Anda di halaman 1dari 19

MAJALAH ILMU FIQIH

IJMA’,QIYASH DAN ISTIHSAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu : Drs.KHOERUL ANWAR M.pd

Disusun oleh: Kelompok 7

RIZKY SRI UTAMI


TITI HARI PRAMESTI
LULU ALVIAH
MALIKA NAFRAYU SEROJA
FADYA AZZAHRA
ALFI SYAHRIN
SADIDATUN SHALIHAH
MOHAMAD DARMAWAN
NAYLA SALMA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL (IAIN) LAA ROIBA BOGOR

TAHUN AKADEMIK 2022-2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai IJMA’,QIYASH DAN ISTIHSAN, dengan
sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Terakhir, penutup
para nabi sekaligus satu-satunya Uswatun Hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya
ucapkan terima kasih kepada Bpk.Drs.Khoerul Anwar M.pd. selaku dosen mata kuliah Ilmu Fiqih .
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan,
baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun
demikian, inilah usaha maksimal kami selaku penulis makalah ini. Semoga dalam makalah ini
pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari
para pembaca guna Memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Bogor,24 November 2022


Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………….ii


Daftar isi …………………………………………………………………………………...iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................1
BAB II Pembahasan
A. IJMA’
A. Pengertian Ijma’ ........................................................................................................
B. Syarat dan Rukun Ijma’.............................................................................................
C. Mcam-macam Ijma’...................................................................................................
D. Dasar hukum ijma'.....................................................................................................
E. Proses dan mekanisme ijma’......................................................................................
B. QIYASH
a) Pengertian Qiyash ....................................................................................................
b) Syarat dan Rukun qiyas............................................................................................
c) Mcam -macam qiyas ................................................................................................
d) Dasar hukum qiyas ...................................................................................................
C. ISTIHSAN
A. Pengertian Istihsan ....................................................................................................
B. Macam-macam Istihsan.............................................................................................
C. Dasar hukum Istihsan ................................................................................................
D. Khilaf dalam istihsan ................................................................................................
BAB III Penutup
A. Kesimpulan ..........................................................................................................
Daftar Pustaka ....................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai sebuah ajaran, Islam memiliki keistimewaan tersendiri Dibanding dengan agama lain
yang ada di dunia ini. Keistimewaan itu paling Tidak dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada
masyarakat dunia Penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran Islam sebagai ajaran Yang
dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun juga. Fenomena ini ada, boleh jadi karena
Islam memiliki dua karakter yang Menarik, yaitu orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam
aplikasi. Hal ini Dapat terlihat empat sumber hukum dalam Islam. Yaitu Al-Qur’an, Hadits,
Ijma’,qiyas dan istihsan. Yang kesemuanya banyak memberikan kontribusi bagi umat Islam. Khusus
pada permasalahan ljma,qiyas dan istihsan yang akan diuraikan pada Makalah ini, juga memiliki
fungsi guna memenuhi dua karakter Islam di atas. Di mana ijma’ berada satu tingkat di bawah hadist
yang menjadi sumber hukum Islam. Lalu di ikuti oleh qiyas yang berada di bawah ijma’. Berbeda
dengan ijma’ dan qiyas,tidak semua ulama ahlul fiqih sepakat menjadikan istihsan sebagai dasar
hujjah . Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.

1.2 Rumusan masalah

Apa pengertian ijma’?


Apa syarat dan rukun ijma’?
Apa macam-macam ijma’?
Bagaimana prosedur dan mekanisme ijma’?
Apa pengertian qiyash?
Apa syarat dan rukun qiyash?
Apa macam-macam qiyas?
Apa dasar hukum qiyas?
Apa pengertian istihsan?
Bagaiman pembagian istihsan?
Apa dasar hukum istihsan?
Bagaimana khilaf dalam istihsan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian ijma’

a. Definisi ijma’

