para Ulama Terkait Teori Maslahah al-mursalah dan

Kaidah Fiqhiyyah Terdapat perbedaan pandangan di antara beberapa ulama ahli

ushul fiqh terkait maslahah al-mursalah. Akan tetapi pada hakikatnya adalah satu,

yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum,

namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.

Berikut adalah beberapa ulama’ yang berselisih pendapat dalam menanggapi

hakikat dan pengertian maslahah al-mursalah:

1. Abu Nur Zuhair dalam pendapatnya mengatakan bahwa maslahah mursalah

adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau

tidaknya oleh syara’. (Muhammad Abu Nur Zuhair, IV : 185)

2. Abu Zahrah mendefinisikan maslahah mursalah sebagai suatu maslahah

yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah SWT) secara

umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau

tidaknya. (Abu Zahrah : 221).

3. Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang kembali kepada

pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunnah dan

Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan

tidak juga melalui metode qiyas, maka dipakailah maslahah mursalah. Dari

pernyataan Imam Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah

mursalah (Istislah) menurut pandangannya ialah suatu metode Istidlal

(mencari dalil) dari Nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan

terhadap Nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari Nash syara’. Menurut

pandangannya, maslahah mursalah merupakan hujjah qat’iyyat selama

mengandung arti pemeliharaan maksud syara’, walaupun dalam


19

penerapannya zanni. Sehingga Al-Ghazali menegaskan kembali bahwa jika

maslahah mursalah ditafsirkan untuk pemeliharaan maksud syara’ maka

tidak ada jalan bagi siapapun untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan

wajib meyakini bahwa maslahah seperti itu adalah hujjah agama.

4. Asy-Syatibi, salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan, maslahah

mursalah merupakan setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti Nash

khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari

dalil-dalil syara’. Prinsip yang dimaksud tersebut adalah sah sebagai dasar

hukum dan dapat dijadikan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan

digunakan syara’ yang qat’i . Adapun kesimpulan dari pendapat Imam Asy-

Syatibi terkait maslahah mursalah, yaitu:

a. Maslahah mursalah adalah suatu maslahah yang tidak ada Nash tertentu,

tetapi sesuai dengan tindakan syara’.

b. Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan

tidak dari Nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan Nash

secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qat’i walaupun secara

bagian-bagiannya tidak menunjukkan qat’i .12

5. Imam Malik memberikan gambaran yang lebih jelas tentang maslahah

mursalah, yaitu suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-

dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang

bersifat daruriyat (primer) maupun hajiyat (sekunder).

Perselisihan pendapat tentang kehujjahan maslahah al-mursalah yang

dijadikan sumber hukum oleh kalangan para ulama memicu perhatian para ulama

12
Abi Muhammad Izzuddin Abdul Aziz (1990), Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Juz 1 Beirut: Al-
Muassasah Al-Rayyan. Hal. 41.
20

ahli ushul fiqh untuk mengkaji teori fiqh tersebut lebih lanjut. Beberapa pendapat

para ulama yang dianggap paling kuat adalah sebagai berikut :

1) Al-Qadi dan beberapa ahli fiqh lainnya menolak kehujjahan maslahah al-

mursalah menjadi sumber hukum Islam dan menganggap sebagai sesuatu yang

tidak ada dasarnya.

2) Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya menjadi sumber hukum

Islam secara mutlak.13

3) Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanafiyyah memakai

maslahah al-mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar

hukumnya yang shahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang

mendekati hukum yang shahih. Hal ini senada dengan pendapat Al-Juwaini.

4) Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap

tahsin atau tazayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih

jelas. Adapun bila neraca pada martabat penting maka boleh memakainya,

tetapi harus memenuhi beberapa syarat. Beliaupun berkata, jangan sampai para

mujtahid menjauhi untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda

tentang derajat pertengahan, yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab Al-

Mustashfa, Imam Ghazali menolak maslahah al-mursalah, namun dalam kitab

Syifa’u al-Ghalil, Imam Ghazali menerimanya. (Al-Mustashfa I : 141).

