Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

IJMA’ DAN QIYAS


Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu: M. Royyan Nafis Fathul Wahab M. Ag

Penyusun:

Naura Ramadhani 21207009

Rizka Amalia Salsabila 21207017

Nisfy Rufidah 21207024

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA FAKULTASTARBIYAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Rasulullah SAW, permasalahn yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan
pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur’an dan Rasulullah SAW. dan apa bila ada suatu
hukum yang sekirannya kurang dimengertioleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan
langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, setelah beliau wafat, para sahabat agak
sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan / tersurat dalam AlQur’an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin
kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Ijma’ dan Qiyas ?


2. Apa saja macam-macam Ijma’ dan Qiyas ?
3. Bagaimana urgensi memahami Ijma’ dan Qiyas dalam kajian studi islam ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’ dan Qiyas.


2. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’ dan Qiyas
3. .untuk mengetahui urgensi memahami Ijma’ dan Qiyas
DAFTAR ISI

BAB I .............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 2
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3
BAB II ............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 4
A. Pengertian Ijma’ dan Qiyas ................................................................................................. 4
B. Macam-macam ijma’ dan qiyas ........................................................................................... 4
C. Urgensi Ijma’ dan Qiyas ...................................................................................................... 7
Kesimpulan .................................................................................................................................. 9
BAB III ........................................................................................................................................... 9
PENUTUP ...................................................................................................................................... 9
Saran ............................................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 10
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’ dan Qiyas

Secara umum, Ijma’ menurut istilah diartikan kebulatan pendapat


seluruh ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasulullah SAW pada suatu masa atas
sesuatu hukum syara’ (Majhid, 67). Pada masa awal penerapan ijma’,
kegiatan ijma’ hanya dilakukan ole para khilafah dan petinggi negara.
Sehingga hasil musyawarah merekakemudian dianggap sebagai perwakilan
atas pendapat dari masyarakat atau umat muslim. Seiring berjalannya waktu,
musyawarah kemudian melibatkan lebih banyak pihak terutama ahli ijtihad
dan terus berlangsung sampai sekarang. Kemudian, pengertian dari ijma
sendiri terus berkembang karena baik para ahli ushul fiqh maupun para
ulama. Adapun ahli ushul fiqh yang menyampaikan pengertian ijma adalah;
Imam Al-Ghozali, Imam Al-Subki, Ali Abdul Razak, dan Abdul Karim
Zaidah.
Kata qiyas (‫( ﻗﯾﺎس‬berasal dari akar kata qaasa -yaqishu - qiyaasan (‫ﯾﻘﯾس ﻗﺎس‬
‫) ﻗﯾﺎﺳﺎ‬. Makna qiyas secara sederhana adalah pengukuran. Sedangkan bila
pengertian secara bahasa ini mau dilengkapi, Dr.Wahbah Az-zuhaily
menyebutkan : Mengetahui ukuran sesuai dengan apa yang semisal
dengannya. Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits.
Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits,
tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung
dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika
tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara
ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas. (Azhari, 1999)

B. Macam-macam ijma’ dan qiyas

Macam-macam ijma’
Macam ijma sendiri berdasargan pembagiannya yang diakukn oleh para ulama
ushul fiqh baik klasik maupun konteporer. Sepkat bahwa ijama dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1. Ijma Al Shorikh
Ijma shorikh merupakan ijma dimana para ahli ijtihad atau ulama
masing-masing mengeluarkan pendapatnya, baik secara lisan atau
tertulis mengenai persetujuannya atas pendapat yang dikemukakan oleh
ahli ijtihad lain. Istilah lain untutk menyebut ijma jenis ini cukup
beragam. Ada yang menyebutya ijma bayani, ijma qauli, ijma hakiki,
dan ain sebagainya. Namun meskpiun sebutannya berbeda, dari segi
definisi tetaplah sama. Sehingga anda bisa menyebutnya dengan ijma
hakiki maupun sebutan lain yang mengarah pada ijma sarih.
2. Ijma Al Sukuti
Ijma al sukuti adalah ijma yang terjadi ketika para ulma
memutuskan untuk diam dimna diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini
adalah karena setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli
ijtihad lainnya.
Ditinjau dari segi dan waktu dan tempatnya, ijma ada beberapa macam,
yakni:
 Ijma Ummah yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam satu
masalah pada suatu masalah tertentu.
 Ijma Shahaby yaitu kesepakatan semua ulama’ sahabat dalam
suatu masalah.
 Ijma Ahli Kuffah yaitu kesepakatan ulam’-ulam’ kuffah dalam
suatu masalah.
 Ijma Khalifah yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu
Bakar,Umar, Utsman, dan Ali). Dalam suatu masalah.
 Ijma Syaikhoni yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar
dan Umar Bin Khattab dalam suatu masalah.
 Ijma Ahli Bait yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait
(Keluarga Rasul).
Contoh-contoh ijma’
1) Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at,
yang di prakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa
kekhalifan beliau.para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau
menolak ijma’beliu tersebut dan diamnya para sahabat lainya adalah
tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut
merupakan ijmal’ sukuti.
2) Upaya pembentukan al-qur’an yang dilakukan pada masa
khalifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a.
3) Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di
qiyaskan atas keharaman dagingnya.
4) Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan,
sedangkan riba diharamkan.
5) Para imam madzab sepakat atas keharaman ghasab (perampasan
hak orang lain).
6) Para imam madzab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah
sama dalam perhitungan zakat.
7) Ulama’sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena
diamnya nabi adalah membolehkan.
8) Ulama sepakat tentang kewajiban sholat lima waktu sehari
semalam dan semua rukun islam.
9) Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
10) Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara
lahiriah saja, tidak secara batiniah.
Macam-macam Qiyas
Para ulama seperti asy-Syaukani dan al-Amidi enjelaskan bahwa qiyas dapat dibagi
dalam beberapa segi. Di antaraya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan segi kekuatan ‘illat hukum
a. Qiyas aulawi
Qiyas aulawi adalah qiyas yang ‘illat nya mewajibkan adanya
sebuah hokum. Hokum tersebut disamakan (cabang) yang memiliki
kekuatan hokum lebih utama, daripada tempat yang menyamakannya atau
ashal. Contoh seperti mengatakan seruan atau kata “uh”, ‘buset”, dan
“eh” kepada orang tua. Tidak hanya itu, kat-kata lainnya yang kurang
pantas maka hukumnya haram. Hal ini sesuai firman allah yang ada di
dalam QS. Al-Isra ayat 23. Yang artinya: maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.
b. Qiyas musawi
Qiyas musawi adalah qiyas yang ‘illat nya mewajibkan adanya
suatu hokum yang sama, di antara hukum yang ada pada ashal. Serta
hokum yang ada di furu atau cabang. Contohnya seperti haram
hukunyanya memakan harta anak yatim. Firman allah yang ada dalam
QS. An-Nisa ayat 10, yang atinya: sesungguhnya orang-orag yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan
api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyal-
nyal.
c. Qiyas adna
Qiyas adna adlah ‘illat yang ada di far’u atau cabang, memiliki
bobot yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ‘illat yang ada di
ashal. Contohnya adanya kandungan yang membuat mabuk di dalam
minuman keras seperti bir, lebih rendah dari sifat yang membuat mabuk
di dalam kandungan minuman keras khamr, yang diharamkan di dalam
al-qur’an.
2. Berdasarkan segi kejelasan ‘illat hukum
a. Qiyas jaly
Qiyas jaly adalah qiyas yang ‘illat nya ditegaskan oleh nas secara
bersama. Dengan penetapan hukum ashal. Atau ‘illat nya ditegaskan tidak
oleh nas, tetapi bisa dipastikan bahwa tidak ada sebuah pengaruh dari
perbedaan di antara ashar dan faru’. Contoh seperti di dalam kasus,
seorang musafir perempuan dsn laki-laki yang diperbolehkan mengqosor
salatnya ketika dalam perjalanan. Sekalipun diantara keduanya memiliki
perbedaan, yaitu perbedaan jenis kelmin. Akan tetapi, perbedaan tersebut
tidak akan mempengaruhi kebolehan mengqosor salat. Sebab ‘illat nya
adalah sama-sama sedang dalam perjalanan.
b. Qiyas khafy
Qiyas khafi adalah qiyas yang ‘illat nya tidak disebutkan di
dalam nash. Contoh sperti mengqiyaskan pembunuhan yang dilakukan
dengan benda berat, kepada kasus pembunuhaan yang dilakukan dengan
benda tajam di dalam pembelakukan hukum qiyas. Karena ‘illat nya
sama, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan unsur
kesengajaan.(Asrowi, 2018)

C. Urgensi Ijma’ dan Qiyas

Setiap individu muslim yang mukallaf memiliki tanggung jawab


atas seluruh tindakan/ perbuatan yang dilakukannya, sehingga individu
tersebut tidak punya pilihan lain kecuali menjalani kehidupannya sesuai
dengan hukum Islam. Akal sehatnya menuntut bahwa dia mesti
mendasarkan segenap tindakan pribadi dan hubungan-hubungannya
dengan orang lain atas ajaran-ajaran Islam dan demi tujuan-tujuan
praktis, mengambil posisi yang dituntut atas dirinya sendiri, yakni
pengetahuan bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mesti mematuhi
hukum yang diturunkan kepada Nabi-Nya.
Mengingat akan hal ini, sangatlah penting bahwa dalam
kehidupan manusia harus mengetahui jelas apa yang harus dilakukan dan
apa yang tidak. Karena itu, jika semua aturan hukum Islam benar-benar
diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikit pun mengenai sikap
praktis yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam
dalam situasi tertentu. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor
termasuk jauhnya jarak waktu antara kita dengan zaman ketika hukum
Islam ditetapkan. Konsekuensinya, dalam kasus-kasus tertentu sangat
sulit bagi orang awam mengambil keputusan berdasarkan pemahaman
hukum Islam.
Ketika memasuki abad ke-2 Hijriyah adalah merupakan era
kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-
mazhab hukum tersebut telah melembaga dalam masyarakat Islam
dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat
hukum. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik
tersendiri, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan
beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Imam Syafii dalam kitab Ar-Risalah menjelaskan bahwa apabila
dia menetapkan hukum dengan ijma dan qiyas, sebagaimana menetapkan
hukum Alquran dan sunnah, maka itu berarti latar belakang perkara yang
beliau tetapkan hukumnya berbeda.
Imam Syafii menjelaskan bahwa dibolehkan atas dasar-dasar
hukum yang berbeda yang sebabnya digunakan untuk menetapkan
hukum yang sama. Beliau menekankan bahwa menetapkan hukum
dengan Alquran dan Sunnah untuk hal yang disepakati dan tidak ada
perselisihan di dalamnya maka diyakini hukumnya benar secara lahir dan
batin.
Beliau menetapkan hukum dengan sunnah diriwayatkan secara
perorangan dan tidak disepakati oleh para ulama. Sehingga beliau
mengganggap benar secara lahir, karena mungkin terjadi kekeliruan pada
orang yang meriwayatkan hadis.
Imam Syafii menyebutkan bahwa pihaknya juga menetapkan
hukum dengan ijma, lalu dengan qiyas. Memang, hukum ini lebih lemah
daripada hukum sebelumnya, namun tetap memiliki kedudukan yang
sangat penting. Sebab tidak boleh melakukan qiyas saat ada khabar,
sebagaimana tayamum menghasilkan kesucian dalam perjalanan saat
sulit memperoleh air, tetapi tidak menghasilkan kesucian saat ada air.
Begitu juga dengan sumber hukum yang berada di bawah
tingkatan sunnah, bisa menjadi argumen saat tidak ditemukan
sunnah.(Drs. Zakaria Syafi’ie, 1997)
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas Hadist merupakan bagian terpenting dalam


pendidikan agama islam karena pedididikan didasarkan pada sandaran hukum dan
pedoman melangkah dalam kehidupan bermasyarakat dan menjalankan ajaran –
ajaran agama islam dengan baik dan benar. Paradigma pendidikan akan berjalan
dengan teratur dan bermuara dengan kebahagiaan, dengan hakikat bahagia didunia
dan akhirat dengan menjalani tuntunan nabi Muhammad Shollahu Alaihi Wasallam
yang telah diutus oleh sang Allah subhanahu Wata’ala. maka dapatlah disimpulkan
bahwa urgensi hadis Nabi eksistensinya sebagai Tabyin menduduki posisi yang
sangat kuat dalam dunia pendidikan dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang
sifatnya umum atau mujmal,. Hubungan Al-Quran dengan Hadis Nabi Muhammad
Shollahu Alaihi Wasallam antara satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan, karena
Hadis sangatlah berfungsi sebagai penjelas Alquran. Oleh karenanya bagi siapapun
yang mengingkarinya dapat dikatakan menolak isi kandungan Al-Quran.

Saran

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Dan sebelum penulis menutup Makalah ini, Penulis ingin memohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila ada yang kurang berkenan dalam penyusunan
Makalah ini. Akhirnya, Segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat-Nya
dan menerangkan pikiran-pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah
ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai rasa terima kasih penulis atas segala petunjuk-Nya. Sebagai penutup
Penulis sungguh sangat berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Aaminn.
DAFTAR PUSTAKA

Asrowi. (2018). Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam. Jurnal Aksioma Al-Musaqoh, 1(1),
30–49.

Azhari, F. (1999). Pengertian Qiyas Bentuk-Bentuk Qiyas Rukun-Rukun Qiyas.

Drs. Zakaria Syafi’ie. (1997). Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam (Kajian Tentang
Kehujjahan Ijma Dan Pengingkarannya). Al-Qalam, 67(13), 28–36.

Anda mungkin juga menyukai