Anda di halaman 1dari 12

MAQASHID SYARIAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Islamic Law”

Team Teaching :

Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA


Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA
Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH
Dr. JM. Muslimin, MA
Dr. Asep Saepuddin Jahr, MA

Disusun Oleh :

Faisal Hilmi
NIM. 21171200000003

PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017 M

1
A. Pendahuluan

Hukum Islam bersumber dari Wahyu Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah yang diyakini untuk mencapai kemaslahatan manusia. Apabila sebuah hukum
tidak menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka perlu adanya tinjauan kembali terhadap
hukum tersebut dan dibuatkan sebuah hukum baru yang lebih maslahah dengan tidak
menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama1, dan tidak bertentangan dengan Nash.

Kajian terhadap Maqashid al-Syariah itu sangat penting dalam upaya istibath hukum, karena
Maqashid al-Syariah bisa menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini menjadi
suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam Nash.

Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang
diperuntukkan untuk manusia. Berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional
dan dalam makna yang konteks yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia, baik
secara individual maupun secara social (kolekti kemasyarakatan).

Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqasid syari’ah merupakan
pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama’ serta pakar
hukum Islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula perintah
dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya
mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan
bagi umat manusia. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas tentang definisinya,
hujjah, cara mengetahui dan tujuan mengetahui maqashid syari’ah, macam-macamnya, dan
contoh penerapannya.

B. Definisi Maqashid Syar’iah

Dari segi bahasa, Maqashid Syariah terdiri dari dua kata: Maqashid dan Syariah. Maqashid
adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara
bahasa berarti:
‫ال موا ض ع ت حدر ال ي ال ماء‬
“Jalan menuju sumber air.“

Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.2 Menurut
Syatibi, “Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat”.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-
maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku

1
Dalam khazanah fiqh disebut al-kulliyatul al-khamsah.
2
Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab (Dar al-Sadr: Beirut, t.th.), h. 175.
2
berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat
mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”.3

Al Khadimi berpendapat, “Maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta”. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid Syariah adalah
sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian
besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik
pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (Pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-
Nya).4

Menurut Yusuf Qordhowi, Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya
tentang urusan agama. Atau hukum agama yang ditetapakan dan diperintahkan oleh Allah.
Maqashid syariah adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk
direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk
individu, keluarga, jamaah, dan umat.5

Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga
agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang
menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.6

Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab
yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam
dua golongan sebagai berikut:

a) Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan


langsung antara manusia dan Khaliq, yang satu persatunya telah dijelaskan oleh
syara’.
b) Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia.

Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan
pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka.
Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa
ulama, diantaranya, Daud Azh-Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.7

Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum
Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai
alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.8

3
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), Jilid 3, h. 37.
4
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998), Juz II, h. 1045.
5
Yusuf Qordhowi, Fiqih Maqasid Syariah (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006) h. 13.
6
Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi (Qatar, 1998) , h. 50.
7
Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 125.
8
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), Cet. Ke-6, h. 233.
3
C. Hujjah, Cara Mengetahui, dan Tujuan Mengetahui Maqashid Syari’ah

Sifat dasar dari Maqashid Syari’ah adalah pasti (qat’i), kepastian di sini merujuk pada
otoritas Maqashid Syari’ah itu sendiri. Apabila syariat memberi panduan mengenai tata cara
menjalankan aktivitas ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui
praktek riba tidak dibenarkan, dapat dipastikan dalam hal tersebut disebabkan adanya unsur
kezaliman sosial-ekonomi. Terutama bagi pihak lemah yang selalu dirugikan.

Maqashid adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri yang bermaksud dan tidak dapat dilihat
dari luar. Begitu pula maksud Allah, terutama yang berkenaan dengan penetapan hukum
adalah sesuatu yang tersembunyi. Oleh karena itu, hanya Allah yang mengetahui maksud-
Nya, yang mungkin dilakukan oleh manusia hanyalah “mengira” berdasarkan petunjuk yang
ada, yang hasilnya tentu tidak memastikan (dzanni).