Secara etimologis, ijmak berasal dari akar kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang
wazannya kata if’alan, yang mengandung dua makna: Pertama, bermakna “ketetapan hati
terhadap sesuatu (al-‘azam wa at-taṣmim ‘ala al-amr)”.Pemaknaan ini ditemukan dalam Q.S.
Yunus (10): 71

Artinya: “Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah


Keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”

Kedua, bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu (al-ittifaq ‘ala al-amr)”.Ijmak dalam


pemaknaan ini ditemukan dalam Q.S. Yusuf (12): 15:

‫َفَلَّما َذ َه ُبْو ا ِبٖه َو َاْج َم ُع ْٓو ا َاْن َّيْج َع ُلْو ُه ِفْي َغ ٰي َبِت اْل ُج ِّۚب َو َاْو َح ْي َن ٓا ِاَلْي ِه َلُتَن ِّب َئ َّن ُهْم ِبَاْم ِر ِه ْم ٰه َذ ا‬
‫َو ُه ْم اَل َي ْش ُعُرْو َن‬
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke Dasar
sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami
wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada Mereka
perbuatan mereka ini, sedangkan mereka tidak ingin lagi”.

Dua pemaknaan ijmak tersebut dapat ditegaskan perbedaan stresingnya Bahwa,


pemaknaan yang pertama hanyalah terletak pada satu tekad bulat Perseorangan dalam
merealisir suatu pekerjaan yang direncanakannya, Sedangkan pemaknaan yang kedua
memerlukan konsensus secara bulat dalam Merealisir suatu perbuatan yang diprogramkannya.

Adapun pemaknaan ijmak secara terminologi telah banyak Dikemukakan oleh para
ahli uṣul (uṣuliyyin) antara lain: Al-Gazali dan asy-Syafi’I mendefinisikan ijmak dengan
rumusan: “Kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw. Secara khusus mengenai suatu
permasalahan agama”.Terminologi ijmak ini menggambarkan bahwa ijmak harus dilakukan
oleh Umat Nabi Muhammad Saw. Dalam arti oleh seluruh umat Islam, mereka harus
Konsensus dalam menyepakati setiap persoalan agama. Tetapi, ia tidak memasukkan kalimat
“setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. kelihatannya secara logika, karena ijmak di masa
Nabi tidak diperlukan, dan pada masa itu hak prerogatif dan otoritatif penentu hukum adalah
Nabi Muhammad Rasulullah.

Dari berbagai terminologi ijmak yang dikonstruksi oleh para ahli uṣul al Fiqh tersebut
dapat diringkaskan secara substansial bahwa ijmak akan Terjadi bila memenuhi unsur-unsur:

a) Terdapat kesepakatan seluruh mujtahid Dari umat Islam (jama’ah al-muslimin). Dari
ungkapan ini, apabila terdapat Seorang ulama mujtahid, atau sebagian mereka yang menolak
kesepakatan Maka tidak terjadi ijmak, dan hal ini tidak dibatasi oleh wilayah, daerah,
danBahkan negara, tetapi mujtahid seluruh dunia tanpa kecuali mereka harus Sepakat dalam
setiap persoalan agama yang dibahasnya;
b) Kesepakatan yang Dilakukan harus dinyatakan oleh para mujtahid dengan jelas (ṣarih), tidak
boleh Kesepakatan dengan cara diam-diam (ijma’ sukuti). Hal ini konsekuensinya Tidak
akan terjadi ijmak;
c) Mereka yang melakukan kesepakatan adalah para Imam mujtahid, bukan orang awam dan
para mujtahid yang tidak memenuhi Persyaratan ijtihad;
d) Ijmak dilakukan setelah Nabi Muhammad Saw. Wafat, sebab di masa Nabi hidup tidak
pernah terjadi ada ijma’ dikarenakan berbagai persoalan keagamaan kata kunci pemutusnya
adalah Rasulullah Saw. sendiri,
e) Sasaran kesepakatan yang dilakukan adalah peristiwa hukum tertentu yang terjadi.

b. Syarat dan rukun Ijma’

Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah

 yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad,
 kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya),
 Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.

