Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TA’ARUDH AL-ADILLAH DAN CARA PENYELESAINNYA

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah AL-QAWAID AL-USHULIYAH Yang

di ampu oleh Bapak Abdul Jalil, M.HI

Disusun Oleh :

Madila Selvia Ningrum (20382012020)

Hikmatul Hasanah (20382012073

Noviya Roihatul Jannah (20382012032)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT.Yang telah melimpahkan karunianya sehingga kami diberi
kesehatan dan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar. Shalawat serta salam
tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang canggih seperti sekarang ini,
sehingga kami bisa mencari refrensi dengan lancar dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini kami mengambil judul “TA’ARUDH AL-ADILLAH”
karena kita sebagai pendidik dan mengambil jurusan hukum keluarga islam jadi kita harus tau
tentang seluk beluk Ta’arudh Al-Adillah.

Kami ucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Kami haturkan terimakasih kepada kedua orangtua kami yang telah
memfasilitasi kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dan kami juga haturkan
terimakasih kepada yang terhormat Bapak Abdul Jalil, M. HI yang telah membimbing kami,
atas saran dan masukannya sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan baik dan benar.

Makalah ini tentu jauh dari kata sempurna maka dengan ini kami meminta kritik dan saran
serta masukan dari pembaca agar makalah ini dapat di perbaiki dengan baik.

Penulis

Pamekasan, 20 November 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesame manusia dan sesame makhluk.
Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu,
maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam
menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar
dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh
umat muslim untuk membuat hukum, namun disana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syaria’at. Dasar
utama yang digunakan oleh umat islam dalam menentukan hukum adalah al-
quran dan hadist, namun dalam penentuan suatu hukum, maka muncul produk
hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat islam menjalankan roda-roda kehidupan
dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas
dari kelemahan dalam pemahaman. Maka disini dikenal dengan ta’arudh al-
adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam
memahami sesuatu namun disana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru
untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ta’arudh al-adillah ?
2. Bagaimana cara menyelesaikan Ta’arudh al-adillah menurut Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Zhahiriyah ?
3. Apa saja Jenis-jenis Ta’arudh al-adillah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ta’arudh al-adillah.
2. Untuk mengetahui cara menyelesaikan Ta’arudh al-adillah menurut Hanafiyah,
Syafi’iyah, dan Zhahiriyah.
3. Untuk mengetahui Jenis-jenis Ta’arudh al-adillah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh Al-adillah


Secara etimologi Ta’arud yaitu saling bertentangan, sedangkan secara
terminologis, ta’arudh yaitu :
‫تقا بل الد يحبث يخا لف أحد هما اال خر‬
Yang artinya : “ Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda atau
bertentangan dengan dalil lainnya.”
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa dalil
tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa perbuatan
tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.
Sebenarnya menurut Dr. Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pndangan mujtahid,
bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka piker inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi
pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1
Dalil-dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang shahih,
sehingga apabila terdapat pertentangan harus dicari solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian dari
kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan karena adanya
pertentangan antara dua dalil , hal tersebut adalah wajar. Yang paling utama adalah
mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan masuk akal.

B. Cara menyelesaikan Ta’arudh al-adillah menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan


Zhahiriyah.
a. Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ta’arudh bisa terjadi antara
nashnash syara’ ataupun ta’arud antara dalil-dalil selain nash. Ta’arud yang
terjadi pada dalil-dalil selain nash, semisal ta’arud antara dua qiyas, maka
waijb bagi seorang mujtahid untuk mentarjih kedua qiyas tersebut dengan
mengutamakan salah satunya.

1
Dr. Mardani. Ushul fiqih. Jakarta: Rajawali pers.2013. Hal.391
Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya
secara sistematis adalah sebagai berikut:
1. Nasakh
Dari metode ini, seorang mujtahid harus melacak sejarah dari kedua
nash, dan ketika sudah diketahui mana yang lebih dahulu datang dan
mana yang datang kemudian, maka nash yang datang kemudian
hukumnya menasakh yang terdahulu. Contohnya seperti pertentangan
yang terjadi dalam dua ayat ‘iddah dalam QS. Al-Baqarah (2): 234
dengan QS. Al-Thalaq (65): 4.
Sahabat Ibnu Mas’ud, kaitannya dengan permasalan dua ayat

‘iddah tersebut menjelaskan bahwa ayat kedua (QS. Al-Thalaq (65): 4)


yang datang kemudian me-nasakh hukum yang terkandung dalam ayat
pertama (QS. Al-Baqarah (2): 234). Menjelaskan pendapat Ibnu
Mas’ud

dalam masalah ini, Dedi Supriyadi menguraikan sebagai berikut:QS.


