Anda di halaman 1dari 6

IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM

Soiman Nawawi
Dosen Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap
Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274

ABSTRAK
Al Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an mempunyai sifat Flesibilitas yang diberikan oleh Allah SWT, dimana
kandungan dapat ditarik melalui ijtihad secara tekstual maupun kontekstual.
Ijtihad ialah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’
secara terperinci. Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan
mengistimbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i . Umat dimasa
rasulullah tidak melakukan ijtihad, bila mereka menemukan suatu masalah yang baru, mereka langsung
datang ke Rasulullah untuk bertanya. Mereka menggunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya.
Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusan. Setelah Nabi wafat, para
ulama mulai melakukan ijtihad karena telah terasa keperluannya.
Key Word: Ijtihad, hukum

A. PENDAHULUAN jawabannya tidak selalu ditemukan dalam Al


Al Qur’an merupakan wahyu, mukjizat dan Qur’an dan Al Hadits. Dalam menghadapi kasus-
kitab terahir yang diturunkan Allah SWT. kepada kasus baru yang tidak didapati dalam Al Qur’an
Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an memiliki dan Al Hadits para Ulama berijtihad. Dalam
prinsip syariah dengan menggunakan metode pembentukan Hukum Islam, peran ijtihad sangat
hukum yang tidak dogmatik. Oleh karena itu, penting dalam menggali hukum.
peluang untuk menumbuhkan semangat aktual
dalam syariat sangat terbuka untuk segala zaman.
Fleksibilitas yang diberikan Allah SWT berupa B. PENGERTIAN
peluang untuk memberikan pemahaman terhadap
1. Pengertian
ayat-ayat Al Qur’an, dalam hal ini kesempatan
untuk melakukan ijtihad terhadap nash baik secara Ijtihâd menurut ‘Ulama ushûl ialah
textual maupun kontekstual. mencurahkan daya kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil
Sumber Hukum Islam yang kedua setelah
Al Qur’an adalah Al Hadits. Tetapi masalah yang
dihadapi masyarakat senantiasa muncul dan
Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

syara’ secara terperinci.1 Hasby Ash Shiddiqi (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah
mengemukakan bahwa ijtihâd adalah Masjidil Haram”.
menggunakan segala kesanggupan untuk mencari Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
suatu hukum syara’ dengan jalan zhann.2 Ahli orang yang berada jauh dari Masjidil Haram,
Tahqîq mengemukakan bahwa ijtihâd adalah apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan
qiyâs untuk mengeluarkan (istinbâth) hukum dari arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal
kaidah-kaidah syara’ yang umum. pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim yang ada.
(pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam Dalam sebuah hadits Nabi, juga dijelaskan
menetapkan hukum, baik yang berhubungan bahwa Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi
dengan teks undang-undang maupun dengan Gubernur di Yaman pernah berijtihad dalam
mengistimbatkan hukum yang wajib ditetapkan memutuskan suatu perkara. Ketika itu Muadz
ketika ada nash.3 ditanya oleh Rasulullah SAW.,
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-
sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh “Dengan apa engkau menjatuhkan hukum?”
siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu Muadz menjawab, “Dengan kitab Allah (al
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak Qur’an) jawab Muadz!” Rasulullah bertanya
dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan lagi, “Kalau engkau tidak dapat keterangan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan dari al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya
matang. menggalinya dari Sunah Rasul.” Rasulullah
pun bertanya, “Kalau engkau tidak mendapati
Namun pada perkembangan selanjutnya,
keterangan dalam sunah Rasulullah SAW.?”
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad
dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad
dengan akal saya dan tidak akan berputus asa.
adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia
Rasulullah menepuk pundak Muadz bin Jabal
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada
menandakan persetujuan.
Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu
waktu tertentu.4 Dari dialog di atas (antara Nabi dan Mu‘adz
bin Jabal) dapat disimpulkan bahwa ketika
2. Dasar Hukum Ijtihad al Qur’an tidak memberikan nash-nash yang
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila mengatur sesuatu, dan hadits juga demikian, maka
dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang ijtihad diperlukan, yang dalam prakteknya ijtihad
terdapat dalam nash al Qur’an. dilakukan apabila nash itu tidak memberi petunjuk
yang jelas.5
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan
ijtihad antara lain firman Allah SWT., dalam Q.S.
Al Baqarah : 149 “Dan darimana saja kamu keluar 3. Macam-Macam dan Syarat Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam
dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i
1
Miftahudin Arifin, A. Faishal Hag, Ushul Fiqh; Kaidah-
kaidah Penetapan Hukum Islam, (Citra Media Surabaya, 1997),
hal. 109
a. Ijtihâd fardi ialah :
2
Khairul Umam, A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II, Setiap ijtihad yang dilakukan oleh
(Bandung: Pustaka Setia), 1989, hal. 131, juga bisa dilihat dalam perseorangan atau beberapa orang, namun tak
kitab al Ta’rifat karya Asy Syarif ‘Ali bin Muhammad Al Jarjani, hal. 8
ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain
3
Khairul Umam, A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II,
(Bandung: Pustaka Setia, 1989), hal. 131.
4
Ijtihad, http://wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas.htm Opcit, hal. 131-133
5

