Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQH

TA’ARUDH, TARJIH DAN QAWA’IDUL FIQHIYAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Nurul Qoimah, M.Pd.I.

Disusun Oleh :

1. Aulia Febriana (210101060669)


2. Hikmathurramadhaniah (210101060370)
3. Muhammad Nasywan Hamid (210101060668)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan taufik dan hidayah-nya
kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah “Ushul Fiqh”. Tidak lupa pula shalawat serta salam kita haturkan keharibaan
junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat, kerabat, dan
pengikut jejak langkah beliau hingga akhir zaman.

Dalam hal ini kami mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada ibu
“Nurul Qoimah, M.Pd.I.” selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dan juga
kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Disini penulis berupaya dengan kemampuan yang
ada untuk menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun isi dari makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan agar makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Banjarmasin, 27 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Ta’arudh ............................................................................................... 3
B. Tarjih ................................................................................................... 6
C. Qawa’idul Fiqhiyah .............................................................................. 7

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 13

A. Simpulan .............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqh berupa kaidah
untuk mengetahui cara penggunaannya, mengetahui keadaan orang yang
menggunakannya (mujtahid) dengan tujuan mengeluarkan hukum amali
(perbuatan) dari dalil-dalil secara terperinci dan jelas. Mempelajari ilmu ushul
fiqh sangatlah penting bagi kita, karena hal itu untuk memahami syari’at islam.
Ilmu ushul fiqh merupakan salah satu sarana penting yang harus dipenuhi oleh
siapa saja yang ingin melaksanakan mekanisme ijtihad dan istimbat hukum
dalam islam.
Oleh karena itu, Ketika membahas kriteria mujtahid, tidak heran jika
menuntut ilmu ini merupakan salah satu syarat mutlak. Dengan kata lain,
menjaga proses ijtihad dan istimbat pada koridor yang benar. Namun, ada faktor
yang tak terbantahkan bahwa perolehan ushul fiqh tidak serta merta menjamin
penyatuan hasil ijtihad dan istimbat para mujtahid. Kemudian muncul ilmu-ilmu
seperti Ta’arudh, Tarjih dan Qowa’idul Fiqhiyah yang akan kami bahas didalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat
diambil adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari ta’arudh?
2. Bagaimana cara penyelesaian ta’arudh?
3. Apa pengertian dari tarjih?
4. Bagaimana cara melakukan pentarjihan?
5. Apa pengertian dari qowa’idul fiqhiyah?
6. Apa saja dasar-dasar pengambilan qaidah fiqhiyah?
7. Apa saja qaidah fiqhiyah dan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari ta’arudh
2. Untuk mengetahui cara penyelesaian ta’arudh
3. Untuk mengetahui pengertian dari tarjih
4. Untuk mengetahui cara melakukan pentarjihan.
5. Untuk mengetahui pengertian dari qawa’idul fiqhiyah.
6. Untuk mengetahui dasar-dasar pengambilan qaidah fiqhiyah.
7. Untuk mengetahui qaidah fiqhiyah dan contoh penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ta’arudh
1. Pengertian Ta’arudh
Menurut bahasa arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan
sulitnya pertemuan. Ulama ushul mengartikan ta’arudh ini sebagai dalil yang
masing-masing menghendaki hukum diwaktu yang sama terhadap satu kejadian
yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Contohnya ada ayat
yang mewajibkan kita membuat wasiat untuk orang tua dan kerabat (al-
baqarah:178). Namun, di lain pihak hadits melarang wasiat itu kepada ahli waris.
2. Cara Penyelesaian Ta’arudh
Adapun cara penyelesaian dalam menghadapi ta’arudh atau pertentangan
antara dua dalil dapat dilakukan dengan beberapa metode penyelesaian dari
berbagai ulama, yaitu:
• Menurut Hanafiah
Ulama Hanafiah mengatakan bahwa ta’arudh bisa terjadi antara nash-nash
syara’ ataupun ta’arudh antara dalil-dalil selain nash. Ta’arudh yang terjadi pada
dalil-dalil selain nash. Semisal ta’arudh antara dua qiyas, maka wajib bagi seorang
mujtahid untuk mentarjih kedua qiyas tersebut dengan menggutamakan salah
satunya. Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya
secara sistematis adalah sebagai berikut:
1) Nasakh
Nasakh secara bahasa mengandung dua pengertian. Pertama, nasakh berarti
penghapusan atau peniadaan. Kedua, nasakh berarti pemindahan dari suatu
keadaan kepada keadaan yang lain. Dalam metode ini, seorang mujtahid harus
melacak sejarah dari kedua nash, dan Ketika sudah diketahui mana yang lebih
dahulu datang dan mana yang datang kemudian, maka nash yang datang kemudian
hukumnya menasakh yang terdahulu. Misalnya seperti pertentangan yang terjadi
dalam dua ayat ‘iddah dalam QS. Al-Baqarah:234 dengan QS. Al-Thalaq:4.
2) Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua
dalil yang bertentangan sulit untuk dilacak sejarahnya oleh mujtahid, maka
mujtahid tersebut harus merajihkan salah satu dalil ketika memungkinkan.
Pentarjihan bisa menggunakan beberapa metode tarjih. Contohnya menguatkan
nash yang muhkam dari pada nash yang mufassar dan menguatkan dalil yang
mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh,.
3) Al-Jam’u wa al-Taufiq
Al-Jam’u wa al-Taufiq adalah mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan
setelah mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan kaidah “mengamalkan
kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
Contohnya seperti di dalam QS. Al-Maidah:3
ِّ ‫علَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدَّ ُم َولَحْ ُم ْال ِّخ ْن ِّزي ِّْر َو َما ٓ ا ُ ِّه َّل ِّلغَي ِّْر ه‬
‫ّٰللا ِّبه‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬
َ ‫ت‬
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…” Ayat tersebut tidak
menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang
mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam QS. Al-
Anam:145 “kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir.”
Pengompromian dari kedua ayat tersebut yaitu, bahwa darah yang dilarang adalah
darah yang mengalir.
4) Tasaqut al-Dalilain
Tasaqut al-Dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti
mengugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Hal
ini dapat ditempuh apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara diatas. Contohnya
ada pertentangan antara dua ayat, sedangkan tata cara sebelumnya sangat sulit
untuk digunakan, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengambil
keterangan yang lebih rendah dari Al-Qur’an, yaitu Sunnah. Apabila ada dua
sunnah yang bertentangan maka beralih pada istidlal dengan qoul al-sahabah bagi
yang menggunakan hujjah dan beralih pada qiyas bagi yang tidak menggunakan
istidlal qoul al-sahabah.
• Menurut Syafi’iyyah
Menurut Syafi’iyyah apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas maka yang
dilakukan mujtahid adalah mentarjih salah satu qiyas. Kemudian apabila terjadi
ta’arudh antara dua nash dalam pandangan mujtahid, maka wajib bagi mujtahid
untuk melakukan pembahasan dan berijtihad dengan metode-metode secara tertib.
Adapun metode-metode yang digunakan oleh ulama Syafi’iyyah dalam
menyelesaikan pertentangan antara dalil-dalil, metode ini juga digunakan oleh
ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
1) Al-Jam’u wa al-Taufiq
Menurut aliran Syafi’iyyah cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang
bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. Ketika
memungkinkan untuk mengompromikan, maka sudah seharusnya keduannya
diamalkan dan tidak boleh ditarjih salah satu keduanya. Kemudian ada tiga cara
untuk mengompromikan kedua dalil tersebut, yaitu: 1. Membagi kedua hukum
yang bertentangan, 2. Memilih salah satu hukum, dan 3. Mengambil dalil yang
lebih khusus.
2) Tarjih
Apabila tidak bisa menggunakan metode Al-Jam’u wa al-Taufiq, maka
mujtahid boleh menggunakan metode selanjutnya, yaitu tarjih, yakni menguatkan
salah satu dalil.
3) Nasakh
Apabila metode tarjih tidak dapat memberikan jawaban atas ta’arudh atau
pertentangan antara dua dalil tersebut, maka langkah selanjutnya adalah nasakh.
Yakni membatalkan hukum yang terkandung dalam dalil yang terdahulu dan
mengamalkan hukum pada dalil yang turun kemudian.
4) Tatsaqut al-Dalilain
Langkah terakhir yang dapat digunakan oleh mujtahid jika masih kesulitan
dalam menyelesaikan pertentangan antara dua dalil, yaitu Tatsaqut al-Dalilain.
Yakni meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih pada dalil yang
lebih rendah.
B. Tarjih
1. Pengertian Tarjih
Secara bahasa tarjih adalah “melebihi” sesuatu, sedangkan secara istilah tarjih
yaitu menguatkan salah satu dalil atas dalil-dalil lainnya. Maksudnya memilih
dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang berlawanan atau tidak sama dengan satu
hukum yang sama. Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan terhadap yang lain, sehingga dapat diketahui mana yang lebih kuat
kemudian diamalkan, dan ditinggalkan yang lainnya.
2. Cara Melakukan Pentarjihan
Cara mentarjih dan menguatkan ayat atau hadits yang berlawanan dapat
ditinjau dari segi sanad hadits, matan hadits, kandungan hadits dan hal-hal lain di
luar hadits.
• Tarjih di tinjau dari segi sanad
1) Memilih sanad yang banyak perawinya.
2) Memilih perawinya yang ahli fiqh, karena mereka lebih mengetahui kandungan
hadits yang diriwayatkan.
3) Memilih perawinya yang lebih banyak hafalannya.
4) Memilih hadits yang diceritakan.
5) Memilih perawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakan.
• Tarjih ditijau dari segi matan hadits
1) Memilih matan yang bermakna hakikat dari pada majas.
2) Memilih yang menunjukan maksud dua jalan dari pada satu jalan.
3) Memilih matan yang mengandung makna khusus dari pada yang umum.
4) Mendahulukan yang disertai ancaman dari pada yang tidak.
5) Mendahulukan yang mengandung larangan dari pada suruhan.
6) Mendahulukan yang mengandung suruhan dari pada kebolehan.
7) Mendahulukan yang mengandung isyarat pada hukum dari pada yang tidak.
• Tarjih ditinjau dari segi kandungannya
1) Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang tidak.
2) Mendahulukan kandungan yang mendekati hati-hati.
3) Mendahulukan yang mengandung pembatalan khar dari pada yang
menetapkannya.
4) Mendahulukan yang menetapkan hukum asal.

C. Qawa’idul Fiqhiyah
1. Pengertian Qawa’idul Fiqhiyah
Qawa’idul Fiqhiyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yaitu
kata qawaid dan fiqhiyah, yang mana kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Secara etimologis kata qaidah, jamaknya qawaid artinya adalah asas,
landasan, dasar atau fondasi baik yang bersifat kongkret maupun abstrak, seperti
kata-kata qawaid al-bait, artinya fondasi rumah, Qawaid al-din, artinya dasar-
dasar agama, dan qawaid al-ilmi, artinya kaidah-kaidah ilmu. Adapun pengertian
dari Qawa’idul Fiqhiyah adalah kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum yang
substansi materinya meliputi bagian yang banyak berkaitan dengan hukum-
hukum syara’dan hukum syara’ yang banyak dapat dipahami dari kaidah-kaidah
tersebut.
2. Dasar-dasar pengambilan qaidah fiqhiyah
Dasar pengambilan qaidah fiqhiyah adalah dasar-dasar perumusan qaidah
fiqhiyah, yang meliputi dasar formil dan dasar materiilnya. Dasar formil ialah
apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyah, jelasnya
nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi
penyusunan qawaid fiqhiyah. Sedangkan dasar materiil ialah dari mana materi
qaidah fiqhiyah tersebut dirumuskan.
a. Dasar Formil
Hukum-hukum furu’ yang ada di dalam untaian satu qaidah yang memuat satu
masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
Contohnya seperti di dalam QS. Al-Bayyinah:5
َّ ‫ص ٰلوةَ َويُؤْ تُوا‬
َ‫الز ٰكوة‬ َّ ‫الديْنَ ەۙ ُحنَف َۤا َء َويُ ِّق ْي ُموا ال‬
ِّ ُ‫صيْنَ لَه‬ ‫َو َما ٓ ا ُ ِّم ُر ْٓوا ا ََِّّّل ِّليَ ْعبُدُوا ه‬
ِّ ‫ّٰللاَ ُم ْخ ِّل‬
‫َو ٰذلِّكَ ِّديْنُ ْالقَيِّ َم ِّة‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah allah degan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan demikian itulah
agama yang lurus. Hadits Nabi Muhammad Saw:

‫ت‬ ِّ ‫ِّإ َّن َما األ َ ْع َما ُل ِّب‬


ِّ ‫النيَّا‬
Artinya: “Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya”. Diistimbatkan
hukum berdasarkan niat untuk setiap perbuatan mukallaf bukan saja pada masalah
ibadah, tetapi juga terhadap perbuatan di luar ibadah. Karena persoalan niat juga
mempunyai arti penting dalam persoalan lainnya, maka dirumuskan qaidah
fiqhiyahnya:
‫االمور بمقا صد ها‬
Artinya: “Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”. Jadi,
perumusan qaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk
mempermudah pelaksanaan istimbat dan ijtihad.
b. Dasar Materil
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah, para ulama
adakalanya mengambil dari sebuah hadits, seperti qaidah yang berbunyi:

‫الضرر يزال‬
Artinya: “Kemudharatan itu harus dihilangkan”. Qaidah tersebut berasal dari
hadits Rasulullah Muhammad Saw:
‫ار‬ ِّ ‫ض َر َر َو ََّل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ََّل‬
Artinya: “Tidak boleh membuat mudharat diri sendiri dan tidak boleh
memudharatkan orang lain”. Qaidah dari hadits tersebut berlaku untuk semua
bidang hukum, baik ibadah, muamalah, munakahat maupun jinayat. Dari
qaidah fiqhiyah yang telah dirumuskan dari lafazh hadits tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa qaidah fiqhiyah itu hasil dari perumusan ulama.
3. Qaidah Fiqhiyah dan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
Qaidah fiqhiyah merupakan qaidah-qaidah yang disimpulkan dari dalil-dalil
Al-qur’an dan Sunnah yang mengenai tentang hukum-hukum fiqih. Selain itu,
qaidah fiqhiyah adalah rumusan dari para ulama setelah mereka melakukan
istiqra’ (observasi) terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah mengenai berbagai
hukum fiqih.
Adapun lima qaidah fiqhiyah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai berikut:
1. Qaidah pertama:

