Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menggunakan perkataan untuk mengungkapkan maksud adalah aktifitas
yang sering kita lakukan dalam keseharian, bahkan hampir tidak bisa
ditinggalkan. Dalam penggunaan kata terkadang kita memakai kata dengan makna
yang haqiqah dan terkadang kita juga memakai majaz. Adanya dua makna
tersebut akhirnya membawa kesebuah masalah yaitu kata yang mana yang
dihukumi jika terjadi pengungkapan maksud dalam aktifitas syar’i dengan kata
yang mempunyai dua makna itu. Atas dasar itulah perlu kiranya kita membahas
kaidah yang berhubungan dengan hal itu.

B. Rumusan Masalah
1) Apa maksud dari kaidah "‫?"ل مساغ لل جتهاد في مورد النص‬
2) Bagaimana penerapan kaidah "‫ "ل مساغ لل جتهاد في مورد النص‬dalam aktifitas
keseharian?

C. Tujuan Pembahasan
1) Memahami maksud dari kaidah "‫"ل مساغ لل جتهاد في مورد النص‬
2) Mengetahui penerapan kaidah "‫ "لمساغ لل جتهاد في مورد النص‬dalam aktifitas
keseharian

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Kata ijtihad berasal dari kata (jahada), yang secara ringkas berarti sungguh
– sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Dalam pengertian inilah,
Nabi Muhammad SAW. Menggunakan kata ijtihad: keutamaan seorang yang alim
di atas orang yang bersungguh – sungguh dalam ibadah (mujtahid) seratus derajat.
Adapun secara istilah pada umumnya yang banyak untuk dibicarakan dalam

1
Ushul fiqh adalah, “Pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli mujtahid
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum –hukum syara’”.
Sementara Al- Ghazali membuat rumusan ijtihad itu adalah:
‫ﺔﻌﻳﺮﺸلا ماﻜﺣﺄﺑ ﻢﻠﻌلا ﺐﻠﻃ ﰱ ﻪﻌﺳو ﺪهت ا لﺬﺑ‬
Artinya : “Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka
memperoleh hukum – hukum syar’I”.1
Sedangkan Harun Nasution mengartikan secara luas, bahwa ijtihad bisa
dilakukan selain masalah Ushul fiqh, yaitu tasawuf , hukum, tata Negara, dan lain-
lainnya.

2. Syarat – Syarat Ijtihad


Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang daoat menjadi mujtahid yakni
orang yang berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi syarat- yarat berikut :
a) Menguasai bahasa arab dan dari segala aspeknya
b) Mengatahui Al- Qur’an dan Ulumul Qur’an
c) Mengetahui Sunnah dan Ilmu Hadits
d) Mengetahui Ushul fiqh
e) Mengenal ijma’ bagi yang beranggapan sebagai dalil syara’.2
f) Mengenal manusia dan alam sekelilingnya
g) Bersifat adil dan taqwa3

3. Kawasan Ijtihad
Telah disepakati bahwa hukum – hukum islam yang berkaitan dengan
ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan nash atau dalil Al- Qur’an atau
Hadits. Apabila tidak dijumpai dalam keduanya, atau kurang jelas, maka
digunakanlah ijtihad untuk menentukan hukumnya.4 Namun tidak semua urusan
dalam agama dibenarkan untuk melakukan ijtihad. Ada wilayah – wilayah yang
tidak boleh untuk di-ijtihadi. Al- Ghazali telah memberikan batasan khusus
berkenaan dengan lapangan ijtihad, yaitu setiap hukum syara’ yang dalilnya tidak
qath’i. yang dimaksud dengan qath’I adalah lafaz yang menunjukkan kepada
hukum tertentu dan tidak mengandung makna lain atau makna tertentu yang tidak
mengandung kebolehan untuk di takwil serta tidak mengandung kemungkinan
untuk dipahami makna lain, selain ditunjukkan lafaz itu. Termasuk dalam ranah

1
H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan Modernitas,
( Jakarta: FKKU PReSS, 2003), hal. 21
2
Tim Penyusun Studi Islam IAIN Supel, Pengantar Studi Islam,( Surabaya: IAIN Supel
Press,), hal. 64-65
3
Amir Mu’allim Yusdni, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,(Yogyakarta: UII
Pers, 2004), hal. 60
4
Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 152

2
ini adalah hukum islam yang secara eksplisit di sebutkan dalam Al- Qur’an dan
Hadits Mutawatir.
Nash yang tergolong qath’I Al- Dilalahtidak terlalu banyak, menurut Abu
Ishaq Al- Syatibi adalah pokok – pokok ajaran agama islam, yaitu seperti
kewajiban shalat, zakat, haji, larangan menikahi wanita yang disebabkan adanya
hubungan darah, tentang kadar bagian harta warisan bagi masing- masing ahli
waris, dan lain sebagainya. Disamping itu, ada termasuk nash yang qath’I adalah
ayat yang berbicara tentang akidah dan akhlak.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan yang merupakan salah satu
kaidah yang disepakati oleh para Ushul Fiqh :
‫صنلا دروم ﰱ داهتجﻹ غاسم ل‬
Artinya : “tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum –hukum yang sudah ada
ketetapan nash”.5
Adapun wilayah yang tidak boleh untuk d ijtihadi, dalam istilah ushul fiqh
disebut dengan dhanny adalah dalil yang mengandung mult interprestasi atau
kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad para
Ulama’. Oleh karena itu, inilah yang dijadikan para mujtahidin sebagai tempat
penalaran, penelaahan, pemikiran kemashlahatan, serta perubahan keadaan.
Sehingga timbul perbedaan paham, perbedaan perspektif.
Ayat – ayat yang bersifat dhanny al-dilalah kebanyakan berkaitan dengan
bidang muamalah dan pada umumnya ditetapkan oleh syara’ dalam bentuk global.
Termasuk dalam ijtihad yang lain adalah masalah – masalah baru yang hukumnya
belum ditegaskan oleh nash Al- Qur’an atau Hadits secara jelas. Masuk dalam
kategori ini masalah – masalah baru yang tidak terjadi pada masa nabi dan Al-
Qur’an tidak menjelaskan secara jelas.6 Seiman dengan para ulama’ Ushul fiqh ,
Al- Syaukani berpendapat bahwa hukum yang termasuk dalam kategori dhanny
ini dapat berubah dengan adanya perubahan zaman, tempat, dan kebiasaan. Al –
Syaukani menyebutkan bahwa seseorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan hasil
ijtihad yang berbeda menyangkut satu masalah dalam waktu yang sama, bisa
dilakuakan asalkan dalam waktu yang berbeda, karena hasil ijtihad dapat
menerima perubahan, baik yang muncul secara internal dari diri mujtahid maupun
secara eksternal dari lingkunganya. Kendati demikian, seperti halnya di atas, hasil

5
Op.Cit. H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan hal. 24-25
6
Op.Cit. H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan hal. 26-27

3
ijtihad yang paling dominan menerima perubahan ialah yang menyangkut bidang
mumalah.7

4. Posisi Ijtihad dalam Struktur Ajaran Islam


Hukum islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi lain
mengarahkannya kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat. Penerapan hukum
islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam arti masa maupun dalam
arti tempat, membutuhkan hukum yang fleksibel. Hal ini tampaknya disadari tidak
hanya oleh para Ulama’ modernis, tetapi juga oleh Ulama’ masa lalu. Karena
tujuan hukum islam tidak lain adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual, dan sosial. Seperti yang dikatakan Ibn Al-
Qiyyim Al – Jawjiyyah dalam sebuah kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh A.
Djauli, bahwa: “ Hukum islam itu berubah karena perubahan waktu, keadaan, adat
dan niat”.8
Oleh karena itu ajaran islam, selain Al- Qur’an dan hadits yang menjadi
sumber hukum islam, para sahabat melakukan ijtihad ketika mereka mencari
ketetapan hukum dalam Al- Qur-an, bila tidak dijumpai dalam Al- Qur’an,
kemudian dalam As- Sunnah, bila tidak ditemukan juga maka mereka melakukan
ijtihad atau dengan berkonsultasi dengan sesama sahabat untuk menentapkan
hukumnya.9
Berdasarkan kenyataan ini, salah satu Ulama’ fiqh abad 20, seperti Dr. Ali
Hasaba lah, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, berpendapat bahwa
ijtihad merupakan sumber ketiga hukum islam.10 Secara historis, ijtihad para
sahabat telah tumbuh sejak masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad
SAW, dan kemudian berkembang pada masa – masa sahabat serta masa – masa
generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut
dan kerakteristik masing- masing.
Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul SAW., antara lain dapat
dilacak dari riwayat berikut: sewaktu Rasulu lah SAW., hendak mengutus Muaz
bin Jabal ra untuk menjadiqadhi (hakim) di daerah yaman, belaiu sempat

7
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al- Syauk ani, ( Jakarta: PT. LOGOS, 1999), hal.103
8
A. Djauli, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek , Cet. I, ( Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 256
9
Abdul Wahab khallaf, Khulasah Tarik h Al- tasyri’, Terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, (Jakarta:
Grafindo persada, 2001), hal. 55-56
10
Op. Cit Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, hal. 112-113

4
berdialog dengan Muaz. “bagaimana cara kamu menyelesaikan perkara jika
kepadamu diajukan suatu perkara?”Muaz menjawab: “Aku akan memutuskan
menurut ketentuan hukum yang ada dalam Al- Qur’an “. Kalau tidak kamu
dapatkan dalam kitab Allah?” Tanya nabi selanjutnya. “ Aku kan putuskan
menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasul,” jawab Muaz lebih jauh.”kalau
tidak ada juga dalam kitab Allah dan rasulnya? “ Nabi mengakhiri pertayaanya.
Muaz menjawab,” Aku akan berijtihad dengan seksama.”kemudian Rasul
mengakhiri dialognya sambil menepuk – nepuk dada Muaz seraya belaiu
bersabda: “Segala puji hanya untuk Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasul-Nya jalan yang telah diridhai rasul Allah”.11
Pendapat di atas yang mengatakan bahwa sumber hukum islam yang
ketiga adalah ijtihad, selaras dengan interprestasi dari M. Daud Ali, 12 bahwa
sumber hukum islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya
memahami kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al- Qur’an,
kaidah – kaidah hukum yang bersifat umum yang terdeapat pada AS- Sunnah
Nabi dan merumuskannya menjadi garis – garis hukum yang dapat diterapkan
pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis – garis atau kaidah –
kaidah hukum yang “pengaturannya” tidak terdapat di dalam kedua sumber utama
hukum islam itu.
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra’yu untuk
berijtihad dalam pengembangan hukum islam selain Hadits yang diriwatkan oleh
Muaz bin Jabbal adalah Q. S. An- Nisa’ (4): 59, yang mewajibkan juga orang
mengikuti Ulil Umri (orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa) mereka,
dan contoh yang diberikan oleh Khalifah II Umar bin Khattab, beberapa tahun
setelah nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan berbagai persoalan hukum
yang tumbuh dalam masyarakat, pada awal perkembangan masyarakat, oleh
karena itu ijtihad telah banyak digunakan dalam sejarah pemikiran islam. Hakikat
ajaran Al- Qur’an dan As- Sunnah memang telah menghendaki dipergunakannya
ijtihad, karena telah tersirat kurang lebih dari 500 ayat, menurut pemikiran para
Ulama’ yang berhubungan denga ibadah, akidah, dan muamalah. Ayat tersebut

11
Op.Cit Amir Mu’allim Yusdni, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, hal.15-16
12
M. Daud Ali, Huk um Islam, ( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 111

5
pada umumnya, berbentuk ajaran- ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut
mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya, dan sebagainya. Untuk itu, ayat
– ayat tersebut perlu diperjelaskan oleh orang – orang yang mengetahui Al-
Qur’an dan Hadits, yaitu pada mulanya para sahabat nabi dan kemudian Ulama’.
Penjelasan oleh para sahabat nabi dan para Ulama’ itu diberikan melalaui ijtihad. 13
Dan memang ijtihad merupakan suatu unsur terpenting dalam ajaran islam.
Melalui ijtihad, masalah – masalah yang tidak ada penyelesaiannya dalam Al-
Qur’an dan Hadits dipecahkan. Sehingga oleh pemikir klasik atau modern ijtihad
merupakan sumber hukum islam yang ketiga.
Dengan demikian, pada hakekatnya ijtihadlah yang menjadi kunci
dinamika islam. Sejarah menyatakan bahwa sejak pintu ijtihad dianggap tertutup
oleh alama’ – ulama’ pertengahan abad empat Hijriyah- dan, memang, selama
berabad – abad dalam sejarah islam tidak terdapat lagi ijtihad mutlak- pemikiran
islam mengalami kemandekan, baik dalam ajaran maupun kebudayaan islam.
Akibatnya, umat islam mengalami kemunduran dalam segala bidang, sedangkan
orang eropa, yang megnambil alih jiwa ijtihad, mengalami kemajuan yang pesat.
Pada abad kesembilan belas masehi, ketika bagian – bagian kebudayaan.
Eropa yang dihasilkan oleh jiwa ijtihad masuk ke dalam dunia islam, sehingga
para ulama’ sadar bahwa pintu ijithad seharus untuk dibuka kembali, seiring
sengan dibukanya kembali pintu ijtihad, bermuncu lah pemimpin – pemimpin
pebaharuan: Al- tahthawi, jamal Al- Din Al – Afghani, M Abduh – yang
menjelaskan bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Dalam buku
tafsirnya , Al- Manar, M. Abduh mengkritik orang- orang yang membunuh ijithad
dan yang melarang orang lain berijtihad.14

13
Op.Cit, Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, hal. 11
14
Ibid, Hal. 113

6
BAB III
PENUTUP

Secara eksplisit tampak bahwa ijtihad adalah usaha yang hanya bisa
dilakukan orang – orang tertentu dalam menggali hukum- hukum syara’, oleh
karena itu para ulama memberikan syarat- syarat yang benar – benar bagi orang
yang paham dalam agama islam.
Namun tidak seluruh yang ada dalam nash orang bisa berijtihad, barometer
atau ukuran yang hanya bisa dilakukan oleh mujtahid hanyalah dalam batasan
nash zhanny, atau yang tidak terdapat dalam nash. Sehingga perbedaan antara
pencurahan akal manusia dengan nash – nash dalam Al- Qur’an dan Al- hadits
bisa dibedakan, yang mana memposisikan Al- Qur’an dan As- Sunnah di atas
segala dalam beristimbath. Oleh karena itu para Ulama memposisikan ijtihad
sebagai sumber hukum islam yang ketiga, karena jika kita melihat isi Al- Qur’an
maupun Hadits dan waktu yang terus berjalan, selayaknya pantas jika para ulama’
mencurahkan segala permasalahannya untuk beristimbath dalam hukum baru
yang terus bermuculan.

DAFTAR PUSTAKA

H. Samsul Ma’arif dkk, 2003. FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan


Modernitas, Jakarta: FKKU PReSS.

7
Tim penyusun studi islam IAIN Supel, 2005. Pengantar Studi Islam,
Surabaya: IAIN Supel Press.
Amir Mu’a lim Yusdni, 2004. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,
Yogyakarta: UII Pers.
Jalaluddin Rahmat, 1996. Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Penerbit
Mizan.
Nasrun Rusli, 1999. Konsep Ijtihad Al- Syaukani, Jakarta: PT. LOGOS.
A. Djauli, 1991. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet.
I, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abdul Wahab Khalaf, 2001. Khulasah Tarikh Al- Tasyri’, Terj. Wajidi
Sayadi, Cet. I, Jakarta: Grafindo Persada.
M. Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai