Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA

Diajukan untuk memenuhi tugas terstuktur Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. Fairuz Ainun Na’im, Lc., M.Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 4:

1. Deni Ramadon (1708101168)


2. Ali Akbar (1708101169)
3. Syarifah Banin Ashegaaf (2008101041)
4. Muhamad Nuralim (2008101047)
5. Sekar Ayu Auliyah (2008101052)
6. Ina Inayah (2008101060)
7. Rezka Fairus Shiba (2008101061)

JURUSAN PENDIDIKAN AGA,MA ISLAM (PAI)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2020

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
nikmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Ushul Fiqh yang
menyangkut segala hal mengenai tentang ijma’.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak. Kami sadar
bahwa manusia tidak luput atas kesalahan dan kami merasa makalah ini belum sempurna juga
masih memiliki banyak kekurangan. Maka dengan begitu, kami ucapkan mohon maaf atas
kekurangan dalam makalah yang telah kami sajikan dan kami mengharapkan kritik juga saran yang
membangun dari semua pihak yang membaca dengan bertujuan untuk menjadikan kami lebih baik
kedepannya dalam pembikinan makalah berikutnya. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah turut serta dalam pembuatan makalah ini.

Cirebon, Oktober 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………………………….1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………4
1. Latar Belakang…………………………………………………………………………….4
2. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………4
3. Tujuan…………………………………………………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….6
1. Pengertian ijma……………………………………………………………………………6
2. Syarat-syarat dan rukun-rukun ijma………………………………………………………7
3. Dalil ijma…………………………………………………………………………………9
4. Karangan tentang ijma…………………………………………………………………..11
5. Macam-macam ijma……………………………………………………………………..11
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………...12
1. Kesimpulan………………………………………………………………………………12
2. Saran……………………………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………13

3
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dalam masalah hukum syar’i adalah hal
yang biasa terjadi dan sangat wajar mengingat banyak faktor pendorongnya. Namun tidak
selamanya mereka berbeda pendapat. Ada kalanya mereka pun bersatu dalam menyikapi masalah.
Kesepakatan semua ulama dalam satu pendapat itulah yang disebut dengan Ijma’. Konsep ijma’
muncul tatkala wafatnya Rasulullah saw. maka otomatis wahyu pun terputus. Dengan
demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan baru, dibutuhkan solusi dan jalan keluar. Untuk
itulah dilakukan musyawarah bersama, dimana yang jadi hasil dari musyawarah itu nantinya bisa
menjadi salah satu sumber hukum Islam. Hal ini mengingat para sahabat adalah orang-orang
pilihan yang meneruskan perjuangan Rasulullah saw. demi menjaga eksistensi agama Islam ini.
Ijma’ juga merupakan simbol persatuan umat agama Islam, dikarenakan melalui ilmu ijma’ ini
Allah SWT. menjaga pokok-pokok agama Islam dari tangan-tangan usil yang ingin mengutak-
atiknya, yang ingin merubah bahkan merusak kaidah dari ajaran agama Islam. Sebab ada jaminan
dari-Nya bahwasannya umat Islam tidak mungkin tersesat dan jatuh ke dalam lubang kebinasaan
ketika semuanya bersatu padu dalam satu pendapat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Ijma’?


2. Apa Syarat dan rukun ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa dalil yang menunjukan ijma’ merupakan Sumber hukum Islam?
4. Apa saja karangan dan karya tentang ijma’?
5. Apa Macam-macam ijma’?

4
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’?


2. Untuk mengetahui Syarat dan rukun ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
3. Untuk mengetahui dalil yang menunjukan ijma’ merupakan Sumber hukum Islam?
4. Untuk mengetahui karangan dan karya tentang ijma’?
5. Untuk mengetahui Macam-macam ijma’?

5
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Ijma’

1. Bahasa
Secara bahasa kata Ijma’ merupakan bentuk mashdar dari kata kerja yang memiliki dua
arti, yaitu ‘Azam Niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu. Contohnya seperti firman
Allah SWT. dalam Q.S. Yunus : 71

َّ َ‫غ َّمةً ث ُ َّم ا ْقض ُْْٓوا اِل‬


‫ي َو ََل ت ُ ْنظِ ُر ْو ِن‬ َ ‫ش َرك َۤا َء ُك ْم ث ُ َّم ََل يَ ُك ْن ا َ ْم ُر ُك ْم‬
ُ ‫علَ ْي ُك ْم‬ ُ ‫………فَاَجْمِ عُ ْْٓوا ا َ ْم َر ُك ْم َو‬

“…Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk


membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah
terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”

Dan arti kedua yaitu Ittifaq atau kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu,
contohnya perbedaan dua makna tadi adalah terletak pada jumlah pelaku, dimana makna
pertama dilakukan oleh seseorang sedangkan makna kedua harus ada lebih dari seseorang
yang melakukan sebuah kesepakatan.

2. Syariah
Adapun secara istilah syar’i definisi Ijma’ menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah
kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad saw. setelah wafatnya beliau pada
suatu masa mengenai hukum syar’i.”

3. Ulama Ushul Fiqh


Menurut Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin ijma’ adalah ilmu yang membahas
tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat ijmaliy (global/umum), tatacara mengambil faidah (hasil
pemahaman) darinya dan keadaan mustafid (orang yang mengambil faidah). Yang dimaksud
dengan mustafid pada definisi ini adalah mujtahid.

6
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah ijma’ merupakan kaidah-kaidah yang
dengannya seorang mujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-
hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Menurut Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf pengertian ijma’ berartikan ilmu tentang kaidah-
kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengannya bisa dicapai pengambilan faidah
terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat aplikatif dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ilmu ijma’ yaitu kaidah-kaidah yang dengannya
bisa dicapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang
terperinci.
Menurut Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah ijma’ ialah kaidah-kaidah yang
diatasnya dibangun ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat aplikatif yang digali dari
dalil-dalilnya yang terperinci.

B. Syarat dan Rukun Ijma’

1. Adanya Kesepakatan
Artinya dalam sebuah Ijma’ harus ada kesepakatan antara semua peserta Ijma’. Yaitu
semua peserta ijma’ harus sepakat atas satu pendapat, baik ditunjukkan dengan ucapan
maupun perbuatan.
2. Para Mujtahid
Merupakan syarat terpenting. Di mana orang yang melakukan ijma’ harusnya
mencapai derajat mujtahid. Dengan begitu, artinya tidak semua ulama diperhitungkan
pendapatnya dalam sebuah ijma’.
3. Menguasai Ilmu Al-Qur’an
Yaitu mengetahui kandungan makna Al-Qur’an baik dari sisi bahasa maupun dari sisi
syar’i. Maka dari itu, seorang mujtahid dituntut menguasai ilmu-ilmu yang mendukung
penafsiran Al-Qur’an seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at, Ilmu Tajwid dan lain-lain. Namun
tidak disyaratkan harus hafal seluruh ayat Al-Qur’an tetapi minimal menguasai ayat-ayat
Ahkam yang jumlahnya ada sekitar 500 ayat saja.
4. Menguasai Ilmu As-Sunnah

7
Memahami atau bakan menguasai baik penguasaan terhadap sanad maupun matannya.
Penguasaan ilmu sanad dengan mempelajari ilmu rijal hadits, sehingga diketahui mana
hadits yang shahih dan dha’if. Pengetahuan tentang matan mencakup pemahaman terhadap
makna lafadh-lafadh hadits baik secara bahasa atau istilah syar’i, atau ilmu tentang
kontradiksi makna yang disebut Ilmu Mukhtalaf Hadits.

5. Mengetahui Adanya Ijma’ Sebelumnya


Hal ini diperlukan untuk menghindari fatwa yang menyelisihi ijma’-ijma’ dari para
ulama sebelumnya.
6. Menguasai Ilmu Ushul FIqih
Ilmu ini merupakan ilmu pokok yang harus dikuasai seorang mujtahid, karena dengan
mempelajari ilmu ini seorang mujtahid akan bisa mengambil kesimpulan yang benar dari
suatu dalil syar’i, sehingga hukum yang dihasilkanpun akan memiliki dasar atau landasan
ilmu yang kuat.
7. Menguasai Ilmu Bahasa Arab
Dapat menguasai ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya seperti Nahwu,
Sharaf, Fiqhul Lughah da Balaghah. Karena ilmu ini merupakan alat untuk memahami
dengan benar dua sumber utama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang tertulis dengan bahasa
Arab.
8. Umat Nabi Muhamad saw.
Disyaratkan seorang mujtahid adalah seorang muslim umat Nabi Muhammad saw.
yang dimana para ulama sepakat jika orang-orang kafir tidak dianggap pendapatnya. Hal
ini karena pendapat orang kafir tidak dapat diterima dalam permasalahan agama kita.
9. Setelah Wafatnya Rasulullah saw.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa Ijma’ di zaman Rasulullah saw. tidak dianggap.
Karena jika Rasulullah saw. bersepakat terhadap Ijma’ tersebut berarti hujjahnya ada pada
sabda Rasulullah saw. sedangkan jika beliau tidak setuju maka Ijma’ itu tidak ada artinya.
10. Dalam Suatu Masa Tertentu
Terjadinya kesepakatan ini adalah kesepakatan yang terjadi di suatu masa. Hal ini
karena kesepakatan seluruh umat manusia di semua masa terhadap satu permasalahan
adalah suatu yang mustahil. Karena secara logika ijma’ itu bisa terjadi dari para mujtahid

