Anda di halaman 1dari 15

IJTIHAD

Pengertian, Fungsi, Kedudukan dalam Islam

Hasan Mabrur
151211022 KPI 1 A
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum islam


melalui dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Tanpa
ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri
kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan
tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini.

Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun


mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap
sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-
hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam.

Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-
masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –
masalah yang baru terjadi di masa ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas,


penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok
berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Bagaimana kedudukan ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.


2. Untuk mengetahui dasar huykum ijtihad.
3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad.
4. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad.
5. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah


(daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-
masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian
kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan
daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.1
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik
mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak.
Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak
yang praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan
rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih)
mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zhanni”.2
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara
tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut,
maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri
semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad. 3

B. Dasar Hukum

Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :


1. Al-Qur’an

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَل َو ُأْو ِلي ٱَأۡلۡم ِر ِم نُك ۖۡم‬
‫َفِإن َتَٰن َز ۡع ُتۡم ِفي َش ۡي ٖء َف ُر ُّد وُه ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُس وِل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُن وَن‬
٥٩ ‫ر َو َأۡح َس ُن َتۡأ ِوياًل‬ٞ ‫ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۚر َٰذ ِلَك َخ ۡي‬

1
DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73
2
Ibit, hlm 75
3
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162

2
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

٢ ‫ َو َأۡي ِد ي ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن َفٱۡع َتِبُروْا َٰٓيُأْو ِلي ٱَأۡلۡب َٰص ِر‬......
“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan


kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang
mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang
ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa
hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-
orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk
mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk
berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang
harus melakukan ijtihad.4

firman-Nya yang lain :

٦٩ ‫َو ٱَّلِذ يَن َٰج َهُد وْا ِفيَنا َلَنۡه ِدَيَّنُهۡم ُس ُبَلَنۚا َو ِإَّن ٱَهَّلل َلَم َع ٱۡل ُم ۡح ِسِنيَن‬
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )

‫ِإَّنٓا َأنَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱۡل ِكَٰت َب ِب ٱۡل َح ِّق ِلَتۡح ُك َم َبۡي َن ٱلَّن اِس ِبَم ٓا َأَر ٰى َك ٱُۚهَّلل َو اَل‬
١٠٥ ‫َتُك ن ِّلۡل َخ ٓاِئِنيَن َخ ِص يٗم ا‬

4
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163

3
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)

2. Al-Hadits

 Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang


akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” 5
 Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim

‫َاْلَح اِكُم ِاَذ ا اْج َتَهَد َفَاَص اَب َفَلُه َاْج َر اِن َو ِاِن ْج َتَهَد َفَاْخ َطَأ َفَلُه‬
‫ (بخارى و‬. ‫َاْج ٌر َو اِح ٌد‬
)‫مسلم‬
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran
maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan
pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak
mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala
melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

 Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz


bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut
ini:

‫َع ْن ُأن(((َاٍس ِّم ْن َاْه ِل َح َم ص ِم ْن َأْص َح اِب ُمَع اذ ْبِن َج َب ِل ِإَّن‬


‫ َك ْي َف َتْقِض‬: ‫َر ُسْو ُل ِهللا َلَّم ا َأَر اَد َأْن َيْبَع َث ُمَع اًذ ا اِلَي اْلَيَمِن َق اَل‬
‫ َف ِإْن َلْم َتِج ْد‬: ‫ َقاَل‬.‫ َأْقِض ى ِبِكَتاِب ِهللا‬: ‫ِإَذ اَع َر َض َلَك َقَض اٌء ؟ َقاَل‬
‫ َفِإْن َلْم َتِج ْد ِفي ُس َّنِة‬: ‫ َقاَل‬.‫ َفِبُس َّنِة َر ُسْو ِل ِهللا‬: ‫ِفي ِكَتاِب هللا؟ َقاَل‬
‫ َفَض َرَب‬. ‫ َاْج َتِهُد َر اْيِئ َو اَل آُلْو‬: ‫َر ُسْو ِل ِهللا َو اَل ِفي ِكَتاِب ِهللا؟ َقاَل‬
‫ َاْلَح ْم ُد ِهَّلِل اَّلِذ ْي َو َّفَق َر ُس ْو َل َر ُس ْو ِل ِهللا‬: ‫َر ُسْو ُل ِهللا َص ْد َر ُه َو َقاَل‬
‫َلَّم ا‬
)‫َيْر َض ي َر ُسْو ُل ِهللا (رواه ابوداود‬.
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz
ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu
kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz

5
Ibit, 163

4
menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi
bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?,
Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak
terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:,
Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya
berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)

3. Ijmak

Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas


dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan
benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh
yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang.
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena
sebagian besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni
yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga
memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang
kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak
ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum
syara’nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena
Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-
hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad.6

C. Fungsi Ijtihad

Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika


menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: “Maka
tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah,
kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum
yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai
permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu,
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba
hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang

6
Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan
Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100

5
untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.

Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya:

1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis


mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami
redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak
angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan,
dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-
hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab
berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah
denga tidak terbatas jumlahnya.7
D. Kedudukan Ijtihad

Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,


melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak
boleh menjadi objek ijtihad ialah:

1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun


pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan
harta orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu
syara’ yang dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek
ijtihad, seperti bilangan raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara
melakukan haji, dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati
(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti
pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki
bukan muslim.

Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:

1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini

7
Zairif, Fungsi Ijtihad, http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-
ijtihad.html , diakses 10 Desember 2015

6
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi
dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan
Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
3. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi
qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek
Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan
pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum
tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana
seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-
kemungkinan pengertian nas.
4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak
pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang
berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain.
Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.

Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat


berbeda-beda, terutama dalam kedudukan yang ke-empat tersebut. Oleh
karena itu dalam sesuatu persoalan bisa terdapat bermacam-macam
pendapat, sesuai dengan perbedaan tinjauan dan jalan pengambilan
hukum yang dipakai. Perbedaan-perbedaan pendapat yang kita dapati
dalam kedudukan hukum Islam mencerminkan bermacam-macamnya
hasil ijtihad. Keadaan ini tidak perlu melemahkan kedudukan syri’at
Islam, bahkan menunjukkan sifat flexibilitasnya dan menjadi sumber
kekayaan dan kepadatan pembicaraan-pembicaraannya.

Ringkasnya kedudukan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada
nas (ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak
qath’I wurud dan dalalahnya. Pembatasan kedudukan ijtihad seperti ini
sama dengan apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama
undang-undang menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada
pena’wilan dan perubahan terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa
jiwa undang-undangnya menghendaki adanya perubahan tersebut,
meskipun andaikata hakim sendiri berpendapat bahwa undang-undang
tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, karena sumber undang-
undang tersebut adalah majelis perundang-undangan sendiri, sedang
wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan
berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan untuk mengadili undang-
undang itu sendiri. 8

8
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174

7
E. Syarat- Syarat Ijtihad

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan
dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang.
Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam
dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang
berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad
adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi.
Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun
mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran,
memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi
tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat
resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang
melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi
kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang
melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.

Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan
syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad.
Menurut Al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan
lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di
bawah ini:

1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.


Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul
Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah,
menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut
al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-
ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu
dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu,
sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya , apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas


merupakansyarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan
melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi
seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah
tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat
hukum yang menyangkut tersebut secara mendalam.

8
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah,
menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah
sebanyak-banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah
hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima
ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari
Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus
mengetahui lima ratus ribu hadits.

Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar


kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga
dapat ditemukan segera bila diperlukan.

Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani -


tidak hanya wjib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya,
tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang
terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada
Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya,
sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if
(lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar
kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik
melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat
hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).

2. Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia
tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi,
seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad.

Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan


pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat
melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa
ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut,
karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu
kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan
persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan
dalil hukum.

3. Mengetahui bahasa Arab,

9
Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan
benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus
mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam:
mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai);
mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk
kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf,
ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-
kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi
seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku
yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu
tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya.

Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi


mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar.
Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang
tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber
hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,
sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan
pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi
seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.

4. Mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih


penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah
diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang
akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila
ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan
menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara
cermat, terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan
tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad:
 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih
sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an
dan sunnah.
 Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum
sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan
tentang qiyas sebagai gantinya.

10
 Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri
dalam ijtihad.

Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan


pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama
memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu
hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena
hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-
kan hukum dari sumber-sumbernya. Tanpa mengetahui cara meng-
istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.

5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang


dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan
mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang
telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-
hadits.

Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di


atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah
dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut
Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan
itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul,
mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab
itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus
pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini
ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu
secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena
dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis
untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di
atas sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan
menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut al-
Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani,
mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad
telah mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat
menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati
demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada
mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan
dilakukan atas kehendak hawa nafsu.

Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana


para pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat

11
melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat
untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang
belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas
dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan
mendalam.9

BAB III

PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka


penyusun dapat menyimpulkan:
9
DR. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 87

12
1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa
al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala
daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar”.
2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu
kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam
hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya
secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat
zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara
tertentu.
3. Dasar hukum ijtihad:
 Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2,
Al-‘Ankabut:69.
 Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan
tentang dasar-dasar ijtihad
 Ijmak
4. Fungsi ijtihad :
 Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah
mursalah
 Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits
mutawattir.
5. Kedudukan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :
 Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali
 Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud dan
dalalahnya.
6. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara
lain :
 Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
 Mengetahui ijmak
 Mengetahui bahasa Arab
 Mengetahui ilmu usul fikih
 Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan)

DAFTAR PUSTAKA

13
Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu :
Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

14

Anda mungkin juga menyukai