Anda di halaman 1dari 10

IJTIHAD DALAM HUKUM AGAMA ISLAM

Haryanti
(2361201033)
Program Studi Manajemen
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (Stimi) Yapmi Makassar

Abstrack :

This article discusses the importance of ijtihad to find legal status Islam about the problem when the Koran is silent and does
not provide explanations, while in the Sunnah it cannot be found either. But how far can things go included in the framework
of ijtihad. Apart from that, it was also discussed about who is who has the right to have authority as a mujtahid where the
requirements are determined by previous scholars were quite strict. Therefore, the question arises thatIs it still possible for the
door to carry out ijtihad to be open? Now? If not, then to whom and where will Muslims find it status answer to the law of a
problem that is complex and continues to develop keep up with developments and progress over time.

Keywords: Ijtihad, Islamic Law, Ijma'

Abstrak :

Artikel ini membahas tentang pentingnya ijtihad untuk menemukan status hukum Islam tentang masalah ketika al-Qur'an
diam dan tidak memberikan penjelasan, sementara di Sunnah juga tidak dapat ditemukan. Tapi seberapa jauh hal-hal itu
dapat dimasukkan ke dalam kerangka ijtihad. Selain itu dibahas juga tentang siapa yang berhak memiliki otoritas sebagai
mujtahid dimana persyaratan yang ditetapkan oleh para sarjana sebelumnya cukup ketat. Oleh karena itu, muncul
pertanyaan bahwa apakah masih memungkinkan pintu untuk melakukan ijtihad terbuka sampai sekarang? Jika tidak, maka
kepada siapa dan di mana umat Islam akan menemukan jawaban status atas hukum suatu masalah yang kompleks dan terus
berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman.
Kata Kunci: Ijtihad, Islamic Law, Ijma'
kuputuskan menurut ketentuan hukum yang
A. PENDAHULUAN ada dalam al-Qur’an.” “ Kalau tidak ada di
Ijtihad telah dikenal dan dipraktekkan dalam al-Qur’an?”, tanya Nabi selanjutnya.
oleh umat Islam semenjak zaman “Akan aku putuskan menurut hukum yang
Rasulullah saw. masih hidup, dan terus ada di dalam sunnah Nabi,” jawab Mu’az. “
berkembang pada masa sahabat serta Kalau tidak (juga) kau jumpai dalam
generasi-generasi berikutnya. Para sahabat sunnah dan juga dalam al-Qur’an?”, Nabi
melakukan ijtihad selain karena mendapat mengakhiri pertanyaannya. Mu’az
dorongan dan bimbingan Nabi saw., juga menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
atas inisiatif dari kalangan sahabat itu seksama”. Rasulullah mengakhiri dialog
sendiri. Cukup banyak riwayat yang dapat dengan Mu’az sambil berkata, “Segala puji
dirujuk yang menunjukkan upaya yang hanya untuk Allah yang telah memberikan
dilakukan oleh para sahabat dalam petunjuk kepada utusan RasulNya jalan
berijtihad. Misalnya riwayat yang yang diridlai Rasul Allah”. Dari hadits
menceritakan ijtihad Umar tentang hal yang tersebut dapat kita simpulkan, bahwa
membatalkan puasa dan ijtihad tersebut ijtihad menempati posisi ketiga sebagai
secara hukum telah dibenarkan oleh Nabi sumber hukum setelah al-Qur’an dan
saw. alSunnah.
Adapun hadist lainnya yang Ijtihad dapat dipandang sebagai faktor
memperkuat kedudukan diperbolehkannya utama dalam dinamika umat Islam, namun
melakukan ijtihad adalah sebagaimana kenyataannya telah disurutkan peranannya
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin oleh umat Islam itu sendiri, sehingga tidak
‘Ash, ra. Ia mendengar Rasulullah ada jalan lain selain bertaqlid. Bagaimana
bersabda: “Apabila seorang hakim umat Islam harus memperbaiki kesalahan
menetapkan hukum melalui ijtihad dan itu? Kiranya cara yang ampuh untuk
benar maka ia diberikan dua pahala, mengatasi kejumudan Islam dan ketaqlidan
sedangkan apabila ia salah maka diberi satu penganutnya adalah dengan
pahala.” Dan hadist yang yang cukup mengembalikan peranan ijtihad pada porsi
populer tentang ijtihad adalah berkaitan semula. Hal itu karena ijtihad adalah hal
dengan Mu’az bin Jabal ketika akan yang sangat penting dalam kehidupan umat
diangkat sebagai qadhi di Yaman. Saat Islam guna mengatasi kejumudan dan
terjadi dialog dengan Nabi, “Apakah yang ketaqlidan penganutnya sebaimana yang
kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu dikatakan sebelumnya.
perkara?”. Mu’az menjawab, “ Akan
atau al-Sunnah -betapapun jelas dan
B. HASIL DAN PEMBAHASAN rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad
1. Pengertian Ijtihad untuk interpretasi dan penerapanya dalam
Kata ijtihad berasal dari kata situasi konkrit.
berbahasa Arab “‫جهد‬ “yang berarti Dari sisi ini menurut Abdullahi
“pencurahan segala kemampuan untuk Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad adalah
memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”. konsep yang fundamental dan sangat aktif
Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh- dalam pembentukan syari’ah selama abad
sungguh” atau “bekerja keras dan gigih VIII dan IX M. Begitu syari’ah matang
untuk mendapatkan sesuatu”. Sedangkan sebagai sistem perundangundangan, dan
secara teknis menurut Abdullahi Ahmed pengembangan berbagai prinsip dan aturan
An-Na’im ijtihad berarti penggunaan yang segar dirasakan sudah cukup, maka
penalaran hukum secara independen untuk ruang ijtihad tampak menyempit menuju
memberikan jawaban atas sesuatu masalah titik kepunahannya.
ketika alQur’an dan al-Sunnah diam tidak Fenomena ini dikenal dalam sejarah
memberi jawaban. Lebih jauh ia yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya
mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun pintu ijtihad. Namun banyak ulama
para perintis hukum pada kesimpulan kontemporer menuntut dibukanya kembali
dimana konsensus masyarakat atau para pintu ijtihad tersebut.
ulama atas suatu masalah harus dijadikan Adapun secara terminologis,
sebagai salah satu sumber syari’ah. Dan al- definisi ijtihad yang dikemukakan oleh ahli
Qur’an dan Sunnah itu yang mendukung ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap
dan mendasari ijtihad sebagai sumber kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau
syari’ah. mujtahid untuk memperoleh pengetahuan
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad tentang hukum-hukum syar’i”.5 Pada
dalam pengertian umum sangat relevan pengertian ini ijtihad memiliki fungsi
dengan interpretasi al-Qur’an dan al- mengeluarkan (istinbat) hukum syar’i,
Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari’ah sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di
didasarkan pada makna umum atas suatu lapangan teologi dan akhlaq. Dan
teks al-Qur’an dan alSunnah, maka teks dan pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh
prinsip (aturan) syari’ah itu harus inilah yang dikenal oleh masyarakat luas.
dihubungkan dengan penalaran hukum. Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini
Sebab bagaimana pun juga sulit untuk mewakili kelompok ahli fiqh dalam definisi
dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur’an ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh
saja, yaitu bidang hukum yang Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang
berhubungan dengan amal. Sedangkan bagi menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
sebagian ulama lainnya, seperti Ibn bersabda :
Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad juga “Apabila seorang hakim
berlaku dalam dunia tasawuf. Demikian menetapkan hukum dengan
berijtihad,kemudian dia benar
juga pendapat Harun Nasution yang maka ia mendapatkan dua pahala.
mengatakan ijtihad di dalam fiqh Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu salah maka
merupakan definisi ijtihad dalam arti ia mendapatkan satu pahala”
sempit, sementara dalam arti luas ijtihad (Muslim,II,t.th:62)
juga berlaku di bidang politik, akidah,
a. Al-Qur’an
tasawuf, dan juga filsafat.
Ayat al-Qur’an yang dipahami oleh
para ulama sebagai ayat yang menunjukkan
2. Dasar-dasar Ijtihad
dan menjelaskan penetapan ijtihad sebagai
Adapun yang menjadi dasar hukum
dasar tasyri’ (penetapan hukum) adalah
ijtihad ialah, Al-Qur’an yang menjadi dasar
Surah an-Nisa’ ayat 5 Artinya:“Hai orang-
ijtihad adalah sebagai berikut .
orang yang beriman, taatilah Allah dan
“Sesungguhnya Kami telah
RasulNya, dan orang-orang yang
menurunkan kitab kepadamu
memegang kekuasaan di antara kamu.
dengan membawa kebenaran,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat
supaya kamu mengadili antara
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
manusia dengan apa yang telah
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
Allah wahyukan Kepadamu, dan
(Sunnah Rasul)”
janganlah kamu menjadi penentang
Adapun pengertian yang dapat
(orang yang tidak bersalah),karena
dipetik dari ayat tersebut adalah:
(membela)orang-orang yang
- Tentang al-Qur’an dan Sunnah.
khianat.” (Q.S. Al-Nisa(4):105)
Dalam hal ini, perintah untuk
menaati Allah adalah
“Sesungguhnya pada yang
mengandung maksud agar
demikian itu benar-benar terdapat
manusia mentaati isi kandungan
tanda-tanda bagi kaum yang
al-Qur’an. Sedangkan taat
berpikir.”(Q.S Al-Rum (30):21).
kepada Rasul saw. adalah
Adapun sunnah yang menjadi dasar
mengikuti Sunnah Nabi saw..
ijtihad di antarannya hadis ‘Amr bin al-
Sejarah menyatakan bahwa
‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam
tidak dapat dipungkiri peranan atau analogi terhadap hukum-
al-Qur’an dan al-Sunnah dalam hukum yang secara tidak tegas
membentuk ilmu-ilmu agama diatur di dalam al-Qur’an dan
yang juga termasuk di dalamnya al-Sunnah. Artinya persoalan
hukum Islam. Di dalam al- ini dikembalikan kepada al-
Qur’an dan al-Sunnah itu Qur’an dan al-Sunnah yaitu
terdapat aturan yang jelas dan dengan diqiyaskan pada hukum
pasti, namun ada pula tang tidak yang ada di dalamnya. Dapat
atau kurang jelas, sehingga ia saja terjadi suatu masalah secara
memerlukan intervensi akal lahiriyah berbeda, namun
pikiran manusia berupa esensinya sama dengan yang
penafsiran terhadap ayat-ayat sudah diatur secara tegas di
ataupun hadis itu. dalam al-Qur’an maupun di
- Tentang Ulil Amri. Para dalam al-Sunnah. Untuk kasus
mufassir memahami ayat ini yang demikian, maka
dalam dua pengertian: Pertama, hukumnya dapat dianalogkan.
yaitu ulil amri dalam pengertian Di samping itu perintah untuk
ulama dan mujtahid. Artinya merujuk kepada al-Qur’an dan
perintah mengikuti ulil amri al-Sunnah juga berarti agar
berarti mengikuti hasil-hasil setiap kegiatan intelektual yang
ijtihad mereka dalam mengggali berupa ijtihad adalah bahwa
dan menafsirkan petunjuk al- hasil akhirnya harus tidak
Qur’an dan al-Sunnah Nabi. bertentangan dengan al-Qur’an
Kedua, ulil amri dalam dan al-Sunnah.
pengertian umara’ atau b. Sunnah
penguasa. Yaitu ketaatan dalam Nabi Hadis Nabi saw. yang
hal yang ada kaitannya dengan dijadikan landasan ijtihad adalah hadis
negara atau segala urusan yang diriwayatkan oleh al-Baghawi dari
kenegaraan yang dalam hukum Mu’az bin Jabal yang menerangkan tentang
Islam dikenal dengan sebuatan dialog yang terjadi antara Nabi saw. dengan
Fiqih Siyasi. Mu’az ketika akan diangkat sebagai qadhi
Pengertian dari seruan di Yaman. Nabi bersabda, “Bagaimana jika
ini adalah: Tersirat adanya engkau diserahi urusan peradilan?. Jawab
perintah untuk melakukan qiyas Mu’az: “Saya akan menetapkan perkara
berdasarkan nash al-Qur’an”. Nabi mutanahiyah wa al waqa’i ghair
bertanya: “Bagaimana jika tidak kau mutanahiyah” (Teks hukum terbatas
dapatkan di dalam al-Qur’an”. Jawab adanya, sementara kasus-kasus hukum
Mu’az: “Dengan Sunnah Rasul”. berkembang tidak terbatas).9 Dengan
Kemudian Nabi mengakhiri pertanyaannya kondisi nash yang jumlahnya terbatas dan
dengan: “Bagaimana jika di dalam Sunnah jika ijtihad tetap tidak dibolehkan, maka
pun tidak kau dapatkan?”. Mu’az akan menyebabkan kesulitan dalam
menjawab: “Saya akan mengerahkan memecahkan persoalan hidup, oleh
kemampuan saya untuk menetapkan hukum karenanya diperlukan ijtihad untuk
dengan pikiranku”. Rasulullah saw. menemukan hukum sebagai solusi atas
mengakhiri dialog tersebut dengan problematika yang muncul di era
mengatakan: “Segala puji hanya bagi Allah kontemporer ini.