Selain istilah ushul fiqh, istilah lain yang harus dipahami adalah istilah qawaid

al-fiqhiyyah. Istilah qawaid al-fiqhiyyah dalam pemahaman Ahmad Muhammad

Al-Syafi’i dipahami sebagai hukum-hukum yang bersifat menyeluruh (kulli) yang

13
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad At-Tilmisani (2003). Miftah Al-Wusul. Beirut: Muassasah Al-
Rayyan. Hal. 752
21

dijadikan jalan untuk tercipta darinya hukum-hukum juz’i.14 Hal senada juga di

sampaikan oleh ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani yang menyatakan bahwa kaidah

adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi semua bagian-bagian

kecil yang lebih terperinci (al-Juz’iyyat).15 Dalam dua perspektif ini dapat

dipahami bahwa kaidah fiqh merupakan sebuah kaidah besar yang mampu

menghasilkan hukum-hukum fiqh dalam beragam bentuk.

Ilmu qawa’id al-fiqh dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang

kumpulan dari kaidah-kaidah hukum syara’ yang dikembalikan pada sebuah

istilah umum yang diketahui oleh sebagian besar kalangan. Kaidah kulliyyah

fiqhiyyah adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah

fiqh yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum pada setiap peristiwa fiqh,

baik yang ditunjuk oleh Nash yang sharih (jelas) maupun yang belum ada

hukumnya.16

Kaidah Kulliyyah Fiqhiyyah ini tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yang

harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (Juz’iyyah) yang terperinci.

Oleh karena itu, walaupun kaidah ini berjumlah 5 (lima), tetapi dapat dijadikan

alat untuk memecahkan masalah-masalah yang sangat banyak, terutama masalah

yang kontemporer. Imam ‘Izzuddin bin Abd. Al-Salam mengatakan bahwa

seluruh masalah fiqh hanya dikembalikan kepada “dar’u al-mafasid” (menolak

segala yang merusak) dan “Jalb al-masalih” (mendatangkan kemaslahatan).

Bahkan, ada yang mengembalikan masalah-masalah fiqh itu hanya kepada kaidah

14
Ahmad Muhammad Al-Syafi‘i (1983). Usul al-Fiqh Al-Islami. Kairo: Muassasah Thaqafah Al-Islamiyyah.
Hal. 4
15
Ali bin Muhammad Al-Jurjani (t.t). Kitab al-Ta‘rifat. Jeddah: al-Haramayn. Hal. 171
16
Ach. Fajruddin Fatwa (2013). Usul Fiqh Dan Kaidah Fiqhiyah. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. Hal.
146
22

“Jalb al-masalih” (mendatangkan segala kemaslahatan), yang di dalamnya sudah

terkandung “dar’u al-mafasid” (menolak segala kerusakan).17

3. Imunisasi Tetanus Toksoid dan yang menjadikan Syarat dalam KUA

a. Sekilas tentang Imunisasi

Imunisasi adalah sesuatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap sesuatu

penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah

dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh.18 Dengan memasukkan kuman atau

bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang pada

saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang

menyerang tubuh. Imunisasi adalah tindakan untuk memberikan imunitas

(perlindungan, proteksi, antibodi, kekebalan, resistensi) dari serangan penyakit ke

dalam tubuh manusia. Dalam khazanah kedokteran Barat, imunisasi dilakukan

dengan cara Vaksinasi, yaitu memasukkan vaksin (materi antigen; virus yang

telah dimatikan atau telah “dilemahkan”) pada tubuh untuk menghasilkan sistem

kekebalan terhadap penyakit, infeksi, dan atau virus tertentu pada tubuh itu. 19

Imunisasi memang tidak dapat memberikan perlindungan 100%, tetapi umumnya

dapat mencegah sampai 96%.20 Sehingga apabila terkena penyakit, penderita itu

tidak akan sakit separah mungkin ketika penderita tidak mendapatkan imunisasi.

Sebenarnya di dalam tubuh telah dilengkapi sistem pertahanan (imun) tubuh

dari serangan penyakit, yang tergantung pada vitalitas tubuh itu sendiri. Jika

vitalitas tubuh dalam keadaan baik, maka tubuh akan bertahan terhadap penyakit

begitu juga sebaliknya, jika vitalitas tubuh dalam keadaan kurang baik maka

17
Ach. Fajruddin Fatwa (2013). Usul Fiqh Dan Kaidah Fiqhiyah... Hal. 146
18
Y. Agus Sudarmanto (1997). Petunjuk Praktis Imunisasi. Semarang: PT. Trubus Agriwidya. Hal. 1
19
Ahmad Syarifuddin (2009). Imunisasi Anak Cara Islam. Sukoharjo: Tiga Satu Tiga. Hal.42
20
Dede Kurniasih dkk. (2006). Panduan Imunisasi. Jakarta: PT Sarana Kinasih Satya Sejati. Hal. 5
23