Menurut Az Zuhaili dalam Ushul Fiqih Islami, ijma baru dianggap sah jika memenuhi rukun-
rukunnya, yaitu:
1. Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.
2. Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
3. Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar’I tanpa memandang negeri,
kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak
saja, atau yang lainnya, itu tidak bisa disebut ijma.
4. Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya
secara jelas dan transparan.
5. Sandaran hukum ijma adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW

c. Macam-macam ijma’

 Ijma’ Sharih,
Kesepakatn para mujtahid, baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap suatu masalah
hukum yang dikemukaan dalam sidang ijma’ setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang dibahas.Ijma’ jenis ini bisa dijadikan
hujjah dan statusnya bersifat qath’iy (pasti).

 Ijma’ Sukuti,
Ijma Sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang atau lebih mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa
atau memberi keputusan dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
penyesuaiannya dan perbedaannya.

d. Dasar hukum ijma’


Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini
didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115:

‫َم ْن ُّيَش اِقِق الَّر ُسْو َل ِم ْۢن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُه اْلُهٰد ى َو َيَّتِبْع َغْيَر َس ِبْيِل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ُنَو ِّلٖه َم ا َتَو ّٰل ى‬

‫ࣖ َو ُنْص ِلٖه َجَهَّنَۗم َو َس ۤا َء ْت َم ِص ْيًرا‬

“Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. Sesudah jelas Kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang Mukmin, kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya Itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka
jahannam, dan jahannam itu Seburuk-buruk tempat kembali”
Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golongan Yang menentang
Rasullullah SAW. Dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut Muhammad Abu Zahrah,
menjelaskan wajib hukumnya mengikuti Jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’)
mereka.

e. Proses dan mekanisme ijma’

Pada masa-masa awal Islam Ijma’ berproses mengalir secara alamiah, Tidak ada pola, proses
atau prosedur yang baku. Menurut catatan sejarah, Dimasa sahabat tidak semua fukaha diundang oleh
khalifah atau hadir dalam Membahas suatu masalah hukum. Khalifah mengundang ulama yang
Terjangkau untuk dihubungi dan untuk memutuskan suatu hukum, tidak pula Khalifah harus
menunggu ulama yang sedang safar. Tidak semua fukaha ikut Serta dalam proses Ijma’ dimasa
Sahabat Berdasarkan alur pikir tersebut, maka proses Dan mekanisme Ijma’ kontemporer dapat
ditempuh dengan:

a. .Membentuk majelis atau forum yang independen guna melakukan kajian Hingga diperoleh
konsensus dari mayoritas peserta. Agar independensi Tetap terjaga majelis atau forum
tersebut tidak perlu dilembagakan, cukup Hanya bersifat ad hoc, dibentuk apabila
berdasarkan kajian akademis Memang ada keperluan yang nyata dan sungguh-sungguh.
b. Forum dan kegiatan tersebut melibatkan semua unsur keulamaan secara Representatif
(lembaga, institusi, ormas atau aliran keagamaan) yang berada Di Indonesia;
c. Peserta dalam forum tersebut mayoritas beragama Islam, meski boleh Melibatkan non-muslim

B. Qiyas

a. Pengertian qiyash

Pengertian Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
Penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Imam Syafi’I mendefinisikan qiyas Sebagai upaya pencarian
(ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil Terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan
dalam al-Qur’an dan hadist.

Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang Dikemukakan para pakar
ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi Mengandung pengertian yang sama. Mayoritas
ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan :

“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang Diketahui dalam rangka
menetapkan hukum bagi keduanya, atau Meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan
sesuatu yang Menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuly dan Prof. Dr. I. Nurol Aen, MA dalam bukunya Ushul Fiqh,
Metodologi Hukum Islam, menjelaskan bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus
yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.

Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para pakar
ushul fikih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas, Tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa
proses penetapan hukum melalui Metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat al-
hukm waInsya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf Wa al-
izhhar li al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.