AlBaqarah (2) ayat 234 mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan QS.
AthThalaq (65) ayat 4 hanya mengenai perempuan yang ditinggal mati
oleh suaminya dalam keadaan hamil. Menurut Ibnu Mas’ud, QS. Al-
Baqarah (2) ayat 234 turun lebih dahulu dan QS. Ath-Thalaq (65) ayat
4 turun kemudian. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa
ayat terdahulu mansukh oleh ayat yang turun kemudian, yang lebih
tepat adalah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 membatasi (takhsis)
keumuman makna QS. Al-Baqarah (2) ayat 234.
2. Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung
ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit dilacak
sejarahnya oleh seorang mujtahid, maka mujtahid tersebut harus me-
rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan. Pen-tarjih-an bisa
menggunakan beberapa metode tarjih. Semisal menguatkan nash yang
muhkam dari pada nash yang mufassar, menguatkan dalil yang
mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh,
dan dari segi ‘adalah, dhabit, faqih dan sebagainya seorang perawi
hadits.2
3. Al-Jam wa al-Taufiq
Al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang
bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan
kaidah “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan
atau mengabaikan dalil yang lain”3. Misalnya firman Allah swt., dalam
surat al-Maidah (5): 3:

‫ َّل لِ َغي ِْر هال ٰ ِّل بِ ٖه‬kُ‫ْح ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا ا ُِِه‬kََْ ‫َُُّم َول‬kl ‫ت َعلَيْك ُُم ْال َميْتةَُ َوالد‬
ْ ‫ُح ِر َم‬

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,


(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

Ayat diatas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak


membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah
beku. Kemudian ada ayat lain dalam surat al-An’am (6): 145: kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir. Pengompromian
dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang
mengalir.

4. Tasaqut al-Dalilain
Tasaqut al-dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti
menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih
rendah. Hal ini ditempuh apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara
diatas. Misalnya ada pertentangan antara dua ayat, sedang tata cara
sebelumnya sangat sulit dipakai, maka langkah yang harus ditempuh
adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari al-Quran, yaitu
Sunah. Apabila ada dua sunah yang bertentangan maka beralih pada
istidlal dengan qoul al-sahabah bagi yang menggunakannya sebagai

2
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Bandung: Pustaka setia,
2007),83.
3
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 227.
hujjah dan beralih pada qiyas bagi yang tidak menggunakan istidlal
qoul al-Sahabat.
b. . Menurut Syafi’iyah

Menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas


maka yang dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas.
Kemudian apabila terjadi pertentangan atau ta’arud antara dua nash dalam
pandangan seorang mujtahid menurut madzhab Syafi’iyah, malikiyah, Hanabilah,
dan Zhahiriyah wajib bagi mujtahid untuk melakukan pembahasan dan berijtihad
sesuai dengan tahapan-tahapan berikut ini secara tertib.

1. Al-Jam’u wa al-Taufiq
Menurut aliran Syafi’iyah cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil
yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut.
Ketika memungkinkan untuk mengompromikan, maka sudah seharusnya
keduanya diamalkan dan tidak boleh men-tarjih salah satu antara
keduanya. Argumentasi mereka adalah bahwa mengamalkan dua dalil
yang bertentangan lebih utama daripada mendisfungsikan salah satu dalil
secara keseluruhan. Cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua
dalil tersebut ada tiga: (1) Membagi kedua hukum yang bertentangan. (2)
Memilih salah satu hukum. (3) Mengambil dalil yang lebih khusus,
misalnya tentang masa ‘iddah wanita hamil. Yang menurut Hanafiyah
menggunakan metode nasakh.
2. Tarjih
.Apabila tidak bisa menggunakan metode al jam’u wa taufiq, seorang
mujtahid beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu tarjih, yakni
menguatkan salah satu dalil.
3. Nasakh
Ketika cara tarjih tidak dapat memberikan jawaban atas ta’arud baina
aladillah, maka melangkah pada nasakh. Yakni membatalkan hukum yang
terkandung dalam dalil yang terdahulu dan mengamalkan hukum pada
dalil yang turun kemudian.
4. Tatsaqut al-Dalilain
Langkah terakhir yang ditempuh apabila seorang mujtahid merasa
kesulitan menyelesaikan pertentangan antar dalil ialah Tatsaqut al-
dalilain. Yakni meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih
pada dalil yang lebih rendah derajatnya.4
c. Menurut zahariyah
Untuk menyelesaikan dua dalili yang bertentangan adalah dengan
mengompromikan kedua dalil tersebut. Cara yang di gunakan untuk
mengompromikan kedua dalilil tersebut menurut mereka ada tiga:
a) Membagi kedua hukum yang bertentangan.
b) Memilih salah satu hukum.
c) Mengambil dalil yang lebih husus. Misalnya tentang masa iddah
wanita yang hamil. Yang menurut hanafi menggunkan metode nasakh.

