Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk
yaitu ilmu fiqh.1

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya
keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah
ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan
fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu


dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk
telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada
jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita
bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada. Penelitian ini
menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta
karya ilmiah pada bidang ushul fiqh.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis;


bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang
tauhid/iktiqad, Ushul Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam
menjalankan istinbat hukum. Metode yang digunakan fuqaha merupakan aplikasi

1
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1,No.
1, maret 2018, hlm. 39
satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar deduktif dan
normatif.

Kaidah Ussul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah
yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama
(mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas,
sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf,
syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati
di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid
dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah
tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam
kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.2

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan
Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi
dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian
hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain
yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek
pembahasan ilmu Ushul fiqh.

2
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau
“pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-
aktivitas yang berat dan sukar”.3

Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi


mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fiqih akan
kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal
perbuatan dari satu per satu dalil-nya.”4 Pada definisi ini kita dapat melihat
penggunaan istilah ahli fiqh, maksudnya adalah pihak yang melakukan ijtihad
yaitu mujtahid. Pada definisi lain yang diungkapkan al-Baidhawi (w. 685 H)
istilah tersebut tidak digunakanan karena sudah dianggap maklum bahwa orang
yang melakukan ijtihad pastinya seorang ahli fiqh atau mujtahid. Beliau
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya
menemukan hukum-hukum syara’.”

Kemudian di kalangan para ulama, ijtihad ini khusus digunakan dalam


pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-Faqih)
dalam mencari tahu tentang hukum syari’at. 5 Adapun definisi lain dari ijtihad
menurut Wahbah al-Zuhaili ialah perbuatan-perbuatan istinbath hukum syari’at
dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at.

Namun ada pula yang mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas, tetapi
pendapat itu tidak disetujui oleh al-Ghazali di dalam al-Mustashfa. Menurutnya,

3
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 73.
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 245.
5
Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf), hlm. 116.
itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, terkadang ijtihad
memandang di dalam keumuman dan lafadh-lafadh yang pelik dan semua jalan
asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa
arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.

Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah


mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’)
melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil
Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan
pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini
tidak disebut ijtihad. 6

Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad ialah:
“Usaha yang dilakukan oleh seorang ahli fiqh dengan sungguh-sungguh untuk
menggali suatu hukum syara’ atau yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang
rinci.” Dan menurut saya, ijtihad lebih luas dibanding dengan qiyas karena qiyas
sendiri adalah salah satu metode dalam berijtihad.

Dalam sejarah perkembangan hukum islam ijtihad menjadi istilah hukum


tertentu, yang berarti suatu jalan pengambilan hukum dengan Al-Qur’an, As-
Sunnah dan akal. Adapun adanya ijtihad secara tegas dan jelas menurut sejarah
hukum islam adalah tentang Tanya jawab Nabi SAW dengan sahabat Mu’az bin
Jabal R.a sewaktu ditunjuk oleh Nabi dengan gubernur atau hakim di Yaman.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Secara Umum, Hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggalii dan merumuskan hukum syara’ dalam
hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun
dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah
dalam al-Qur’an Surah al-Hasyr (59): 2 : Artinya : “...Maka ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan..” –
(Q.S. Al Hasyr : 2)

6
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan
(faqih) untuk mengambil iktibar atau pertimbangan dalam berfikir. Perintah untuk
mengambil iktibar ini sesudahh allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli
Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Dalam ayat ini
Allah menyuruh mengambil iktibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad,
sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.7

 Dari Hadits / as-Sunnah

Adapun keterangan dari sunnah,yang menjadi dasar berijtihad


diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda : ”apabila
seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”

Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin


Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini :

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa


Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan
Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-
Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan
tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)

7
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 241.
Dari dialog antara Mu’adz ibnu Jabal dengan Nabi Muhammad
SAW,dapat diambil kesimpulan bahwa selama masih ada nash-nash
yang mengatur sesuatu itu dalam al-qur’an,maka dapat menggunakan al-
qur’an,apabila tidak ada dalam al-qur’an menggunakan hadits nabi,dan
bilamana dari hadis Rasulullah SAW tidak terdapat aturannya atau
apabila tidak ada nash (dalil) tertulis,barulah diperlukan ijtihad.8

 Dari Ijma’

Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya


ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan
hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan
para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.

Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena


sebagian besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni yang
menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya
ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian
juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar
bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan menggunakan salah satu cara
istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan
hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad.9

C. Objek Ijtihad

Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik sudah ada nashnya yang
bersifat zanni maupun belum ada nash-nya sama sekali. Dalam pada itu ijtihad
adalah dogma yang penting sekali bagi pembinaan dan perkembangan hukum
islam. Terbuka bebasnya ijtihad dalam hukum islam, tidak berarti bahwa setiap
orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang telah memiliki

8
Khairul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Cet I, (Bandung:CV Pustaka
Setia,1989), hlm 132-133
9
Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis
tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), hlm. 100
syarat-syarat tertentu pula, baik yang berhubungan dengan sikap ketika
menghadapi nash-nash yang berlawanan.10

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan
yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.

Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek


ijtihad adalah masalah masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya
dari rosul, atau dari pengertiannya.11

Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi


dalam dua bagian :

1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum-


hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam,yang
berdasarkan dalil-dalil yang qathi,seperti kewajiban melaksanakan
shalat,zakat,puasa,haji,atau haramnya melakukan zina,mencui,dan lain-
lain.Semua itu telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, baik
maksudnya,petunjuknya,serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya
dan ijma’ para ulama’.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih zanni, hadits ahad
misalnya,maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaraya adalah meneliti
bagaimana sanadnya,derajat para perawinya,dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya,maka yang
menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-

10
Idrus H. Alkaf. Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman, (CV Ramadhani: Solo, 1988) ,
hlm.19
11
Effendi, Satria.,M.Zein, Ushul Fiqh, cet.3, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.250-251.
kaidah yang bersumber dari akal,seperti qiyas,istihsan,maslahah
mursalah,dan lain-lain.12

D. Mujtahid dan Persyaratannya

1. Pengertian Mujtahid
Mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu
hukum agama dengan jalan istinbath dari Al-Qur’an dan Sunnah”. 13 Dengan
kata lain, Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad.14
2. Syarat Menjadi Mujtahid
 Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian
menyangkut dua hal :
a. Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah
balig dan berakal.
Seorang mujtahid itu harus telah dewasa, karena hanya pada orang
yang telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Kemudian,
seorang mujtahid itu harus berakal atau sempurna akalnya, karena
pada orang yang berakal ditemukan adanya kemampuan ilmu dan
ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah.
b. Syarat kepribadian khusus. Pada seorang mujtahid, dituntut adanya
persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus beriman
kepada Allah secara sempurna. 15
 Syarat-Syarat seorang Mujtahid, Menurut Wahbah az-Zuhaili :
a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah
syariat.

12
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet IV, (Bandung: CV: Pustaka Setia, 2010), hlm.
107.
13
Moh Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Alma’arif, 1979), hlm. 125
14
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih , (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010 ),
hlm.178
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid I, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2008), hlm. 271
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui
makna-makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam
susunan suatu redaksi. Adapun pengetahuan tentang makna-makna
ayat secara syara’ ialah dengan mengetahui berbagai segi
penunjukan lafal terhadap hukum
b. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun
dalam pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertama.
c. Mengetahui tentang makna ayat atau hadis yang telah dimansukh
(telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya) , dan
mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya.
d. Mengetahui pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah
terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.
Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya
tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
e. engetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-
rukunnya, tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari
ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh
suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syari’at islam.
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan
dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al-qur’an dan
Sunnah adalah berbahasa arab .
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqih, seperti tentang hukum dan macam-
macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya,
tentang kaidah-kaidah dan cara meng-istinbat-kan hukum dari
sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang
hal ini diperlukan karena Ushul Fiqih merupakan pedoman yang
harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h. Mampu mengungkapkan tujuan syari’at dalam merumuskan suatu
hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu
redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peritiwa,
ketepatannya sangat tergantung kepda pengetahuan tentang bidang
ini. 16

Persyaratan yang cukup pelik bagi seorang mujtahid, menurut


penulis, tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Namun, sebenarnya yang menjadi tujuan utama dengan
disyaratkan seorang mujtahid harus memiliki kapasitas-kapasitas keilmuan
tertentu adalah dalam rangka menjaga otentisitas dan validitas aspek-aspek
ajaran islam itu sendiri. Apabila ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kapasitas yang dapat dipercaya, tentu hasil ijtihadnya pun dapat
dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara moral. Berbeda
ketika sembarang orang dapat melakukan aktivitas ijtihad, tentu hasilnyapun
tidak akan memenuhi standar keilmuan.17

16
Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 251
17
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm.181
DAFTAR RUJUKAN

Al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Alkaf. Idrus H. 1988. Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman, (CV Ramadhani:


Solo.

Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih , (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.

Effendi, Satria. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Muchtar, Kamal. Ushul Fiqh, Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Rahmat, Jalaluddin. Dasar Hukum Islam.

Rifa’i, Moh. 1979. Ushul Fiqih. Bandung : PT. Alma’arif.

Rusli, Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad Al-Shaukani. Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul


Fiqh. Vol. 1. No. 1.

Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih, Cet IV, (Bandung: CV: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih, Jilid I. Jakarta : Kencana.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana.

Uman, Khairul. Aminudin, Achyar. 1989. Ushul Fiqih II, Cet I. Bandung: CV
Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai