Anda di halaman 1dari 32

SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM

( IJMA’ SEBAGAI SUMBER DAN DALIL SYARA’)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah ushul

fikih Dosen Pengampu: Abdul Ghofar Saifudin, M.S.I

Disusun Oleh :

1. Ayu Khikmah (40222018)


2. Vanessa Imeldalia (40222019)
3. Ari Mustofa (40222024)
4. Givan Mauzarima Fortuna (40222026)

Kelas: Ushul fikih C

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID
PEKALONGAN 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Ushul fikih. Adapun penyusunan
Makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqih dengan judul
“ Ijma’ sebagai sumber dan hukum syara”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
pembaca.

Pekalongan, 12 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

IJMA’ SEBAGAI SUMBER DAN DALIL SYARA......................................................................1


KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
1. Pengertian Ijma’....................................................................................................................6
2. Kemungkinan Terjadinya Ijma’............................................................................................8
3. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dalil Hukum Syara’...................................................................8
4. Perkembangan Pendapat Ulama Tentang Pembatasan Ijma’.............................................11
5.. Fungsi Ijma’........................................................................................................................12
6. Peringkat Ijma’...................................................................................................................13
7. Naskh Ijma’........................................................................................................................15
8. Ketetapan Ijma’..................................................................................................................17
9. Mengingkari hasil Ijma'

PENUTUP.....................................................................................................................................18
A. Kesimpulan.........................................................................................................................18
B. Saran...................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum islam, sebagai kerangka hukum yang mengatur kehidupan umat islam,
bersumber dari beberapa prinsip utama. Salah satu sumber penting dalam perumusan hukum
islam adalah ijma”. Ijama” adalah salah satu konsep hukum islam yang mendasar, yang mengacu
pada kesepakatan dan konsensus umat islam dalam menetapkam hukum atau pandangan hukum
tertentu.
Ijama dianggap sebagai salah satu dari empat sumber hukum islam utama,
Bersama dengan al-quran, hadis, dan qiyas. Konsep ijma muncul dari keyakinan bahwa umat
islam memiliki kapasitas untuk mencapai pemahaman koleksif yang bener mengenai hukum-
hukum islam. Dalam pandangan Syariah, ijma menjadi dasar otoritatif karena mencerminkan
persetujuan Bersama umat islam yang diperoleh melalui proses konsultasi dan pemikiran
kolektif. Oleh karena itu, ijma digunakan sebagai salah satu sumber hukum untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan hukum yang tidak secara langsung diatur oleh al-quran atau hadis.

Dalam tulisan ini, kita akan Mengetahui pengertian Ijma’,Mengetahui kemungkinan terjadinya
Ijma’,Mengetahui kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum syara’,Mengetahui perkembangan
pendapat ulama tentang pembatasan Ijma’, Mengetahui fungsi Ijma’, Mengetahui peringkat
Ijma’, Mengetahui naskh Ijma’, Mengetahui ketetapan Ijma’, Mengetahui tentang pengingkaran
hasil Ijma’

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijma’?
2. Bagaimana kemungkinan terjadinya Ijma’?
3. Bagaimana kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum syara’?
4. Bagaimana perkembangan pendapat ulama tentang pembatasan Ijma’?
5. Apa saja fungsi ijma’?
6. Apa saja yang dimaksud peringkat Ijma’?
7. Apa yang dimaksud naskh ijma’?
8. Bagaimana ketetapan ijma’?
9. Apa yang dimaksud mengingkari hasil Ijma’?

4
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ijma’.
2. Mengetahui kemungkinan terjadinya Ijma’.
3. Mengetahui kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum syara’
4. Mengetahui perkembangan pendapat ulama tentang pembatasan Ijma’.
5. Mengetahui fungsi Ijma’.
6. Mengetahui peringkat Ijma’.
7. Mengetahui naskh Ijma’.
8. Mengetahui ketetapan Ijma’.
9. Mengetahui tentang pengingkaran hasil Ijma’.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijma’

ijmak atau Ijma' (bahasa Arab: ‫اع‬II‫ )إجم‬adalah kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis dalam
suatu perkara yang terjadi. Secara etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama
memiliki arti kesepakatan atau consensus. Seperti perkataan seseorang: yang berarti kaum
itu telah sepakat tentang yang demikian itu. Arti kedua dengan arti ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.1
Kata ijma secara bahasa berarti” kebetulan tekad terhadap suatu persoalam” atau
“kesepakatan tentang suatu masalah” Menurut istilah ushul fiqih seperti yang di
kemukakan oleh abdul karim zaidan kesepakatan para mujtahid dari kelapangan umat
islam tentang hukum syara pada suatu masa setelah rasullah wafat.
Menurut Muhammad Abu Zahra, para ulama sepakat bahwa ijma sah ndi jadikan
sebagi dalil hukum. sungguh pun demikian,mereka berbeda pendapat mengenai jumlah
pelaku kesepakatan sehingga dapat di anggap sebagai ijma yang mengikat umat islam.
Menurut madzahb maliki kesepakatan sudah di anggap ijma meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma ahl al madinah. Menurut
kalangan syiah ijma adalah sepekatan para imam di kalangan mereka adapun menurut
jumhur ulama ,kata muhammad abu zahra ijma sudah di anggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid dan menurut abdul karim zaidan ijma baru di
anggap terjadi bilaman merupakan kesepakat seluruh ulama mujtahid.

2. Kemungkinan Terjadinya Ijma’


Sebagian ulama, di antaranya al-Nazham dan sebagian pengkut Syi'ah, berpendapat bahwa
ijma' menurut ketentuan di atas tidak mungkin terjadi menurut lazimnya karena tidak mungkin
realisasikan rukun ijma tersebut secara penuh. Alasannya ialah:
1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah
mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan seseorang patut disebut mujta- hid,
karena secara formal tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid.
2. Kalaupun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk menyatakan seseorang telah
mencapai derajat mujtahid serta dapat pula diketahui mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk
dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum,

1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijmak

6
secara meyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam
lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpi- sah seta berbeda latar belakang sosial dan budaya
mereka. Tidak mungkin mengumpulkan mereka secara fisik atau mengumpul- kan pendapat
mereka secara kolektif atau secara perseorangan.
3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorang- an di seluruh dunia ini dan
dapat menghimpun pendapat me reka menurut cara yang meyakinkan, namun siapa yang dapat
menjamin bahwa setiap mujtahid yang telah mengemuka kan pendapatnya tentang hukum suatu
masalah itu tetap pada pendiriannya sampai terkumpul pendapat mereka semua, kare- na syarat
melangsungkan ijma itu ialah bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu masa tertentu ketika
terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma' tersebut.
4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu adalah sesuatu yang
sangat sulit untuk terjadi, sedangkan hakikat ijma' itu adalah kebulatan pendapat atau
kesepakatan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat ter- laksana dan memang telah
terjadi dalam kenyataan. Umpamanya) pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah
wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma', demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kakek
atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-
lain hukum fur sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fiqh.

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terja- dinya jma' terutama dalam
masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ima itu ditangani oleh suatu negara dengan bekerja
sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setiap negara
menetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat dinyatakan mencapai derajat mujtahid dan
memberikan ijazah mujtahid terhadap semua yang mencapai derajat itu, sehingga dengan
demikian semua mujtahid di dunia ini dapat diketahui.
Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, apa yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf itu sangat mungkin terjadi, karena meskipun mujtahid itu
bertebaran di seluruh permukaan bumi tetapi cukup mudah mempertemukan mereka dalam suatu
masa tertentu untuk membicarakan masalah hukum; atau setidaknya untuk menghimpun pendapat
mereka. -Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hukum telah terkumpul dan ternyata
pendapat mereka itu sama, itulah yang disebut ima".
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma' melihat dari segi sulitnya
mencapai kata sepakat di antara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang
menyatakan mungkin berlaku ijma' melihat dari segi secara teoretis memang dapat berlaku
meskipun sulit terlaksana secara praktis. Dalam keadaan demikian, suatu hal yang dapat diterima
segala pihak tentang ijma' itu ialah bila diartikan ijma' itu dalam arti "tidak diketahui adanya
pendapat yang menyalahi nya"

3. Kedudukan ijma’ Sebagai Hasil Hukum Syara

7
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ma' menempati alah satu sumber atau dalil hukum
sesudah Al-Qur'an dan sunah. In berarti ima dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib
dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al- Qur'an maupun Sunah. Untuk
menguatkan pendapatnya ini jumhur pengemukakan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi. Di
antara dahil ayat Al-Qur'an adalah:

1. Surat an-Nisa' (4): 115:

‫ت مصي‬ ‫َلُه ال ِلي غ س ِبيل ا ْل ُم َ و‬


‫ج سا‬ ِ ‫ما ت و‬ ‫و َمن ُي سا ِفي ال من َب ِ َت َب‬
‫ًرا‬
‫َوَّلى ن ل َهَّن َم ء‬ ‫ْؤ ِم ِني ِل ِه‬ ‫ول د َّي ما ِد’ى ن ْع و ه‬ ‫َّر‬
‫و‬ ‫ِه‬ ‫نن‬ ‫ب‬ َ
‫ص‬ ‫ع‬
‫(النساء‬
Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya; dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali.
Dalam ayat ini, "jalan-jalan orang mukmin" diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati
untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma' kaum mukminin. Orang yang tidak
mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancaman neraka jaha- nam. Hal ini berarti larangan
mengikuti jalan selain apa yang di- ikuti kaum mukminin, dan ini berarti disuruh mengikuti
ijma'

2. Surat al-Baqarah (2): 143:

‫ (البقرة‬...‫عَلى و ن ال َّر علَ ْيُك ْم‬ ‫َه‬ ‫وسطا َلت ْ ون‬ ‫وكذَ ِلك ج ْ م‬
: ‫الَّناس َيكُو ُس ْول‬ ‫َداء‬ ‫ْو ا‬ ‫َع ْ نل َا أُ َّم‬

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi alas (perbuatan) kamu......
Ayat ini mensifatin umat Islam dengan "wasath", yang berarti "adil". Ayat ini memandang
umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujah yang mengikat terhadap manusia untuk nerima
pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujah terhadap kita untuk menerima semua
ucapan yang di tujukan kepada kita. Ijma' berkedudukan sebagai hujah tidak lain artinya kecuali
bahwa pendapat mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.
3. Surat ali Imran (3): 110
‫كنتم خير أمة أخرجت لل َّناس َتأْ ُم ُرون ِبا ْل َمع ُر ْوف وتَ ْن َه ْون ي المنكر (آل‬
) ‫عمران‬
8
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk mamusta, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar...

9
Alif lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku se- cara umum. Kebenaran berita
ini menghendaki menyuruh mereka melakukan setiap yang makruf dan melarang mereka dari
setiap perbuatan yang mungkar. Hal ini berarti umat dapat menetapkan suruhan dan larangan.

4. Surat Ali Imran (3): 103:

‫ج ِمي ًعا (آل‬ ‫واعت ُ موا ح‬


) ‫عمران‬ ‫ِب ْبل‬
‫ص‬

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berat.
Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah. Usaha menantang ma' berarti
berpecah belah. Hal itu adalah terlarang. Tidak ada arti kedudukan ima' sebagai hujah kecuali
larangan untuk menyalahinya.

5. Surat an-Nisa' (4): 59:

‫ول وأُو لي ا ْل م ُْنك ْم‬ ‫ن آ طيع َ َّ و طيُعوا ال‬ ‫َ يا َأ ُّي َها‬


ِ
‫ْم ِر‬ ‫َّر‬ َ‫َمُنوا أ وا لال أ‬
‫الَّ ِذي‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- (Nya), dan ulil amri di
antara kamu Perintah menaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul.
Berarti perintah untuk mematuhi ijma', karena ulil amri itu berarti orang-orang yang
mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam hal ini adalah
ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu hukum. Inilah yang
disebut ma Adapun dari dalil sunah, ada hadis Nabi yang terdapat dalam beberapa periwayatan
yang berbeda rumusannya, namun sama maksudnya yaitu bahwa umat Nabi Muhamad SAW.
Tidak akan sepakat dalam kesalahan.

4. Perkembangan Pendapat Ulama tentang pembatasan Ijma’

Ulama Ahl al-sunah yang menempatkan ijma' sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah Al-
Qur'an dan sunah berbeda pendapat dalam beberapa hal yang menyangkut pembatasan dan
persyaratan ijma'. Perbedaan pendapatan ini berlaku sehubungan dengan beberapa pembatasan
dalam definisi ijmâ' itu dan dihubungkan pula kepada hadis Nabi yang menetapkan umat sebagai
10
suatu yang bebas dari kesalahan atau ma'shum.2

2
Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta, Kencana, 2008), Hal. 286

11
1. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma'

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam atau yang
bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma', dalam arti: apakah kesepakatan mereka
menentukan sahnya ijma' dan ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak sahnya ijmâ'.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk
melangsungkan suatu ijma'. Maksudnya, meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa
yang telah disepakati oleh ulama mujtahid, maka ijma' tetap dapat berlangsung, karena yang
berhak menentukan hukum dalam ijma' adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fiqh
dan mengeluarkan hukumnya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama mujtahid dan umat
awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam penetapan
ijma'. Qadhi Abu Bakar cenderung ke arah pendapat ini, dan inilah yang dianggap pendapat
terpilih oleh Amidi. Alasannya ialah bahwa pendapat umat mempunyai kekuatan hujah karena ia
bebas dari kesalahan sebagaimana dijelaskan oleh dalil-dalil di atas

2. Ijma' sesudah masa sahabat

Terdapat perbedaan ulama mengenai, dalam hal apakah ijma' itu hanya terbatas pada masa
sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijma' itu
mempunyai kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma' tidak hanya berlaku pada masa sahabat
saja, tetapi pada setiap masa ijma' itu mempunyai kekuatan hujah bila memenuhi ketentuannya.

Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah bahwa dalil- dalil yang menunjukkan
kehujjahan ijma' tidak keluar dari Al- Qur'an, sunah, dan logika. Setiap dalil itu tidak
memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa lainnya. Dalil itu pun menjangkau para
ahli pada setiap masa sebagaimana menjangkau para ahli pada masa sahabat. Karena itu ijma'
pada setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujah.

Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dari kelompok Zhahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah
satu versi periwayatan berbeda pendapat dengan jumhur ulama tersebut. Mereka berpendapat
bahwa ijma' yang mempunyai daya hujah hanyalah ijma' pada masa sahabat, karena pada masa
itulah memungkinkan terjadi nya ijma' secara praktis, sebab waktu itu jumlah mujtahid masih
terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya dalam masa itulah ijma' dapat
terlaksana menurut syarat-syarat yang ditentukan.

3. Kesepakatan mayoritas

12
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah ijma' bila hanya mayoritas ulama saja yang
bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya. Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Abu
Bakar al-Razi, Abu Husein Khayyat dari Mu'tazilah dan Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu
riwayat berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma',
meskipun ada beberapa mujtahid yang menolaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa bila
jumlah minoritas itu mencapai tingkat mutawatir, maka ketidaksepakatan mereka menyebabkan
tidak terlaksananya ijma'. Tetapi kalau jumlahnya kecil dan tidak mencapai jumlah mutawatir,
maka ketidaksepa katan mereka tidak memengaruhi kelangsungan ijma'. Sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa kesepakatan ma yoritas ulama dapat menjadi hujah, namun tidak dapat
disebut ijma'. Pendapat lain mengatakan bahwa mengikuti pendapat mayoritas adalah tindakan
paling baik, meskipun tidak ada halangan untuk menolak pendapat mereka.

Al-Amidi mendukung pendapat jumhur ulama, dengan alasan sebagai berikut:

a. Kekuatan hujah ijma' disandarkan kepada sebuah hadis Nabi yang menyatakan terpeliharanya
umat dari kesalahan. Kata "umat" dalam hadis itu meskipun dapat berarti semua umat dalam
satu masa atau kebanyakan umat, namun peng gunaan yang pasti adalah untuk umat secara
keseluruhan.

b. Kejadian adanya kesepakatan mayoritas ulama di samping ada pendapat yang berlainan dari
itu, adalah hal yang biasa terjadi pada masa sahabat dan tidak seorang pun yang mengingkari
kejadian seperti itu. Umpamanya kesepakatan kebanyakan sahabat untuk tidak memerangi
orang yang menolak zakat, sedangkan Abu Bakar berpendapat lain dari itu. Ibnu Abbas tidak
setuju dengan kesepakatan ulama tentang adanya 'aul dalam kewarisan dan pembatasan riba
pada riba nasî'ah. Seandainya kesepakatan mayoritas itu merupakan ijma', tentu para sahabat
akan buru-buru menolak minoritas yang tidak sepakat itu dan semua merasa terikat untuk
mematuhi kesepakatan mayoritas itu.

Kelompok ulama yang menyatakan sahnya ijma' mayoritas meskipun jumlah minoritas menolak,
mengemukakan alasan bahwa kata "umat" dapat digunakan kepada ahli dalam suatu masa,
meskipun ada satu atau dua orang yang menyimpang. Satu dua orang dibandingkan dengan
semua orang dapat dianggap syaz atau ganjil, sedangkan Hadis Nabi menyuruh menjauhi yang
ganjil itu.

Dalil ijma' yang digunakan kelompok ini bahwa Abu Bakar diterima oleh umat menjadi khalifah
adalah atas dasar kesepakatan mayoritas sahabat waktu itu, meskipun ada beberapa sahabat lain
yang tidak ikut dalam kesepakatan itu seperti Ali Ibn Abi Thalib. Seandainya kesepakatan orang
banyak itu tidak dianggap ijmâ; maka dasar pengangkatan Abu Bakar itu bukan dengan ijma'.

13
Dalil logika yang digunakan kelompok ini ialah bahwa seandainya satu dua orang yang berbeda
itu dapat membatalkan ijmâ' maka ijma' tidak akan pernah ada, karena setiap kesepakatan pasti
ada saja yang tidak setuju, baik secara diam maupun secara terang-terangan.

4. Kesepakatan ulama Madinah Bila ulama Madinah telah sepakat tentang suatu hukum atas
suatu kejadian, sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda, dapatkah
kesepakatan ulama Madinah itu dianggap ijma'. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupakan
kekuatan hujah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu; karena
kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma'.
Alasan jumhur ulama ini adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma'
itu, juga mencakup ulama-ulama lain di luar Madinah. Tanpa keikutsertaan ulama lain di
dalamnya, maka tidak dapat dinamakan kesepakatan itu sebagai "seluruh umat".
Karenanya kesepakatan mereka tidak dapat disebut ijma', dan dengan sendirinya tidak
berdaya hujah terhadap yang lain. Pendapat ini dianggap yang terpilih menurut al-
Amidi.

b. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa, kesepakatan ulama Madinah adalah ijma' dan
mempunyai kekuatan hujah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Di antara ulama
Malikiyah ada yang menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan kehujahan
kesepakatan ulama Madinah itu adalah bahwa periwayatan ulama Madinah lebih kuat
dibandengan periwayatan ulama lain di luar Madinah. Sedangkan ulama Malikiyah
yang lain mengulas bahwa kehujahan berarti kesepakatan ulama Madinah lebih utama
meskipun tidak dilarang menyalahinya. Ulama Malikiyah yang lain meluruskan
pendapat ini bahwa yang dimaksud dengan ulama Madinah yang kesepakatannya
menjadi hujah itu adalah sahabat-sahabat Nabi di Madinah. Alasan para ulama
Malikiyah ini adalah:

a. Dari segi nash ada Sabda Nabi yang mengatakan, "Madinah itu suci yang dapat
melenyapkan kotoran yang ada padanya sebagaimana bengkel besi melenyapkan karat-
karat besi." Kesalahan adalah termasuk dalam kotoran dan dapat dilenyapkan dari
Madinah.

b. Secara logika, Madinah adalah tempat hijrahnya Nabi dan tempat makamnya, tempat
turun wahyu, tempat kedudukan Islam, dan tempat berkumpul para sahabat. Karena itu
kebenaraan tidak akan menghindar dari para ahlinya.

c. Warga Madinah menyaksikan sendiri ayat-ayat hukum dan merupakan orang yang
paling tahu tentang keadaan Rasul dibandingkan dengan warga kota lain. Karenanya
kebenaran tidak akan lari daripadanya.
14
d. Periwayatan ahli Madinah lebih diutamakan dari periwayatan ahli lainnya. Karena itu
kesepakatan ulama Madinah menjadi hujah terhadap orang lain.

5. Kesepakatan Ahlu al-Bait Ablit al-Bait

dalam pandangan ulama Syi'ah adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya,
Fathimah dengan Ali ibn Abi Thalib.

Di kalangan ulama Syi'ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ablu al-Bait atas suatu hukum
dianggap ijma' yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain. Pengertian kesepakatan
yang mempunyai kekuatan hujah di sini berarti kesepakatan dalam menemukan ucapan orang
yang ma'shum sebagaimana dijelaskan di atas.

Ulama Syi'ah mengemukakan alasan tentang terlepasnya Ahlu al-Bait dari dosa dengan
beberapa dalil sebagai berikut:

a. Surat al-Ahzab

ُ‫ب ّٱُلل ُي ِريد‬ ‫ٱل عن ليُذْه‬ ‫َتط ِهي و َ ْ ل ت‬


‫ِإَّن َما‬ ‫ُم‬ ‫ًرا ي ر َب ْي أَه ِ’ رجس‬
‫ل‬ ‫ط ْم ٱ‬
‫ِ ’ه‬

Artinya: sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Kata innama dalam ayat tersebut berarti pembatasan; sedangkan yang dimaksud oleh ulama
Syi'ah dengan Ahlu al- Bait adalah keturunan Nabi melalui putrinya Fatimah. Kata-kata
"menghilangkan kotoran" adalah menghilangkan kesalahan dari Ablu al-Bait. Hal ini berarti
bahwa Allah SWT menghilangkan kesalahan dari keturunan Nabi yaitu Ali dengan
keturunan- nya. Karena itu, maka Ahlu al-Bait bersifat ma'shum (terlepas dari kesalahan)

5. Fungsi Ijma’

15
Yang dimaksud fungsi ijma' disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan dalil lain,
berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma itu, menurut ulama Ahl al-sunah,

16
mempunyai Jekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan
ulama Syi'ah, ijma' itu adalah hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang
ma'shum. Dalam hal ini terlihat ada daa pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan
fungsi ijma', dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok. Dalam pandangan ulama
yang berpendapat bahwa untuk ke kuatan suatu ima tidak diperlukan sandaran atau rujukan
kepada suatu dalil yang kuat, ijma' itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufik Allah yang
telah dianugerahkan kepada ulama yang melakukan ijma' tersebut. Dalam pandangan ini tampak
bahwa kedudukan dan fungsi ijma' itu bersifat mandiri.
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ja, dalam bentuk
nash atau qiyas, maka tjma' itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan
sandaran itu. Melalui jmta, dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau
qath, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas
Contoh ijma yang menguatkan dalil sunah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai
hak kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang
lemah, namun akhirnya menjadi ijma' yang kuat. Latar belakang kasus tersebut adalah sebagai
berikut:
Seorang nenek menemui khalifah Abu Bakar untuk meminta hak nya atas harta
peninggalan cucunya. Abu Bakar tidak menemu kan dalilnya dalam Al-Qur'an maupun
sunah Nabi. Kemudian beliau menyuruh si nenek pulang dan menunggu jawabannya nanti.
Dalam masa penantian itu Abu Bakar menanyai para sahabat kalau-kalau ada di antara
mereka yang mengetahui hadis Nabi tentang itu. Kemudian tampil Mughirah ibn Syu'bah
yang menyatakan bahwa ia mengetahui bahwa Nabi pernah memberikan hak bagi nenek
sebanyak seperenam. Karena Abu Bakar belum puas dengan jawaban itu, maka ia
menanyai para sahabat lain. Waktu itu muncul Muhammad ibn Maslamah yang
menyampaikan kesaksian bahwa ia juga mengetahui bahwa Nabi berbuat demikian.
Tidak tahunya Abu Bakar akan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat itu
menunjukkan bahwa hadis itu lemah. Masa Abu Bakar yang sebagian besar hidupnya
menyertai kehidupan Nabi sampai tidak mengetahui adanya hadis Nabi itu. Namun
berdasarkan berita dua orang sahabat itu, Abu Bakar pun mene tapkan kewarisan nenek
sebanyak seperenam. Apa yang ditetap kan Abu Bakar itu ternyata tidak disanggah oleh
sahabat lain, sehingga ketetapan itu menjadi sebuah ijma' dalam bentuk ja sukiti dari
sahabat. Dengan telah menjadi tjma', maka dalil hadis yang tadinya lemah dan zhanni itu
telah terangkat kualitasnya (dikuatkan) menjadi dalil qath'i yang menghasilkan hukum
yang pasti dan diterima semua pihak.
Contoh ijma' yang berasal dari qiyas dapat dilihat dalam kasus pengangkatan Abu Bakar
menjadi khalifah. Keputusan ijm dalam hal ini, bermula dari pendapat Umar ibn Khattab
yang disampaikan dalam suatu pertemuan. Pendapat Umar itu di- dasarkan kepada
pemikiran qiyas sebagaimana terlontar dalam ucapannya, "Nabi telah bersedia menyuruh
Abu Bakar sebagai pemimpin keagamaan kita (maksudnya menjadi imam shalat), kenapa
kita tidak bersedia menjadikannya sebagai pemimpin ke- duniaan kita (maksudnya jabatan
khalifah)?" Pandangan Umar itu tampaknya dapat diterima semua pihak hingga mereka
17
sepa- kat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah, kecuali beberapa orang dari kelompok
'Ali ibn Abi Thalib. Kalau ketetapan itu hanya semata berdasarkan pendapat Umar
berdasarkan qiyas, maka kedudukannya hanyalah zhanni. Namun setelah keputusan itu
menjadi ijma', maka kualitasnya meningkat menjadi qath'i.

6. Peringkat Ijma’
Telah dijelaskan bahwa secara definitif ijma' adalah kesepakatan clama mujtahid secara
umum. Namun jumlah mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya pun terpencar, saling berjauhan,
sehingga ada yang berpendapat bahwa mustahil ijma' itu dapat dilaksanakan, kecuali pada masa
sahabat. Meskipun demikian, ijma' secara apa adanya dapat dan sering terjadi dengan bentuk dan
tingkat kualitas yang berbeda. Tingkatan kualitas ijma' itu adalah sebagai berikut:

1. Ijma sharih

Yaitu, ijmâ' yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan
pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil
ijtihadnya disebarluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid
yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka
menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
Ijma' sharih ini sangat langka terjadi. Jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis
pertemuan, tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Karena itu sebagian ulama berpendapat
bahwa ijma' sharib hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena waktu itu jumlah mujtahid
masih terbatas dan lingkungan domisili mereka relatif masih berdekatan sehingga tidak sulit
untuk berhubungan atau menyampaikan pendapatnya.
Jumhur Ulama menyatakan bahwa Ijma syarih merupakan ijma hakiki sekaligus dapat
dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah. Namun demikian ijma syarih ini sangat langka terjadi.
Jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis pertemuan, tidak dalam forumpun sulit
dilakukan. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa ijma syarih hanya mungkin terjadi
pada masa sahabat.3
Bila ijma' sharih ini berlangsung, maka dilalah (penunju kan)-nya terhadap hukum adalah
dalam tingkat qath'i dan hukum yang ditetapkannya bersifat qath'i (tidak diragukan lagi
kebenarannya), sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak boleh seorang pun pada
masa itu untuk menyang- gahnya dan mujtahid yang telah mengemukakan pendapatn ya tidak
boleh mencabut atau mengubah pendapat yang telah dikemukakannya dalam ijma' itu. Para
ulama sepakat meneri ma ijma' sharih ini sebagai hujah syar'iyah dalam menetapkan hukum
syara'.
2. Ijma' sukti
Ijma' Sukuti, yaitu sebahagian mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas
mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho', sedang sebahagian mujtahid tidak

3
Agil Bahsoan, Kedudukan ijma’ Sebagai dalil Hukum Terhadap fatwa Ekonomi Islam Kontenporer Indonesia
18
memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau perbedaannya.4

Ijma' sukûtî ini pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni (tidak qath'i), atau merupakan
dugaan kuat tentang kebenar annya. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain di kemudi- an
hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah ijma' tersebut berlangsung.
Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan ijmå" sukúti itu sebagai hujah syari'iyah yang
mempunyai kekuatan mengikat untuk seluruh umat. Berikut ini
a. Imam Syafi'i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijmä suküti itu bukan ijma' yang dipandang
sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
b. Imam Ahmad, kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan al-Jubbai' (ulama
Mu'tazilah) ber pendapat bahwa ijma' suküti adalah ijma" yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat sebagai hujah. Di antara kelompok ini ada yang mempersyaratkan telah
berlalunya masa penyampaian pendapat mujtahid itu dan semua ulama mujtahid pada masa itu
telah meninggal serta tidak ada pendapat yang menyanggah hasil ijma' tersebut.
c. Sebagian ulama lain, di antaranya Abu Hasyim, berpendapat bahwa ind' sukti itu bukan ijma’.
Tetapi, meskipun demikian ja dapat menjadi hujah dalam menetapkan hukum.
d. Abu Ali ibn Abi Hurairah (ulama Syafi'iyah) berpendapat bahwa pendapat yang dikemukakan
dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau menetapkan putusan hukum
dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang menyanggahnya, maka diamnya ulama. itu
tidak dapat disebut ijma'. Tetapi bila hasil ijtihad itu disampaikan dengan lisan atau fatwa yang
disebarluaskan dan ternyata tidak ada ulama lain yang menyampaikan sanggahan atau
dukungannya, maka diamnya ulama itu dapat disebut ijma'.
Kelompok ulama yang menyatakan ijma' sukiti itu bukan ijmá" dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
a. Kepada orang yang diam tidak dapat dianggap ia berbicara dan mempunyai pendapat.
Karenanya tidak dapat dibebankan kepadanya pendapat yang ia sendiri tidak mengatakannya.
Kalau sikap diam itu dipandang sebagai ijmd', berarti kita telah memperlakukan seseorang
sebagai berbicara, padahal mungkin ia tidak suka dengan apa yang ditetapkan itu.

b. Tidak sah memperlakukan sikap diam seseorang sebagai menyetujui, karena diamnya
seseorang itu mungkin karena setuju; karena belum melakukan ijtihad untuk memberikan
persetujuan; karena tidak setuju; juga mungkin karena tidak suka dan beberapa kemungkinan
lainnya.
Dalam segala kemungkinan itu tidak mungkin hasil persetu. juan itu mengandung kekuatan
hukum untuk diikuti, Kelompok ulama yang mengganggap ijma' sukuti itu adalah ijma dan
mempunyai kekuatan hukum, menganggapnya kekuatan suküti itu lebih rendah dibandingkan
dengan ijma' sharih dan harus didasarkan kepada suatu syarat bahwa mujtahid yang
mengemukakan pendapatnya telah menyebarluaskan pendapat. nya itu secara luas kepada
mujtahid lain untuk menanggapinya dalam tenggang waktu yang cukup lama agar mereka

19
4
Drs. Zakaria Syafe’I, Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam, No.67/XIII, Kajian Tentang Kehujjahan Ijma’ dan
Pengingkarannya, i997, Hal.34

20
berkesem patan melakukan ijtihad dan menyusun pendapat, namun mereka tidak mengemukakan
pendapat dan tidak ada suatu hal pun yang menghalanginya untuk berpendapat. Argumentasi
kelom- pok ini adalah sebagai berikut:
a. Memang diam itu tidak dapat dipandang sebagai hujah, namun sikap diam sesudah diberikan
kesempatan untuk berpikir dan mengemukakan pendapat, mengandung arti tidak menolak
pendapat orang yang didiamkannya (ditanggapi dengan sikap diam) itu.
b. Adalah suatu tindakan yang terlarang bagi seorang mujtahid mendiamkan sesuatu yang ia
tidak setujui jika pendapat itu dipandangnya salah. Bila seorang mujtahid bersikap diam dalam
keadaan yang ia bebas untuk menolak, maka harus kita pandang dengan husnu al zhan (berbaik
sangka), bahwa ia setuju, karena kalau mujtahid itu tidak setuju dan bersikap diam terus, maka
sikap mujtahid demikian adalah salah.
c. Setiap mujtahid yang berbicara melontarkan pendapatnya dalam menghadapi kasus hukum,
sangat jarang terjadi. Biasanya yang sering terjadi dalam setiap masa adalah ada sebagian
mujtahid mengemukakan pendapat dan yang lain menerimanya secara diam-diam.
Kelompok ulama yang menganggap ijma' sukûtî itu mengan dung hujah tetapi bukan sebagai
ijma' beralasan bahwa ijmâ' sukuti itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan ijma', na mun
dapat dijadikan hujah karena sikap diam itu lebih berat kepada menyetujui ketimbang
membantah

. 3. Kesepakatan dalam prinsip

Yaitu, para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang,
namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang
prinsip ini dapat dijadikan hujah dan tidak boleh mujtahid mengemuka kan pendapat yang
menyalahi pendapat orang banyak itu. Ump- amanya kesepakatan ulama memberikan hak
warisan kepada kakek bila ia berada bersama dengan saudara-saudara. Namun mereka berbeda
pendapat tentang hak yang diterima kakek itu. Ulama Hanafi memberikan semua harta itu untuk
kakek. Malik dan Ahmad menyamakan hak kakek dengan saudara. Sedangkan Syafi'i
berpendapat bahwa kakek harus menerima dalam posisi yang paling menguntungkan antara
berbagi rata dengan saudara atau mengambil furüd-nya yang besar.
Ulama Hanafi memasukkan kesepakatan ini ke dalam ijmä suküti, sedangkan ulama lain
menganggapnya sebagai ijm. Di samping pembagian ijma' kepada tiga tingkatan tersebut, ada
ulama yang membagi peringkat ijma' itu dari segi penerimaan alama kepada ima' tersebut, yaitu:

1. Ijma' kaum Muslimin


Yaitu, ijma' menyeluruh dan merata dilakukan oleh semua orang Islam yang termasuk di
dalamnya para ulama dan orang awam. Ijma' seperti ini ditempatkan pada tempat yang tinggi,
21
meski- pun keberadaannya sangat langka. Umpamanya kesepakatan tentang wajibnya zakat,
puasa, dan haji; atau haramnya zina, mabuk, serta dalam hal-hal yang menyangkut masalah-
masalah pokok dalam agama yang ternyata sampai sekarang tidak ada pendapat yang
menolaknya.

2. Ijma' para sahabat Ijma'


ini dapat diterima semua pihak, karena kemungkinan be sar terjadinya, sebab jumlah ulama
waktu itu masih terbatas; lingkungan tempat tinggalnya belum meluas ke seluruh pelosok dunia;
masalah yang disepakati pun belum begitu banyak; dan kebenaran isinya cukup tinggi mengingat
masa kepada Nabi. a terjadinya dekat

3. Ijma' ablul 'ilmi dalam segala masa

Pengertian ijma' yang berlaku secara umum adalah ijma' dalam bentuk ini, karena pembahasan
mengenai ijma' itu menyang kut penggunaan ra'yu. Karenanya, maka suara (pendapat) yang
diperhitungkan dalam ijma' itu hanyalah orang yang mempu
nyai kemampuan untuk ijtihad. Ketiga bentuk imtersebut merupakan puncak ijmd" yang tidak
seorang pun meragukannya. Di bawah tiga tingkat ijma' tersebut terdapat beberapa bentuk ijma'
yang dianggap lemah kedudukannya dan ulama berbeda dapat dalam menerimanya sebagai hujah
syari'iyah.
1. Pendapat ahlul 'ilmi atau mujtahid yang ditemukan ada sedikit pendapat lain yang tidak
menyetujuinya.
2. Pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui ada pendapat lain yang menantangnya. Ini
disebut ijma' shahâbî yang sukuti.
3. Pendapat seorang mujtahid yang tidak diketahui ada mujtahid lain yang menentang pendapat
itu. Ini disebut juga ijma' suküti dalam arti luas.
4. Nafy al-khilaf, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa dalam masalah tertentu tidak terdapat
perbedaan pendapat di kalang an ulama.
Di samping tujuh bentuk ijma' disebutkan di atas ada beberapa bentuk kesepakatan; yang oleh
sebagian ulama ditempatkan sebagai ijma' meskipun dalam kedudukan yang lemah dan tidak
semua ulama menerimanya yaitu:
Pertama, aqallu ma qila yang artinya "yang paling sedikit di antara pendapat yang
dikemukakan". Dalam menetapkan suatu hukum berkenaan dengan bilangan atau angka, muncul
beberapa pendapat yang berbeda. Pendapat yang mengemukakan yang paling sedikit jumlahnya
dinyatakan pendapat yang disepakati. Umpamanya dalam menetapkan kewajiban nafkah yang
harus ditanggung suami terhadap istrinya. Pendapat pertama mengatakan seratus umpamanya,
pendapat kedua mengatakan seratus lima puluh, pendapat ke riga mengatakan dua ratus. Ketiga
pendapat ini bersepakat tentang angka terendah yaitu 100. Sedangkan angka kelebihan dari itu
tidak deepakati. Ulama Zahiriyah menempatkan aqlla ma qila ita sebagai dalil dalam jajaran
22
ijma'

23
Kedua, ikhtilaf'ala al-qaulain yang maksudnya bila semua ulama menghasilkan dua pendapat
yang berbeda, maka tidak boleh ulama lain menghasilkan pendapat yang ketiga. Tidak bolehnya
memuncul kan pendapat yang ketiga itu berarti mereka sudah bersepakat ten- tang dua pendapat
yang berbeda itu. Kesepakatan itu sudah berarti ijma'. Dalam literatur ushul fiqh Syafi'iyah dan
Hanabilah ditemukan dalil ijma' dalam bentuk ikhtilaf 'ala al-qaulain ini.
Sebelum ini sudah dijelaskan bahwa ijma' ulama, sebagaimana juga Al-Qur'an, Sunnah dan
bahkan juga qiyas termasuk dalil syara' yang disepakati kehujjahannya. Namun pada waktu
membicarakan dalil ini satu per satu ternyata terdapat padanya perbedaan yang berarti di
kalangan ulama termasuk pada dalil pertama Al-Qur'an. Kalau begitu apanya yang disepakati.
Oleh karena itu, dapat dika- takan bahwa ulama tentang 4 dalil ini sepakat secara prinsip dalam
arti semua ulama menggunakan yang 4 ini sebagai dalil syara', na- mun mereka berbeda dalam
rincian penggunaannya. Perbedaan itu terletak pada perbedaan dalam syarat-syarat
penggunaannya yang diajukan masing-masing pihak.
Dalam hal menempatkan ijma' itu dalam urut dalil hukum syara' terdapat berbagai versi yang
masing-masing punya argumen. Ada yang menempatkannya pada urut 3 langsung sesudah Al-
Qur'an dan Sunnah Nabi, di atas urutan qiyas dengan alasan bahwa ijma' itu adalah sumber
hukum (tentu maksudnya adalah ijma' dalam arti produk), sebagaimana Al-Qur'an dan sunnah
Nabi. Ada pula ulama ushul menempatkannya sesudah qiyas dengan alasan ijma' itu sebagai dalil
tidak tercantum dalam urut dalil yang disebutkan Muaz bin Jabal waktu ditanya oleh Nabi;
sedangkan qiyas ada disebutkannya dalam kandungan ra'yu.
Demikian pula dalam urut penggunaannya terdapat versi yang berbeda dengan alasan masing-
masing. Ada ulama ushul menempatkan ijma' itu sesudah nash (Al-Qur'an dan sunnah) dengan
alasan bahwa nash itu menjadi sandaran bagi ijma', oleh karena itu nash harus didahulukan dari
pada ijma'. Ada pula ulama ushul yang dalam keadaan tertentu menempatkan ijma' itu lebih
tinggi daripada nash, dengan alasan bahwa ijma' itu lebih kuat dari pada nash, karena ijma' itu
tidak ada kemungkinan dinasakh, sedangkan nash itu banyak kemungkinan untuk dinasakh.

7. Naskh Ijma’

Yang dimaksud nasakh ijma' di sini adalah munculnya ijma ulama yang menyatakan bahwa
keputusan ijma' sebelumnya tidak berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama secara perseorangan;

24
atau muncul ijma' atas suatu hukum yang berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama
terdahulu.
Memang pada dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum
yang ditetapkan dengan nash, baik nash Al-Qur'an maupun nash hadis, karena nasakh itu hanya
berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya. Karenanya tidak mungkin
terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ra'yu, meskipun ra'yu yang
merujuk kepada nash.
Pembicaran tentang nasakh ijma' itu bukanlah dalam arti sebenarnya sebagaimana disebutkan
di atas, tetapi berupa kemungkinan munculnya ijma' yang menasakh atau mengakhiri berlakunya
hasil ijma' yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ima. Artinya, apa yang telah
ditetapkan dengan ijma' tidak mungkin dibatalkan atau di-nasakh, baik dengan nash, dengan
ijma' lagi atau dengan qiyas. Alasannya ialah bahwa yang akan me-nasakh-kannya tentu adalah
nash, ijma'atau qiyâs. Namun me-nasakh ijma' dengan salah satu di antaranya tidaklah mung kin.
Tidak mungkin ijma' di-nasakh-kan dengan nash Al-Qur'an maupun sunah karena keberadaan
keduanya hanya mungkin ter jadi pada waktu Nabi masih hidup, sedangkan ijma' baru terjadi
setelah Nabi wafat. Seandainya nash yang akan me-nasakh ijma' itu telah ada sebelum adanya
ijma', maka berarti ijma' itu menya- lahi nash yang telah ada itu. Tidak mungkin pula ijma' itu di-
nasakh dengan ijma' yang kedua karena seandainya ijma' pertama bersifat qath'i, maka ijma'
kedua itu salah, karena ijma' kedua itu menyalahi dalil yang gathi. Hal ini adalah sesuatu yang
mustahil terjadi. Bila ijma pertama itu bersifat zhanni sedangkan ijma' kedua ber- sifat qath'i,
tentu tidak terjadi pertentangan antara keduanya karena berbeda kekuatannya. Karena itu, dalam
hal ini tidak berlaku nasakh.
Tidak mungkin pula ijma' itu di nasakh oleh qiyas, karena qiyas itu sendiri harus ada hukum
asalnya, baik berupa dalil yang ada sesudah ijma' pertama maupun yang mendahuluinya.
Keduanya tidak mungkin terjadi sebagaimana diuraikan dalam penjelasan di atas.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa menurut jumhur ulama ijma' tidak mungkin di-nasakh
dengan dalil syara' mana pun.
2 Sebagian kecil ulama di antaranya ulama Mu'tazilah dan Fakhrur Razi berpendapat bahwa
ijma' dapat di-masakh oleh ma yang datang kemudian, karena tidak ada halangan bagi ijma' itu
untuk di nasakh kan. Alasannya, sebab di antara sandaran ijma' yang pertama itu adalah qiyas
yang 'illat- nya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang mencetuskan ijma' pertama itu sebagai
maslahat, tetapi kemudian maslahat itu berubah pada masa berikunya dan pada masa itu para
ulama menggunakan qiyas yang merujuk kepada sifat yang lain (berbeda). Keadaan yang telah
berubah ini menghendaki hukum yang berbeda de ngan ijma' yang pertama.
Terhadap pandangan ini, Fakhrur Razi menurut yang disam- paikan Ibnul Humam, berkata
bahwa nasakh dalam semua hu kum termasuk ijma' adalah boleh. Karenanya, bila suatu hukum
ditetapkan melalui ijma' dalam suatu masa, maka dapat saja kemudian ulama melakukan
ijma' lagi yang

25
berbeda dengan hasil jma' pertama. Dengan sendirinya ijima' kedua itu me-nasakb-kan jma'
pertama. Dengan demikian, jelaslah bolehnya menasakhkan ijma' dengan ijma' lagi.
Pendapat ini dikuatkan oleh Khudhari Bey. la mengemukakan contoh ijma' yang me-nasakh-kan
nash, baik Al-Qur'an mau- pun sunah. Umpamanya ijma' yang me-nasakh-kan kan tidak
berhaknya muallaf atas zakat" yang dengan sendirinya menghapuskan hukum yang menetapkan
hak mualaf atas zakat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surat at-Taubah (9): 60. menetap
Di atas telah dikemukakan perbedaan pendapat tentang berla lunya masa sebagai syarat untuk
kekuatan suatu ijmâ'. Pendapat yang berkembang dalam masalah ini searah dengan pendapat
mengenai kebolehan nasakh pada ijmâ'. Ulama yang mengemukakan kemungkinan adanya
nasakh mensyaratkan ijma' itu baru mempunyai kekuatan yang mengikat bila memang tidak ada
yang meninjau atau membatalkan ijma' tersebut. Sedangkan di kalangan ulama yang tidak
mensyaratkan berlalunya masa, menganggap tidak perlu ada persyaratan itu, karena ijma' yang
telah berlangsung itu, juga tidak dapat di-nasakh oleh yang datang kemudian.

8. Ketetapan ijma’

Bila telah berlangsung suatu ijma' maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujah untuk
umat pada masa berlangsunya ijma' itu dan untuk umat sesudahnya. Tentang bagaimana caranya
kaum muslimin mengetahui bahwa ijma' tentang suatu hukum telah berlaku dan mengikat untuk
mereka, adalah melalui periwayatan dari satu orang kepada orang lain dan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan demikian ijma' itu ditetapkan melalui kabar atau periwayatan.