16
Soiman Nawawi Ijtihad Sebagai Jalan Pemecahan Kasus Hukum

menyetujuinya dalam suatu perkara. (Tasyri’ pendapat yang berbeda beserta riwayat yang
Islami: 115). lebih kuat di antara riwayat itu, begitupun
Ijtihad semacam ini yang pernah dibenarkan mereka memahami dalil-dalil yang menjadi
oleh Rasulullah kepada Muadz , yang pernah juga dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.
dilakukan oleh Umar bin Khatab.
Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid
b. Ijtihâd Jamî‘i ialah “semua ijtihad dalam adalah :
suatu perkara yang disepakati oleh semua
a. Menguasai bahasa Arab, cara memahami arti
Mujtahidin” (Ushûlut Tasyrî‘ : 116).
dan maknanya, baik dari segi lafal maupun
Contoh dari ijtihad ini adalah ketika proses
susunan kalimatnya.
pengengkatan Abu BAkar Ash Shiddiq
b. Pengetahuan yang luas tentang kandungan
menjadi kalifah pertama setelah nabi wafat.6
al Qur’an.
Orang yang berijtihad disebut mujtahid, c. Pengetahuan yang luas dalam bidang
yang menurut jenisnya kemudian bagi menjai 4 sunnah.7
macam, yaitu :
a. Mujtahid Mutlak, yaitu orang yang melakukan C . PERKEMBANGAN IJTIHAD
ijtihad langsung secara keseluruhan dari
al Qur’an dan al Hadits, dan seringkalil 1. Ijtihad dan Fiqh di masa Nabi S.A.W
mendirikan madzhab tersendiri seperti Umat dimasa Rasûlullah tidak melakukan
halnya para sahabat dan imam yang empat, ijtihad, bila mereka menemukan suatu masalah
yaitu Syafi’i, Hambali, hanafi dan Maliki). yang baru, mereka langsung datang ke Rasûlullah
b. Mujtahid Madzhab, yaitu para mujtahid untuk bertanya. Mereka menggunakan ijtihad
yang mengikuti suatu madzhab dan tidak bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka
membentuk madzhab tersendiri, tapi dalam sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan
beberapa hal, dalam berijtihad mereka putusan.
berbeda pendapat dengan imamnya, Setelah Nabi wafat, para ulama mulai
misalnya, imam Syafi’i tidak mengikuti melakukan ijtihad karena telah terasa keperluannya.
pendapat gurunya (Imam Malik)dalam Mereka mulai memutar otak (nazhar) memikirkan
bebearapa masalah. saol-soal yang terjadi karena wahyu telah putus.
c. Mujtahid Fil Masa’il (Ijtihad parsial dalam
hal-hal tertentu), yaitu orang-orang yang 2. Periode Ijtihad Sesudah Nabi SAW
berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, Ada 3 periode ijtihad sesudah Nabi wafat :
jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun
mereka tidak mengikukti satu madzhab, a. Periode sahabat besar, periode Khulafâ’ur
misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum Râsyidîn
kewarisan Islam. Mahmus Junus berijtihaad b. Periode sahabat kecil, pemuka tâbi‘în dimasa
tentang hukum perkawinan, dll. Bani Umayyah
d. Mujtahid muqayyad, yaitu orang-orang c. Periode tâbi‘în dan Imam Mujtahidîn
yang berijtihad yang mengikatkan diri dan dipermulaan masa Bani Abbas
mengikuti pendapat ulama salaf, dengan d. Ijtihad dan Fiqh Dimasa Khulafâ’ur Râsyidîn
kesanggupan untuk menentukan mana yang
lebih utama dan menentukan pendapat- Para sahabat besar melakukan istinbâth
terhadap permasalahan-permasalahan baru,
Ibid, hal. 134-137
6
Ibid, hal. 139-141
7