Dengan demikian eksistensi fungsi Maqashid asy-Syari’ah pada setiap ketentuan hukum
syariat menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa perbuatan wajib maka pasti ada
manfaat yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, jika ia berupa perbuatan yang dilarang
maka sudah pasti ada kemudaratan yang harus dihindari.

Al-Ghazali mengajukan Maqashid Syari’ah ini dengan membatasi pemeliharan syariah pada
lima unsur utama yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Pernyataan yang
hampir sama juga dikemukakan oleh al-Syatibi dengan menyatakan bahwa maslahat adalah
memelihara kelima aspek utama seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Dengan sebuah
anggapan bahwa kelima pilar utama tersebut bersifat suci, mulia, yang harus dilindungi dan
dipelihara. Selain dari pada itu, Maqashid Syari’ah merupakan Kulliyatus Syari’ah yang pasti.
Kelima unsur tersebut tidak hanya tersarikan dari hukum-hukum ‘amaliyah praktis saja, akan
tetapi lebih dari itu ia merupakan makna terdalam dan intisari semua hukum, dalil-dalil isi
kandungan al-Qur’an dan al-Hadis.

Konsep pemeliharaan tersebut di uraikan oleh al-Ghazali dalam karyanya al-Mushtasfa.


Beliau mengimplementasikan konsep pemeliharaan tersebut ke dalam dua corak metode,
yaitu:

1) Metode Konstruktif (bersifat membangun). Contoh dari metode yang bersifat


konstruktif adalah kewajiban-kewajiban agama dan berbagai aktifitas sunah yang
dilakukan. Dua unsur wajib dan sunah tentu dimaksudkan demi memelihara sekaligus
mengukuhkan elemen Maqashid Syari’ah.
2) Metode Preventif (bersifat mencegah). Berbagai macam larangan bisa dijadikan
sebagai contoh dari metode yang bersifat Preventif, yaitu untuk mencegah berbagai
anasir yang dapat mengancam eksistensi elemen Maqashid Syari’ah.9

9
Contoh dari larangan sebagai metode yang bersifat preventif adalah firman Allah SWT dalam surat al-
Isra’ ayat 32:
4
Cara mengetahui maqashid syariah diantaranya adalah :

1) Penjelasan yang diberikan oleh Nabi, baik secara langsung atau tidak langsung. Untuk
itu seluruh Hadis Nabi berkenaan dengan penjelasan ayat al-Qur’an, harus ditelusuri
untuk menemukan kalau ada penjelasan Nabi tentang Allah dalam ayat ini.
2) Melalui asbabun nuzul. Asbabun nuzul itu ditemukan dalam uraian mufasir yang
merujuk kepada kejadian yang berlaku pada waktu turunya ayat. Kesulitannya adalah
tidak semua ayat disebutkan asbabun nuzul-nya dan yang disebutkan belum tentu
disepakati para ulama’.
3) Melalui penjelasan ulama mujtahid atas penelitian atau pamahamannya terhadap
firman Allah yang berkaitan dengan hukum.
4) Melalui kaidah kebahasaan yang menjelaskan tanda-tanda atau indikasi yang
menjelaskan sebab dan akibat seperti yang dipahami dari tanda untuk ta’lil.10

Tujuan awalnya adalah menemukan sifat-sifat yang shahih yang terdapat dalam hukum yang
ditetapkan dalam nash syara’ untuk disaring menjadi illat hukum melalui petunjuk masaikul
illah, sedangkan tujuan akhir dari tujuan awalnya adalah ta’lil al-ahkam yang artinya mencari
dan mengetahui illat hukum. Adapun tujuan mengetahui illat hukum antara lain;

1) Untuk dapat menetapkan hukum pada suatu kasus yang padanya terdapat illat hukum,
namun belum ada hukum padanya dengan cara menyamakannya dengan kasus yang
sama yang padanya terdapat pula illat hukum tersebut. Dalam arti yang sederhana
untuk kepentingan qiyas. Inilah yang disetujui oleh mayoritas ulama’ dan berlaku
dalam illat yang punya daya jangkau atau illat muta’addiyah.
2) Untuk memantapkan diri dalam beramal. Berlaku pada illat yang tidak punya daya
rentang (illat al-qashirah). Seseorang akan mantap dalam melakukan perintah shalat
waktu dia tahu bahwa shalat itu dzikir, sedangkan dzikir adalah menenangkan jiwa.
Bentuk seperti ini diterima oleh para ulama.
3) Untuk menghindari hukum. Artinya menetapkan illat untuk suatu hukum dengan
tujuan menetapkan hukum kebalikannya sewaktu illat itu tidak terdapat pada kasus
tersebut. Umpamanya aurat perempuan adalah selain muka dan telapak tangan yang
ditetapkan melalui hadis Nabi. Namun didalam hadis Nabi tidak disebutkan alasan

ٗ َ َ ٓ َ َ ٗ َ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ
‫ا ا‬٣٢‫اسبِّيٗلا‬ ِّ َٰ ‫ن ىاإِّن اهۥاَكناف‬
‫حشةاوساء‬ ‫لاتقربوااٱلزِّ ا‬
‫وا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”.

Ayat ini melarang kita untuk mendekati zina, untuk menjaga eksistensi elemen Maqashid Syaria’ah
yaitu Hifz an-Nashl (penjagaan terhadap keturunan). Dari mengamati uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa
hukum tidak dikemas dalam format yang baku dan terbatas. Akan tetapi sebaliknya memberikan ruang yang
cukup untuk berbagai perubahan, perkembangan dan pembaharuan dalam rangka realisasi Maqashid asy-
Syari’ah. Dengan dasar inilah para ulama tertuntut untuk merekontruksi pemikiran-pemikiran fiqh agar hukum
islam tetap revelan dan aplikatif dalam setiap zaman dengan tidak menyimpang dari apa yang telah
dikonsepkan oleh Syari’.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), h. 248.
5
atau illat-nya. Ada ulama yang mencari-cari illat-nya, yaitu “untuk membedakan
perempuan merdeka dengan sahaya”.

Jika itu illat-nya tentu waktu ini yang sudah tidak ada perbudakan, maka tidak relevan
lagi batas aurat yang disebutkan dalam hadis Nabi itu. Contoh lain; seseorang ulama
kontemporer menetapkan waktu ini tidak perlu lagi melihat bulan untuk mengetahui
awal puasa atau hari raya idul fitri, meskipun ada perintah yang lebih jelas oleh Nabi
untuk melakukan rukyat. Alasan yang dikemukakan adalah umat pada waktu Nabi itu
tidak mampu melakukan hisab, sedangkan sekarang keadaan itu tidak ada lagi. Tujuan
mencari illat akal-akalan seperti ini tampaknya belum berkenan di hati mayoritas
ulama.11

D. Macam-Macam Maqasid Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

a) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia
(Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah
bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta.
Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin
realisasinya dan pemeliharaannya. Lantaran jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.

1) Agama
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan
berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia
tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak
boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.12 Surat al-Baqarah ayat

َ‫لٓ اإ ۡك َراه‬ َ
256:
َ َ َّ ۢ ۡ ُ َ ُ َّ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ُ ۡ ُّ َ َّ َ َّ َ
‫ٱّللِّ افق ِّدا‬ ‫ٱلطَٰغ ِّا‬
‫وت اويؤ ِّمن ااب ِّ ا‬ ‫غي افمنايكفر اا ِّب‬ ‫ِّين اقداتبَّي اٱلرش اد امِّن اٱل ِّا‬‫اِف اٱل ِّا‬ ِّ ِّ ‫ا‬
َ ‫يع‬ َّ َ َ َ َ َ
ٌ ‫ٱّللا َس ِّم‬ َ َ ۡ ُۡ َ ۡ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ
‫ا ا‬٢٥٦‫يما‬ ٌ ِّ ‫اعل‬ ‫او ُا‬ ‫امالها ۗ ا‬
‫قالاٱنفِّص ا‬ ‫كااب ِّٱلعرواة ِّاٱلوث َٰا‬ ‫ٱستمس ا‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”