Misalnya, seorang pakar ushul fikih [mujtahid] ingin mengetahui hukum Minuman bir atau
wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, Kedua minuman itu mengandung zat
yang memabukkan, seperti zat yang ada pada Khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi
‘illah diharamkannya Khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat [5: 90-91]. Dengan
Demikian, pakar tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu Sama dengan hukum
khamar, karena ‘illah keduanya adalah sama, yakni Memabukkan. Kesamaan illah antara kasus yang
tidak ada nasnya. Dengan hukum Yang ada nasnya dalam Alquran atau Hadis, menyebabkan adanya
kesatuan Hukum. Inilah yang dimaksudkan para pakar ushul fikih bahwa penentuan hukum Melalui
metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi Menyingkapkan dan menjelaskan
hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan Mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nas,
disebabkan kesamaan ‘‘illah antara keduanya.

b.Syarat dan rukun qiyas

Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam Menetapkan ketika qiyas itu
telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada empat:

a. Ashl, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau sesuatu Yang ada nash
hukumnya. Syarat-syarat ashl:
1. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau
sudah tidak ada misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak Mungkin
terdapat perpindahan hukum.
2. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’ bukan hukum akal atau Hukum
bahasa.
b. Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu yang Tidak ada nash
hukumnya. Syarat-syarat:
1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada hukum pokok.
2) Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
3) Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama dengan illat yang Terdapat pada
pokok.
4) Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
c. Illat, Syarat-syaratnya: yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang
dengan Hukum pokok.

1. harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu,

2. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nashlah yang Didahulukan.

d. Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih jelasnya biasa dicontohkan bahwa
Allah telah mengharamkan arak, Karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan
harta. Maka segala minuman yang memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Segala minuman yang memabukkan adalah far’un atau cabang artinya yang diqiyaskan.
2) Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan atau mengqiyaskan
hukum, artinya ashal atau pokok.
3) Mabuk merusak akal, adalah illat penghubung atau sebab.
4) Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.

c. Macam-macam Qiyash

Imam Syafi’I membagi qiyas menjadi tiga macam berdasarkan kejelasan ‘illat, kesamaran,
dan prediksinya terhadap persoalan yang tidak termaktub dalam Nash. Qiyas tersebut antara lain qiyas
aqwa, qiyas musawi, dan qiyas adh’af. Para Ulama ushul fiqh berikutnya mengikuti tiga klasifikasi
ini.

1.Qiyas Aqwa

Qiyas aqwa adalah analogi yang ‘illat hukum cabangnya (far’u) lebih Kuat dari pada ‘illat
pada hukum dasarnya (ashl). Artinya, suatu yang telah Dijelaskan dalam nash al-Qur’an atau hadis
tentang keharaman melakukannya Dalam jumlah sedikit, maka keharaman melakukannya dalam
jumlah banyak Adalah lebih utama. Sedikit ketaatan yang dipuji apabila dilakukan, maka Melakukan
ketaatan yang banyak lebih patut dipuji. Sesuatu yang Diperbolehkan (mubah) dilakukan dalam
jumlah yang banyak, maka lebih Utama apabila dilakukan dalam jumlah sedikit.

Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’I menyebutkan banyak contoh Tentang qiyas bagian
pertama ini, diantaranya: Rasulallah saw. Bersabda yang artinya :
“Sesungguhnya Allah telah melarang menumpahkan darah Orang beriman, merampas
hartanya, dan menyuruh Berprasangka baik kepadanya”

Apabila Allah mengharamkan berprasangka buruk kepada sesama Mungkin dengan tepat
bersikap wajar kepadanya, maka prasangka-prasangka Lainnya seperti menyebarkan isu tidak benar
tentangnya lebih diharamka Lagi. Demikian pula dengan prasangka-prasangka yang menyakitkan.

2.Qiyas Musawi

Qiyas Musawi adalah qiyas yang kekuatan ‘illat pada hukum Cabang sama dengan hukum ashl. Qiyas
ini disebut juga dengan istilah Qiyas fi Ma’na al-Ashl (analogi terhadap makna hukum ashl), qiyas jali
(analogi yang jelas), dan qiyas bi nafyi al-fariq (analogi tanpa perbedaan ‘illat).

Imam Syafi’I tidak menjelaskan qiyas bagian kedua ini dengan Jelas. Pembahasan mengenai
qiyas ini hanya bersifat dalam pernyataan, “Ada ulama yang berpendapat seperti pendapat ini, yaitu
apa-apa yang Bersetatus halal, maka ia menghalalkannya, dan apa-apa yang berlabel Haram, maka ia
mengharamkannya”.

Maksud dari pernyataan ini adalah qiyas yang mempunyai Kesamaan ‘illat pada hukum cabang dan
hukum ashl. Adanya kesamaan ‘illat tersebut bersifat jelas, sejelas nash itu sendiri. Dari sinilah
sebagian ulama meggolongkan dilalah nash tersebut dalam kategore qiyas. Qiyas.kategori ini jelas
berbeda dengan qiyas yang pertama, sebab ‘illat pada hukum cabang lebih kuat daripada hukum ashl.

Dari pernyataan Imam al-Ghazali tanpaknya dia setuju mengategorikan kesimpulan ini dalam
bahasan qiyas. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustashfa’. “Tingkatan yang kedua adalah
kandungan makna pada nash yang tersirat ‘illat –nya sama dengan yang tersurat, yakni tidak lebih
kuat atau lebih rendah. Sehingga disebut juga sebagai qiyas fi Ma’na al-ashl. Namun para ulama
masih berbeda pendapat seputar pemahaman qiyas ini.

3.Qiyas Adh’af

Qiyas adh’af adalah analogi yang illat pada hukum cabangnya (far’) lebih lemah daripada
‘illat pada hukum dasarnya (ashl).

Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’I berkata, “Sebagian ulama Enggan menyebutkan
sebagian qiyas, kecuali ada kemungkinan kemiripan Yang dapat ditetapkan dari dua makna yang
berbeda. Lalu dianalogikan Terhadap salah satu makna tersebut, bukan kepada yang lainnya.”

Dalam kitab Manaqib asy-syafi’i, ia menegaskan, adanya ‘illat pada hukum cabang lebih
lemah daripada ‘illat pada hukum ashl. Qiyas seperti ini terbagi kedalam dua macam
 . Pertama, qiyas al-ma’na, yaitu pencarian ‘illat hukum dalam objek yang sama antara hukum
cabangdan hukum ashl, lalu ‘illat pada hukum cabang dijadikan pedoman untuk menemukan
ketetapan hukumnya.
 Kedua, tidak perlu adanya penggalian makna sama sekali, tetapi dengan cara penelitian pola
hukum dalam satu kejadian dengan menggunakannya pada dua kejadian yang berbeda, lalu
dicari satu precendent (contoh) yang paling banyak kemiripannya. Proses analogi dengan
mencari kemiripan untuk hukum inilah yang lazim disebut qiyas asy-syabah.

e.Dasar hukum qiyas

Kehujjahan qiyas dalam mentapkan hukum Syara’, jumhur ulama ushul fiqh dan para
pengikut madzhab yang empat berpendapat bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai metode atau sarana
untuk menginstinbatkan hukum Syara’. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan
qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang
membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun mereka baru melakukan qiyas apabila
ada kejadian atau peristiwa yang penetapan hukumnya tidak diperoleh pada satu nash pun yang dapat
dijadikan dasar. Allah SWT berfirman pada Q.S. an-Nisâ': 59

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَزْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء‬

‫ࣖ َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل‬

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu,
kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam
al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri
boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan
menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.

C. Istihsan
a.pengertian istihsan

istihsan berasal dari kata al-hasan yang berarti sesuatu yang baik Dengan adanya huruf
tambahan alif, sin, dan ta’, maknanya menjadi “menganggap baik sesuatu”.