C. Jenis-Jenis Ta’Arudh Al-Adillah


Dalam ta’arudh al-adillah ada empat jenis, yaitu:
a. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Sebagaimana
firman Allah:
ْ ‫ْر َكبُوْ هَا َو ِز ْينَ ة َو‬kََْ ‫و َّْال َخ ْي َل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِم ْي َر لِت‬.
ُ ُ‫يخَ ل‬
َ‫ْعلَ ُموْ ن‬kََْ ‫ق َما َل ت‬
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu
tidak mengetahuinya. (QS.An-Nahl (16):8).
Ayat diatas, dapat diambil sebuah pengertian bahwa kuda, baghal,dan
keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedangkan ayat berikut

bermakna berbeda ِ ‫هلُل‬


‫اهلذي َج َع َل ل ُك ُم الْ ْن َع َام لتَ ََْْكبوا ِم ْن َه ا َو ِم ْن َه ا‬ َُّ ‫ا‬

‫تَ ُكلو َن‬


Allah lah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu,sebagiannya
untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min
(40):
79).
4
Khoirul Fatoni, Metode Penyelesaian Ta’arudh Al-Adilah Dalam Metedeologi Hukum Islam ( vol 2 (1), 2020, 45-
64), 52-53.
b. Ta’arudh antara Sunnah dan Sunnah
‫عن عائشة و ام سالمة رضي هللا عنها ان النبي صلى هللا عليه وسلم كان يصلح جنبا من جماع ثم‬
(‫يغتسل و يصوم ) متق عليه‬
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra, bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh
dalam keadaan junub karena melakukan jima’ kemudian mandi dan
menjalankan puasa.
Hadis ini bertentangan dengan hadis lain yang berbunyi:
‫اذا نودي للصالة الصبح و احدكم جنبا فال يصوم يوم ه‬
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu di antaramu
dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu.
c. Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas
Ta’arudh antara sunnah dengan Qiyas,dapat dilihat dalam contoh tentang
ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putri
dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadis:
‫العقيقة حق عن الغالم شاتان مكافءتان و عن الحرية شاة‬
Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laiki-laki dua
kambing dan intik anak perempuan seekor kambing. (HR. Asma binti
Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang
lebih besar, Unta lebih besar dari Sapi dan Sapi lebih dari Kambing, ini
hampir pendapat sebagian besar fuqoha. Sedang yang berpegang pada
bunyi hadis diatas adalah Iman Malik, nahwa aqiqaj itu dilakukan dengan
menyembelih Kambing.
d. Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad
saw. Terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim:
‫ تزوجني رسول هللا صلى هللا عليه وسلم للسبت سنين و بني بي و انا بنت تسع‬:‫و عن عائشة قالت‬
(‫سنين) رواه مسلم و عن عائشة‬

Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya


berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang
telah berumur sembilan tahun. (HR. Muslim dari Aisyah).
Berdasarkan hadis diatas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan
mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin
yang bersangkutan yang masih dibawah umur, demikian pendapat
Hanifiyah.
Sedangkan ulama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.5

5
Samsul munir amin,kamus ilmu usul fiqih,took jumantoro,(Jakarta:amzah,2005).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara etimologi Ta’arud yaitu saling bertentangan. Sedangkan secara
terminologis ta’arudh yaitu “pertentangan dua dalil, antara satu dalil
berbeda/bertentangan dengan dalil lainnya.
2. Cara menyelesaikan Ta’arudh Al-Adillah menurut Hanafiyah ada 4 yaitu, :
Nasakh, Tarjih, Al-jam wa Al-Taufiq, Tasqut al-Dilalain.
Menurut Syafi’yah : Al-jam wa al-Taufiq, Tarjih, Nasakh, Tasqut al-Dilalain.
Menurut Zahariyah untuk menyelesaikan dua dalili yang bertentangan adalah
dengan mengompromikan kedua dalil tersebut.
3. Ta’arudh al-adillah ada 4 jenis yaitu : Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan
AlQur’an, Ta’arudh antara Sunnah dan Sunnah, Ta’arudh antara Sunnah
dengan
Qiyas, Ta’arudh antara Qiyas denga Qiyas.
B. SARAN
Sebaiknya kita sebagai mahasiswa apalagi prodi Hukum Keluarga Islam kita
harus mengetahui lebih luas mengenai Ta’arudh Al-Adillah, karena itu merupakan
hal yang penting buat kita ketahui.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mardani. Ushul fiqih. Jakarta: Rajawali pers.2013. Hal.391

Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam.Cet.I; Depok:
Kencana, 2017.

Koto , Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Supriyadi ,Dedi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia
.Bandung: Pustaka setia, 2007.

Syafe’I ,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Fatoni ,Khoirul.Metode Penyelesaian Ta’arudh Al-Adilah Dalam Metedeologi Hukum Islam


( vol 2
(1), 2020.

Munir Samsul Amin, kamus ilmu usul fiqih,took jumantoro,Jakarta:amzah,2005.

Anda mungkin juga menyukai