yang memberikan petunjuk kepada utusan
RasulNya jalan yang diridlai Rasul Allah” 3. Ruang Lingkup Ijtihad
Hampir setiap pembahasan Apabila sebuah perkara telah ada di
mengenai ijtihad menjelaskan tentang hadis dalam nash yang jelas (sharih) dan pasti
Mu’az ini. Di mana ditampilkan bahwa (qath’i) baik dari sumber asalnya (riwayat)
Nabi Muhammad saw. memuji Mu’az yang maupun pengertiannya dan ia telah
akan melakukan ijtihad dengan ra’yu menunjuk kepada suatu hukum syar’i,
(pikiran) jika ia tidak dapat menemukan maka tidak ada peluang ijtihad di
penjelalasan atau perkara tentang suatu hal dalamnya.
di dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, Lebih jauh Abdul Wahhab Khallaf
dengan kata lain ra’yu dapat dipakai mencontohkan ayat hukum tentang
sebagai sarana penetapan hukum. perbuatan zina yang tercantum dalam Surah
c. Dalil Aqli an-Nur ayat 2 yang berbunyi:
Allah menciptakan syari’at Islam Artinya: “Perempuan yang berzina
yang dibawa Nabi saw. merupakan yang dan laki-laki yang berzina maka
terakhir dan berlaku sampai hari akhir. dera lah tiap-tiap seseorang dari
Perlu diingat, bahwa nash atau teks al- keduanya seratus kali dera”.
Qur’an dan al-Sunnah sangat terbatas Dari ayat ini cukup jelas dinyatakan
jumlahnya, sementara kejadian demi bahwa hukuman bagi pezina adalah di dera,
kejadian terus berjalan sepanjang zaman dan juga jumlah bilangan dari deraan telah
sesuai perskembangan situasi. Para ahli dinyatakan dengan jelas dan pasti.
hukum Islam menegaskan “an nushus Karenanya tidak ada lagi ruang ijtihad
dalam hal jenis hukuman dan jumlah deraan sinilah lapangan ijtihad tempat para
bagi seorang pezina. mujtahid mencurahkan segenap daya
Contoh yang lain adalah firman kemampuan intelektualnya untuk
Allah dalam surah al-Baqarah ayat 43 yang menemukan sebuah ketetapan hukum
berbunyi: Artinya: “Dan dirikanlah shalat, sebagai sebuah solusi dan jalan keluar dari
tunaikanlah zakat” problematika yang dihadapi umat. Seorang
Setelah perintah ini dijelaskan oleh mujtahid pada dasarnya harus mampu
sunnah-sunnah yang mutawatir meneliti dan menemukan hukum melalui
(bersambung) mengenai pengertian shalat qiyas, istishab, atau maslahah mursalah. 12
dan juga zakat, maka tidak ada lagi tempat Namun hal tersebut tidak disepakati oleh
atau peluang untuk berijtihad dalam Abdullahi Ahmed an-Na’im yang dengan
menafsirkan maksud dari shalat dan zakat tegas mengatakan bahwa kaum muslim
selain dari yang telah dijelaskan di dalam kontemporer pun memiliki kemampuan
nash al-Qur’an mau pun di dalam al- untuk melakukan formulasi ushul Fiqih dan
Sunnah. berhak melakukan ijtihad, sekalipun
Dari uraian di atas dapat menyangkut masalah yang sudah diatur
disimpulkan, bahwa penafsiran atau dalam oleh teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara
hal ini adalah ijtihad tidak bisa mencakup jelas dan terinci dengan catatan bahwa
seluruh tingkatan hukum. Hal itu karena di sepanjang hasil ijtihad itu sesuai dengan
luar wilayah yang dapat dijangkau oleh esensi tujuan risalah Islam.
ijtihad terdapat sejumlah teks yang dengan
tegas menyatakan hukum dalam banyak 4. Hakekat Nash Qath’i dan
kasus. Dan kepastian yang dihasilkan nash- Dzanni
nash itu tidak lagi memerlukan Persoalan penting yang selalu
reinterpretasi apapun. menjadi salah satu fokus penelitian dalam
Abdul Wahhab Khallaf konsep ijtihad adalah ketika sampai pada
menegaskan bahwa ruang lingkup ijtihad pembicaraan apa yang dinamakan qath’i
meliputi dua lapangan kajian: Pertama, dan apa yang dinamakan dzanni. Konsep
peristiwa yang terdapat nash, namun tidak qath’i al-dalalah menurut Abdul Wahhab
cukup jelas dan pasti atau bersifat dzanni. Khallaf adalah “sesuatu yang menunjukkan
Yang dimana sifat dzanni adalah kepada makna tertentu yang harus
merupakan dugaan dari segi riwayat dipahami darinya (teks) tidak mengandung
maupun dalalahnya. Kedua, peristiwa yang kemungkinan takwil serta tidak ada tempat
memang tidak ada nashnya sama sekali. Di atau peluang untuk memahami makna
selain makna tersebut darinya(teks atau peluang ijtihad kepada orang yang
tersebut)”. tidak mampu melakukannya sama halnya
Dalam konsep ushul fiqh, apa yang berbuat sesuatu yang membahayakan umat
disebut dengan qath’i adalah sesuatu yang Islam. Untuk melakukan ijtihad, seseorang
tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad, yaitu harus memenuhi syarat-syarat tertentu
hukum-hukum yang secara sharih ditunjuk untuk sampai pada derajat mujtahid. Di
oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara dalam hal ini al-Syatibi mensyaratkan
yang disebut dengan dzanni adalah hukum- seseorang faqih (ahli dalam bidang fiqh dan
hukum yang petunjuk nashnya kurang atau agama pada umumnya) harus memiliki dua
bahkan tidak sharih, dan nash tersebut sifat yaitu: pertama, mampu memahami
dapat mengandung pengertian yang maksud-maksud syari’at (maqasid asy-
berbeda-beda. Namun demikian hal yang syari’ah), dan kedua, sanggup
mesti diingat adalah bahwa penetapan mengistinbathkan hukum berdasar
qath’i dan dzanni ini pun merupakan pemahamannya sendiri tentang maqashid
perumusan yang sifatnya juga ijtihadiyah, asy-syari’ah.
sehingga tidak memiliki kepastian yang Sementara itu Abdul Wahhab
tetap. Pada saatnya memang harus dikaji Khallaf menjelaskan adanya empat syarat
ulang dan ditinjau kembali terhadap konsep bagi mujtahid:
qath’i dan dzanni di dalam hukum Islam ini. 1. Mengetahui bahasa arab, hal ini
penting sekali sebab orientasi
5. Syarat-syarat Mujtahid. pertama seorang mujtahid adalah
Pintu ijtihad senantiasa terbuka nash al-Qur’an dan al-Hadist serta
sepanjang zaman, seiring dengan berupaya memahaminya. Dengan
perkembangan kehidupan manusia. Oleh demikian ia harus mampu
karena itu ijtihad tetap selalu dibutuhkan menerapkan kaidah pokok bahasa
sebagai solusi atas kejumudan Islam dan untuk menyimpulkan arti dan
ketaqlidan penganutnya. Namun hal yang ungkapan bahasa.
demikian bukan berarti semua orang boleh 2. Memiliki kemampuan atau
secara bebas dan semaunya melakukan pengetahuan tentang al-Qur’an,
ijtihad. Hal ini sama dengan tidak maksudnya adalah mengerti
semuanya memiliki otoritas sebagai hukum-hukum yang terkandung
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu dalam al-Qur’an yang berupa ayat-
penyakit dan memberikan resep kepada ayat yang menjadi nash hukum,
seorang pasien. Memberikan kesempatan dan juga menguasai metode
menemukan hukum dari ayat menguji hadist yang akan
tersebut. digunakan sebagai sumber
3. Mengetahui pengetahuan tentang berijtihad.
al-Sunnah, mujtahid harus 3. Menguasai bahasa arab, sehingga
mengerti tentang hukum syar’i dapat memahami kompleksitas
yang terdapat dalam sunnah serta permasalahan, ungkapan-
mengerti tingkatan sanad dari ungkapan yang digunakan, dan
aspek shahih atau lemahnya suatu perkataan yang tegas dan yang
riwayat. samar-samar.
