Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“FIQIH”
PERKEMBANGAN KAIDAH-KAIDAH
FIQIH

Disusun Oleh:
Oktavia sundari (22541020)
Nike Amina (22541018)
Vella Andriani (22541032)

Dosen Pengampuh:
Rani Eka Andatu, M.E

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kami rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan
penyusunan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Pada tugas makalah kali ini kami berkesempatan untuk membuat makalah dengan
tema “ Perkembangan Kaidah-Kaidah Fiqih ”, kami berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Dalam penyusunan makalah ini
kami mengakui masih banyak kekurangan, karena kami baru belajar membuat
makalah dan kurang berpengalaman. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan yang akan datang. Kami sangat berterima kasih kepada
dosen pembimbing serta semua pihak yang telah membantu menyusun makalah
ini.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fikih dibangun atas dasar kesadaran dan penelitian


ilmiyyah dengan pendekatan induktif, yang secara sederhana dalam merumuskan
suatu kaidah didasarkan pada permasalahan cabang dalam suatu tertentu dengan
berbagai pendapat para fuqoha, kemudian digeneralisir dari hal-hal yang bersifat
mirip atau bahkan sama dan dirumuskan dengan kalimat yang singkat dan padat
makna. Konstruk Ijtihad istiqrai inilah yang pada gilirannya menjadi daya
akseptabilitasnya dalam mencari solusi pada permasalahan furu’iyyah yang selalu
muncul dan berkembang sampai hari kiamat nanti1

Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran
Islam. Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh
seluruh umat Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi
sangat penting. Apalagi untuk mengetahui hukum-hukum atau peraturan yang
digunakan dalam kehidupan manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.

Sebagai makhluk hidup manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya bahwa
manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya yaitu
dalam bidang Muamalah, dalam hal Muamalah sendiri Islam telah memberikan
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi
pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh
Syari’at Islam.2

1
Muhammad Aburrahman, Peran Kaidah Fikih terhadap Perkembangan Ekonomi Islam,
el-Jizya, Jurnal Ekonomi Islam, IAIN Purwokerto, Vol 4, No.2 2016, hal 234
2
Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis “Studi Kajian Konsep Perekonomian
Menurut Al-Qur’an Dan As-sunnah”, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 15.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah-kaidah Fiqih Yang Masih diPerselisihkan

1. Periodesasi Perkembangan Fiqih


a. Periode Rasulullah SAW
Perkembangan Fiqih periode ini bermula dari turunnya wahyu dan berakhir
dengan wafatnya Nabi SAW pada tahun ke 11 H 3, yang berlangsung selama 22
tahun, beberapa bulan, sejak dari tahun 13 sebelum hijrah s/d tahun 11 hijrah, atau
tahun 611 M s/d 632 M.4 Perkembangan fiqih periode ini tidak terlihat jelas
mengingat kompetensi absolut pembinaan hukum Islam berada di tangan
Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para shahabat periode Rasulullah SAW
ada berapa bentuk sebagai berikut:
1). Adanya penugasan Rasulullah SAW kepada sahabat ke suatu tempat tertentu,
seperti pada kasus Muaz ibn Jabal :
Arab
Artinya: Bagaimana cara memutuskan perkara jika diajukan masalah kepadamu?
Muaz menjawab : Aku akan memutuskan (perkara tersebut) berdasarkan Kitab
Allah (al-Qur’an). Nabi bertanya: Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab
Allah? Muaz Menjawab: aku akan putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah
SAW. Nabi SAW bertanya kembali: Kalau tidak kamu jumpai dalam sunnah
Rasulullah SAW dan Kitab Allah? Muaz menjawab: Aku akan ijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz dengan
tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
petunjuk kepada utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang diridhai Nya. (HR.
Abu Dawud)

3
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih. Islam, Surabaya: Risalah. Gusti, 1995, h. 22
4
M. Hasbi Ash-Sh.iddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1993,
Cet ke-8, h.33

3
2). Ijtihad yang dilakukan sahabat terkadang disetujui Rasulullah SAW atau tidak
disetujui Rasulullah SAW semua itu tidak lepas dari bimbingan langsung dari
Allah SWT melalui wahyu yang dibawa Malaikat Jibril as sebagaimana
dijelaskan dalam QS.Al Najm(53): 3-4:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َو َم ا َيْنِط ُق َع ِن اْلَهٰو ى‬


‫ِاْن ُهَو ِااَّل َو ْح ٌي ُّيْو ٰح ى‬

Artinya: Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan


hawa nafsunya.(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).(4)-3). Bila terjadi kasus di kalangan sahabat yang belum ada
jawabannya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang terhadap
masalah tersebut, Rasulullah SAW tidak dapat langsung menjawabnya, akan
tetapi Allah SWT menurunkan wahyu untuk menjawabnya. Inilah yang kemudian
menjadi sabab turun ayat tersebut (sabab nuzul), yang pada umumnya ayat-ayat
jawaban suatu peristiwa diawali dengan redaksi

Adapun beberapa contoh kasus ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
langsung adalah sebagai berikut:
a.) Dalam menghadapi kasus tawanan perang Badar, Rasulullah SAW
mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk mencari solusi pemecahan
masalah tawanan tersebut. Ketika itu ada dua pendapat yang muncul; Pendapat
Abu Bakar al-Shiddik dan Umar ibn Khattab. Abu Bakar mengajukan pendapat
untuk mengambil tebusan (fidyah) dari para tawanan itu. Adapun Umar ibn
Khattab berpendapat untuk membunuh seluruh tawanan perang Badar tersebut. 5
Menyikapi dua pendapat tersebut, Nabi SAW memilih pendapat Abu Bakar
alShiddik (menerima tebusan dari para tawanan perang Badar itu). Pada kasus ini,
Rasulullah SAW telah memilih salah satu pendapat sahabat dan menolak pendapat

5
Umar Sulaiman al-Syaqar, Tasyri’ al-Fiqh al-Islami, Kuwait: Maktabah al-Falah,
1982, h. 11

4
sahabat lainnya. Pemilihan dan keberpihakan Nabi SAW kepada pendapat Abu
Bakar al-Shiddik disebut Fiqih ql-Nabi atau Ijtihad al-Nabi. Hasil ijtihad
kemudian dikuatkan dengan turunnya wahyu pada QS. Al-Anfal (8): 67-69:

‫َم ا َك اَن ِلَنِبٍّي َأْن َيُك وَن َلُه َأْسَر ى َح َّتى ُيْثِخ َن ِفي األْر ِض ُتِر يُدوَن َع َر َض الُّد ْنَيا َوُهَّللا ُيِر يُد اآلِخَر َة َوُهَّللا َع ِز يٌز‬
‫) َفُك ُلوا ِم َّم ا َغ ِنْم ُتْم َح الال َطِّيًبا َو اَّتُقوا‬68( ‫) َلْو ال ِك َتاٌب ِم َن ِهَّللا َسَبَق َلَم َّس ُك ْم ِفيَم ا َأَخ ْذ ُتْم َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬67( ‫َح ِكيٌم‬

)69( ‫َهَّللا ِإَّن َهَّللا َغُفوٌر َرِح يٌم‬

Artinya: Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia


dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (67). Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan
yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil(68). Maka makanlah dari sebagian rampasan perang
yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang(69).

