Hasan Mabrur
151211022 KPI 1 A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-
masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –
masalah yang baru terjadi di masa ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
B. Dasar Hukum
َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَل َو ُأْو ِلي ٱَأۡلۡم ِر ِم نُك ۖۡم
َفِإن َتَٰن َز ۡع ُتۡم ِفي َش ۡي ٖء َف ُر ُّد وُه ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُس وِل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُن وَن
٥٩ ر َو َأۡح َس ُن َتۡأ ِوياًلٞ ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۚر َٰذ ِلَك َخ ۡي
1
DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73
2
Ibit, hlm 75
3
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162
2
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
٢ َو َأۡي ِد ي ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن َفٱۡع َتِبُروْا َٰٓيُأْو ِلي ٱَأۡلۡب َٰص ِر......
“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)
٦٩ َو ٱَّلِذ يَن َٰج َهُد وْا ِفيَنا َلَنۡه ِدَيَّنُهۡم ُس ُبَلَنۚا َو ِإَّن ٱَهَّلل َلَم َع ٱۡل ُم ۡح ِسِنيَن
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
ِإَّنٓا َأنَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱۡل ِكَٰت َب ِب ٱۡل َح ِّق ِلَتۡح ُك َم َبۡي َن ٱلَّن اِس ِبَم ٓا َأَر ٰى َك ٱُۚهَّلل َو اَل
١٠٥ َتُك ن ِّلۡل َخ ٓاِئِنيَن َخ ِص يٗم ا
4
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163
3
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
َاْلَح اِكُم ِاَذ ا اْج َتَهَد َفَاَص اَب َفَلُه َاْج َر اِن َو ِاِن ْج َتَهَد َفَاْخ َطَأ َفَلُه
(بخارى و. َاْج ٌر َو اِح ٌد
)مسلم
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran
maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan
pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak
mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala
melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
5
Ibit, 163
4
menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi
bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?,
Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak
terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:,
Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya
berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
3. Ijmak
C. Fungsi Ijtihad
6
Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan
Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100
5
untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini
7
Zairif, Fungsi Ijtihad, http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-
ijtihad.html , diakses 10 Desember 2015
6
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi
dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan
Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
3. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi
qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek
Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan
pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum
tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana
seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-
kemungkinan pengertian nas.
4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak
pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang
berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain.
Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.
Ringkasnya kedudukan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada
nas (ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak
qath’I wurud dan dalalahnya. Pembatasan kedudukan ijtihad seperti ini
sama dengan apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama
undang-undang menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada
pena’wilan dan perubahan terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa
jiwa undang-undangnya menghendaki adanya perubahan tersebut,
meskipun andaikata hakim sendiri berpendapat bahwa undang-undang
tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, karena sumber undang-
undang tersebut adalah majelis perundang-undangan sendiri, sedang
wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan
berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan untuk mengadili undang-
undang itu sendiri. 8
8
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174
7
E. Syarat- Syarat Ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan
dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang.
Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam
dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang
berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad
adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi.
Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun
mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran,
memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi
tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat
resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang
melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi
kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang
melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan
syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad.
Menurut Al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan
lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di
bawah ini:
8
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah,
menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah
sebanyak-banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah
hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima
ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari
Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus
mengetahui lima ratus ribu hadits.
2. Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia
tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi,
seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad.
9
Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan
benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus
mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam:
mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai);
mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk
kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf,
ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-
kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi
seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku
yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu
tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya.
10
Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri
dalam ijtihad.
11
melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat
untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang
belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas
dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan
mendalam.9
BAB III
PENUTUP
12
1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa
al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala
daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar”.
2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu
kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam
hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya
secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat
zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum
agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara
tertentu.
3. Dasar hukum ijtihad:
Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2,
Al-‘Ankabut:69.
Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan
tentang dasar-dasar ijtihad
Ijmak
4. Fungsi ijtihad :
Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah
mursalah
Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits
mutawattir.
5. Kedudukan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :
Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali
Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud dan
dalalahnya.
6. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara
lain :
Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
Mengetahui ijmak
Mengetahui bahasa Arab
Mengetahui ilmu usul fikih
Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan)
DAFTAR PUSTAKA
13
Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu :
Jakarta
Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta
http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad
14