4. Mengerti segi-segi mengenai 4. Menguasai pengetahuan tentang
qiyas, maksudnya mengerti nasakh
tentang ‘illat dan hikmah 5. Menguasai prosedur penarikan
pembentukan syari’at. Termasuk kesimpulan (istinbath al-hukmi)
juga mengerti berbagai peristiwa 6. Mengetahui kasus-kasus yang
kemanusiaan dan mu’amalah telah menjadi konsensus.
sehingga dapat mengenali sesuatu Tentang kebenaran seorang
yang menjadi ‘illat hukum suatu mujtahid dalam ijtihadnya terdapat dua
peristiwa yang tidak ada nash di kemungkinan. Kemungkinan pertama
dalamnya. adalah ia benar dalam ijtihadnya sehingga
Sedangkan menurut Wael B. Hallaq, memperoleh dua pahala, karena ia
sebagian persyaratan itu berkaitan dengan memenuhi kewajibannya berijtihad dan
akumulasi keahlian dalam berbagai bidang berhasil mencapai kebenaran dalam
keilmuan. Dalam hal ini ia menyebut enam ijtihadnya. Dan kemungkinan yang kedua
syarat: adalah ia salah, maka kepadanya diberikan
1. Memahami ayat-ayat hukum yang satu pahala sebagai pengakuan atas
jumlahnya di dalam al-Qur’an ada usahanya memenuhi kewajiban berijtihad.
sekitar 500 ayat. Meskipun tidak Para ahli ushul fiqh tampaknya
disyaratkan untuk hafal, namun sepakat bahwa di dalam ijtihad hanya ada
harus mengetahui bagaimana satu yang benar, kendati demikian bagi
mengeluarkan atau menemukan mujtahid yang ijtihadnya keliru maka tidak
hukum dari ayat-ayat tersebut. berakibat dosa baginya.
2. Mengetahui koleksi hadist-hadist
hukum termasuk mengetahui
teknik kritik hadist sehingga dapat
C. KESIMPULAN ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah
Dari uraian singkat yang telah serta nash-nash hukum di
penulis kemukakan di atas dapat ditarik dalamnya, mengetahui metode
beberapa kesimpulan sebagai berikut : penemuan hukum, menguasai
1. Ijtihad merupakan petunjuk bahasa Arab, dan beberapa syarat
hukum yang sangat penting dalam lainnya.
perumusan hukum Islam sebagai
upaya menjawab persoalan-
persoalan kemanusiaan yang
konkrit serta penjabaran konsepsi
Islam dalam segala aspeknya.
Selian itu, ijtihad adalah juga
DAFTAR PUSTAKA
merupakan salah satu hal yang
- mailto:https://jurnalannur.ac.id/
dalam menyelesaikan
index.php/An-
permasalahan dalam hal
Nur/article/download/21/20/
kejumudan Islam dan ketaqlidan
- mailto:https://www.academia.e
penganutnya.
du/12897035/IJTIHAD_SEBA
2. Ruang lingkup permasalahan yang
GAI_SUMBER_AJARAN_IS
boleh dijadikan lapangan ijtihad
LAM
adalah mengenai hukum-hukum
yang di dalamnya tidak ada nash
yang qath’i.
3. Dasar penetapan ijtihad sebagai
sumber hukum Islam adalah al-
Qur’an dan al-Sunnah. Hal itu
karena jika dalam berijtihad dan di
dalamnya terjadi perselisihan
diperintahkan kembali merujuk
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
4. Seorang faqih yang akan
melakukan ijtihad harus
memenuhi kriteria tertentu untuk
dapat mencapai derajat mujtahid.
Secara umum adalah: memahami

Anda mungkin juga menyukai