Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MENDEFINISIKAN IJMA’ DAN QIYAS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ushul Fiqh

Nama Dosen Pengampu:

Abd. Ghofur, M.E.I

Disusun Oleh:

1. Lailatul Qomariyah 22.12.07.29.0777


2. Mochammad Lutfi 22.12.07.29.0788

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN-PROBOLINGGO
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb

Segala Puji bagi Allah Yang telah memberikan taufik dan hidayahnya.
Sholawat serta salam semoa tetap tercurahkan kepada suri tauladan kita yakni
Nabi Muhammad SAW, Keluarga dan para sahabatnya yang membawa kebenaran
bagi kita semua.

Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
yakni bapak “Abd. Ghafur, M.E.I”. yang telah membimbing serta mengajarkan
kami, dan mendukung kami sehingga terselesaikan makalah ini. Makalah yang
berjudul “Mendefinisikan Ijma’ Dan Qiyas” . Merupakan tugas mata kuliah
USHUL FIQH. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dalam makalah ini
jauh dari kata sempurna, baik dari penyusunan Bahasa maupun tulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun, khususnya dari
dosen mata kuliah guna menjadi tolak ukur bagi kami dalam bekal untuk lebih
baik dimasa yang akan datang.

Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
masyarakat umum.

Wassalamu’alaikum wr,wb

Kraksaan, 20 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Ijma'...................................................................................................................3
1. Definisi Ijma’ dan Kehujjahannya/ Dalil.........................................................3
2. Rukun- Rukun Ijma’dan Syarat-Syarat Ijma’.................................................4
3. Macam-Macam Ijma'........................................................................................6
B. Qiyas...................................................................................................................7
1. Definisi Qiyas dan Kehujjahannya...................................................................7
2. Rukun Qiyas.....................................................................................................9
3. Syarat-Syarat Qiyas..........................................................................................9
4.Macam-Macam Qiyas.....................................................................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Kesimpulan......................................................................................................13
B. Saran.................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Latar belakang dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui syarat-
syarat ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi lima kriteria yaitu:
1. Yang bersepakat oleh para mujtahid
2. Seluruh Mujtahid
3. Para Mujtahid harus umat nabi Muhammad
4. Dilakukan nabi Wafat
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syarat
Sedangkan Qiyas adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaannya dengan yang sejenisnya.
Ijma’ dan Qiyas adalah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan hadist) merupakan dalil-
dalil pertama setelah Al-Qur’an dan hadist yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum-hukum syara’.
Namun ada komunitas umat islam yang tidak mengakui dengan adanya
ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-
Qur’an dan Hadist, mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari
dua teks itu sendiri (Al-Qur’dan Hadist).

Khalifah Umar bin Khattab ra, misalnya selalu mengumpulkan para


sahabat untuk berdiskusi dan saling mengutarakan pendapat dalam
menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum maka, ia
menjalankan perintah berdasarkan hukum yang telah disepakati.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud ijma’ dan kehujjahannya ?
2. Apa saja rukun-rukun ijma’ dan syarat-syarat ijma’ ?
3. Apa saja macam-macam ijma’ ?
4. Apa yang dimaksud qiyas dan bagaimana kehujjahannya ?
5. Apa saja rukun yang ada di dalam qiyas?

1
6. Apa saja syarat-syarat qiyas?
7. Apa saja macam-macam Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan untuk menulis makalah ini yaitu agar lebih memahami apa itu
ijma’ dan kehujjhannya/dalil dan apa saja syarat-syarat yang ada dalam
ijma’yang harus kita ketauhi dan adapun pengertian qiyas, rukun-rukun qiyas,
dan macam –macam qiyas yang harus kita ketahui.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijma'
1. Definisi Ijma’ dan Kehujjahannya/ Dalil
Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau
“kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut Istilah Ushul Fiqh, seperti yang
disampaikan ‘Abdul-Karim Zaidan, adalah kesepakatan para mujtahid dari
kalangan umat islam tentang hokum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah
SAW wafat.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah
sah dijadikan sebagai dalil hukum. Demikianlah, mereka berbeda pendapat
mengenai istilah-istilah ijma’ yang untuk mengikat ummat islam. Menurut
Kalangan syi’ah, ijma’adalah kesepkatan para imam dikalangan mereka.
Sedangkan menurut jumhur ulama, kata Muhammad Abu Zahrah, Ijma’ sudah
dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan
menurut Abdul Karim Zaidan, Ijma’ baru dianggap terjadi bilamana merupakan
kesepakatan seluruh ulama mujtahid.

Menurut Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan


semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara’. Selanjutnya menurut Al-Kamal bin Hamam
berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’
Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’.

Ijma' merupakan sumber penetapan hukum Islam setelah Alquran dan As


Sunnah. Definisi ijma adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad
SAW setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i”. Ijma'
tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Hanya mereka yang mencapai
derajat mujtahid lah yang diperhitungkan pendapatnya.

Hujjah artinya argumentasi yang kokoh. Terdapat berbagai dalil yang


menjadi dasar ijma. Salah satunya Alquran surat An Nisa ayat 59 :

3
‫رد ُّۡوه الَى هّٰللا‬Fَ‫ ۡىء ف‬F‫ش‬ ‫هّٰللا‬ ۤ
ِ ِ ُ ُ ٍ َ ‫ازَ ۡعتُمۡ فِ ۡى‬FFَ‫ا ِ ۡن تَن‬Fَ‫ ِر ِم ۡن ُك ۚمۡ‌ ف‬Fۡ‫ ۡو َل َواُولِى ااۡل َم‬F‫س‬ ُ ‫ٰيـاَيُّ َها الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اَ ِط ۡيـ ُعوا َ َواَ ِط ۡيـ ُعوا ال َّر‬
‫هّٰلل‬
َ ‫س ۡو ِل اِ ۡن ُك ۡنـتُمۡ ت ُۡؤ ِمنُ ۡونَ بِا ِ َو ۡاليَ ۡـو ِم ااۡل ٰ ِخ ِ‌ر ؕ ٰذ لِ َك َخ ۡي ٌر َّواَ ۡح‬
‫سنُ ت َۡا ِو ۡياًل‬ ُ ‫َوال َّر‬

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
( Q. S An Nisa :59).

Berdasarkan dalil diatas, perintah mentaati ulil amri setelah Allah dan
Rasul berarti sama artinya dengan mematuhi ijma. Sebab ulil amri adalah orang-
orang yang mengurus kehidupan umat, yaitu ulama.

2. Rukun- Rukun Ijma’dan Syarat-Syarat Ijma’


Menurut Az Zuhaili ijma’ baru dianggap sah jika memenuhi rukun-rukunnya,
yaitu :

a. Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.


b. Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
c. Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar’i tanpa
memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika terdapat
kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang lainnya, itu tidak bisa
disebut ijma'.
d. Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.
e. Sandaran hukum ijma adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW.

Syarat-Syarat Ijma' :

a. Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid


Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum,
mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan

4
dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jam‘ ul
Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang
faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama
ijma’, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
b. Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun
sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena
ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
c. Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada
yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah
orang-orang mukallaf dari golongan ahlAl-halli wa Al-aqdi, ada juga yang
berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukalaf dari golongan
Muhammad. Namun yang jelas, arti mukalaf adalah muslim, berakal, dan
telah baligh.
d. Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan
itu dianggap sebagai syari’at.
e. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya
dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-
lain.

Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan


bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama,
juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat. Safiudin
dalam Oawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain- lain.

Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang


memasukkannya sebagai syarat ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab
Hasiyah Jam ‘ul Jawami’ mengartikan zaman dalam definisi ijma’ di atas
dengan zaman mana saja.

5
3. Macam-Macam Ijma'
Menurut Abdul-Karim Zaidan, Ijma' terbagi menjadi 2, yaitu :

a. Ijma' Sarih (Tegas)


Ijma' Sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-
masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap
kesimpulan itu Ijma' Sarih juga diartikan sebagai kesepakatan para
mujtahid atas suatu hukum mengenai persoalan, dengan mengemukakan
pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau keputusan hukum. Tiap-tiap
mujtahid di sini mengeluarkan pernyataan dan pendapatnya dengan jelas,
dengan begitu ijma sharih adalah ijma yang hakiki, dan menjadi hujjah
syar’i. Kesepakatan hukum yang dihasilkan dari ijma jenis sharih telah
dipastikan, sehingga tidak perlu lagi menetapkan hukum lain, serta tidak
mesti berijtihad kembali mengenai permasalahan yang sama.
Contohnya, “seorang mujtahid memberikan fatwa tentang suatu kejadian
(suatu masalah). Kemudian mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya
mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah
difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid
menyepakati pendapat tersebut.”
a. Ijma' Sukuti (Persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian
ulama')
Ijma' Sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan
pendapatnya sedangkan ulama' mujtahid lainnya hanya diam tanpa
komentar.
Lantaran sebagian yang tak berpendapat diam, sehingga tak ada
kepastian mengenai persetujuannya. Karena itu, ijma jenis ini masih
ditentang kehujjahannya. Hasil kesepakatan yang ditetapkan pun
berasal dari pendapat yang terkuat, dan tidak menutup kemungkinan
untuk melaksanakan ijtihad kembali.
Contohnya, “ialah putusan hukum yang diberlakukan oleh Amirul
Mukminin Umar bin Khattab yang menghukum peminum khamr
dengan 80 kali cambukan. Aslinya, dalam hadits disebutkan bahwa
hukuman bagi peminum khamr ialah 40 kali cambukan. Umar

6
menambahi hukuman tersebut dua kali lipat dengan alasan bahwa 40
kali cambukan sebagai hukuman minuman khamr dan 40 kali
cambukan sebagai hukuman karena peminum khamr pasti melakukan
tindakan meresahkan masyarakat karena ia mabuk.”
Putusan hukum ini sifatnya pendapat sepihak dari Umar yang
kemudian diamini oleh para Sahabat lainnya dengan cara diam.
Diamnya para sahabat disini menunjukkan mereka setuju, karena
apabila mereka tidak setuju, pasti mereka akan mengajukan keberatan
kepada Umar, mengingat bahwa para Sahabat pasti tidak akan berdiam
diri jika ada ketidak benaran terjadi di hadapan mereka.

B. Qiyas
1. Definisi Qiyas dan Kehujjahannya
Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya
mengukur. Selain “qasa” kata yang sama artinya dengan mengukur adalah at-
taqdir dan at-taswiyah yang bermakna menyamakan. Qiyas secara bahasa, bisa
berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan
antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan Qiyas sebagai mengukur
dan menyamakan. Sedangkan secara istilah, qiyas menurut ulama ushul
didefinisikan sebagai menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Pengertian Qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu


yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadith dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya secara nash.
Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat hukum.

Demikian juga Wahbah al-Zuhaili yang mengartikan qiyas, yaitu :

7
“Menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan
hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan
‘illat antara keduanya.”

Mayoritas ulama Syafi‟iyyahmendefinisikan qiyas dengan “Membawa


(hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka
menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik
hukum maupun sifat.

Untuk dapat mengerti maksud definisi diatas maka dibawah ini penulis
paparkan beberapa contoh qiyas sebagai berikut:

Haram meminum tuak yang dibuat dari lahang kurma, dasarnya adalah firman
Allah berikut :

ْ َ‫ش ْي ٰطَ ِن ف‬
َ‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬ ٌ ‫اب َوٱَأْل ْز ٰلَ ُم ِر ْج‬
َّ ‫س ِّمنْ َع َم ِل ٱل‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإنَّ َما ٱ ْل َخ ْم ُر َوٱ ْل َم ْي‬
َ ‫س ُر َوٱَأْلن‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90).”

Ayat diatas memberi penegasan bahwa haram juga meminum tuak/khamer


yang dibuat dari bahan lainnya yang diqiyaskan dengan tuak kurma karena bahan
lain tersebut juga dapat memabukkan. Hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil
pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat
yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan
inilah yang menjadi penyebab diharamkannya khamr. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat Al-Maidah 5: 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid
tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum
khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak
ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan
hukum.

8
Dengan contoh-contoh tersebut, maka jelaslah bagaimana definisi qiyas
sebagai sumber hukum Islam yang disepakati para ulama karena penetapan
hukum tersebut tidak menyimpang dari nash al-Qur‟an.

2. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang telah disebut diatas dapat dijelaskan bahwa unsur
pokok atau rukun qiyas terdiri atas empat unsur berikut :

a). Ashl, menurut ahli ushul fiqh, merupakan obyek yang telah ditetapkan
hukumnya oleh ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah atau Ijma'. Contohnya,
pengharaman wisky dengan meng-qiyas-kannya kepada khamar. Maka yang ashl
adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut ahli ushul
fiqh yang dikatakan ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash
inilah yang dijadikan patokan penentuan hukum furu’. Dalam kasus wisky yang di
qiyaskan pada khamar. Maka yang menjadi ashl adalah ayat 90-91 surat al-
Maidah. Sedang Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa Ashl merupakan suatu
peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat meng qiyaskan atau
maqis alaih, tempat membandingkan atau mahmul alaih, musyabbah bih atau
tempat menyerupakan.

b). Hukum Ashl, hukum syara' yang ditetapkan oleh suatu nash atau ijma’ yang
akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman meminum khamar menurut
Nasrun Haroen.

c). Adanya Cabang (Far’u), adalah sesuatu yang tidak ada nashnya menurut
Muhammad Abu Zahrah seperti wisky dalam kasus diatas.

d). Illat, suatu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum, dalam kasus
khamar di atas illatnya adalah memabukkan.

3. Syarat-Syarat Qiyas
Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada
ketentuannya dalam al-Qur‟an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat berikut :

a. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan


artinya hukum yang tetap berlaku.

9
b. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya
sudah ada menurut ketegasan al-Qur‟an dan hadits.
c. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya
hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas.
d. Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena
untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
e. Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
f. Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang pada
asal. Artinya tidak boleh hukum furu‟ menyalahi hukum asal.
g. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum, artinya
illat itu selalu ada.
h. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama,
artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.

4.Macam-Macam Qiyas
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, berdasarkan perbandingan antara illat yang
terdapat pada Ashal dan illat yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga
yaitu :

a. Qiyas Awla, yaitu illat yang terdapat pada far'u (cabang) lebih utama
daripada illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, meng qiyaskan
tentang haram memukul kedua orang tua kepada hukum mengatakan “Ah”
yang terdapat pada ayat 23 Surat Al-isra' :
ٍّ‫فَاَل تَقً ْل لَّ ُه َما اف‬
Artinya :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”. (Q.S. Al-isra’ : 23).”
Karena alasan (illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun,
tindakan memukul yang dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih
menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan
dengan haram mengatakan “ah” yang ada pada ashal.
b. Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada cabang (far’u)
sama bobotnya dengan bobot illat yang terdapat pada ashal (pokok).
Misalnya, illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal

10
ini adalah cabang sama bobot illat haramnya dengan tindakan memakan
harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat :
َ َ‫صلَ ْون‬
‫س ِعي ًرا‬ َ ‫ِإنَّ ٱلَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ َأ ْم ٰ َو َل ٱ ْليَ ٰتَ َم ٰى ظُ ْل ًما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُونَ فِى بُطُونِ ِه ْم نَا ًرا ۖ َو‬
ْ َ ‫سي‬
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S.
An-nisa’ : 10).”
Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
c. Qiyas Al-Adna, yaitu qiyas yang dimana illat yang terdapat pada far’u
(cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat
dalam ashal (pokok). Misalnya sifat memabukkan yang terdapat dalam
minuman keras bir umpanya lebih rendah dari sifat yang memabukkan
yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalam ayat :

ْ َ‫ش ْي ٰطَ ِن ف‬
‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم‬ ٌ ‫اب َوٱَأْل ْز ٰلَ ُم ِر ْج‬
َّ ‫س ِّمنْ َع َم ِل ٱل‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإنَّ َما ٱ ْل َخ ْم ُر َوٱ ْل َم ْي‬
َ ‫س ُر َوٱَأْلن‬
َ‫تُ ْفلِ ُحون‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-maidah : 90).”

Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat yang


memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.

Sedangkan dilihat dari jelas atau tidak jelasnya illat sebagai landasan
hukum, qiyas dibagi menjadi dua yaitu :

d. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang ilatnya ditetapkan dengan nash yang jelas atau
ilatnya tidak ditetapkan dengan nash, namun titik perbedaan antara furu’
dan ashal dapat ditiadakan. Misalnya, meng qiyaskan memukul dua orang

11
tua kepada larangan mengatakan “ah”. Qiyas Jali mencakup apa yang
disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.
e. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang ditarik dari hukum
ashl. Misalnya, meng qiyaskan pembunuhan dengan memakai benda
tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya
persamaan illat, yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada
pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada
pembunuhan dengan benda taj

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau
kesepakatan tentang suatu masalah. Menurut Istilah Ushul Fiqh, didefinisikan
sebagai kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hokum
syara’ pada satu masa setelah Rasulullah SAW wafat.
Macam-Macam Ijma’, yaitu : ijma' sarih dan ijma' sukuti.
Qiyas secara bahasa, bisa berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain
dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang
mengartikan Qiyas sebagai mengukur dan menyamakan. Sedangkan secara
istilah, qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai menerangkan hukum
sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash.
Macam-Macam Qiyas, yaitu : qiyas awla, qiyas musawi, qiyas al-adna, qiyas
Jali, dan qiyas khafi.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas ataupun kuurang dimengerti. Karena
kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Kami
juga sangat mengharapakan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca khususunya bagi kami sebagai penulis.

Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Darul Azka, Kholid Affandi, Nailul Huda. Jam’u Al-Jawami’ (Kajian dan
Penjelasan Ushul Fiqh dan Ushuluddin). Lirboyo Kediri: Santri Salaff Press.
2014.

Ma`luf , Louis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam, Beirut: Dar al-Masriq, 1986

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2007

Mustafa Said al-Khin, Asr al-Ikhtilaf fi al-Qowaid al-Ushuliyah fi Ikhtilafi al-


Fuqaha’, Muassasah al-Risalah, Kairo,1969

Nasrun Haroen, 1997. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Nazar Bakry, 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M. A, 2005. Ushul Fiqh, Jakarta:


Prenadamedia Group

Rachmat Syafe‟i, 1999, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung:
CV. Pustaka Setia

Syafi‟i Karim, 1997. Fiqih Ushul Fiqih: Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV.
Pustaka Setia

Umar Abdullah, Sullam al-Wusul li Ilmal-Ushul, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1956

www.nurulwaton.tripod.com, 2010. Makalah Metode Qiyas Dalam Istinbat


Hukum Menurut Ibnu Hazm: Pendekatan Historis.

14

Anda mungkin juga menyukai