8
yang saling berinteraksi baik langsung atau tidak ketika masalah itu terjadi. Sehingga tidak
mungkin melibatkan orang-orang yang sudah meninggal atau belum lahir pada saat kasus
tersebut, sebagaimana tidak mungkin melibatkan anak-anak dan orang gila.

C. Dalil Ijma’

Ada banyak dalil yang menjelaskan bahwa ijma’ merupakan salah satu dalil syar’i yang bisa
dijadikan sebagai sumber hukum Islam, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun secara akal
pikiran. Dalil-dalil tersebut antara lain:

1. Al-Qur’an

:‫صيراً) النساء‬ ْ ‫س‬


ِ ‫اءت َم‬ ْ ُ‫سبِي ِل ْال ُمؤْ مِ نِينَ نُ َو ِل ِه َما ت ََولَّى َون‬
َ ‫ص ِل ِه َج َهنَّ َم َو‬ َ ‫سو َل مِ ن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْال ُهدَى َويَتَّبِ ْع‬
َ ‫غي َْر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬
(١١٥
Artinya:Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. An-Nisa:115).

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan
orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat tersebut dipahami, kata Muhammad Abu Zahrah,
bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan
mereka.

‫علَ ْي َها ِإَلَّ ِلنَ ْعلَ َم َمن‬َ َ‫ش ِهيدا ً َو َما َج َع ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الَّتِي ُكنت‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم‬
َ ‫سو ُل‬ َّ َ‫اس َو َي ُكون‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫ع َلى ال َّن‬
َ ‫ش َهدَاء‬ َ ‫َو َكذَلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
ُ ‫سطا ً ِلت َ ُكونُو ْا‬
ٌ ‫اس لَ َرؤ‬
‫ُوف‬ ِ ‫علَى ا َّلذِينَ َهدَى ّللاُ َو َما َكانَ ّللاُ ِلي‬
َ ‫ُضي َع ِإي َمانَ ُك ْم ِإ َّن‬
ِ َّ‫ّللا ِبالن‬ َ َّ‫يرة ً ِإَل‬
َ ‫َت لَ َك ِب‬ َ ‫علَى‬
ْ ‫ع ِق َب ْي ِه َو ِإن كَان‬ َ ُ‫سو َل مِ َّمن َينقَلِب‬ َّ ‫َيت َّ ِب ُع‬
ُ ‫الر‬
(١٤٣ :‫َّرحِ ي ٌم) البقرة‬
Artinya:Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah

9
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia. (Qs. Al-Baqarah: 143).

Maka firmanNya: "Saksi atas manusia", mencakup persaksian terhadap perbuatan-


perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya
diterima.

َ‫سو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُون‬


ُ ‫الر‬ َ ‫سو َل َوأ ُ ْولِي ال َ ْم ِر مِ ن ُك ْم فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى ّللاِ َو‬ َّ ْ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ أَطِ يعُواْ ّللاَ َوأَطِ يعُوا‬
ُ ‫الر‬
(٥٩ :‫س ُن ت َأ ْ ِويلً) النساء‬ َ ْ‫بِاّللِ َو ْاليَ ْو ِم اآلخِ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (Qs. An-Nisa: 59).

Ini Menunjukkan bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.

2. As-Sunnah
Selain dalil dari Al-Qur’an ada banyak hadits yang dijadikan oleh para ulama’ sebagai dalil
kehujjahan Ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda:
َ ‫ضل لَ ٍة َويدُّللا َمع ْالج َما‬
‫عة َومن شَذ شَذ فِي النار‬ َ ٌ‫اناهلل َليَجْم ُع اُمتِي اُوقاَل؛ امهُ ُمحمد‬
َ ‫ع َل‬
Sungguh Allah tidak akan mengumpulkan“ummatku –atau ummat Muhammad `- dalam
kesesatan. Tangan Allah bersama Jama’ah siapa yang menyendiri, dia akan menyendiri menuju
neraka".
3. Akal Pikiran

Hukum disepakati oleh para mujtahid pada hakekatnya adalah hukum yang disepakati oleh
seluruh umat muslim, sebab pemegang urusan agama bagi kaum muslimin adalah para mujtahid
itu. Padahal kesepakatan umat itu terjaga dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan Nabi dalam
sabdanya:

10
'''Tidaklah (mungkin) umatku sepakat atas kesalahan''.

Dengan demikian ijma' para ulama mujtahid pun terhindar dari kesalahan. Apa yang baik
menurut para mujtahid, maka baik pula bagi kaum muslimin.
D. Karya Ijma’
Banyak sekali contoh bentuk karangan dan karya-karya tentang ijma’. Seperti contohnya kitab
Mabadi Awaliyah, kitab Waraqat, kitab Al-Luma dan juga kitab Al-Wajiz. Selain itu, tidak hanya
keempat kitab tersebut, tetapi terdapat juga suatu kitab yang memfokuskan sekali mengenai
tentang ijma’ ialah kitab Al-Ijma’ karya dari Al-Imam Al-Faqih Al-Hafizh Abu Bakar bin Ibrahim
bin Al-Munzir Al-Naysaburi al-Syafi’i.

E. Macam-Macam Ijma’

Menurut Abdul-Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sarih (tegas) dan Ijma’
Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).

1. Ijma’ Sarih
Ijma’ sarih merupakan kesepakatan tegas dari para mujtahid di mana masing-masing
mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.
2. Ijma’ sukuti
Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya,
sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian para mujtahid belum tentu
menandakan setuju dan bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu
telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti adalah sah dijadikan
sumber hukum. Karena bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai
persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya.

11
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Konsep ijma’ muncul tatkala wafatnya Rasulullah saw. maka otomatis wahyu pun terputus.
Dengan demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan baru, dibutuhkan solusi dan jalan
keluar. Walalupun perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dalam masalah hukum
syar’i adalah hal yang biasa terjadi dan sangat wajar mengingat banyak faktor pendorongnya.
Namun tidak selamanya mereka berbeda pendapat. Ada kalanya mereka pun bersatu dalam
menyikapi masalah dan keadaan bersatunya pemikiran inilah yang disebut dengan ijma’.
Tidak hanya syarat ijma’ harus setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. dan juga adanya
kesepakatan dari para mujtahid. Tetapi terdapat syarat dan rukun lainnya yang bisa
menyebabkan yang namanya ijma’. Seperti halnya menguasai ilmu dari kitab suci Al-Qur’an
dan As-Sunnah, mengetahui adanya ijma’ sebelumnya, menguasai dari ilmu ushul fiqh dan
juga bahasa Arab, termasuk salah satu umat muslim, dan yang terakhir ijma’ harus dalam
masa tertentu.

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi segala pihak, baik bagi
penyusun maupun pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan
sampaikan kepada kami. Dan manusia pastinya tak luput dari kesalahan, maka dari itu kami
mengucapkan mohon dapat memaafkan serta memakluminya, karena kami adalah hamba
Allah SWT. yang tidak lepas dari segala bentuk kekhilafan, serta kami ucapkan terimakasih
karena telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan materi ini.

12
BAB IV

Daftar Pustaka

Fahretin Atar. Fikih Usulu. (Istanbul : MU Vakfi Yayinlari, 3024), h.78

Cahirul Uman, dkk. Ushul Fiqh I, (Bandung :Pustaka Setia, 1998). Hlm. 73

Tajun Nashr, Lc : Kitab Ijma’ sebagai Dalil Syar’I

Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min ‘ilmi Al-Ushul,
Cet. Ke-1, 1419 H/1999 M, t.tp. : Daar Al-Kitab Al-‘Arabiy

Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A. USHUL FIQH © 2005 Satria Effendi Edisi Pertama,

13

Anda mungkin juga menyukai