Anda di halaman 1dari 22

AL-HUKM AT-TAKLIFI I

Dosen Pengampu :
Imam Yazid, Dr., MA

Disusun Oleh:
Rasit Simamora :0205222050

Azzriel Al-Bari Daulay : 0205222045

Dian Prildani Pasaribu : 0205222060

PRODI HU KUM PIDANA ISLAM (J IN AYAH)


FAKULT AS S YAR IAH D AN HU KUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2 0 23
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagaikaidahdan bahasa yang menjadi sarana
untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-
dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidakbisa dipisahkan.
Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan
menghasilkan
sebuah produk yaituilmu fiqh.1

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya
ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus
didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus
diikuti mujtahid
padawaktu menghasilkan fiqhnya. Namundalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal
dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak
mungkin tidak adapabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh
karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran
ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.
Penelitian ini menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta
karya ilmiah pada
bidangushul fiqh.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis; bidang kajian
usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang tauhid/iktiqad, Ushul
Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam menjalankan istinbat hukum. Metode
yang
1
digunakan fuqaha merupakan aplikasi

1
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1.No, 1,maret 2018, Hlm. 39

1
satuandaliltertentu dalam kasus hukum amaliyah dengannalar deduktif dan normatif.

Kaidah Ushul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang
disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun
alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak
disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab, qaul
sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan
digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak
disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan
menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka.
Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena menganggapnya salah2.

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah,
maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui
syari’at. Sebagaimana yang di katakana Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum
syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini
memang mengetahui hokum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi
metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil
penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah
di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf.
Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
(mani’) dan ungkapan lain yang akan kami
jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

2
2
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’

Hukum syar’i atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata
“hukum” dan kata “syara”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara
etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata
lain yang berakar kepada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat Al-Qur’an; tersebar
dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi
bahasa baku dalam bahasa
Indonesia.

Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata “hukum” itu terdapat
perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh
anggotanya”.

Kata “syara’” secara etimologis berarti: “jalan, jalan yang biasa dilalui air”.
Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menujukepa da Allah. Kata ini secara
sederhana ber arti “ketentuan Allah”. Dalam Al-Qur’an terdapat 5 kali di sebutkan kata
“syara’” dalam arti
ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.

Bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’” akan
berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia
yang diakui
dan diyakini berlakuserta mengikatuntuk semua umat yang beragama Islam”.
3
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang
fiqh dan ushul fiqh. Produk dari dua ilmu ini adalah penge tahuan tentang hukum syar‘i
dalam hal
yang menyangkut tingkah laku manusia mukalaf. Hanya sajakedua ilmu inimemandang dari

3
arah yang berbede. Ilmu ushul fiqh memandang dari segi danke arah metode pengenalannya dan
sumber yang di

gunakan untuk itu; sedangkan ilmu fiqh memandang dari segi merumuskannya dengan
perbuatandalam lingkup yang digariskan olehushul fiqh.

Dengan demikian, terdapat perbedaan antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh
dalam memberikan definisi terhadap “hukum syara’”. Hukum syara’ menurut definisi ahli
ushul ialah: “Khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tun
tutan, pilihan
berbuat atautidak; atau “dalambentuk ketentuan-ketentuan”. 3

B Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:

1. Ijab

Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak
boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur
:56 :
"Dan dirikanlah shalatdan tunaikanzakat... " 4

Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul
Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila
kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat),
disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan
khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari
khithab tersebut dan wajib adalah
perbuatanyang dituntut oleh khithab Allah.

2. Nadb

Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,

4
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: K E N C AN A –Prenada Media Group, 2011), hlm. 333
4
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh,….., hlm. 336

4
yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut
mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah :
282. Allah SWT berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklahkamu menuliskannya..."

Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya
mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu
kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutandariayat tersebut (Al-Baqarah : 283) :

"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya..."

Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadinadb. Indikasi yang membawa perubahan
ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai,
maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan
nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang
disebut
mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.

3. Tahrim

Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut
dengan haram.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:

"...Jangankamumembunuhjiwa yang telah diharamkan Allah... "

Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan
perbuatan
yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.

5
4. Karahah

Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidakbersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatanyang

5
dituntutuntuk ditinggalkan itutidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti inidisebut

juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad
SAW :

"perbuatan halal yang paling dibenci Allahadalah talak. "

(H.R. Abu Daud, Ibn Majah, AlBaihaqi dan Hakim). khithab hadits ini disebut karahah
dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai
khithab
inidisebut makruh.

5. Ibahah

Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau
tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan
perbuatan
yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2

"Apabilakamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu. "

Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena
ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah,
dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh
dipilih itu
disebut mubah.