pertahanan tubuh akan lemah. Sesungguhnya manusia tidak perlu mengubah

vitalitas tubuh agar menjadi lebih baik dengan menggunakan berbagai jenis

vaksin, ketika keadaan imun di dalam tubuh tetap dalam keadaan baik. Sebagian

masyarakat memilih ikhtiar-ikhtiar selain vaksinasi untuk mengantisipasi

serangan penyakit fisik, dengan menjaga kesehatan, mengonsumsi makanan halal

dan thoyyib (baik), makan teratur, istirahat cukup, menjaga kebersihan diri dan

lingkungan, banyak berdoa dan bertawakal sepenuhnya kepada Sang Maha

Pencipta, seperti prinsip “pencegahan lebih baik dari pengobatan”.

b. Vaksin Tetanus Toksoid

Vaksin toksoid, dibuat dari bahan toksin bakteri: tindakan vaksin dapat

merangsang pembuatan antibodi, contoh penyakit tetanus dan difteri. Vaksin

tetanus jika digunakan secara benar dapat meminimalkan tubuh untuk terjangkit

penyakit tetanus.21 Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan kejang otot

(kekakuan otot) tanpa disertai gangguan kesadaran. Sesuai yang dijelaskan oleh

Widiyono :

“tetanus adalah penyakit kekakuan otot (spasm) yang disebabkan eksotoksin


(tetanospasmin) dari organisme penyebab penyakit tetanus dan bukan oleh
organismenya sendiri”.22

Penyakit tetanus merupakan penyakit infeksi dan dapat menular pada setiap

orang. Dalam penyakit tetanus ini dikenal dengan dua jenis imunisasi sebagai

pencegahannya, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan

dalam imunisasi aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah

dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Ada 3 macam kemasan vaksin tetanus,

21
Samsul Ridjal Djauzi (2003). Konsensus Imunisasi Dewasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 3
22
Widoyono (2005). Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya.
Jakarta: Erlangga. Hal. 29
24

yaitu bentuk kemasan tunggal, kombinasi dengan vaksin Difteri (Vaksin DT), dan

Pertusis (DPT).

Vaksin untuk imunisasi pasif dikenal dengan nama ATS (Anti Tetanus Serum).

Serum anti tetanus ini diperoleh dengan pengolahan serum yang berasal dari kuda

yang telah mendapat imunisasi aktif tetanus. Serum kuda yang telah diolah itu

mengandung banyak zat anti tetanus.23 Jenis vaksin ini dapat dipakai untuk

pencegahan (imunisasi pasif), maupun pengobatan.

Penyebab tetanus yaitu bakteri Clostridium tetani yang hidup di taman,kotoran

sapi, dan saluran pencernaan hewan dan manusia. Penyakit ini juga dikenal rahang

terkunci, karena gejala utamanya adalah otot-otot, terutama otot rahang menjadi

kaku dan terkunci.24 Secara ringkas tetanus di bagi menjadi 3 tingkat:

1) Tetanus Berat, tubuh kaku dan sering kejang spontan, tanpa rangsangan

2) Tetanus Sedang, tubuh kaku, tanpa kejang spontan dan hanya kejang apabila

dirangsang

3) Tetanus Ringan, kekakuan hanya tampak pada trismus, tanpa ada kejang.

c. Bahan-bahan yang terkandung dalam vaksin Tetanus Toksoid

Vaksin Tetanus Toksoid merupakan vaksin yang terbuat dari toksin (racun)

yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium Tetani yang kemudian telah dilemahkan

sehingga tidak berbahaya bagi manusia. Clostridium Tetani adalah bakteri gram

positif berbentuk batang, bersifat anaerob dan dapat menghasilkan spora dengan

bentuk drumstick. Bakteri ini sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup

dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas dan

23
Ardjatmo Tjokronegoro dkk. (1987). Imunisasi. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 20
24
Stephanie Cave dan Deborah Mitchell (2006). Vaksinasi Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hal. 128
25

kebal terhadap beberapa antiseptik. Banyak terdapat pada kotoran dan debu jalan,

usus dan tinja kuda, domba, anjing dan kucing.

Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana

anaerob, kemudian menghasilkan toksin (tetanospasmin) yang akan masuk ke

dalam sirkulasi darah dan limfa. Toksin tetanus kemudian menempel pada

reseptor di sistem saraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus

mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, yang berakibat penghambatan sistem

inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi dan spastisitas otot yang tidak terkontrol,

kejang dan gangguan saraf otonom. Perawatan luka merupakan pencegahan utama

terjadinya tetanus di samping imunisasi pasif dan aktif.

Vaksin Tetanus Toksoid mengandung antigen sebagai bahan utama. Antigen

adalah organisme atau bagian dari organisme penyebab penyakit. Ketika antigen

tersebut dimasukkan ke dalam tubuh, maka tubuh membentuk respons imun

dengan menghasilkan protein-protein yang disebut antibodi yang spesifik

melawan antigen tersebut. Protein ini berikatan dengan antigen sehingga merusak

dan membunuh antigen tersebut.

Di samping itu, tubuh juga melakukan melakukan respons imun dengan

menghasilkan sel memori. Sel-sel ini berada di aliran darah, terkadang hingga

seumur hidup manusia tersebut siap melakukan respons imun protektif yang

sangat cepat bilamana ada antigen yang sama seperti sebelumnya yang masuk ke

dalam tubuh. Respons kekebalan tubuh yang sangat cepat ini menyebabkan

infeksi yang sedianya muncul, tidak terbentuk. Kondisi demikian dikatakan imun

(kebal) terhadap infeksi tertentu.

d. Langkah Awal Penanganan Penyakit Tetanus


26

Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam

setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid Difteri dan vaksin

Pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk

menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis

bila jadwal pemberian ternyata terlambat. Efektivitas vaksin ini cukup baik, ibu

yang mendapatkan toksoid tetanus 2 sampai 3 dosis memberikan proteksi bagi

bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Adapun langkah-langkah dalam

penanganan penyakit Tetanus adalah sebagai berikut:

1) Hindarkan penderita dari rangsangan, baik berupa cahaya atau lampu, rangsang

sentuh, dan suara. Sebaiknya penderita dirawat yang di ruangan yang minim

pencahayaan.

2) Berikan antibiotik untuk mematikan kuman anti kejang untuk merilekskan

otot-otot, serta anti tetanus untuk menetralkan racun.

3) Bila kuman tetanus sudah diatasi, selanjutnya toksin tetanus di netralisir

dengan antitoksin, yaitu anti tetanus serum (ATS) dan tetanus toksoid (TT)

untuk merangsang tubuh membuat antibodi terhadap tetanus. Namun,

pemberian ATS atau TT tergantung penilaian dokter terhadap luka, dilihat dari

kebersihannya, kedalamannya, apakah waktu luka dilakukan prosedur yang

benar seperti datang ke dokter pada awal kejadian atau setelah lama kemudian.

4) Meskipun tetanus penyakit yang berbahaya, namun jika cepat didiagnosis dan

mendapatkan perawatan yang benar,maka penderita dapat disembuhkan dengan

benar. Proses penyembuhan umumnya terjadi selama 4-6 Minggu.

e. Usaha Pencegahan Penyakit Tetanus


27

1) Perawatan luka terutama pada luka tusuk, luka yang kotor, atau luka yang

tercemar dengan spora tetanus

2) Pemberian DTPP/DTP/Tetanus Toksoid (tergantung dari usia)

3) Pencegahan dengan pemberian ATS, efektif hanya pada luka baru (kurang

dari 6 jam), sebaiknya dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

4) Imunisasi aktif pada ibu yang mengandung (pada trimester III)

5) Kebersihan pada waktu partus persalinan, terutama waktu memotong tali

pusat dan perawatan tali pusat.

f. Suntik TT merupakan syarat administrasi KUA

Di masa kini, pasangan yang hendak menikah sudah mulai akrab dengan

premarital test atau tes kesehatan pranikah. Salah satu yang harus dipenuhi dan

merupakan aturan wajib dari pemerintah adalah Vaksin Tetanus Toksoid (TT). 25

Vaksin tersebut diperlukan untuk melengkapi berkas di Kantor Urusan

Agama(KUA). Vaksin yang di keluarkan oleh pihak berwenang dalam medis ini

sudah menjadi aturan resmi pemerintah sejak tahun 1986. Meskipun suntikan TT

pernah di dapat masa kecil, perempuan yang hendak menikah wajib mendapat

vaksinasi TT lagi. Vaksin TT dianggap penting karena tetanus pernah menjadi

momok yang berakibat kematian bayi Indonesia. Vaksinasi tetanus pada

perempuan yang hendak menikah akan meningkatkan kekebalan tubuh dari

infeksi tetanus.