ِّ َ‫اَّلُٔ ُم ْو ُر ِّب ِّمق‬


‫اص ِّدهَا‬
(Setiap perkara bergantung pada niat atau tujuannya)
Dalil ini dari hadits Rasulullah Saw :
ِّ ‫إنَّ َما ْاأل َ ْع َما ُل ِّب‬
‫النيَّ ِّة َو ِّل ُك ِّل ْام ِّرئ َما ن ََوى‬
Artinya: “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang
hanya mendapatkan sesuai niatnya”.
Dalam qaidah ini setiap amalan yang dilakukan seseorang sangat
bergantung pada niatnya. Apakah amalan itu akan diterima oleh Allah swt atau
tidak tergantung pada keikhlasan niat seseorang yang mengamalkannya.
Kemudian dalam qaidah ini setiap amalan yang mubah bisa menjadi ibadah, jika
dilakukan dengan niat ibadah. Dan qaidah ini juga bisa dilakukan untuk
membedakan antara perbuatan biasa dengan ibadah dilihat dari niatnya. Serta
suatu ibadah bisa dibedakan dengan ibadah lain dengan melihat pada niat yang
digunakan.
Adapun contoh penerapan qaidah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Kegiatan duduk diam di masjid maka bisa jadi ibadah jika diniatkan untuk
I’tikaf.
2) Menyembelih binatang bisa jadi untuk ibadah kurban, aqiqah atau sekedar
untuk makan-makan biasa tergantung pada niatnya.
3) Puasa bisa jadi puasa qadha atau puasa sunnah tergantung pada niatnya.
2. Qaidah kedua:
َّ ‫ال َي ِّقيْنُ ََّل يُزَ ا ُل ِّبال‬
‫ش ِّك‬
(Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan)
Hadits Rasulullah Saw dari abu Sa’idAl-Khudri:
َ ‫ح الشَّكَّ َو ْليَب ِّْن‬
‫علَى َما‬ ْ َ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ْم أَ ْربَعًا فَ ْلي‬
ِّ ‫ط َر‬ َ ‫ِّإذَا شَكَّ أَ َحدُ ُك ْم فِّى‬
َ ‫صالَتِّ ِّه فَلَ ْم يَد ِّْر َك ْم‬
َ‫ا ْستَ ْيقَن‬
Artinya: “Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu
apakah dia sudah shalat tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia buang
keraguannya dan menetapkan hatinya atas apa yang ia yakini”.
Adapun contoh penerapan qaidah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Jika ada seseorang yang ragu-ragu apakah dia sudah wudhu ataukah belum.
Dan keadaan dia sebelumnya ternyata belum berwudhu, maka yang harus
dia pegang teguh adalah keyakinan dia belum wudhu.
2) Jika ada seseorang yang ragu-ragu tentang waktu shalat subuh apakah sudah
masuk atau belum, maka dia harus mengambil yang yakin. Selama dia
belum punya keyakinan yang kuat, dia harus mengambil keyakinan bahwa
waktu subuh belum masuk. Hal ini karena yang diyakini oleh orang tersebut
tepatnya waktu malam. Sedangkan terbitnya fajar masih diragukan.
3. Qaidah ketiga:
ُ ‫شقَّةُ تَجْ ِّل‬
‫ب الت َّ ْي ِّسي َْر‬ َ ‫ال َم‬
(Kesempitan atau kesulitan akan mendatangkan kemudahan)
Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
‫ي ُِّريدُ اللَّـهُ بِّ ُك ُم ْاليُس َْر َو ََّل ي ُِّريدُ بِّ ُك ُم ْالعُس َْر‬
Artinya: “Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan
kesulitan buat kalian”.
Dalam dalil ini, apabila terdapat kesulitan dalam suatu hal, maka aka nada
kemudahan atas sesuatu yang sebelumnya. Dengan qaidah ini, hadirlah berbagai
macam keringanan dalam beribadah apabila seseorang muslim mengalami
kesulitan.
Adapun contoh penerapan qaidah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Keringanan shalat qashar pada orang yang berada dalam kondisi musafir atau
sedang melakukan perjalanan.
2) Keringan kepada orang yang sedang sakit untuk melakukan shalat dalam
posisi duduk atau berbaring.
3) Mengqadha puasa bagi musafir atau orang yang sedang sakit, dan membayar
fidyahbagi orang yang sudah tidak sanggup lagi berpuasa.
4. Qaidah keempat:
‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َ ‫ال‬
(Kemudharatan hendaknya dihilangkan)
Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
‫ار‬ ِّ َ‫ض َر َر َوَّل‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫َّل‬
Artinya: “Janganlah memberikan mudharat kepada orang lain dan juga diri
kalian sendiri”.
Dalam dalil ini seseorang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang
sebelumnya dilarang untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Adapun contoh penerapan qaidah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Seseorang yang sedang berada dalam kelaparan yang sangat lapar, maka ia
diizinkan untuk makan makanan yang haram untuk menghilangkan rasa
laparnya.dengan syarat tidak ada makanan lain selain makanan haram
tersebut. Dan jika ia tidak makan, makai akan mati.
2) Seorang muslim yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekafiran dengan
ancaman yang nyata, maka dia diperbolehkan untuk mengucapkan kalimat
tersebut dan tetap Islam selama didalam hatinya dia tetap yakin pada ajaran
agama islam dan keyakinannya tidak berubah.
5. Qaidah kelima:
‫العَادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
(Adat atau kebiasaan dapat dijadikan sebagai landasan hukum)
Qaidah ini berasal dari hadits Nabi Muhammad Saw yang menyebutkan:

‫س ِّيئ‬
َ ‫ّٰللا‬ َ َ‫ َو َما َرأَى ْال ُم ْس ِّل ُمون‬،‫سن‬
ِّ َّ ‫س ِّيئًا فَ ُه َو ِّع ْن َد‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِّل ُمونَ َح‬
ِّ َّ ‫ فَ ُه َو ِّع ْن َد‬،‫سنًا‬
َ ‫ّٰللا َح‬
Artinya: “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka
ia disisi allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum
muslimin merupakan keburukan maka ia disisi allah juga merupakan
keburukan”.(HR. Ahmad). Karena pada dasarnya Islam sangat menghargai
budaya atau adat yang dianggap baik.
Adapun contoh penerapan qaidah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1) Penetapan masa haid.
2) Sahnya akad jual beli.
3) Kualitas bahan makanan untuk kafarat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Secara bahasa arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan
sulitnya pertemuan. Ta’arudh dapat diartikan sebagai dalil yang masing-masing
menghendaki hukum diwaktu yang sama terhadap satu kejadian yang menyalahi
hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Adapun cara penyelesaian dalam
menghadapi ta’arudh antara dua dalil dapat dilakukan dengan beberapa metode
penyelesaian dari berbagai ulama. Ulama Hanafiah dalam penyelesaian ta’arudh
menggunakan metode nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq dan tasaqut al-
dalilain. Sedangkan ulama syafi’iyah, malikiyah, hanabilah, dan zhahiriyah, jika
terjadi pertentangan antara dua qiyas, maka seorang mujtahid mentarjih salah
satu qiyas, namun apabila terjadi pertentangan antara dua nash, maka seorang
mujtahid wajib melakukan pembahasan dan berijtihad sesuai dengan tahapan
secara tertib, yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tatsaqut al-dalilain.
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
terhadap yang lain. Kemudian cara mentarjih dan menguatkan ayat atau hadits
yang berlawanan dapat ditinjau dari segi sanad hadits, matan hadits, dan
kandungan hadits. Qawa’idul Fiqhiyah adalah kaidah fikih yang bersifat umum
yang substansi materinya meliputi bagian yang banyak berkaitan dengan hukum-
hukum syara’. Adapun dasar pengambilan qaidah fiqhiyah, yaitu dasar formil
dan dasar materiil.
Qaidah fiqhiyah merupakan qaidah-qaidah yang disimpulkan dari dalil-dalil
Al-qur’an dan Sunnah yang mengenai tentang hukum-hukum fiqih. Adapun lima
qaidah fiqhiyah, yaitu Setiap perkara bergantung pada niat, Keyakinan tidak bisa
dihilangkan karena adanya keraguan, Kesempitan atau kesulitan akan
mendatangkan kemudahan, Kemudharatan hendaknya dihilangkan, dan Adat
atau kebiasaan dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi. Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai
Indonesia. Bandung: Pustaka setia, 2007.
Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka setia, 1998.
Umar, Mu’in. Ushul Fiqh jilid 1. Jakarta: Depag RI 1985.
https://www.bacaanmadani.com/2016/10/pengertian-tarjih-dan-talfiq.html
http://evendimuhtar.blogspot.com/2014/05/tarjih.html
https://www.scribd.com/document/372606139/Pengertian-Qawaid-Fiqhiyyah
http://menaraislam.com/ushul-fiqih/lima-kaidah-fiqhiyah
https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fikih-pokok-dan-contoh.html

Anda mungkin juga menyukai