11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), h. 246.
12
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Amzah, t. th.), h. 1.
6
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah
disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
(hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). Agama
Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 :

ۡ
َّ‫ٱض ُط ارا‬ َ َ ٗ َ َٰ َ ۡ ۡ ُ ُ َ ُ َ َ َ ۡ ۡ ُ َۡ َ ُ ۡ َ ََۡ ۡ ُ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ َۡۡ
‫ٱۡلسل امادِّينا يافم ِّنا‬
ِّ ‫ضيتالكما‬
ِّ ‫يۚاٱۡلو اماأكملتالكمادِّينكماوأتممتاعليكمان ِّعم ِِّتاور‬
ٞ ‫ارح‬
‫ا ا‬٣‫ِّيما‬ َّ ٞ‫ٱّللا َغ ُفور‬
َّ َّ َ ۡ ِّ
‫اۡلث ٖمافإِّنا َا‬ َ َُ َۡ َ َ ََۡ
ِّ ‫ِِّفاَممص ٍةاغۡيامتجان ِّٖف‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab
yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah, akhlaknya, atau yang akan mencampur
adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil.

2) Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas
(pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan). Sehingga dengan demikian
diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih
dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan
mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang
dengan perbuatannya.

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib
memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum
islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi
berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan
hidupnya.13

Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari Nabi
Muhammad. Diantara ayat-ayat tersebut adalah : 1) Surat Al-Baqarah ayat 178-179, 2)
Surat al-an’am ayat 151, 3) Surat Al-Isra’ ayat 31, 4) Surat Al-Isra’ ayat 33, 5) Surat An-
Nisa ayat 92-93, dan 6) Surat Al-Maidah ayat 32.

Berikut ini adalah salah satu contoh ayat surat Al-Isra’ ayat 33 :

13
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005), H. 63.
7
ََ ۡ ۡ َ ۡ َ َ ٗ ُ ۡ َ َ ُ َ َ َۡ َّ ُ َّ َ َّ َ َّ َ ۡ َّ ْ ُ ُ ۡ َ َ َ
‫اج َعل َنا ال َِّو ِّۡل ِّ اهِّۦ ا ُسل َطَٰ ٗنا افٗلا‬ ‫ق اومن اقتِّل امظلوما افقد‬
‫ٱّلل اإِّل ااب ِّٱۡل ِّا‬
‫ِت احرم ا ا‬ ‫س اٱل ِّ ا‬‫ل اتقتلوا اٱنلف ا‬ ‫وا‬

‫ا ا‬٣٣‫وراا‬ ُ ‫ام‬
ٗ ‫نص‬ َ ‫لاإنَّ ُاهۥا ََك َن‬ َۡۡ ُۡ
ِّ ‫فاِفاٱلقت ِّا‬
ِّ ‫ۡس‬
ِّ ‫ي‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.”

3) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang
lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk
itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis
menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya
atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan
menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada
seluruh hal yang ada di bumi ini. Termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah,
seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66 :

ٗ ٓ َ ٗ َ ً َ َّ َ َ ۡ َ ۡ َ ۢ ُ ُ َّ ُ ۡ ُّ ٗ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َ ۡ ۡ‫ك‬ُ َ َّ
‫ث اود ٖم اَّلنا اخال ِّصا اسائِّغاا‬
ٖ ‫َّي افر‬
ِّ ‫اب‬ ‫ن‬ ِّ
‫م‬ ‫ا‬ ‫ۦ‬ِّ ‫ا‬
‫ه‬ ِّ ‫ن‬ ‫و‬ ‫ط‬ ‫اب‬ ‫اِف‬
ِّ ‫ا‬‫ِّم‬ ‫ام‬ ‫م‬ ‫يك‬ ‫ق‬
ِّ ‫س‬ ‫ىان‬ ‫ة‬‫ۡب‬ ‫ع‬
ِّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ا‬
‫م‬
ِّ ‫ع‬‫ن‬ ‫ٱۡل‬‫ا‬ ‫اِف‬
ِّ ‫م‬ ‫ِإَون ال‬
‫ا‬
َ ‫ِّلشرب‬ َّ
‫ا ا‬٦٦‫َّيا‬ ِّ ِّ َٰ ‫ل‬
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa)
susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya.”

4) Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina.
Menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu
dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap sah
dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-
anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam
tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat
membawa pada zina. QS, al-Isra’ ayat 32:
ٗ َ َ ٓ َ َ ٗ َ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ
‫ا ا‬٣٢‫اسبِّيٗلا‬ ِّ َٰ ‫ن ىاإِّن اهۥاَكناف‬
‫حشةاوساء‬ ‫ٱلز ا‬
ِّ ‫لاتقربواا‬
‫وا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
8
Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini diatur lebih rinci dan pasti
dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan
kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.14

5) Memelihara harta benda


Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah. Namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan
mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai-menggadai dan lainnya.15

b) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia
(Maqashid al-Hajiyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan
dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan mereka,
dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam
telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan
uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan
beban manusia.

Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan,


kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan
hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan
ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan
(tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti jual beli, syirkah (perseroan),
mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dan lainnya.

c) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia
(Maqashid al-Tahsini)

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan


bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika
Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di
dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan

14
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), h.
64.
15
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi aksara, 1992), h. 67.
9
membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna. Ketika Islam menganjurkan
derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal.

Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara
kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya,
atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan
tersebut.16

Tabel 1. Al-kulliyat al-khamsah dan tingkatannya

Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritas. Urutan ini akan
terlihat kepentingannya, ketika kemaslahatan yang ada pada tingkat masing-masing tingkatan
itu sama lain bertentangan. Dalam hal ini, peringkat dlaruriyah menempati tingkatan pertama,
disusul oleh peringkat hajiyah, kemudian disusul oleh tahsiniyah. Namun disisi lain, dapat
dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi
peringkat pertama.

16
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 333.
10
E. Contoh Penerapan

Pertama, Sertifikasi Halal MUI.


Dalam ajaran Islam, umat Islam diharuskan untuk mengkonsumsi produk halal. Keharusan ini
ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 168;

ٞ َ َّ َٰ َ ۡ َّ ْ َ
َ ُ ُ َّ َ َ ‫اطي ٗب‬ َٗ َۡ ْ ُُ َ
‫امب ِّ ٌا‬
‫َّيا ا‬ َ ۡ ُ
ُّ ‫اع ُدو‬‫ناإِّن ُاهۥالكم‬ ِّ َٰ ‫ااولاتتبِّعوااخ ُطو‬
‫تاٱلشيط ِّا‬ َ
ِّ ‫ۡرضاحلَٰٗل‬ ِّ ََ
‫يأ ُّي َهااٱنلَّ ُ ا‬
َ ‫اساُكواام َِّّمااِفاٱۡل ِّ ا‬

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Perintah ini dikaitkan dengan arti makanan itu sendiri bagi manusia, yakni membentuk
keturunan yang sehat tidak hanya jasmani tapi juga rohani. Maka MUI mengeluarkan fatwa
tentang sertifikasi halal guna melindungi umat Islam dari makanan, minuman dan obat-obatan
serta kosmetik yang tidak halal dikonsumsikan atau dipakai. Dalam konteks inilah upaya
sertifikasi halal bagi suatu produk terkait dengan Maqashid Syari’ah yang muatan intinya
adalah kemaslahatan umat manusia.