b.) Penolakan seorang laki-laki atas kelahiran seorang anak dari Bani
Fazarah yang dilahirkan dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam,
sedangkan ayah ibunya berkulit putih. Orang tersebut menyampaikan masalahnya
kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW menjawab dengan bahasa analogi dengan
mengajukan pertanyaan kembali: Apakah engkau memiliki unta merah yang di
antara anaknya berwarna hitam? Orang itu menjawab: Benar. Nabi SAW bertanya
kembali: Darimana datangnya warna hitam pada ontamu? Orang tersebut
menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh keturunan. Kemudian Naabi
SAW menegaskan: Hal ini juga (keadaan anakmu yang berwarna hitam dari kedua
orang tua berwarna putih) boleh jadi disebabkan karena faktor keturunan.6

6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus, Dar al-Qalam, 1997, h. 57

5
c.) Kasus penyesalan Umar ibn Khattab atas perbuatannya yang dianggap
membatalkan puasa. Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium
istrinya, sementara ia telah melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn
Khattab menyampaikan hal tersebut kepada Nabi SAW seraya berkata: Sungguh
aku telah melakukan perbuatan luar biasa (mencium istriku dalam kondisi puasa).
Nabi SAW menjawab dengan diplomatis: Bagaimana jika engkau berkumur
kumur padahal engkau berpuasa? Lalu Umar menjawab dengan tegas:“Menurut
pendapatku, tidak membatalkan wudlu”. Kemudian Nabi SAW
bersabda:Teruskan puasamu.
d.) Kasus yang terkait dengan dua orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan
jauh, mereka berdua melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayamum karena
tidak memperoleh air. Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba mereka
mendapatkan air. Salah satu sahabat mengulangi shalat karena waktu shalat masih
ada dengan berwudlu kembali sebelum shalat. Sahabat Nabi yang lain tidak
mengulangi shalatnya karena ia berkeyakinan shalatnya sah. Ketika berjumpa
dengan Nabi SAW mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di tengah
perjalanan yang tidak mendapat air ketika akan shalat. Maka Rasulullah SAW
menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang tidak mengulangi shalatnya,
Rasulullah SAW bersabda; Kamu memperoleh satu pahala. Sedangkan kepada
yang mengulangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda: kamu memperoleh dua
pahala.7

b. Periode Sahabat dan Tabi’in


Periode sahabat, fiqih secara praktis sudah terjadi dan sudah dilakukan oleh
para sahabat karena Rasulullah SAW sebagai sumber informasi dan Pembina
hukum telah tiada. Namun aktivitas mereka dalam bidang fiqih sangat terbatas,
dengan menunggu kasus hukum yang terjadi, dimana hal tersebut secara tekstual
belum tersentuh al-Qur’an dan sunnah.

7
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut: Dar
al-Jail, t. th. h. 204

6
Ilustrasi ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Siddik
ketika ditanya tentang suatu kasus hukum, maka pertama yang ia lakukan adalah
mencermati apakah kasus tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an. Bila telah
dijelaskan, maka ia putuskan dengan dasar al-Qur’an. Bila kasus tersebut tidak
terdapat dalam al-Qur’an, maka ia cari jawabannya dalam sunnah Rasulullah
SAW. Bila ia jumpai, maka ia putuskan permasalahan hukum tersebut
berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, tapi jika belum ia jumpai, maka ia
kumpulkan para sahabat dan bertanya kepada mereka seraya berkata: Apakah
kalian mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara kasus ini?
Maka para sahabat terkadang menjawab pernah dan kadang belum.8
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar diikuti oleh Umar ibn Khattab ketika ia
menjumpai suatu masalah. Ia akan bertanya kepada para sahabat apakah Abu
Bakar telah memutuskan kasus ini. Bila sudah, maka akan ia ikuti dan bila belum,
maka ia akan berijtihad.
Corak ijtihad Umar ibn khattab telah dibukukan menjadi madzhab hingga
hari ini yang dikenal dengan Mazhab Umari. Diantara produk ijtihadnya adalah
meniadakan hak menerima zakat bagi muallafatu qulubuhum yang secara tekstual
bertentangan dengan nash QS. Al-Taubah (9): 60.

‫ِاَّنَم ا الَّصَد ٰق ُت ِلْلُفَقَر ۤا ِء َو اْلَم ٰس ِكْيِن َو اْلَع اِمِلْيَن َع َلْيَها َو اْلُم َؤ َّلَفِة ُقُلْو ُبُهْم َوِفى الِّر َقاِب َو اْلَغاِرِم ْيَن َو ِفْي َس ِبْيِل ِهّٰللا‬
‫َو اْبِن الَّس ِبْيِۗل َفِرْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َع ِلْيٌم َحِكْيٌم‬

Umar berpendapat bahwa situasi pada masa Rasulullah dan Abu Bakar berbeda
dengan situasi masanya. Pada masa Umar, umat Islam sudah kuat dan mantap
baik ditinjau dari segi aqidahnya maupun sosial ekonominya. Oleh sebab itu,
motif untuk membujuk mereka (muallafatu qulubuhum) dengan jalan memberi
zakat kepada mereka sudah tidak pantas lagi dijadikan illat hukum.9

c. Periode Pembentukan Madzhab Fiqih


8
Muhammad Khudari Beik, Trikh Tasyrik Islam, Beirut,Dal:al-Fikr., h. 95-96.
9
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-Arobi, 1969, h. 230

7
Periode Keemasan fiqih berbarengan dengan zaman keemasan Islam dalam
berbagai bidang. Adapun indikasi pertumbuhan fiqih adalah terwujudnya fiqih
sebagai disiplin ilmu secara mandiri secara teratur dan sistematis. Disamping itu,
digalakkannya pembukuan tafsir, sunnah, ushul fiqih dan filsafat. Faktor utama
yang mendukung perkembangan fiqih periode ini tidak lain adalah adanya
hubungan harmonis antara ulama dan khalifah bahkan ada khalifah yang
merangkap sebagai ulama. Juga adanya realitas kebebasan bagi masyrakat umum
bahwa ijtihad adalah hak setiap warga masyarakat.
Fase ini dalam sejarah dikenal dengan istilah “Periode ijtihad dan keemasan
fiqih Islam” yang melahirkan para imam besar di bidang fiqih, seperti: Abu
Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad Idris al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal.
Juga merupakan periode munculnya para mujtahid mutlak dan atau mustaqil.10
Umat Islam saat itu, bersikap obyektif terhadap madzhab yang dianutnya dan
masing-masing mujtahid tetap mengakui kelebihan dan kekurangan masing-
masing.
Sebagai ilustrasi, ketika Imam Syafi’i memuji dan menghormati Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam bidang tertentu, sebagai berikut:

‫الناس فى الفقه عيال على أبى حنــيفــة‬.


‫خرجت من بغداد فما خلقت بها رجال أفضل وال أعلم وال أفــقه من أحمد‬.

Dua pernyataan tersebut di atas dapat dipahami bahwa periode keemasan fiqih
didasari pada etos kerja ijtihadi yang tinggi dan tumbuhnya semangat toleransi
dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka
dan para penganut madzhab tersebut.

d. Periode Kejumudan

10
TM. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum
Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1992, h. 82.