17
Volume 2, Edisi 2, Juli 2013 ISSN: 2302-0547

namun tidak menetapkan masalah-masalah yang 5. Ijtihad Dewasa Ini


belum terjadi dan tidak memberi jawaban (fatwa) Banyak orang berkata bahwa pintu ijtiihad
terhadap yang belum timbul. telah tertutup. Sebagian memegannya menjadi
Abû Bakar, ‘Umar bin Khaththâb, Utsmân prinsip dan sebagian lagi tidak memperdulikannya.
bin ‘Affân dan ‘Ali bin Abî Thâlib semua melakukan Masing punya alasan tersendiri. Salah satunya ialah
ijtihad ketika menemukan permasalahan baru yang bahwa permasalahan yang timbul saat ini justru
tidak ditemukan keterangannya dalam al Qur’an. semakin beragam, terdapat masalah-masalah yang
Adapun cara-cara ijtihad yang digunakan memerlukan pemecahan-pemecahan hukum yang
adalah : 1) mengeluarkan hukum dengan dasar pasti, semntara tidak ada nash-nash al Qur’an
ra’yu perseorangan (ijtihâd fardi), 2) menetapkan atau al Hadits. Oleh karena itu ijtihad sangat
hukum dengan mengadakan ijma’ (ijtihad jamâ‘i). diperlukan, karena pada dasarnya ijtihad adalah
daya upaya karya otak untuk menemukan dalil
dalam al Qur’an maupun as Sunnah.
3. Ijtihad dan Fiqh Dimasa Bani
Umayyah Ulama ushûl berkata : “Nash-nash telah tiada,
sementara peristiwa yang harus diselesaikan nash
Periode ini Fiqh dipandang sebagai suatu
semakin menjadi-jadi.”8
ilmu yang tertentu, yang berdiri sendiri. Pada
peiode ini pula terbaginya kelompok ulama ke
dalam dua bagian, yaitu golongan ahli hadits dan D. POSISI IJTIHAD DALAM USHÛL
golongan ahli ra’yu (ahli qiyâs). FIQH
Golongan ahli hadits mengeluarkan hukum Ijtihad merupakan bagian penting dari kajian
hanya dari hadits-hadits yang telah mereka terima ushul fiqh, ijtihad menempati posisi sentral dalam
saja, tidak mau mempergunakan ra’yu/qiyâs pembahasannya, karena ijtihad dapat dijadikan
terhadap perkara-perkara yang tidak ditemukan kata kunci, yaitu al Qur’an dan as Sunnah dapat
haditsnya. dipahami dengan jalan ijtihad.
Sedangkan ahli ra’yu/qiyâs menetapkan Berikut tabel posisi ijtihad dalam ushul fiqh :
hukum dengan hadits dan apabila tidak
Al Qur’an
mendapatkannya mereka menjalankan qiyas.
Karena kekurangan hadits yang mereka terima dan Ushul Fiqh Sunnah
munculnya pembuat hadits-hadits palsu. Ijtihad
Ijma’9
4. Ijtihad dan Fiqh Dimasa Bani
Abbasiyah E. METODOLOGI IJTIHAD ORMAS
Periode ini lahirlah para imam mujtahid ISLAM
kenamaan dari golongan ahli hadits dan ahlil qiyas
1. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
yang mempunyai pengikut dan telah membukukan
fatwa-fatwa. Pada masa ini ialah imam yang empat Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam
yang sampai sekarang masih ramai dan banyak SK MUI Nomor U-596/MUI/X/1997. Dalam
dianut orang. SK tersebut terdapat tiga proses utama dalam
menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum
Pada periode ini pula muncul aturan-aturan
penetapan fatwa, prosedur penetapan fatwa,
ijtihad, disusun ushul fiqh dan barulah ijtihad
(hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada
periode inilah fiqh itu dibukukan. Ibid, hal. 144-150
8

Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, UII Press


9

Yogyakarta, 2002, hal. 8

18
Soiman Nawawi Ijtihad Sebagai Jalan Pemecahan Kasus Hukum

dan teknik dan kewenangan organisasi dalam c. Istishlâhi (filosofis) yaitu metode istinbat
penetapan fatwa. hukum dengan pendekatan kemashlahatan.11
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI
ditetapkan dalam pasal 2 (1 dan 2). Pada ayat 1 Daftar Pustaka
dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada
adillat al ahkam yang paling kuat dan membawa Arifin, Miftahul, dan Faishal Hag, A. (1997). Ushul
kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya Fiqh; Kaidah-kaidah penetapan hukum Islam,
(ayat 2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah Citra Media, Surabaya.
al Qur’an, Hadits, Ijma, Qiyas dan dalil-dalil Bin Muhammad Al Jarjani, ‘Ali. (1421 H). Al
hukum lainnya.10 Ta’rifat, Al Haramain, Sanqafurah, Jedah,
Indonesia.
2. Metode Ijtihad Bahtsul Masâ’il NU Mubarak, Jaih. (2002). Metodologi Ijtihad Hukum
Sistem pengambilan hukum dalam bahtsul Islam, UII Press, Yogyakarta.
masa’il di lingkungan NU ditetapkan dalam Uman, Khairul, dan Achyar Aminudin, A. (1989).
Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama NU Ushul fiqh II, Pustaka Setia, Bandung.
di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 Januari http://wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
1992. bebas.htm
Secara garis besar, metode pengambilan
keputusan hukum yang ditetapkan oleh NU
dibedakan menjadi dua bagian; ketentuan umum
dan system pengambilan keputusan hukum serta
petunjuk pelaksana.
Dalam ketentuan umum dijelaskan
mengenai beberapa istilah tekhnis dan penegasan
keberpihakan dan pembelaan NU terhadap ulama
sebagai produsen kitab-kitab kuning.
Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai
al Kutub al Mu‘tabarât (kitab standar).

3. Metode Ijtihad MT-PPI


Muhammadiyah
Majlis Tarjih-Pengembangan Pemikiran
Islam (MT-PPI) membedakan tiga teknis dalam
ijtihad yaitu metode, pendekatan dan teknik.
Metode Ijtihad MT-PPI dalah :
a. Bayâni (semantic) yaitu metode istinbat
hukum dengan pendekatan kebahasaan
b. Ta‘lîli (rasional) yaitu metode istinbat hukum
dengan pendekatan berfikir logis (nalar).

Ibid, hal. 170


10 11
Ibid, hal 176

19

Anda mungkin juga menyukai