C. Macam-Macam Hukum

Bertitik tolak dari definisi hukum syar‘i di atas, yaitu titah Allah yang
menyangkut perbuatan mukalafdalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum
syara’ itu terbagi
dua:
6
- Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hokum taklifi.
Penamaaan hukum syara’ dengan taklifi, karena titah di sini langsung mengenai perbuatan orang
yang sudah
mukalaf.

6
- Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan
Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan
mukalaf itu,
sepertitergelincirnya matahari menjadi sebabmasuknyawaktu dzuhur.

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,yaitu:

- Hukum Taklifi

- Hukum Wadh’i

Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul- Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah,
anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk
memberi
kebebasan untuk berbuat atautidak berbuat.

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan


hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Dengan mengemukakan batasan dari dua
macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan
mendasar antara dua macam
hukum tersebut:

1) Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi
pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’I berupa penjelasan
hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan
bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu
matahari tergalincir di
tengah hari menjadi sebabtanda bagiwajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

2) Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluarkemampuan manusia
7
dan bukan
merupakanaktifitas manusia.5

5
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm:40-41

7
. Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan
atau ditinggalkan oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan antara yang
dikerjakan dan
ditinggalkan6.

Hukum taklifiterbagi menjadi lima bagianyaitu:

1. Wajib

-Pengertian Wajib

Wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di lakukan secara
tuntutan pasti yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di ancam dengan dosa
bagi yang
meningggalkan7.

-Pembagian Wajib

Bila dilihat darisisi orang yang di bebani kewajibanhukum wajib di bagi menjadidua :

a)Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah
berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan sendiri,
misalnya
melakukan solat lima waktu.

b)Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun
bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap
terpenuhi. Wajib kifayah terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu negara
tidak ada lagi orang
yang mampu melaksanaakannya selain dirinya, contoh sholat jenazah.

Bila dilihat darisisikandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadidua macam :

8
a) Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi obyeknya adalah
tertentu
tanpa ada pilihan lain . sepertikewajiban sholat lima waktu , puasaromadlon danzakat.

6
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh ( Sebuah Pengantar), ( Jakarta:Grasindo Persada, 2004), hlm.41
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,….., hlm 394

8
b) Wajib Mukhayyar yaitu perkara wajib yang jenis perbuatannya belum ditentukan, tetapi boleh
memelih alternatif-alternatif yang sudah ditentukan syara’. Misalnya firman Allah dalam surat
al-Maidah:89 seperti kewajiban mebayar kafarat kerena menggauli istri pada siang hari di bulan
Ramadhan. Dalam hal ini memilih tiga hal berikut: berpuasa selama dua bulan berturut-
turut, memberikan makan kepada 60 orang fakir miskin, atau memerdekan budak.Bila dilihat
dari sisi waktupelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadidua macam :

a) Wajib al-muthlaq yaitu sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh syara’ mengerjakannya,
tetapi tidak dijelaskan waktu pelaksanaannya. Contoh: waktu pembayaran kafarat
sumpah atau pembayarannazar, hukumnyawajib tetapitidak dijelaskanwaktupembayarannya

b) Wajib al-mu'aqqat yaitu sesuatu yang dituntut oleh syara’ mengerjakannya serta
ditentukan waktu pelaksaannya. Contoh tuntutan mengerjakan puasa bulam Ramadhan atau
shalat lima waktu, hukumnyawajibdanwaktunyatelahditentukan

2. Mandub

- Pengertian Mandub

Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara istilah,
sebagian ulama mendefinisikan mandub adalah sesuatu yang di beripahala orang yang
melakukannya dan tidak di siksa orang yang meninggalkannya. Selain kata mandub , juga
digunakan lafadz lain yang artinya samadengan kata mandub, seperti sunnah, nafal,
tathawu’, mustahab, dan
8
mustahsan.

-Pembagian Mandub

Pembagian Mandubterbagi menjaditiga bagian, yaitu:

1) Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan) Yaitu pekerjaan yang


apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa,
tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat sunah
sebelum dan
sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at
9
sebelum

8
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Gema Risalah Perss, 1996), hlm.197

9
shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu',
adzan,
berjama'ah.

2) Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa) Yaitu perbuatan yang apabila


dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan
dari syar'i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan
Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa
dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab
ataunafilah.

3) Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan) Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti
apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila
tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah
berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara
makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim denganniat
mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah..

10
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Khalaf, Abdul Wahab. 1996. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Perss.

Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh ( Sebuah Pengantar ). Jakarta:Grasindo
Persada

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Perss.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul


Fiqh,Vol.1,No.1.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jilid 1. Jakarta: K E N C AN A - Prenada Media Group

11

Anda mungkin juga menyukai