Ijma' adalah dalil hukum yang bersifat qath'i atau meyakinkan kebenarannya. Karena itu
penukilan dan penyebarluasannya pun haruslah dengan cara meyakinkan pula, yaitu melalui kabar
mutawatir, supaya sifat qath'i pada asal hukumnya dapat diimbangi dengan qath'i dalam segi sanad
(materi hukum) dan periwayatannya.

26
Tentang penukilan ijma' melalui kabar ahad, terdapat perbedaan ulama. Sebagian ulama
Syafi'iyah, sebagian ulama Hanafiyah dan ulama Hambali, berpendapat bolehnya menukilkan ijma'
dengan kabar ahad. Sedangkan sekelompok ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafiyah seperti
al-Ghazali berpendapat tidak boleh menukilkan jma' dengan kabar ahad. Kedua kelompok ulama
yang berbeda pendapat ini sepakat menyatakan bahwa ijma' yang dinukilkan melalui kabar ahad,
kekuatan hukumnya bersifat zhanni, meskipun ia bersifat qath'i dari segi materi (sanad) hukumnya.

Kelompok ulama yang membolehkan penukilan ijma' melalui penukilan ahad menggunakan alasan
dengan nash dan qiyas. Ada- pun alasan nash adalah Sabda Nabi:

‫الى المكتب العوامر واال تولى الشراير‬

Artinya : Kami menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menyukai
yang tersembunyi.

Dalam hadis itu kata "lahir" disebutkan dengan alif lam jin siyah yang menunjukkan
keumumannya, termasuk di dalamnya ijmā' yang ditetapkan dengan kabar ahad karena ia
adalah lahir dan zhannî. Itulah yang dapat dicapai oleh usaha manusia, sedangkan yang
lebih dari itu diserahkan kepada Allah.

Adapun dalil qiyâs yang mereka kemukakan ialah bahwa kabar ahad tentang adanya ijma'
menimbulkan zhan (dugaan kuat). Karenanya mengandung hujah sebagaimana kabar
ahad yang berasal dari Hadis Nabi yang diakui kehujahannya. Kelompok ulama yang
menolak penetapan ijma' melalui kabar ahad beralasan bahwa ijma' yang dinukilkan
berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah satu sumber fiqh seperti qiyas dan kabar
ahad dari Rasul. Tidak ada ijma' qath'i yang menunjukkan kebolehan berhujah dengannya
yang tidak didukung oleh nash yang qath'i dari Al-Qur'an dan sunah. Selain dari yang
lahir tersebut, tidak dapat dijadi- kan hujah dalam ushul, meskipun dapat dijadikan hujah
dalam furu'.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara ulama yang
membolehkan dan yang menolak penukilan ijmå' dengan kabar ahad berkisar di sekitar
apakah dalil ashal itu disyaratkan harus qath'i atau tidak. Ulama yang mensyaratkan dalil
ashal itu harus qath'i menolak penggunaan kabar ahad dalam menukilkan ijmā".

9. Hasil Ijma'

Kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran islam yang kedua, telah diterima oleh
hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan Syi'ah
27
Mengingkari dan aliran Islam lainnya. segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan
pedoman dan panutan oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih-lebih jika diyakini
bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau
pasti membawa jaminan teologis. Bila menyimak ayat-ayat al-Qur'an, setidaknya ditemukan
sekitar 50 ayat yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat kepada Allah dan juga
kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

˜‫و َما‬
‫خذُ ْوُه ال ٰ تى‬ َ ‫ا ْل ِعَقا ِ ب َ ّ ۗ ن واَتُّقو ُ ه ْو ع ٰ هى‬
‫َّر ُس ْو ُم ل ا‬ ‫ا “ا ْنه ُك ْم م‬ ‫ش ِد ْيد لال لَّال‬
َ
‫ا‬ َ‫ْانت‬
‫و‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah. "

Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah
dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang beriman. Dengan
demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu
kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang.
Dalam surat al-Nisa' ayat 80 juga dikemukakan:

‫ط ِع م ن‬
‫ح ِفيظا علَ ْي ِه س ْل َ ما˜ ت و َمن َأطا ع فََقدْ ٱل َّر ي‬
‫ُسو ل‬ ‫ۖ ٱ َّلل‬ ‫َوَّلى‬ ‫ْم َأ ْر ٰنَك‬

Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah
satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa indikasi
yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati dan larangan yang
wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah.
Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi anutan yang
baik bagi umat islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan:

ْ‫َقد‬
‫ل َ َ ي ْو َ ي ˚ا كان َ حسَنة ٱ ِ ر ل ِفى لَ كان‬ َ ‫ك ِثي ًرا ٱ َ ّ و‬
‫ْم‬ ‫˚ أ س ّلل ُسو‬ ‫من‬ ‫ءا ر َم ٱ وٱ ْر ّ َلل ج‬ ‫لل َذ ر‬
˚‫َوة‬ ’‫ل‬ ‫و‬ ‫ٱ‬
‫ْل‬
‫خ‬ ‫ك‬
28
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu."

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi orang-
orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara
meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman
dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam
mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya.

29
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan
sumber ajaran Islam di samping al-Qur'an. Orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran
Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-Qur'an.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum islam yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kategori hukum fiqh dimana merupakan
proses terbentuknya suatu hukum melalui dayanalar baik secara langsung dari wahyu memerlukan daya
pemahaman atau secara tidak langsung. Hukum islam selalu bertujuan untuk kemaslahatan manusia
dunia dan akhirat. Konsep ijma imam syafi’i adalah merupakan dasar atau salah satu sumber dalam
menetapkan hukum Pemikiran imam syafi’i perlu banyak di gali dan di bahas sejalan dengan
pemahaman beliu tentang hukum yang tidak statis dan kaku namun tida bertentangan dengan al quran
dan asunnah sehingga benar-benar bisa mengatasi hambatan-hambatan yang berpengaruh terhadap
cara pandang dalam pemahaman hukum.

Ijma' dalam hukum Islam adalah konsensus para ulama dalam suatu masyarakat Muslim terhadap suatu
masalah hukum. Sebagai sumber hukum, ijma' dianggap sebagai bukti interpretasi yang sah dan
diterima secara luas dalam masyarakat Islam. Ijma' dianggap sebagai dalil syara (bukti hukum) karena
mencerminkan pandangan bersama ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran
Islam.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan


tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya.
Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak
orang.

30
31
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ijmak

Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta, Kencana, 2008), Hal. 286

Agil Bahsoan, Kedudukan ijma’ Sebagai dalil Hukum Terhadap fatwa Ekonomi Islam Kontenporer Indonesia

Drs. Zakaria Syafe’I, Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam, No.67/XIII, Kajian Tentang Kehujjahan Ijma’ dan
Pengingkarannya, i997, Hal.34

32

Anda mungkin juga menyukai