Sedangkan menurut istilah, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya
disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi
pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong
tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum
lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil
tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri
harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada
hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan
menghendaki perpindahan hukum itu.

b.Rukun-Rukun Istihsan

Dari defenisi istihsan diatas, dapat diketahui bahwa rukun-rukun Yang terdapat pada istihsan
terdiri dari:

1. Al-Far’u (‫الفرع‬
Al-Far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan hukum dari Nash.Sedangkan menurut
fuqaha, al-far’u adalah sesuatu masalah Yang tidak ada ketentuan dalil atau ijma’nya

2. Al-Ashlu (‫األصل‬
Al-Ashlu merupakan masalah yang ditetapkan dalam al-Quran atau Sunnah. Ia disebut
dengan maqis ‘alaih (tolak ukur), mahmulun‘alaih (tempat menyimpan), musyabbah bih
(tempat Penyerupaan). Sedangkan menurut fuqaha, al-ashlu adalah Kedudukan sebuah hukum
yang telah ditetapkan dalam nash atau Ijma’

3. Hukmu al-Ashli (‫( األصل حكم‬


Hukmu al-Ashli adalah hukum syara’ yang terdapat pada nash atau Ijma’nya dan digunakan
atau diberlakukan pada far‟u.

4. Wajhu’ aqwa (‫( اقوى وجو‬

Wajhu’ aqwa adalah alasan utama yang digunakan untuk Mengamalkan al-fur’u (beralih dari
ketentuan al-ashlu dikarenakan Ada alasan yang lebih kuat untuk mengamalkan ketentuan
yang Memang belum ada aturan dan hukumnya di dalam nash).

c.Pembagian istihsan

Ulama Hanafiyah membagi istihsan kepada enam macam,yaitu:

1) Istihsan bin nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Maksudnya ada Ayat atau hadis
tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan Kaidah umum. Misalnya dalam
masalah wasiat. Menurut ketentuan umum Atau qiyas, wasiat itu tidak boleh, karena
pemindahan hak milik kepada Penerima wasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak
cakap lagi,Yaitu setelah ia wafat. Akan tetapi, kaidah umum ini dikecualikan melalui Firman
Allah Swt. Dalam surat an-Nisa’ ayat 11

Artinya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah Dibayar
hutangnya”.

Berdasarkan ayat ini, kaidah umum tersebut tidak berlaku untuk Masalah wasiat

Adapun misal istihsan dengan sunnah Rasulullah Saw. adalahdalam kasus orang yang
makan dan minum karena lupa ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa
orang tersebut batal karena ia telah memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan
tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis
Rasulullah Saw.yang berbunyi:
Artinya: “Barangsiapa yang lupa dan ia sedang berpuasa, kemudian ia Makan dan
minum, maka sesungguhnya Allah memberikannya Makan dan minum” (HR.Ibnu
Hajar al-Asqalani)

2) Istihsan bil ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’). Misalnya, pada Kasus pemandian
umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa Pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa
lama seseorang mandi dan Berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal tersebut
Dilakukan, maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu,Ulama sepakat
menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian Umum sekalipun tanpa
menentukan jumlah air dan lama waktu yang Terpakai.

3) Istihsan bil qiyasil khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).Misalnya dalam
masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas Jali (qiyas yang nyata), wakaf ini
sama dengan jual beli, karena pemilik Lahan telah menggugurkan hak miliknya melalui
pemindah tanganan lahan Tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk mengalirkan air ke
lahan Pertaniannya ke tanah tersebut tidak termasuk dalam akad wakaf itu,Kecuali jika
dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas khafi (qiyas yang Tersembunyi) wakaf tersebut sama
dengan sewa-menyewa, karena maksud dari wakaf adalah memanfaatkan lahan pertanian
yang diwakafkan.Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan
pertanian tersebut termasuk dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas khafi), maka ia berdalil dengan
istihsan.