8
Periode ini ditandai munculnya fanatisme madzhab yang mulai tumbuh di
kalangan umat Islam. Mereka saling menyalahkan pendapat Imam Madzhab yang
tidak sejalam dengan pandangan Imam Madzhab mereka. Hal ini mengilhami
gairah dan semangat berijtihad mengendor tidak seperti priode sebelumnya.
Begitu pula dalam pola diskusi yang terkait dengan fiqih antara pengikut
madzhab pada saat itu dikenal dengan istilah al-Munadzarah wa al-Jadal. Dari hari
ke hari fanatik madzhab semakin kuat sehingga bila seorang pengikut madzhab
sedang berhadapan dengan pengikut madzhab lain, maka seakan-akan mereka
sedang berhadapan dengan orang yang bukan Islam. Periode ini, ulama tidak lagi
melakukan ijtihad mustaqil akan tetapi mereka memberikan syarah, khulashah,
taklimah, taklimah dan koleksi fatwa yang dibutuhkan.
Para ulama telah memutuskan perhatian dan pembahasannya hanya terbatas
pada teks matan, syarah, mukhtashar, dan khasyiyah dan tidak mempelajari kitab-
kitab terdahulu dan bernilai lebih tinggi. Terputusnya komunikasi antara ulama
satu daerah dengan daerah lain, sehingga tidak ada pertukaran informasi ilmiah
diantara mereka.11

2. Fiqih Kontemporer
Fiqh kontemporer adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat
‘amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci) terhadap masalah-
masalah atau problem-problem terkini yakni dimulai sejak zaman pasca modern
hingga modern yang meliputi zaman yang sedang berlangsung saat ini.
Tampilan pokok bahasan atau pembidangan fiqh kontemporer bisa berwujud
dalam banyak makna dan istilah, misalnya ada istilah fiqh sosialnya K.H. Sahal
Mahfudz, Kontekstualisasi Hukum Islamnya Munawir Sadjzali, Fiqh Demokratis
Hasan al-Turabi, Fiqh Kemanusiaan, Fiqh Lintas Agama, dan yang akhir-akhir ini
Fiqh Nusantara. Kesemuanya menjadi lahan dan ruang lingkup pembahasan fiqh
kontemporer.12

11
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, h. 79-80.
12
Lih Muhalimin dkk, Ragam Dimensi dan Pendekatan, Cet. 1,( Jakarta: Kencana
2004),h. 7

9
a. Faktor-faktor Munculnya Isu Fiqih Kontemporer
Ada bermacam-macam faktor yang melatarbelakangi munculnya isu fiqh
kontemporer, diantaranya ialah:
1). Arus modernisasi yang meliputi hampir seluruh negara negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Mengakibatkan lahirnya perubahan-perubahan
dalam perikehidupan umat Islam, baik dari segi ideologi, politik, sosial, budaya,
dan ekonomi. Bermacam-macam perubahan tersebut seolah-olah cenderung
memarginalkan umat Islam dari nilai-nilai agamanya. Akibat perubahan-
perubahan tersebut, memunculkan item-item, slogan-slogan, jargon-jargon, atau
lambang-lambang sosial dan budaya yang secara eksplisit tidak dipunyai oleh
simbol keagamaan yang telah berdiri sendiri, atau karena modernitas tidak
seimbang dengan pembaharuan pemikiran keagamaan. Ringkasnya, arus
modernisasi telah memunculkan sejumlah problematika yang baru sebagai bagian
yang tidak bisa dipisahkan dari usaha berijtihadnya pemikir-pemikir Islam.
2). Lahirnya kesadaran terkini dikalangan ulama dan cendikiawan muslim
kontemporer untuk merevisi standar sistem hukum yang selama ini dikuasai oleh
bangsa penjajah/asing yaitu sistem hukum barat yang berada di negara-negara
mayoritas berpenduduk muslim. Bagaimana bisa kaum muslimin banyak diatur
dengan sistem barat?, sementara barat sendiri sudah hengkang dari negara negara
dunia Islam malah di beberapa negara barat sendiri sudah ada meninggalkan
sistem hukum yang selama ini mereka jalankan beralih kepada modifikasi sistem
hukum sendiri yang lebih responsif terhadap dinamika kehidupan bahkan sering
juga mereka mengadopsi hukum Islam. Persoalan ini menyadarkan banyak
kalangan ulama dan cendikiawan muslim untuk bersungguh-sungguh berupaya
(Ijtihad) memunculkan fiqh kontemporer yang sesuai dengan dinamika zaman.
3). Masih stagnan (tetap) nya pemikiran fiqh klasik (rivalnya kontemporer)
terhadap pemahaman tekstual, ad-hoc atau status quo dan parsial, sehingga
kerangka sistematika, metodologis pengkajian tidak komprehensif dan
aktual/terkini, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan dinamika yang ada.

10
Yusuf Qardhawi secara eksplisit menegaskan pentingnya kajian-kajian yang
serius dalam hukum islam khususnya fiqih kontemporer, ia berkata: “ dengan
adanya kemajuan IPTEK di zaman modern ini, timbul pertanyaan bagi kita,
sanggupkah hukum Islam khususnya fiqh kontemporer menjawabnya? Tentu kita
sebagai intelektual muslim dan muslim yang intelektual tentu akan menjawab
bahwa hukum Islam khususnya fiqh kontemporer sanggup menjawab
problematika dan dinamika zaman dan masih mampu serta sesuai untuk
dilaksanakan. Namun untuk melangkah ke arah itu, butuh syarat yang mesti
dilakukan secara konsisten dan konsekuen, yaitu harus dibuka seluas-luasnya
pintu ijtihad.”13

b. Tantangan Fiqih
Melihat referensi fikih zaman klasik, dan antisipasi tantangan fiqih pada masa
kontemporer, banyak resistensi dalam intern fiqih itu sendiri, untuk selalu eksis
menjawab tantangan zaman. Modernisasi yang berkiblat ke Barat pada gilirannya
telah menjungkirbalikkan budaya Timur termasuk di bidang fiqih.
Westernisasi telah melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau Islam
diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan bahwa
budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati lagi.
Realitas lainnya adalah tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fikih, mulai
dari banyak orang telah mengabaikannya karena dipengaruhi oleh doktrin-doktrin
dan ajaran-ajaran kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada
pemikiran umat Islam saat ini.

Fikih klasik yang teosentris (aliran yang berpegang kepada teks-teks syari’at
secara kaku) tidak bisa menjawab permasalahan hukum yang timbul di tengah
masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konservatif dan tidak realistis. Hari ini,
masyarakat berasumsi bahwa fiqih adalah sulit dipahami dan dicerna mengingat

13
Lih, Yusuf Qardhawi, Syari’ah Islamiyah: Khuluduha wa Shalahiha Litatbiqiha fi
kulli Zamanin wa Makanin, (Kairo: Dar al-Arabi, 1986), h. 105.

11
bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab dan karya fiqih tidak jarang dalam
jumlah jilid yang banyak, menggunakan tata bahasa (uslub) yang tidak sederhana.
Pada referensi fiqih pada umumnya, ketika seorang faqih menulis karya ilmiah
(matan), pada generasi berikutnya dijelaskan lebih luas (syarah), penjelasan itu
kemudian memerlukan komentar (hasyiyah) dan komentar memerlukan penegasan
(taqrir) dan seterusnya yang pada gilirannya menimbulkan kebosanan karena
berpanjang lebar mengenai penjelasan serta perincian yang sebenarnya tidak
perlu.14

c. Wajah Fiqih Kontemporer


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan kreasi
ilmiahnya menjadi tantangan mendasar bagi akseptabilitas hukum Islam di tengah
masyarakat Islam yang realitasnya berjalan lambat, pasif bahkan terasa sangat
konvensional. Iptek bersifat futuristik dan tidak berjalan surut ke belakang. Ia
merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan progresifitasnya.
Munculnya teknologi medis bayi tabung, bank sperma, pil pengatur haid, face off
(operasi wajah total), modernisasi alat transportasi, komunikasi, mesin perang,
alat olah raga, sistem ekonomi, dan lain semisalnya adalah ranah yang
membutuhkan respon dinamis dari fiqih atau hukum Islam.
Untuk meretas kebekuan fiqih dalam berinteraksi dengan dinamika
kontemporer, A. Qodri Azizy menawarkan sebelas langkah, sebagai berikut:
1) Mendahulukan sumber primer (Al Qur'an dan sunnah) dalam menentukan
rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam bermadzhab ketika berhadapan
dengan masalah hukum kontemporer.
2) Berani mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum organisasi
kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history of ideas dan
tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis.
3) Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik produk deduktif
maupun empirik.

14
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, h. 79-80.

12
4) Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek maupun
budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa menjustifikasi sesuatu
yang baru dengan landasan emosional.
5) Responsif terhadap permasalah yang muncul karena masyarakat ingin
mendapatkan jawaban cepat dari pakar fiqih.
6) Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban masalah
hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang
sedang dijalani umat Islam.
7) Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar dijadikan
sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyarakat.
8) Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fiqih
dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum umum
dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.
9) Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses
deduktif adalah bagaimana memahami Al Qur'an dan sunnah dengan segala
metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana memberikan
peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan
akhirat bagi umat Islam.
10) Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam membangn
fiqih.
11) Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-
hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan induktif
dan bukan deduktif.15

Salah satu cara efektif lainnya dalam berijtihad merespon permasalahan


kontemporer adalah dengan melakukan ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif. Contoh
kasus yang masih segar diingatan beberapa tahun lalu adalah dalam rangka
memberikan keputusan hukum boleh atau tidaknya operasi face off pada kasus
Nurhaliza di Surabaya yang disiram air keras. Ijtihad jama’i ini melibatkan
berbagai pakar disiplin ilmu terkait dengan operasi face off tersebut, di antaranya

15
A. Qadri Azizi, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004, h. 110-125

13
pakar medis, bedah plastik, psikologi, ekonomi, fuqaha dan ushuliyun. Langkah
pertama adalah memetakan face off dalam bingkai disiplin ilmu para pakar
tersebut di atas agar diperoleh gambaran masalah hukumnya secara utuh dan
komprehensif. Langkah berikutnya adalah mencari dalil, kaidah ushuliyah atau
fiqhiyah yang dapat menjadi dasar pelaksanaan rehabilitasi wajah Nurhaliza
tersebut. Ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif minimal memiliki dua fungsi, pertama
ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum
disinggung oleh Alqur’an dan sunnah dan produk ijtihad ulama terdahulu. Kedua,
Ijtihad untuk melihat pendapat yang paling sesuai dengan cita kemaslahatan
kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran islam.16
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa prinsip dan dasar penetapan
hukum Islam adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Hukum Islam
semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat dan membawa hikmat.
Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kepada kezaliman, dari rahmat
ke laknat, dari maslahat ke mafsadat (kehancuran) dan dari hikmah kepada
sesuatu yang hampa tidaklah termasuk hukum Islam. Hukum Islam adalah
keadilan Allah di antara hamba-hambaNya, kasih sayang Allah terhadap
makhlukNya, naungan Allah di atas bumi, dan hikmah Allah yang menunjukkan
kepadaNya, dan kebenaran RasulNya secara tepat dan benar.17 Kemaslahatan yang
ingin diraih dan diwujudkan oleh hukum Islam dalam wadah fiqih kontemporer
adalah bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir-
batin, material spiritual, maslahah individu dan umum, maslahah hari ini dan
esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik tanpa membedakan jenis dan
golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah atau orang kuat,
penguasa atau rakyat.
Kemaslahatan sebagai spirit merespon dinamika permasalahan kekinian,
bersumber dari otoritas utama sumber fiqih itu sendiri yaitu al-Qur’an dan sunnah,
sehingga dalil atau metode istinbat (menggali) hukum seperti qiyas, istihsan,

16
Abu Muhammad Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil
Anam,Juz I, al-Qahirah; Maktabah Husaini al-Mishriyah, 1997, h. 9
17
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘alamin, Juz II,
Beirut; Dar al-Fikr, 1977, h. 14-15

14
istislah,, sad al-dzari'ah, istishab dan ‘urf pada intinya menyingkap ada atau
tidaknya maslahat dalam masalah-masalah kontemporer.

B. Masalah Fiqih

1. Hukum Memakai Jilbab dan Wanita yang Bebas dari Jilbab


Menutup aurat, baik di dalam shalat maupun diluar shalat hukumnya wajib.
Kewajiban ini berlaku bagi setiap pria maupun wanita yang beragama Islam.
Aurat pria, baik sewaktu salat maupun diluar shalat adalah menutup antara pusat
dan lutut, dengan pengertian bahwa selain itu terserah pada kondisi, budaya, dan
adat istiadat setempat. Khusus untuk wanita, maka di waktu salat auratnya adalah
seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan.18 Adapun mengenai batasan aurat
wanita diluar shalat, terdapat beberapa pendapat.
Pertama, menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan salah satu qaul imam Syafi`i
bahwa seluruh badan wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan tidak
termasuk aurat wanita.2 Hal ini berdasarkan hadîts Nabi saw riwayat Abu Daud
dari Aisyah ra bahwasanya Asma’ putri Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah
dengan menggunakan pakaian yang tipis.
Rasulullah berpaling (tidak mau melihat) dan bersabda: ”Hai Asma’,
sesungguhnya wanita apabila telah datang haid tidak layak baginya untuk dilihat
kecuali ini dan ini.” Kemudian Rasulullah memberi isyarat kepada muka dan
kedua telapak tangannya.3 Menurut Ibnu Khuwaiz Mindâd, jika wanita itu
berparas cantik lalu khawatir wajah dan kedua telapak tangannya yang terlihat
menarik akan menimbulkan fitnah, maka ia harus menutupnya. Akan tetapi kalau
wanita sudah tua renta atau jelek, maka ia boleh memperlihatkan muka dan kedua
telapak tangannya tersebut.
Kedua, menurut Abu Yusuf seluruh badan wanita termasuk aurat kecuali
muka dan kedua tangannya (dari dua siku sampai ujung jari) sebab untuk menutup
keduanya sangat sulit.
18
Ibrahim Hosen, “Hukum Memakai Jilbab/Kerudung Bagi Muslimah Menurut
Hukum Islam”, Makalah tidak diterbitkan, Jakarta, 1989, h. 2-3

15
Ketiga, menurut salah satu riwayat dari imam Abu Hanifah, seluruh badan
wanita, kecuali muka, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki tidak
termasuk aurat, apalagi terhadap wanita desa yang miskin yang mengharuskannya
ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhannya.19 Hal ini dimaksudkan agar tidak
mempersulit wanita yang biasa bekerja atau mempunyai kegiatan di luar rumah.
Menurut Ibrahim Hosen, agama Islam tidak memberi penegasan mengenai
model, bentuk, warna, dan potongan pakaian yang menutup aurat. Dengan
demikian, masalah teknis tersebut diserahkan kepada kehendak manusia. Namun
baginya yang perlu juga untuk dicermati, sekalipun badan wanita itu telah tertutup
oleh baju atau kain, tetapi kalau baju atau kain itu tipis atau terlalu ketat sehingga
lekak-lekuk badannya nampak dan merangsang, maka statusnya sama dengan
tidak ditutup auratnya dan berdosa.20
Pada zaman Nabi saw, pakaian wanita ada yang terbuka bagian dada dan
lehernya. Oleh sebab itu, agama memerintahkan muslimah memakai kerudung
(khimar), yaitu kain yang bentuknya seperti selendang yang berfungsi untuk
menutup kepala, rambut, telinga, dan dada. Inilah yang dimaksud oleh surat al-
Nûr ayat 31:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
‫َو ُقْل ِّلْلُم ْؤ ِم ٰن ِت َيْغ ُضْض َن ِم ْن َاْبَص اِرِهَّن َو َيْح َفْظَن ُفُرْو َج ُهَّن َو اَل ُيْبِد ْيَن ِزْيَنَتُهَّن ِااَّل َم ا َظَهَر ِم ْنَها َو ْلَيْض ِرْبَن‬
‫ِبُخ ُم ِر ِهَّن َع ٰل ى ُجُيْو ِبِهَّۖن َو اَل ُيْبِد ْيَن ِزْيَنَتُهَّن ِااَّل ِلُبُعْو َلِتِهَّن َاْو ٰا َبۤا ِٕىِهَّن َاْو ٰا َبۤا ِء ُبُعْو َلِتِهَّن َاْو َاْبَنۤا ِٕىِهَّن َاْو َاْبَنۤا ِء ُبُعْو َلِتِهَّن‬
‫َاْو ِاْخ َو اِنِهَّن َاْو َبِنْٓي ِاْخ َو اِنِهَّن َاْو َبِنْٓي َاَخٰو ِتِهَّن َاْو ِنَس ۤا ِٕىِهَّن َاْو َم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُهَّن َاِو الَّتاِبِع ْيَن َغْيِر ُاوِلى اِاْل ْر َبِة ِم َن‬
‫الِّر َج ا َا الِّطْف اَّلِذ ْيَن َلْم َيْظَهُرْو ا َع ٰل ى َعْو ٰر ِت الِّنَس ۤا ِء ۖ اَل َيْض ْبَن َاْر ُج ِل َّن ِلُيْع َل ا ُيْخ ِفْيَن ِم ْن ْيَنِت َّۗن‬
‫ِز ِه‬ ‫َم َم‬ ‫ِر ِب ِه‬ ‫َو‬ ‫ِل‬ ‫ِل ِو‬
‫َو ُتْو ُبْٓو ا ِاَلى ِهّٰللا َجِم ْيًعا َاُّيَه اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحْو َن‬

Katakanlah kepada wanita yang beriman: ”hendaklah mereka menahan


pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya...” (al-Nûr: 31)

19
Muhammad Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, h. 161
20
Ibrahim Hosen, Hukum Memakai Jilbab.,h. 4

16
Quraish Shihab melihat ayat ini lebih cenderung menggambarkan fungsi
pakaian sebagai identitas bagi muslimah yang menggambarkan eksistensinya,
sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi seseorang menurutnya ada
yang bersifat material yang tergambar pakaian yang dikenakannya dan ada pula
yang bersifat immaterial (rohani)11 berupa iman (al-Hadîd: 16).
Jadi khimar sebagaimana penjelasan ayat di atas, selain berfungsi sebagai
penutup aurat, juga berguna sebagai identitas untuk menunjukkan bahwa
pemakainya adalah wanita baik-baik, sehingga mereka tidak akan diganggu oleh
laki-laki yang suka usil dan iseng. Di samping itu, pada masa tersebut, khimar
juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial yang membedakan antara wanita
merdeka dan hamba sahaya/budak. Dalam konteks kekinian, karena hamba sahaya
sudah tidak ada lagi, pengganti yang mirip dengannya adalah wanita tuna susila,
tante girang, wanita jalanan, dan sejenisnya.21
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan
Ibrahim Hosen hukum memakai jilbab atau khimar yang berfungsi menutup aurat
adalah wajib, tidak mesti jilbab seperti pakaian wanita Arab, yang terpenting
dapat menutup kepala, leher, dan dada. Namun ia juga mensyaratkan walaupun
sudah memakai jilbab atau khimar, wanita tersebut tidak boleh memakai pakaian
yang tipis atau ketat yang dapat memperlihatkan lekak-lekuk tubuhnya dan
berpotensi menimbulkan rangsangan terhadap laki-laki lain yang memandangnya.
Kewajiban menutup aurat dengan khimar ini dikuatkan dengan akhir dari
surat al-Nûr ayat 31 yang memerintah untuk bertaubat. Kalau memang tidak
wajib, tentu ayat ini tidak diakhiri dengan perintah bertaubat sebab perintah taubat
hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan perbuatan yang tidak kecil. Ini
berarti memakai jilbab atau khimar adalah hal yang diperintahkan dan bagi yang
tidak memakainya di hadapan yang bukan mahramnya termasuk berdosa. Di sini,
ia telah melakukan ijtihad bayâni yang hasilnya sama dengan pendapat jumhûr al-
`ulama’.

21
Ibrahim Hosen, Hukum Memakai Jilbab, h. 5

17
Selanjutnya, mengenai batasan aurat wanita, pada prinsipnya ia sepakat dengan
mazhab Hanafi, Maliki, dan salah satu qaul imam Syafi`i bahwa seluruh badan
wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Adapun perempuan yang dibebaskan dari memakai jilbab atau khimarialah
perempuan yang telah putus haidnya, dengan pengertian tidak berkeinginan untuk
bersuami lagi,30 ia mendasarkannya pada ayat alQur’ân berikut. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
‫َو اْلَقَو اِع ُد ِم َن الِّنَس ۤا ِء اّٰل ِتْي اَل َيْر ُجْو َن ِنَك اًحا َفَلْيَس َع َلْيِهَّن ُجَناٌح َاْن َّيَض ْع َن ِثَياَبُهَّن َغْيَر ُم َتَبِّر ٰج ٍۢت ِبِزْيَنٍۗة َو َاْن‬
‫َّيْسَتْع ِفْفَن َخْيٌر َّلُهَّۗن َو ُهّٰللا َسِم ْيٌع َع ِلْيٌم‬

”Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Swt Maha Mendengar lagi Maha
Bijaksana.” (al-Nûr: 60)"

Jadi menurut ayat ini dalam pemahaman Ibrahim Hosen, wanita itu karena faktor
keadaannya yang sudah tua, menjadikannya bebas dari memakai jilbab. Namun
supaya aman, wanita tua itu tidak boleh memakai perhiasan di mana dadanya
terbuka. Berdasarkan pengamatannya,
andaikata wanita tua memakai kalung berlian, jarang juga laki-laki muda yang
tidak terpikat karena dorongan maksud tertentu.22
Dengan demikian, khusus untuk wanita lanjut usia (nenek yang sudah tidak
menarik lagi) yang telah putus haidnya dan tidak berkeinginan bersuami lagi,
maka bagi mereka bebas untuk tidak berjilbab atau tidak memakai khimar, tetapi
hendaknya tidak memakai perhiasan yang mencolok. Ini artinya, kalau wanita
lanjut usia itu tetap juga ingin memakai perhiasannya tersebut, maka ia harus pula
berjilbab atau memakai khimar sebagai tindakan preventif agar tidak memancing
orang lain berbuat kejahatan. Dalam hal ini, tampaknya Ibrahim Hosen
mendasarkannya pada sadd aldzarî`ah.

22
Ibrahim Hosen, Hukum Memakai Jilbab, h. 6

18
2. Zakat dengan Uang Haram
Masalah yang berkembang dan sering dipertanyakan orang dewasa ialah
tentang mengeluarkan zakat dari uang haram. Di sini Ibrahim Hosen meluruskan
terlebih dahulu persepsi yang keliru tentang uang haram karena menurutnya uang
haram tersebut hakikatnya tidak ada, istilah uang haram hanyalah bersifat majazi
yang maksudnya adalah berasal dari sumber, perolehan, atau cara yang haram.
Hukum itu sendiri sesuai dengan definisinya hanya ditujukan pada perbuatan
orang dewasa yang berakal (mukallaf). Ini tampak dari ungkapannya:
”Kalau kembali kepada definisi hukum akan diketahui bahwa hukum itu
hubungannya dengan perbuatan mukallaf, tidak dengan benda. Istilah halal dan
haram adalah hukum. Uang, harta, dan anak adalah benda. Kalau berpegang
pada definisi hukum secara konsekuen, seharusnya berani mengatakan, “tidak
ada uang halal, tidak ada uang haram, tidak ada juga anak haram. Yang haram
adalah perbuatan untuk mendapatkan atau mengambil uang, misalnya dengan
cara mencuri. Jadi, perbuatan mencuri itulah yang haram. Memiliki uang dengan
perbuatan mencuri itu tidak sah. Karena itu, pencuri tidak bisa dan tidak sah
memanfaatkan atau bertindak terhadap uangnya itu. Baik untuk dirinya maupun
untuk orang lain.
Berkaitan dengan status keharaman masalah di atas, Ibnu Abidin menjelaskan
bahwa sesungguhnya harta orang lain yang diambil dengan jalan yang haram
adalah haram li ghairihi, bukan haram li `ainihi. Berbeda dengan daging bangkai
yang haramnya li `ainihi, walaupun harta yang diperoleh melalui jalan haram
tersebut haramnya bersifat qath`i.33 Hal
ini bisa dipahami sebab benda itu tidak dapat disifati dengan halal atau haram.23
Kaidah menegaskan, “mâ haruma akhdzuhu, haruma i`thâ’uhu” (sesuatu yang
haram menerimanya, (maka) haram pula memberikannya).35 Memaknai kaidah
ini, Ibrahim Hosen berpendapat bahwa seandainya seseorang memberikan uang
kepada A dan A tidak mengetahuinya sebagai uang curian, maka bagi A yang

23
Al-Syarbini al-Khatîb, Mughnî al-Muhtâj, (Mesir: Mustafa al-Bâbi al-Halabi, t. th.),
Juz V, h. 305

19
menerima uang semacam itu tidak jadi persoalan. Namun kalau A mengetahuinya,
maka A wajib menolaknya.
Oleh sebab itu, Ibrahim Hosen menambahkan, bagi orang yang memperoleh
harta dari cara yang haram, maka segala tindakannya tidak sah karena ia bukan
pemiliknya dan ia wajib mengembalikan uang curian itu kepada pemiliknya.
Kalau takut, ia wajib mengembalikannya kepada pemilik hakiki, yaitu Allah Swt.
Artinya, ia wajib mengembalikan uang tersebut kepada kemaslahatan umat,
melalui lembaga-lembaga, bukan perorangan. Menurutnya, salah sekali kalau ada
lembaga yang menolak pemberian harta atau uang yang diperoleh seseorang
dengan cara yang haram. Semestinya lembaga itu minta lagi karena uang
semacam itu memang untuk dikembalikan kepada kemaslahatan umat.24
Kalau harta yang diperoleh dengan cara haram tersebut sudah jelas bukan
miliknya, berarti ada syarat zakat yang tidak terpenuhi, yakni syarat almilk al-
tâmm karena zakat diwajibkan hanya kepada pemilik. Dengan demikian,
menurutnya jelas bahwa uang haram yang diperoleh dari jalan haram tidak ada
zakatnya. Hadîst Nabi saw menegaskan:
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu telah
menunaikan zakat hartamu, maka kamu telah melaksanakan apa yang diwajibkan
kepadamu dari harta benda. Dan siapa yang mengumpulkan harta dengan cara
yang haram, kemudian ia menyedekahkannya, maka ia tidak mendapatkan pahala
darinya, dan dampaknya kembali padanya”(HR. Ibnu Hibbân)
Jadi hakikat dari uang haram, dan persyaratan wajib zakat, maka Ibrahim Hosen
menyimpulkan bahwa tidak ada zakat pada uang haram karena tidak terpenuhinya
syarat milk al-tâm pada uang itu. Adapun status keharaman pemanfaatannya, ia
mendasarkannya pada analogi pemahaman majazi terhadap makna ayat al-Qur’an
yang berbicara tentang keharaman bangkai, darah, dan ibu. Adapun solusi
terhadap uang haram tersebut yang tidak ada zakatnya, ia mengusulkan perlunya
uang yang diperoleh dengan cara haram tersebut dikembalikan ke pemiliknya.
Kalau pelakunya takut atau keadaan tidak memungkinkan, pelakunya harus

24
Ibrahim Hosen, Pokok-Pokok Pemikiran Hukum Islam, h 25

20
mengembalikan uang haram tersebut ke pemilik hakiki yaitu Allah Swt dengan
cara menyerahkannya kepada lembaga-lembaga yang membutuhkan (bukan
perorangan) untuk kemaslahatan umat. Dari cara terakhir yang ditempuhnya ini,
tampak ia telah melakukan ijtihad istishlâhi dengan lebih dekat pada penggunaan
mashlahah mursalah.

3. Hukum Bunga Bank

Ibnu Qayyim membagi riba terdiri atas jaliy (jelas, nyata) dan khafiy (ringan).
Riba jaliy adalah riba nasî’ah yang diharamkan karena mendatangkan mudarat
yang besar dan termasuk riba yang sempurna (riba al-kâmil) sebagaimana yang
berlaku pada zaman jahiliyah. Sementara riba khafiy diharamkan untuk menutup
terjadinya riba jaliy.25

Menurut jumhûr fuqahâ’, baik terhadap riba nasî’ah maupun riba alfadhl, pada
keduanya terdapat riba.26 Menurut Muhammad Abduh, riba yang diharamkan al-
Qur’ân hanyalah riba yang berlipat ganda, yaitu riba jahiliyah atau riba nasî’ah.
Adapun menurut Mahmud Syaltut, riba itu dikaitkan batas pengertiannya dengan
`urf saat ayat al-Qur’ân diturunkan mengenai hal itu, yang dimaksud riba di sini
yang dilarang oleh Allah Swt adalah riba yang berlipat ganda.27

Berkaitan dengan bunga bank, Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa


sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang
diharamkan karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok
harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan
tanpa bersusah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang
demikian itu termasuk riba. Ia mendasarkannya pada firman Allah Swt berikut.

Al-Baqarah 278-279

25
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I`lâm al-Muwaqqi`în, Juz II, h. 154
26
Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Ihya al-
Kutub
27
Mahmud Syaltut, al-Fatâwâ, (Kairo: Dar al-Qalam, t. th.), h. 353

21
٢٧٨ ‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنوا اَّتُقوا َهّٰللا َو َذ ُر ۡو ا َم ا َبِقَى ِم َن الِّر ٰٓبوا ِاۡن ُك ۡن ُتۡم ُّم ۡؤ ِم ِنۡي َن‬

٢٧٩ ‫َفِاۡن َّلۡم َتۡف َع ُلۡو ا َفۡا َذ ُنۡو ا ِبَح ۡر ٍب ِّم َن ِهّٰللا َو َر ُس ۡو ِلٖه ۚ َو ِاۡن ُتۡب ُتۡم َفَلـُك ۡم ُر ُء ۡو ُس َاۡم َو اِلُك ۡم ۚ اَل َتۡظ ِلُم ۡو َن َو اَل ُتۡظ َلُم ۡو َن‬

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah
Swt dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya”(al-Baqarah: 278-279).

Maksud taubat dalam ayat di atas menurut Yusuf al-Qardhawi ialah seseorang
tetap pada pokok hartanya dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya
adalah riba. Bunga bank sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa
melalui persekutuan atau perkongsian, mudhârabah, atau bentuk-bentuk
persekutuan lainnya adalah riba yang diharamkan.28

Ahmad Sukarja dengan mengikuti kategorisasi yang dibuat Ibnu Qayyim


tentang riba jaliy dan khafiy berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba khafiy
dan riba khafiy tersebut dibolehkan kalau ada hajat atau maslahat dengan
berpegang pada kaidah ”Mâ hurrima lisadd aldzarî`at ubîha li alhâjat awal-
mashlahat.”

Maslahat yang diakui oleh ajaran Islam ialah dalam rangka memelihara lima
masalah pokok yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan yang dalam
penerapannya harus memperhatikan stratifikasi dharûriy, hâjiy, dan tahsîniy.

Dalam hal kemaslahatan yang terdapat pada bank, Ahmad Sukarja melihatnya
berguna untuk menjaga harta dari pencurian, mengembangkan, menumbuhkan,
dan memenuhi kepentingan lainnya seiring perkembangan teknologi. Oleh sebab
itu, bertransaksi melalui bank dengan menyimpan uang lalu memperoleh
tambahan, baginya adalah halal karena maslahat. Termasuk juga peminjam yang

28
Yusuf al-Qardhawi, Fatâwâ Mu`âshirah, h. 233

22
mengembalikan pinjamannya dengan memberi tambahan sekedarnya juga halal
karena maslahat, guna mengimbangi kemerosotan nilai uang yang makin lama
semakin menurun. Dengan demikian, yang meminjamkan tidak dirugikan. Jadi,
riba baik besar (berlipat ganda) maupun kecil tetap haram. Yang besar haram
karena zatnya, sedangkan yang kecil haram karena untuk menutup terjadinya riba
yang besar, tetapi riba yang kecil dibolehkan jika ada hajat atau maslahah.29

C. Munculnya Kaidah Baru

1. Fase Pertama

Fase pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih
yang dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad IIIH atau IX M. 30 Jika
kaidah fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukumyang dapat mencakup
berbagai masalah furu’, maka banyak hadits yangdapat dikategorikan sebagai
kaidah fiqih. Misalnya dalam beberapahadits berikut ini:

a) “Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang sedikitnya juga


haram”
b) “Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang inkar
(tergugat)”
c) “Tidak madharat dan tidak memadharatkan”

2. Fase Kedua

Fase kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir kompilasi
hukum Islam pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau19 M. Pada masa ini,
kitab-kitab fiqih sangat banyak. Masing-masingmadzhab fiqih memiliki kitab
pegangan tertentu. Ketika itu, tampaknya para ulama merasa puas dengan kitab
fiqih yang ada dan melimpahruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.

Masa keemasan dari pembukuan kaidah-kaidah fiqih terjadi padaabad 8 H.


Pada abad ini banyak lahir kitab kaidah, terutama di kalanganulama Syafi’iyah.

29
Ahmad Sukarja, “Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan”, h. 43
30
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

23
Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudiandisempurnakan secara sistematis pada abad
9 H. Hal ini terlihat jelasdari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Ibnu
Mulaqqin (723-804H/1323-1402 M) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-
Hishal (752-829 H/1351-1425 M). Dan akhirnya, puncak keemasan
pembukuankaidah fiqih terjadi pada abad 10 H yang ditandai oleh lahirnya kitab
al-Ashbah An-Nazhair karya Jalal Ad-Din Ay-Suyuthi yang merupakankitab
kaidah fiqih terbaik.31

Penulisan kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusidari kalangan


ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menuliskaidah fiqih dengan cara
mengutip dan menghimpun kaidah-kaidahyang terdapat pada kitab-kitab fiqih
masing-masing madzhab. Selainitu, merekapun melakukannya dengan jalan
mencantumkan kaidah-kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari
illat danmen-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w.
478H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung
padakemampuan seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatuyang
bisa dilakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan” yang
selanjutnya berkembang dan berubah menjadi“Sesuatu yang mudah dilakukan
tidak gugur dengan adanya yang sulit dilakukan”

3.Fase Ketiga

Fase ini dimulai dengan kelahiran Majallah Al-Ahkam Al-


Adliyyah(Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Utsmani) Kompilasi ini
padadasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman Sultan ‘AbdAl-
Aziz Khan Al-Utsmani yang ditetapkan pada tanggal 26 Sya’ban1292 H atau 28
September 1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqihIslam dalam bidang
mu’amalah dan hukum acara dengan bahasa perundang-undangan. Di antara
kaidah fiqih adalah:

a) Pasal 12“Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat”.

31
Ibid

24
b) Pasal 13“Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan
denganmakna eksplisit”.
c) Pasal 14“Tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath’i)”.

4. Ijtihad kemanusiaan

A. Isi buku Ijtihad kemanusiaan

Dalam pembahasan dan penjabarkan masalah ini diambil dari Ijtihad


Kemanusiaan yang pokok-pokok pikirannya tertuang dalam tulisan Prof. Dr.
Munawir Sadzali, MA lewat bukunya Ijtihad Kemanusiaan. Dimana dalam
pokok-pokok pikirannya Prof. Dr. Munawir Sadzali, MA banyak menuangkan
permasalahan mengenai isu-isu kemanusiaan dan peradaban yang dewasa ini
sedang berkembang serta bagaimana sikap Islam dalam menghadapinya.Untuk
itulah menurut beliau diperlukan upaya ijtihad ulama dalam menjawab persoalan-
persoalan tersebut.

Sebenarnya dalam Islam telah lama kita mengenal istilah ijtihad, yaitu sebuah
upaya sungguh-sungguh mengokohkan ajaran Islam dari sisi ajaran yang
dibawanya. Spirit berijtihad lahir dari semangat memfungsikan akal dengan
menggunakan teks sebagai landasan. Tujuannya tentu saja tetap pada kerangka
awal keberagamaan yaitu menyelesaikan masalah-masalah kemanusian modern.
Dilihat dari sudut pandang historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak
masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW dan kemudian
berkembang pada masamasa sahabat dan tabi’in serta masa-masa generasi
selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut dan ciri-
ciri khasnya masing-masing.Telah ditegaskan bahwa Ijtihad hanya berlaku bidang

hukum. Ulama telah bersepakat bahwa Ijtihad dibenarkan serta perbedaan


yang terjadi sebagai akibat Ijtihad ditolerir dan akan membawa rahmat
manakala Ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya. Adapun lapangan atau medan, dimana Ijtihad dapat memainkan

25
peranannya adalah :
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-
Qur’an atau Sunnah secara jelas;
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum di ijma’i oleh ulama;
3. Nash-nash Zhanni dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan;
4. Hukum Islam yang kausalitas hukumnya atau illatnya dapat diketahui
mujtahid.
Beberapa kasus yang diketengahkan dan dibahas oleh Munawir Sadzali,
dalam buku Ijtihad Kemanusiaan adalah :
1. Kasus Kedudukan Wanita.
Dalam UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa yang dapat
menduduki jabatan presiden atau kepala Negara Republik Indonesia harus
orang asli Indonesia. Berarti jabatan ini terbuka baik bagi pria dan wanita.
Menurut pak Mun (begitu beliau biasa dipanggil yang terjadi secara
hukum perundang-undangan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini,
pemberian hak haruslah sama kepada pria dan wanita, sama-sama memiliki
hak politik, baik memilih maupun
dipilih. Kaum wanita dan pria juga mempunyai hak dan tanggunga jawab yang
sama besar dalam kehidupan bernegara. Untuk memberikan kesaksian satu
wanita sama dengan kesaksian satu pria. Sebab kaum wanita juga ternyata
cukup mantap dan bertanggung jawab sama dengan kaum pria dalam
memberikan kesaksian dalam perkara apa saja. Baik perdata maupun pidana,
juga nilai dan bobotnya sama.32

Sementara Alqur’an dan beberapa hadis kalau dipahami secara harfiah,


tidak demikian33, Laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dibandingkan
wanita, demikian juga dengan pmasalah persaksian, satu laki-laki sebanding
dengan dua wanita. 282, anNisa 34, 176, al-Nur 4).
Namun dalam hal pembagian warisan anak laki-laki mendapat dua kali
lebih banyak dari anak perempuan.Hal ini dapat dihat adalam kompilasi
32
Munawir sadzali, ijtihad ........................ hal 4
33
Lihat (QS al-Baqarah 228 , 282, an-Nisa 34, 176, an-Nur 4)

26
hokum Islam Bab III pasal 176 yang berbunyi : Anak perempuan bila hanya
seorang ia mendapat separoh bagian , bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.34
2. Kasus tentang perkawinan campur.
Kawin campur antara 2 anak manusia yang berlainan agama, sekarang ini
diantara para ulama terdapat 3 aliran, yaitu:
Aliran Pertama, berdasarkan kepada surah al-Maidah ayat 5 tersebut di atas,
memperbolehkan pria Islam kawin dengan wanita Yahudi atau Nasrani tetapi
tidak memperbolehkan wanita Islam dikawini oleh pria Yahudi atau Nasrani.
Aliran Kedua, tidak memperbolehkan sama sekali perkawinan antara 2 anak
manusia yang berlainan agama., Perkawinan antara pria Islam dan Wanita
Nasrani pun tidak diperbolehkan.
Aliran Ketiga mempertanyakan, apakah dalam budaya dimana kaum wanita
sudah dianggap setara dengan kaum pria, maka bukan hanya kaum wanita
ahlul kitab boleh menikah dengan pria muslim, tapi pria ahlul kitab – pun
boleh menikah dengan wanita muslimah.
Alasan yang memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita
ahl-kitab karena yang menentukan halauan keluarga adalah para pria, tapi jika
yang menentukan arah sebaliknya, maka wanta muslimah boleh menikah
dengan pria ahl kitab.35

3. Pelaku Zina
Hukuman bagi para pelaku zina menurut syariat Islam sangatlah berat,
bagi yang masih bujangan atau belum menikah akan di cambung 100 kali dan
diasingkan selama 1 tahun. Bahkan bagi yang sudah menikah lebih berat lagi
yakni di rajam sampai mati, hal ini sebagaimana tertera dalam surat al-Nur ayat 2
yang artinya :

34
Komplikasi hukum islam hal 84
35
Munawir sadzali, ijtihad ...................... hal 9

27
Hal ini sangat berbeda dengan keputusan yang tertuang dalam kompilasi hokum
Islam pasal 53 ayat 1-3
1. Pasal 53
Ayat 1 : Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
Ayat 2 : Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Ayat 3 : Dengan dilangsungkanya perkawinan pada pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.36

5. Kedudukan warga non muslim37

Menurut kelompok tradisionalis, warga non muslim tidak mempunya hak


politik, dan tidak memiliki hak yang sama tinggi dengan warga muslim dalam
bidang bidang lain. Kesaksian mereka tidak diterima dalam perkara-perkara
pidana,dan tidk berhak menerima pembagian warisan dari warga muslim.
Kelompok ini mendasarkan konsepsi politik selain atas asas sejarah, juga atas

36
Komplikasi Hukum Islam hal 33
37
Munawir sadzali, ijtihad ..................... hal 52

28
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 51 yang artinya :

Sebagai Menteri Agama, Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan


berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun
secara umum kebijakankebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk
merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang
diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang
ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi
politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan
keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan
sepenuhnya dari negara.Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri
Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam.
Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat
Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan
Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kontroversi yang tidak kalah menarik adalah terbitnya kompilasi hokum
Islam berdasarkan SK Mentreri Agama RI No : 154 Tahun 1991.
Ada beberapa point yang menarik dalam kompilasi ukum Islam ini
diantaranya :
1. Pasal 96 : Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
2. Pasal 97 : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

29
Pasal 99. Anak yang sah adalah :
Ayat 1 : Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

Ayat 2 : Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut.
Pasal 119 Tentang Thalak Ba’in
Ayat 2 c . Thalak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Pasal 123. Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu di nyatakan di
depan siding Pengadilan.
Pasal 128 . Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan pengadilan agama
Dan lain-lain

30
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Fiqih periode Rasulullah, sahabat dan tabi’in adalah produk pemahaman


mereka terhadap permasalahan hukum yang muncul di tengan komunitas
masyaarakat berdasarkan Alqur’an dan sunnah. Produk ijtihad mereka pada saat
itu berdimensi maslahat bagi mereka baik berupa perintah, larangan, anjuran,
maupun kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Fiqih kontemporer adalah hasil ijtihad terhadap masalah hukum Islam yang
terjadi pada masa kekinian right now, dengan menggali sumber hukum Islam
berupa Alqur’an dan sunnah dan jurisprudensi ulama terdahulu serta
mengintegrasikan iptek dalam menyimpulkan hasil ijtihad yang berspirit pada
kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.

31
DAFTAR PUSTAKA

Hosen, Ibrahim, “Hukum Memakai Jilbab/Kerudung Bagi Muslimah Menurut


Hukum Islam”, Makalah tidak diterbitkan, Jakarta, 1989

Azizi, Qodri, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004

Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.

Yusuf Qardhaw, Lihi, Syari’ah Islamiyah: Khuluduha wa Shalahiha Litatbiqiha


fi kulli Zamanin wa Makanin, (Kairo: Dar al-Arabi, 1986)

Muhalimin, Lih dkk, Ragam Dimensi dan Pendekatan, Cet. 1,( Jakarta:
Kencana 2004).

TM. As-Siddieqy Hasbi, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum


Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992).

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arobi, 1969)

Wahab Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1997)

Sulaiman, Umar al-Syaqar, Tasyri’ al-Fiqh al-Islami, (Kuwait: Maktabah al-


Falah, 1982).

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah. Gusti, 1995)

M. Ash-Sh.iddieqy Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqih,( Jakarta: Bulan Bintang,


1993, Cet ke-8).

Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung:
PustakaSetia.

Aburrahman Muhammad, peran kaidah fiqih terhadap perkembangan ekonomi


islam, IAIN Purwokerto. 2016.

Bablily Muhammad Mahmud, Etika Berbisnis “Studi Kajian Konsep


Perekonomian Menurut Al-Qur’an Dan As-sunnah”, Solo:
Ramadhani, 1990.

Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Paramadina JKT 1997

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Depag RI Tahun 2000

32

Anda mungkin juga menyukai