Disamping itu pula, sertifikasi halal bagi suatu produk diperlukan karena bagi Islam
keharaman suatu makanan tidak semata tergantung dari ‘illah yang dapat dijadikan sebagai
salah satu sebab pengharaman. Artinya, suatu makanan sering pula dilihat secara ta’abbudi
(kepatuhan terhadap Tuhan). Sebagai contoh, pengharaman memakan daging babi atau
makanan yang mengandung lemak babi. Walaupun sudah dapat dipastikan bahwa makanan
tersebut terbebas dari cacing pita yang dapat merusak kesehatan manusia, namun tidak
merubah hukumnya menjadi halal.

Kedua, Intervensi Harga Oleh Pemerintah Pada Saat Distorsi Pasar


Distorsi Pasara adalah suatu fakta yang terjadi di lapangan (mekanisme pasar), yang mana
fakta tersebut tidak sesuai dengan teori-teori yang seharusnya terjadi di dalam sebuah
mekanisme pasar. (Seperti; rekayasa penawaran (ikhtikar/monopoli/penimbunan) dan
rekayasa permintaan (ba’I najasy), tadlis (penipuan), ketidak pastian (taghrir).

Ketika distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh
campur tangan dalam masalah harga. Secara tekstual Ibnu Taimiyah melanggar nash Hadist
Nabi Muhammad yang berbunyi, “Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Aun telah
mengabarkan kepada kami Hammad bin Salamah dari Humaid serta Tsabit dan Qatadah
dari Anas, ia berkata; Pernah terjadi krisis pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
lalu orang-orang berkata; "Wahai Rasulullah, harga barang-barang telah melonjak, oleh
karena itu tetapkanlah harga untuk kami! " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya Allah adalah Pencipta, Dzat yang membentangkan rizqi serta
Pemberi rizqi dan yang menentukan harga. Sesungguhnya aku berharap dapat bertemu

11
dengan Rabbku, sementara tidak ada salah seorang dari kalian yang menuntut kezhaliman
yang pernah aku lakukan terhadapnya, baik yang berkaitan dengan darah maupun harta”.

Akan tetapi dengan pertimbangan kemaslahatan, regulasi perekonomian bisa berubah dari
teks nash kepada konteks nash yang mengandung maslahah, di mana terjadi situasi yang
berbeda dengan masa Nabi. Maka dari itu Intervensi Harga oleh Pemerintah pada saat
distorsi pasar bisa dilakukan berdasarkan pertimbangan maslahah.

F. Penutup

Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan, dan
Syariah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jadi, Maqashid Syari’ah adalah
maksud Allah selaku pembuat syariah untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia di
dunia dan akherat. Yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan dlaruriyah, hajuyah, dan tahsiniyah
agar manusia bisa hidup dalam kebaikan dan dapat menjadi hamba Allah yang baik.

Kerangka Maqashid Syari’ah dibagi menjadi; (1) Dlaruriyah, adalah penegakan


kemaslahatan agama dan dunia. Selanjutnya, Dlaruriyah terbagi menjadi lima poin yang biasa
dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu; (a) penjagaan terhadap agama (Hifz al-Din), (b)
penjagaan terhadap jiwa (Hifz al-Naf), (c) penjagaan terhadap akal (Hifz al-‘Aql), (d)
penjagaan terhadap keturunan (Hifz al-Nasl), (e) Penjagaan terhadap harta benda (Hifz al-
Mal). (2) Hajiyah, adalah didefinisikan sebagai hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan
kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat menyebabkan bahaya dan ancama. (3)
Tahsiniyah, adalah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk
sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh akal sehat.

G. Daftar Pustaka

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2005.


Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 1996.
Al-Duraini, Muhammad Fathi. Al-Manahij al-usuliyyah. Beirut : Muassasah al-Risalah, 1997.
Ismail, Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara : Jakarta, 1992.
Jauhar, Ahmad Al-mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta : Amzah. 2009.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I'lam al-Muwaqqi'in. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996.
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf. Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1996.
Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta : Pustka Al-Kaustar. 2007.
Umam, Khairul dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia, 2001.
Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar. 2009.
12

Anda mungkin juga menyukai