4) Istihsan bil maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya,ketentuan umum


menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil
komoditas yang diproduksi pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka,
karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan
dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para buruh dan sulitnya mempercayai
sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama mazhab Hanafi
mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggung jawab atas
kerusakan produk pabrik tersebut, baik disengaja maupun tidak disengaja. Ulama Maliki
mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut
kaidah umum (qiyas), seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Akan tetapi, dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk kepentingan diagnosis atas
penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang tersebut, menurut kaidah istihsan seorang
dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

5) Istihsan bil urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).Contohnya sama
dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang
tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu dipergunakan oleh seseorang, karena adat
kebiasaan Setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air Yang
terpakai.
6) Istihsan bid darurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Artinya ada Keadaan-keadaan
darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid tidak kaidah umum atau qiyas. Misalnya
dalam kasus sumur Yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit untuk
Dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena Sumur yang
sumbernya mata air sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, Ulama mazhab Hanafi menyatakan
bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk Menghilangkan najis tersebut cukup dengan
memasukkan beberapa galon Air ke dalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki
agar orang Tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan
hidupnya.

D.Dasar hukum istihsan

Dari defenisi dan penjelasan mengenai istihsan di atas, jelaslah pada hakikatnya
istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum bentuk ini adalah
dalil hukum yang didasarkan pada qias yang tersembunyi yang diunggulkan daripada qias
yang nyata dan dalil hukum yang didasarkan pada kemaslahatan.Ada beberapa dalil yang
dijadikan sebagai landasan bolehnya konsep istihsan digunakan dalam menentukan sebuah
permasalahan hukum, diantaranya:

‫ٰۤل‬ ‫ٰۤل‬
‫اَّلِذ ْيَن َيْسَتِم ُعْو َن اْلَقْو َل َفَيَّتِبُعْو َن َاْح َس َنٗه ۗ ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َهٰد ىُهُم ُهّٰللا َو ُاو ِٕىَك ُهْم ُاوُلوا اَاْلْلَباِب‬

Artinya : “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Q.S Az-zumar :18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah Swt bagi hamba-Nya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah Swt.

e.Khilaf Tentang Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-
Syafi’I dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu.

Imam Syafi’I berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum
syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang
menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.

Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’I, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak
boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula
dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara etimologis, ijmak berasal dari akar kata ajma’a, yajmi’u, ijma’an yang wazannya kata
if’alan, yang mengandung dua makna: Pertama, bermakna “ketetapan hati terhadap sesuatu.
Kedua, bermakna “kesepakatan terhadap sesuatu.Al-Gazali dan asy-Syafi’I mendefinisikan ijmak
dengan rumusan: “Kesepakatan umat Nabi Muhammad Saw. Secara khusus mengenai suatu
permasalahan agama”. Ijma’ ada dua macam yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti . Ulama ushul
Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini didasarkan pada
surat an-Nisa’ ayat 115.

Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan “Membawa (hukum) yang (belum)
diketahui kepada (hukum) yang Diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau
Meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang Menyatukan keduanya, baik hukum
maupun sifat.”qiyas ada 3 macam yaitu qiyas aqwa,qiyas musawi dan qiyas adh’af. Kehujjahan
qiyas dalam mentapkan hukum Syara’,di terangkan pada firman allah dalam surat an-nisa ayat 59

istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Ulama Hanafiyah membagi
istihsan kepada enam macam,yaitu:istihsan bin nas, istihsan bil ijma’ Istihsan bil qiyasil
khafi,istihsan bil maslahah,istihsanbil urf , san istihsan bil darurah.
DAFTAR PUSTAKA

sc.syekhnurjati.ac.id ijma’ (kesepakatan ‘ulama) mohammad rana


https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/Pertemuan_11IAIN1220352.pdf

https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/-ijma-sebagai-sumber-hukum-islam-

https://staisyamsululum.ac.id/qiyas/

https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1169-tentang-istihsan-dan-pengertiannya.html

https://media.neliti.com/media/publications/240344-pandangan-imam-syafii-tentang-ijma-sebag-
eccd78f2.pdf

Anda mungkin juga menyukai