Berdasarkan Instruksi Bersama Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dan Urusan Haji Departemen Agama dan Direktur Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen

25
Abdul Bari, dkk. (2001). Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina
Pustaka. Hal. 198
28

Kesehatan No. 02 tahun 1989 tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Calon Pengantin

menginstruksikan kepada: Semua kepala kantor wilayah Departemen Agama dan

kepala kantor wilayah Departemen Kesehatan di seluruh Indonesia untuk:

1) Memerintahkan kepada seluruh jajaran di bawahnya melaksanakan bimbingan

dan pelayanan Imunisasi TT calon pengantin sesuai dengan pedoman

pelaksanaan.

2) Memantau pelaksanaan bimbingan dan pelayanan Imunisasi TT calon

pengantin di daerah masing-masing.

3) Melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan instruksi ini kepada Dirjen Bimas

Islam dan Urusan Haji dan Dirjen PPM & PLP sesuai tugas masing-masing.26

Dalam pelaksanaan, peraturan tersebut dapat dianggap sebagai dasar atau

landasan salah satu syarat administrasi pernikahan yang dibutuhkan oleh KUA

terhadap pasangan yang akan menikah, yaitu adanya surat atau kartu bukti

imunisasi TT dari rumah sakit atau puskesmas terdekat.

Munculnya peraturan tersebut terkait dengan Undang-Undang No.9 tentang

Pokok-Pokok Kesehatan dalam Bab 1 pasal 2:

“Yang dimaksud kesehatan dalam undang-undang ini adalah yang meliputi


badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial, bukan hanya keadaan yang
bebas dari penyakit, cacat , dan kelemahan.”27
Adanya peraturan-peraturan tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang

berhak dan wajib untuk menjaga dan memelihara kesehatan demi tercapainya

sesuatu tatanan masyarakat yang sejahtera. Dalam garis besarnya usaha-usaha

kesehatan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu:

26
Kementerian Agama RI (2010). Himpunan Peraturan perundang-undangan Perkawinan Edisi 2010.
27
Indan Entjang (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal.26
29

1) Usaha Pencegahan (usaha preventif), yaitu untuk pencegahan penyakit atau

pemeriksaan kesehatan pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku

sehat).

2) Usaha Pengobatan (usaha kuratif), yaitu untuk mendapatkan diagnosis penyakit

dan tindakan yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan (perilaku

sakit).

3) Usaha Rehabilitasi, untuk mengobati penyakit, jika penyakit tertentu telah

dipastikan, agar dapat ditangani dan pulih seperti sedia kala, atau penyakit

tidak bertambah parah.28

Dari ketiga jenis usaha ini, usaha pencegahan penyakit (preventif) menjadi

tempat yang utama. Karena dengan usaha pencegahan akan diperoleh hasil yang

lebih baik, serta memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan usaha

pengobatan maupun rehabilitasi.

B. Dasar Konseptual

Pernikahan merupakan ikatan yang suci, yang bertujuan untuk meneruskan

keturunan atau melangsungkan reproduksi, membentuk generasi yang berkualitas,

mencapai kebahagiaan, merupakan bagian dari ajaran agama, dan menjadi dasar untuk

membentuk keluarga sehat.

Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan sebagai suami istri. Ikatan lahir batin dalam definisi ini menunjukkan

bahwa hubungan suami istri tidak boleh semata berupa ikatan lahir saja hidup bersama

dalam ikatan formal, akan tetap keduanya harus membina ikatan batin. Ikatan lahir

mudah sekali terlepas jika tidak diikuti oleh ikatan batin. Ikatan lahir dan batinlah

yang menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang
28
Indan Entjang (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat... Hal. 13
30

bahagia dan kekal.29 Mengingat rumah tangga adalah bagian terkecil dari kehidupan

sosial, maka rumah tangga adalah penentu keselamatan dan kesehatan kehidupan

masyarakat. Tentunya sebelum suami dan istri menyediakan sarana kesehatan jiwa

untuk pasangan hidup dan anak-anaknya ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya

memiliki jiwa yang sehat.30

Imunisasi adalah salah satu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan

seseorang terhadap salah satu penyakit sehingga bila terpapar dengan penyakit tersebut

orang tersebut hanya akan sakit ringan/tidak sakit. Imunisasi tetanus toksoid adalah

proses untuk membangun kekebalan tubuh sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi

tetanus. Vaksin TT adalah vaksin yang mengandung toksoid tetanus yang telah

dilemahkan kemudian dimurnikan (Kemenkes RI, 2009).31

Tujuan utama ketentuan syariat (Maqasid Syariah) adalah tercermin dalam

pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencangkup lima maslahat

dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifdz din), kehidupan

(hifdz nafs), akal (hifdz aql), keturunan (hifdz nasl), dan harta benda mereka (hifdz

mal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini adalah maslahat bagi

manusia dan dikehendaki syariat dan segala yang membahayakan dikategorikan

sebagai mudarat yang harus disingkirkan. Dalam proses pemeliharaan pasangan dan

prosedur pernikahan.32

C. Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian sebelumnya diperlukan untuk menegaskan serta melihat kelebihan dan

kekurangan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam pengkajian

29
Eka Febriati (2017). SKRIPSI Perspektif Hukum Islam tentang Pemeriksaan Kesehatan (Studi di KUA dan
Puskesmas Pekalongan, Lampung Timur). Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung. Hal. 27
30
Idham Pontoh (2013). Dasar-dasar Ilmu Kesehatan. Jakarta: Inmedia. Hal. 128
31
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2009)
32
Muhammad Abu Zahrah (2000). Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus Cet. ke 6, Hal.423-424
31

permasalahan yang sama. Penelitian sebelumnya ini perlu disebutkan dalam penelitian

untuk mempermudah pembaca melihat dan menilai perbedaan teori yang digunakan

penulis dalam melakukan pengkajian permasalahan yang universal.

1. Nooryanti (2007) meneliti tentang Urgensi Pemeriksaan Kesehatan Pranikah Bagi

Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi di KUA Kecamatan Hanau Kabupaten

Kalimantan Tengah). Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan

kesehatan pranikah berperan penting dan dapat dianggap sebagai langkah awal

dalam mencapai keluarga sakinah, guna menjamin kesehatan dalam sebuah

keluarga, karena kesehatan merupakan indikator dari keluarga sakinah. Oleh karena

itu, dengan pemeriksaan pranikah akan diketahui penyakit-penyakit yang akan

mengancam kelangsungan dan ketenangan sebuah keluarga.

2. Huda Muhammad (2008) meneliti tentang Tinjauan Mazhab Maliki dan Mazhab

Syafi’i terhadap Maslahah sebagai tujuan Pensyariatan Hukum. Dalam penelitian

ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu memaparkan dan menjelaskan

tentang penerapan teori maslahah mursalah sehingga menghasilkan pemahaman

yang konkret. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir deduktif, yaitu

mengkemukakan teori yang bersifat umum, dalam hal ini adalah teori maslahah

mursalah, kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang pendapat

mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Dalam skripsi ini lebih diarahkan pada

pembahasan dua tokoh Ushul Fiqh yang sangat populer. Jadi, penekanan dari

skripsi ini lebih ditujukan kepada kajian tokoh, tanpa ada usaha penerapan

maslahah dari kedua tokoh terhadap salah satu kasus tertentu.


32

3. Ali Safuan Effendi (2008), meneliti tentang Maslahah Mursalah sebagai Sumber

Penetapan Hukum dan Peranannya dalam Pengembangan Hukum Islam. Dalam

penelitian ini lebih ditekankan pada pembahasan salah satu teori Ushul Fiqh.

Penelitian ini fokus pada kajian teoritis tanpa ada penekanan pada penerapan teori

tersebut pada permasalahan tertentu.

Dari beberapa penelitian di atas hampir sama kajiannya dengan penelitian yang

akan diteliti tentang metode ijtihad hukum dengan metode Maslahah Mursalah dan

kesehatan dalam Premarital Test. Namun, penelitian yang akan dilakukan peneliti

lebih difokuskan pada bagaimana hukum suntik TT yang dijadikan sebagai syarat

administrasi ditinjau menurut konsep maslahah mursalah. Tinjauan inilah yang

membedakan judul skripsi ini dengan judul skripsi yang pernah ditulis sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai