Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu :
Valihavy Khoir Hudar Rahim, M.Ag.
Oleh:
PARUNG-BOGOR
1443H/2021
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Taufiq dan
hidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Ijtihad”
ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tercurah atas
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya,
serta seluruh umatnya hingga akhir zaman, aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
HALAMAN SAMPUL.......................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA...................................................................29
BAB I
iii
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Di dalam sejarah Ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Dizaman
rasululullah SAW, rasululullah SAW sendiri lah yang menjadi Mujtahidnya.
Setelah Wafatnya Rasululullah SAW. Persoalan persoalan yang tidak ada di Al-
Quran dan hadis mulai muncul. maka dari itu Ijtihad mulai banyak dipakai
karena dengan wafatnyaa rasululullah SAW. Wahyu dengan sendirinya tidak lagi
diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara ituu masalah-masalah
yang dihadapi umat islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan
hukum.Sehingga mulai lah muncul Sejarah Perkembangan Ijtihad dari Zaman ke
Zaman
B. Rumusan Masalah
C. TUJUAN
1. Untuk memahami dan mengetahui sejarah singkat perkembangan ijtihad
di zaman Kenabian
2. Untuk memahami dan mengetahui sejarah singkat perkembangan ijtihad
di zaman Sahabat.
3. Untuk memahami dan mengetahui sejarah singkat perkembangan ijtihad
di zaman Tabi'in.
4. Untuk memahami dan mengetahui sejarah singkat perkembangan ijtihad
di zaman Imam madzhab.
5. Untuk memahami dan mengetahui sejarah singkat perkembangan ijtihad
di zaman setelah Imam madzhab.
BAB II
PEMBAHASAN
iv
A. PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA
KENABIAN
Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Ra-
sulullah SAW .Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama.
Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya
oleh wahyu (Al-Qur'an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, maka
turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, turun
wahyu untuk meluruskan kesalahan itu. Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang
mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan
Perang Badr. 1
Rasulullah SAW meminta pendapat para sahabatnya untuk menyelesaikan
masalah ini. Ada yang mengusulkan untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Umar
ibn al-Khaththab. Mayoritas mengusulkan agar tidak dibunuh dan mengambil
tebusan dari mereka. dan inilah yang dipilih oleh Rasulullah SAW.2
Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu
dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini merupakan ijtihad
Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-
sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal ayat 61-69 yang membenarkan ijtihad
Rasulullah SAW. Adapun contoh ijtihad Rasululah SAW yang salah ialah
keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut
dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan
kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
v
1. Ijma’
Ijma merupakan kesepakatan seluruh mujtahid di suatu massa setelah
Rasulullah SAW wafat dan berkaitan dengan hukum syara yang tidak
terdapat dalam Alquran dan hadist. Adapun contoh ijma’ adalah ijma’
sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW.
2. Qiyas
Qiyas merupakan hukum tentang suatu peristiwa yang diterapkan
dengan cara membandingkannya dengan hukum peristiwa lain yang sudah
ditetapkan sesuai nash. Contohnya adalah mengqiyaskan pembunuhan yang
menggunakan alat berat dengan pembunahan menggunakan senjata tajam.
3. Istihsan
Istihsan merupakan berpindahnya mujtahid dari satu ketentuan hukum
ke hukum lainnya karena terdapat dalil yang menuntutnya. Contohnya adalah
wasiat. Meski secara qiyas tidak diperbolehan, namun karena terdapat dalam
Alquran, maka wasiat diperbolehkan.
4. Maslahah
Mursalah Maslahah mursalah merupakan hukum yang didasarkan pada
kemaslahatan yang lebih besar dibandingkan mengesampingkan kemudaratan
karena tidak ada dalil yang menganjurkan maupun melarangnya. Contohnya
adalah membuat akta nikah, akta kelahiran, dan sebagainya.
5. Istishab
Istishad merupakan metode yang dilakukan dengan menetapkan hukum
yang sudah ada sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya. Contohnya
adalah setiap makanan boleh dikonsumsi hingga ada dalil yang
mengharamkannya.
6. ‘Urf
vi
‘Urf merupakan suatu perkataan yang sudah dikenal oleh masyarakat
dan dilakukan turun menurun. Contohnya adalah halal bi halal yang
dilakukan saat hari raya.
7. Saddzui Dzariah
Sadzzui dzariah merupakan sesuatu yang secara lahiriah boleh, tetapi
bisa mengarah ke kemaksiatan. Contohnya bermain kuis yang mengarah ke
perjudian.
8. Qaul Al-Shahabi
Qaul al-shahabi merupakan pendapat sahabat yang berkaitan dengan
perkara yang dirumuskan setelah Rasulullah SAW wafat. Contohnya adalah
pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa kesaksian anak kecil tidak
diterima.
9. Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana merupakan hukum Allah SWT yang disyariatkan
untuk umat terdahulu melalui nabi-nabi sebelum Rasulullah. Contohnya
adalah kewajiban untuk berpuasa. 3
3
https://m.kumparan.com/berita-terkini/9-metode-ijtihad-dalam-hukum-islam1vs1ykmrKzs/full
vii
kemudian saya terbangun. Ketika saya mandi saya akan mati, sehingga saya
bertayammum. Kemudian saya shalat shubuh dengan para sahabat. Maka
mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau SAW bertanya:
ك َوأَ ْنتَ ُجنُبٌ ؟
َ ِصلَّيْتَ بِأَصْ َحاب
َ يَا َع ْمرُو
“Wahai ‘Amr, kamu shalat dengan para sahabatmu sedangkan kamu
dalam keadaan junub?” ‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka saya ceritakan kepada
beliau sebab yang menghalangiku untuk mandi. Kemudian saya katakan:
Saya mendengar Allah SAW berfirman:
]َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa’: 29) ‘Amr ibn ‘Ash berkata:
Maka Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apapun. Dari hadits di atas
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membenarkan ijtihad yang dilakukan
oleh ‘Amr ibn ‘Ash. Namun ada juga riwayat dimana Rasulullah SAW
menolak ijtihad yang dilakukan oleh sahabatnya. 4
Meskipun dalam kenyataan memang telah terjadi ijtihad sahabat waktu
Nabi masih hidup, baik bagi yang berada dekat di sekitar Nabi maupun bagi
yang jauh dari Nabi, namun tentang kebolehan berlangsungnya ijtihad pada
waktu Nabi itu masih di perbincangkan oleh para ulama, terutama bila
dihubungkan kepada ijtihad sebagai sumber tasyri'.
1) Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ijtihad sahabat pada
masa Nabi memang telah terjadi dan boleh terjadi. Mereka mengemukakan
argumen sebagai berikut:
a) Titah Allah yang menyuruh orang beriman untuk berijtihad
dalam surat al-Hasyr (59): 2:
4
https://rumahfiqih.com/fikrah-360-ijtihad-di-zaman-nabi-saw.html
viii
)٢ :فاعتبروا] يا أولي األبصار (الحشر
Ambil iktibarlah wahai orang-orang yang punya pandangan. Titah ini
berlaku secara umum baik pada waktu Nabi masih hidup maupun setelah
Nabi meninggal.
b) Dalam kenyataan telah terjadi ijtihad shahabat pada waktu Nabi,
baik dilakukan di tempat yang dekat Nabi, maupun jauh dari Nabi. Ternyata
mereka mendapat persetujuan dari Nabi yang menunjukkan kebolehannya.
2) Sebagian ulama kalam, di antaranya Abu Ali al-Jubbai dan Ibnu
Hisyam berpendapat tidak ada atau tidak boleh ijtihad sahabat waktu Nabi
masih hidup, dengan alasan:
a) Ijtihad itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, yaitu ketika
timbul masalah hukum dan tidak ada nash yang memberikan jawaban.
Sedangkan bila Nabi masih hidup, maka tidak dapat dikatakan bahwa sudah
tidak ada nash wahyu lagi.
b) Hasil (produk) ijtihad itu adalah zhanni, sedangkan hukum yang
ditetapkan dengan nash bersifat qath'i (meyakinkan). Jika ada yang qath'i,
maka tidak boleh menetapkan hukum secara zhanni.
3) Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yaitu boleh melaku kan
ijtihad bagi sahabat yang berdomisili jauh dari keber adaan Nabi karena
keterpaksaan mereka untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi timbulnya
masalah hukum. Sedang kan bagi sahabat yang tinggal dekat dengan Nabi,
tidak boleh melakukan ijtihad karena mereka dapat mengetahui hukum secara
pasti dengan cara langsung menanyakannya kepada Nabi, sehingga mereka
tidak terpaksa harus berijtihad.5
Masalah lain yang diperbincangkan ulama sekitar kekuatan ijtihad yang
dilakukan oleh sahabat adalah mengenai: di mana letak kekuatan ijtihad yang
5
Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana, 2008, hal. 251
ix
dilakukan sahabat tersebut, pada hasil ijtihadnya itu sendiri atau karena
adanya pembenaran dari Nabi. Dan perbincangan para ulama, tampak bahwa
mereka tidak melihat kekuatan hasil ijtihad sahabat waktu Nabi itu pada hasil
ijtihad itu sendiri, tetapi pada pengakuan yang diberikan Nabi, baik secara
terang-terangan membenarkannya atau tidak diketahui adanya penolakan dari
Nabi. Hal ini berarti hasil ijtihad sahabat pada masa Nabi tidak mempunyai
kekuatan hukum secara mandiri, terapi membutuhkan pengakuan dari Nabi.6
6
Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana, 2008, hal. 252
x
fatwa dan menafsirkan nash. Lantaran ini, terjadilah perselisihan-perselisihan
faham diantara mereka dalam menetapkan hukum itu.7
7
(https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/03/ijtihad-pada-masa-sahabat/)
xi
Ketika sahabat melihat Rasululah melakukan bagian dari kegiatan
ibadah, seperti haji, Rasulullah tidak menjelaskan kategori haji yang
dilakukannya. Para sahabat hanya menyaksikan perbuatan Nabi, sebagian
menganggap Rasulullah melaksanakan haji tamattu’ (ihram untuk haji,
kemudian ihram untuk umrah). Sebagian sahabat yang lain menganggap haji
qiran (melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan) dan sebagian lain
menganggapnya haji ifrad (mendahulukan haji dari umrah).
4) Perselisihan karena lupa.
Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan sahabat juga disebabkan
terkadang sahabat lupa, dan hal itu lumrah, karena karakter manusia tidak
selamanya iangat segala apa yang sudah diketahui maupun dialaminya.
Begitu juga dengan dengan sahabat Nabi juga terkadang lupa terhadap
pengetahuan atau informasi yang mereka dengar dari Rasul. Seperti yang
diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah mengerjakan ibadah
umrah di bulan Rajab. Aisyah mendengar pernyataan tersebut lalu
menganggap Ibnu Umar lupa
5) Perbedaan penalaran.
Memang suatu hal yang alamiah bahwa kemampuan dan daya nalar
antara seseorang dengan yang lain memang berbeda. Dalam pandangan
Muhammad ‘Awwamah dalam karyanya “Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf
al-Aimmah al-Fuqaha” menyebutkan bahwa perbedaan daya nalar itu muncul
disamping karena fitrah dasar manusia, juga dikarenakan perbedaan budaya
dan kecerdasan, perjalanan intgelektual dan pergaulan dengan orang lain
sehingga mempengaruhi kecerdasan akal
6) Perbedaan dalam memahami ‘illat hukum.
‘Illat menurut ulama ushul dirumuskan sebagai suatu sifat yang zahir
dan ada tolak ukurnya yang memberitahu tentang ada atau tidaknya hukum
xii
yang akan ditetapkan berdasarkan sifat tersebut. Pengertian yang hampir
sama juga dikemukakan oleh Ali Hasballah, yang menurutnya ‘illat adalah
suatu sifat yang relevan, jelas dan ada tolak ukurnya dimana syari’at Islam
menggantungkan ketetapan hukumnya.
7) Perbedaan dalam mengkompromikan dua pendapat yang
berbeda.
Perbedaan ini dapat terlihat dari kasus dispensasi kawin mut’ah pada
perang Khaibar, kemudian Rasulullah melarangnya dan membolehkannya
lagi pada perang Authas kemudian melarangnya. Terhadap masalah ini Ibnu
Abbas berkomentar bahwa dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan
tersebut juga karena hilangnya darurat. Jadi hukumnya masih tetap seperti itu.
Sementara Jumhur Ulama berpandangan bahwa dispensasi itu sebagai
kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan
8) Karena adanya kecenderungan yang berbeda di antara sahabat,
yakni ada sahabat yang cenderung kepada ahli hadits dan ada yang
cenderung ke ahli ra’yi Perbedaan pendapat di kalangan sahabat (ikhtilaf al-
sahabat) khususnya dalam bidang fiqh memang sudah terdapat ketika
Rasulullah masih hidup. Sebagaimana dimaklumi para sahabat memiliki latar
belakang sendiri yang akhirnya berpengaruh terhadap pola pikir mereka
masing-masing. Ada sahabat yang sangat tekstual dalam memahami nash
maupun dalam memahami tindakan Rasul, dan ada sebagian sahabat yang
lain yang mampu berpikir lebih kritis dan kontekstual.8
Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat di anataranya
Umar ibn al Khathab, Ali ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Mas’ud.9
8
(file:///C:/Users/win7/Documents/Downloads/9760-35467-2-PB%20(1).pdf)
9
(https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3810)
xiii
Adapun perbedaan hasil ijtihad mereka itu terjadi antara lain karena
perbedaan metode ijtihad yang mereka gunakan di samping latar
belakang keilmuan dan orientasi penalaran yang berlainan. Umar ibn al
Khathab, lebih condong kepada maslahat di samping juga mempergunakan
qiyas. Sedangkan Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Masud lebih banyak
mempergunakan qiyas walaupun kadang-kadang sering juga memakai
maslahat ammah. 10
10
(file:///C:/Users/win7/Documents/Downloads/Ittihad%20Vol.10%20No.18%20Oktober
%202012%20(1).pdf
xiv
Dari contoh ijtihad yang dilakukan para sahabat terlihat ada dua hal yang
menjadi sasaran ijtihadnya, yaitu:
a) Masalah baru yang terjadi sesudah masa Nabi yang tidak mereka
temukan jawabnya secara jelas dalam nash, baik nash Al-Qur'an maupun
Sunah Nabi. Cara yang mereka tempuh untuk memben kan jawaban terhadap
masalah ini adalah dengan merujukkannya kepada nash itu sendiri; baik
dengan cara mencari apa yang ter sirat di balik lafaz yang ada itu, atau dengan
cara lafaz yang ada kepada masalah baru tersebut.
b) Ijtihad terhadap hal-hal yang telah ada ketentuan hukumnya
dalam nash, namun penerapan hukum itu menurut secara apa adanya sudah
sulit dilaksanakan dalam keadaan tertentu sehingga sahabat memerlukan
pemahaman lain yang berbeda dengan apa yang ditetapkan sebelumnya.
xv
Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat akan sumber Islam,
yaitu Al-Qur'an dan Sunah yang berbahasa Arab itu tidak lagi sesempurna
orang sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang
memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut
pelaksanaan ijtihad.
Salah satu permasalahan kehidupan pada masa transisional ini ialah
terjadinya berbagai gejala kekacauan seperti gejala kekacauan pemahaman
keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik
politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan Utsman, khalifah
ketiga. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti Khawarij, Syi’ah,
Umawiyah, dan sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham.
Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur’an dan sunnah,
dan wajarlah bahwa al-Qur’an dan sunnah itu bagi setiap kelompok tidak
selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu
melakukan interpretasi al-Qur’an tidak menurut hakikatnya dan membawa
nash-nash sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi
meletakkan pada hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka. Dari situlah
mulai pemalsuan hadis dan pencampuradukan yang shahih dengan yang
palsu.
Penetapan hukum yang bersih dan murni sangat diperlukan agar
terhindar dari kepalsuan yang dibuat oleh oknum-oknum tersebut. Hal itu bisa
didapatkan dengan melaksanakan budaya musyawarah yang dibawa oleh
Nabi dengan landasan hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=sejarah+awal+penyusunan+dan+pembakuan+hukum+islam&btnG=#d=gs_qabs&
u=%23p%3DrG99d84K-vQJ
xvi
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas hukum Islam itu dipertahankan,
dan bertahan melewati zaman Nabi, kemudian zaman para sahabat, dan
diteruskan ke zaman para tabi’in.
Cara ulama tabi'in melakukan ijtihad adalah mengikuti cara yang sudah
dirintis sebelumnya oleh sahabat. Mereka menggunakan Al-Qur'an dan Sunah
Nabi sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka mengikuti ijma' sahabat.
Jika tidak ditemukan dalam ijma', mereka berpedoman kepada hasil ijtihad
pribadi dari sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Di samping itu,
mereka menggunakan ra'yu sebagaimana yang dilakukan sahabat. Dalam
penggunaan ra'yu sedapat mungkin mereka tempuh melalui qiyas, bila
mereka menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam
nash. Bila tidak mungkin, mereka menempatkan maslahat umum sebagai
bahan rujukan dalam berijtihad.
Dalam masa ini terlihat cara mereka melakukan Ijtihad mengarah
kepada dua bentuk, yaitu:
1) Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan hadis atau
sunah dibanding dengan penggunaan ra'yu. Cara Ijtihad seperti ini
berkembang di kalangan ulama Madinah dengan tokohnya Sa'id ibn al-
Musayyab. Kalangan sahabat ini kemudian berkembang dengan sebutan
"Madrasah Madinah".
2) Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan ra'yu
dibandingkan dengan penggunaan sunnah. Cara ijtihad seperti ini
berkembang di kalangan ulama Kufah dengan tokohnya Ibrahim Al-Nakha'i.
Kalangan sahabat ini kemudian berkembang dengan sebutan "Madrasah
Kufah".12
12
Sumber: Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana, 2008, hal.260
xvii
Penjelasan menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaikh Ali al-Khafif:
"Pada zaman itu (zaman tabi’in), dalam iftā (pemberian fatwa) ada dua
aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran,
kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang cenderung tidak pada
kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti ātsār
(peninggalan atau “petilasan”, yakni tradisi atau sunnah) dan nash-nash.
Tempatnya ialah Hijaz (Madinah). Adanya dua aliran itu merupakan akibat
yang wajar dari situasi masing-masing, Hijaz dan Irak. 13
Kufah atau Irak adalah suatu wilayah yang lebih maju kehidupan
masyarakatnya, sehingga masalah hukum yang dihadapinya sangat kompleks.
Letaknya yang berjauhan dengan pusat kedudukan Nabi menyebabkan hadits
Nabi yang sampai begitu terbatas. Hal inilah yang menyebabkan ulamanya
dalam berijtihad lebih terdorong untuk menggunakan ra'yu. Sedangkan
Madinah adalah suatu wilayah yang kehidupan masyarakatnya masih
sederhana, sehingga masalah hukum yang dihadapinya tidak begitu
kompleks. Ditambah mereka hidup di kalangan kaum yang berdekatan
dengan Nabi sehingga banyak mempunyai koleksi hadits. Karena itu
permasalahan hukum yang timbul sebagian besar telah dapat diberikan
jawabannya dengan hadits Nabi yang banyak mereka ketahui. Hal ini
menyebabkan mereka tidak begitu terdorong untuk menggunakan ra'yu.14
Hasil yang dicapai oleh ijtihad ulama tabi'in ini, meskipun mereka
mengikuti petunjuk dari cara ijtihad ulama sahabat, tetap akan terlihat
13
Sumber:"sejarah awal penyusunan dan pembakuan hukum islam - Google Cendekia"
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=sejarah+awal+penyusunan+dan+pembakuan+hukum+islam&btnG=#d=gs_qabs&
u=%23p%3DrG99d84K-vQJ
14
Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana, 2008, hal.261
xviii
perbedaan pendapat dalam beberapa hal dengan ulama sahabat, bahkan
berbeda dengan apa yang berlaku pada waktu Nabi. Seperti contoh, pada
masa Nabi dan masa sahabat, perempuan biasa keluar rumah untuk pergi ke
masjid asal tidak memakai wewangian. Ulama tabi'in menetapkan tidak
bolehnya perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa
itu banyak orang yang usil dan fasik yang akan mengganggu perempuan yang
keluar rumah.
Dalam contoh lain, Sa'id ibn al-Musayyab sebagai mujtahid tabi'in
banyak menghasilkan ijtihad yang kelihatannya berbeda dengan apa yang
diketahui sebelumnya. Seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa seorang
istri yang ditalak tiga yang akan kembali kepada suaminya yang pertama
adalah cukup jika telah melakukan akad nikah dengan suami kedua dan tidak
perlu bercampur terlebih dahulu. Beliau berdalil dengan umumnya firman
Allah dalam surat al-Baqarah (2): 230: "Jika dia (suami) mentalak (talak tiga),
maka tidak balal dia (istri) baginya hingga dia kawin dengan suami lain".
Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama shahabat yang berpedoman
kepada hadits Nabi yang menyatakan bahwa istri yang ditalak tiga itu baru
boleh menikah kembali dengan suami pertamanya bila dia telah bercampur
dengan suami kedua dan tidak cukup hanya dengan akad nikah. 15
Sa'id ibn al-Musayyab juga memfatwakan bolehnya seseorang yang
sedang junub untuk membaca Al-Qur'an asal tidak memegang mushaf Al-
Qur'an itu. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya.
Masa tabi'in ini dalam hal pelaksanaan ijtihad dikenal sebagai masa
perantara antara masa sahabat dengan masa imam mujtahid, karena metode
ijtihad yang dilakukan ulama sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa
15
Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana, 2008, hal.261
xix
tabi'in ini. Hasil yang telah dicapai masa tabi'in inilah yang dikembangkan
secara sistematis dan terstruktur oleh para imam mujtahid.16
18
https://www.tongkronganislami.net/ijtihad-pada-masa-imam-madzhab-dan/
xx
1. Imam Hanafi (Imam abu hanifah)
Nama lengkapnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Diahirkan pada
masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H
bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan
sebutan : Abu Hanifah An Nu’man. Imam Abu Hanifah adalah pemikir
dibidang fiqh yang kemudian hasil-hasil pemikirannya disebut dengan
Mazhab Hanafi. Oleh karena itu ia disebut sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Ia
dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi
oleh berbagai ulama di zamannya.
Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan
ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada
dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas
dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak
bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat
mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman Ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di
kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa
sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil
dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber
tersebut.
Pola pikir dan faktor yang memengaruhi Abu Hanifah Secara geografis,
Abu Hanifah (80-150 H) lahir di Kufah Irak yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Ahli
fikih daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut
problematikanya yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa
xxi
memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz (Mekkah dan
Madinah, khususnya Madinah). Masyarakat daerah ini masih dalam suasana
kehidupan sederhana, seperti keadaan pada masa Nabi saw. Untuk mengatasi
masalah, para fukaha cukup mengandalkan al-Qur’an, sunah dan Ijmak para
sahabat. Oleh karena itu, mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti
fuqaha Irak. Sebaliknya, Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan
di Irak, daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari
pusat informasi hadis Nabi saw. terpaksa atau selalu menggunakan akal
(rasionya).19
19
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=metodologi+ijtihad+imam+mujtahidin&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p
%3DIEPFnkDOADAJ1
xxii
belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari
di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’,
Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka),
Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd
az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam
kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki).
Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut
dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio.
Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi
penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang
termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan,
‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan
Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk
Madinah daripada qiyas.
3. Imam syafi’i
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, seorang
keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H
bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab
yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid,
seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia
sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa
dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-
Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang
xxiii
bersifat cabang). Dalam berijtihad menetapkan hukum Islam, Imam asy-
Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak
ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam
kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i
sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang
dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa
tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak
mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya, maka
ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad.
Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang
digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah
satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’.
4. Imam Hanbali
Beliau adalah pendiri Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya ialah Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di
Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah
seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari
ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan
beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya. Ia
terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah
belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah
sebagai berikut:
a) An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi
SAW, dan Ijma.
xxiv
b) Fatwa Sahabat.
c) Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam
menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih
dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
d) Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan
tidak bertentangan dengan ijma, dan
e) Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan
digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya
dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat
dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam
perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga
menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan
pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih
menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada
menggunakan Qiyas20.
Ijtihad pada masa sesudah imam mazhab terbagi menjadi 2 yakni; masa
taqlid dan masa stagnasi dan kemunduran tasyri', dan kebangkitan(periode
pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau modern.
20
https://sartikahinata.wordpress.com/2013/02/17/ijtihad-pada-masa-imam-mazhab-dan-sesudahnya/
xxv
Kegiatan ulama yang sebelumnya disibukkan oleh penelitian, penggalian
dan penemuan hukum Allah dengan melakukan ijtihad sehingga
menghasilkan pemikiran hukum yang baru dan original, pada masa taqlid ini,
para ulama lebih cenderung untuk hanya membolak-balik kitab fiqh terdahulu
atau hanya membanding-bandingkan pendapat para imam mazhab untuk
mengambil pendapat yang dianggapnya paling kuat tanpa melihat
perbedaannya situasi dan kondisi masa imam madzhab dan masa setelahnya 21
Kondisi ini diterangkan oleh al-Hajwi yang mana ia berkata, ”Tradisi
taklid telah menguasai para ulama. Mereka cukup puas dengan hanya
bertaqlid. Dan kondisi ini terus berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari
semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada pertengahan abad ke IV H.
karena pada saat itu mayoritas ulama telah puas dengan mendasari fiqh
mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan Hanbal. Kontribusi
pemikiran imam-imam tersebut di nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-
sunnah yang tidak berani mereka tentang”.22
Kondisi pada masa pudarnya kegiatan ijtihad dan berkembangnya taklid
itu diperparah lagi dengan keadaan negara-negara yang berpenduduk muslim
yang hampir semuanya jatuh di bawah penjajahan kolonial Barat. Secara
berangsur-angsur hukum Barat diberlakukan oleh penguasa kolonial di negara
jajahannya. Ketentuan hukum dalam fiqh yang pada mulanya masih
diterapkan sebagai hukum positif di samping hukum Barat, kemudian
terdesak oleh hukum Barat yang mendominasi hukum di negara Islam (yang
mayoritas berpenduduk muslim). Di beberapa negara, fiqh yang dulunya
melingkupi seluruh bidang hukum, akhirnya yang tersisa sebagai hukum
positif hanyalah fiqh ahwal al-syakhsiyah yang melingkupi pernikahan dan
kewarisan, di samping soal ibadat. Dengan diberlakukannya hukum Barat
hampir di semua negeri yang beragama Islam, maka bidang fiqh di luar ibadat
dan ahwal al-syakhsiyah, seperti fiqh muamalah, jinayat, murafa'at atau
peradilan dan siyasah kehilangan daya positifnya dan hanya tinggal sebagai
pedoman yang tidak mengikat. Hal ini berarti bahwa hanya dalam bidang
yang terbatas itu umat Islam mengikuti dan menjalankan hukum Allah. Masa
Ushul Fiqh, hal.266
21
https://sartikahinata.wordpress.com/2013/02/17/ijtihad-pada-masa-
22
imam-mazhab-dan-sesudahnya/
xxvi
ini berlangsung sangat lama dan sudah barang tentu berdampak negatif
terhadap perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam (fiqh). 23
Sebab-Sebab Taqlid
Tumbuh dan berkembangnya mentalitas taqlid pada periode ini
disebabkan oleh beberapa faktor, baik internal atau eksternal. Diantara
sebagian kecil faktor tersebut adalah:
(1) Instabilitas sosial politik.
(2) Rumusan hukum mazhab fiqh dianggap sudah paripurna.
(3) Fanatisme bermazhab (ta’ashshub).
(4) Melemahnya semangat ijtihad.24
23
Ushul Fiqh hal. 267
https://sartikahinata.wordpress.com/2013/02/17/ijtihad-pada-masa-
24
imam-mazhab-dan-sesudahnya/
xxvii
Secara praktis karena kota Baghdad dihancurkan oleh tentara mongol
yang merupakan kota kebudayaan dan pengetahuan Islam, berpengaruh hebat
bagi kemunduran Islam pada periode berikutnya, di samping itu juga, buju-
buku perpustakaan dibakar dan juga karena adanya kendali di bawah orang-
orang komunis.
(b) Miskomunikasi ulama’.
Kondisi semacam ini sangat kontras di era ini, Ulama’ Mesir jarang yang
kenal dengan Ulama’ Syam, begitu juga sebaliknya, di samping itu juga
semangat berbagi keilmuan mulai berkurang, di samping pancaran cahaya
yang sudah mulai meredup.
(c) Intervensi ilmu-ilmu non-syari’at
Masuknya penjajah Eropa menjadikan dikotomi antar Negara dan
syari’at (sekularisme), begitu juga undang-undang Islam diganti dengan
undang-undang versi barat, hal ini berlangsung hingga kini kecuali segelintir
dari Negara-negara Islam, seperti Saudi Arab (Hanbali), Pakistan (Hanafi),
Iran (Syi’ah Ja’fari). 25
2. Masa kebangkitan
Masa kemunduran ijtihad atau masa Taqlid yang panjang berdampak
negatif terhadap kehidupan hukum Islam atau fiqh. Fiqh yang selama ini
diamalkan secara penuh dalam seluruh bidang kehidupan, tetapi kemudian
yang diamalkan hanyalah ibadah dan bidang yang dianggap berkaitan
langsung dengan agama, yaitu perkawinan dan kewarisan.
Hal ini berarti bahwa hanya dalam bidang yang terbatas itu umat Islam
mengikuti hukum Allah; sedangkan dalam bidang lain umat Islam mengikuti
dan menjalankan bukan hukum Allah. Mungkin terdorong oleh rasa berdosa
berkepanjangan karena dalam kegiatan sehari-hari melaksanakan hukum
bukan hukum Islam yang diancam Allah dalam Al-Qur'an al-Maidah (5): 44,
45 dan 471. 26
Dalam perkembangan selanjutnya semakin nyata kesadaran dari
sebagian umat Islam untuk mengembalikan kejayaan hukum Islam dengan
25
https://sartikahinata.wordpress.com/2013/02/17/ijtihad-pada-masa-
imam-mazhab-dan-sesudahnya/
26
Ushul Fiqh, hal.268
xxviii
cara memberlakukan kembali hukum Islam secara aktual dalam mengatur
kehidupan umat Islam dengan tujuan untuk menjadikan hukum Islam sebagai
tuan di rumah sendiri. Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12
hingga sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang
menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak
yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu
dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hukum yang bisa
menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi-diskusi
membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul
beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab,
Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-
Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.
F. Simpulan
Ijtihad yang dilakukan sebelum prakodifikasi hukum islam tetap
mengunakan teori-teori istinbath yang terdapat pada ilmu ushul fiqh,
meskipun teori tersebut belum terbukukan dalam tulisan yang sistimatis.
Ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in
berlandaskan pada teori-teori istinbath yang tersimpan dalam dada mereka.
Mereka belajar ilmu ushul fiqh tidak melalui buku akan tetapi langsung dari
guru mereka. Ilmu yang disampaikan dari lisan guru mereka kemudian
xxix
dihafal dan selanjutnya meraka amalkan ketika menghadapi suatu persoalan
baru.
Ilmu ushul fiqh lahir sebagai konsekuensi logis adanya perluasan
wilayah islam yang semakin meluas hinga keseluruh penjuru dunia. Hal ini
berimplikasi pada timbulnya persoalanpersoalan baru yang belum diketahui
dasar hukumnya. Persoalan-persoalan baru tersebut apabila tidak dihukumi
oleh orang yang ahli dalam bidang ushul fiqh bisa melahirkan fatwa yang
sesat menyesatkan, sehingga untuk menghindari hal tersebut terjadi,
diperlukan suatu buku yang berisi tentang teoriteori istinbath yang bisa
dijadikan rujukan dalam mengali dan menetapkan suatu hukum.
Perbedaan metode yang di gunakan dalam mengistimbathh hukum,
membawa perbedaan pendapat dikalangan para imam madzhab. Dari
keanekaragaman pendapat dan perkembangan madzhab yang begitu subur
tersebut, suatu hal yang perlu dicatat ialah sportivitas para mujtahid yang
begitu tingi dan sikap kebanyakan para penganut madzhab dari masing-
masing madzhab yang sangat obyektif. Tanpa mengabaikan kelemahan-
kelemahan yang ada, masing masing mujtahid tetap mengakui kelebihan yang
satu dengan yang lain dan menyadari kekurangan dirinya masing-masing. 27
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/win7/Documents/Downloads/9760-35467-2-PB
%20(1).pdf
http://irzeqrozeqqi.blogspot.com/2011/04/ijtihad-dan-ittiba-dalam-
pengembangan.html?m=1
https://brainly.co.id/tugas/10720892
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3810
27
Huzaemah Tahindo Yanggo, Op.cit, hal 38.
xxx
https://jurnaltahkim.wordpress.com/2009/05/03/ijtihad-pada-masa-
sahabat/
https://m.kumparan.com/berita-terkini/9-metode-ijtihad-dalam-hukum-
islam1vs1ykmrKzs/full
https://rumahfiqih.com/fikrah-360-ijtihad-di-zaman-nabi-saw.html
https://sartikahinata.wordpress.com/2013/02/17/ijtihad-pada-masa-imam-
mazhab-dan-sesudahnya/
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=metodologi+ijtihad+imam+mujtahidin&btnG=#d=
gs_qabs&u=%23p%3DIEPFnkDOADAJ1
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=sejarah+awal+penyusunan+dan+pembakuan+huku
m+islam&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DrG99d84K-vQJ
https://www.tongkronganislami.net/ijtihad-pada-masa-imam-madzhab-
dan/
Sejarah awal penyusunan dan pembakuan hukum islam - Google
Cendekia
Ushul Fiqh, Syarifudin Amir, edisi pertama cetakan ke-enam, kencana,
2008
Ushul Fiqh, hal.266
xxxi