Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Pertentangan antara dalil-dalil hukum”

Diajukan untuk memenuhi tugas Fiqh Muqarran

Kelompok 4

Zul Anggrawinata 1322011

Abdul Aziz 1322017

Alfi Rizki 1322028

Bima Fahrur Razi 1323052

Dosen Pengampu:

H. Raymond dantes, Lc, M. Ag

PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

1443 H / 2024 M

0
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini dengan judul
“PERTENTANGAN ANTARA DALIL-DALIL HUKUM”

Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan


sumber-sumber materi penunjuang yang dapat menunjang terselesainya makalah
ini. Akan tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini, justru bagi kami itu adalah tantangan yang harus bisa dituntaskan
dengan cepat dan tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada Bapak
selaku dosen pembimbing dalam penyusunan makalah ini. Namun demikian,
disadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik
ditinjau dari segi isi, metodologi penulisan, maupun analisanya. Oleh karena itu,
saran dan kritik penulis harapkan sebagai perbaikandari makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bukittinggi. 16 Maret 2024

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2
BAB I ........................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
C. Tujuan Masalah ................................................................................................ 4
BAB II .......................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................... 5
A. Pengertian ......................................................................................................... 5
B. Bentuk-Bentuk Pertentangan di Antara Dalil-Dalil Hukum ......................... 7
C. Penyelesaian Dalil-dalil yang Bertentangan .................................................. 9
BAB III ...................................................................................................................... 17
PENUTUP ................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan..................................................................................................... 17
B. Saran ............................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum fiqh memiliki lapangan yang luas, meliputi berbagai aturan


dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dan khaliqnya dan
hubungan manusia dengan sesama mahluk. Yang dalam pelaksanaannya
juga berkaitan dengan situasi dan keadaan tertentu, maka mengetahui
landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan
hukum tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh allah bukanlah sebuah agama yang


tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri
yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun disana
ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang
sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat islam
dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan hadist, namun seiring
munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam
penentuan suatu hukum, maka muncullah produk hukum ijma’ dan qiyas.

Dengan dasar itulah umat islam menjalankan roda-roda kehidupan


dengan syari’at yang telah terlandakan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukan suatu huum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak
terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka disini dikenal dengan
ta’arudh al-dilalah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang
terbatas dalam memahami sesuatu namun disana juga ditetapkan suatu
aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang maslahah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu pertentangan antara dalil-dalil hukum?


2. Apa saja bentuk-bentuk dari pertentangan antara dalil-dalil?
3. Bagaimana penyelesaian terhadap dalil-dalil yang bertentangan?

3
C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari pertentangan antara dalil-dalil


hukum.
2. Untuk mengetahui bentuk bentuk dari pertentangan antara dalil
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terhadap dalil-dalil yang
bertentangan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dalil hukum

Dalam kajian ushul fiqh, secara lugawi para ulama ushul


mengartikan dalil dengan "sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada
apa yang dikehendaki". Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa,
menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah:

“Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau
yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Adapun menurut istilah Ushul, para ulama ushul secara redaksional


berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf
menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

“Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan


pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara' yang bersifat
amali, baik secara qat'i maupun secara zhani.”

Kemudian, Ibn al-Subki, dalam kitab Main Jam'i menyebutkan


pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah:

“Apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang


dikehendaki, yaitu hukum syara' dengan berpijak pada pemikiran yang
benar”.

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami


bahwa pada dasarnya, yang disebut dengan dalil hukum ialah segala
sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan
dan menetap kan hukum syara' atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat.

Namun dalam perkembangannya timbul masalah yang mana terjadi


pertentangan antara dalil-dalil hukum tersebut. Yang mana satu dalil
menyebutkan/mengeluarkan suatu hukum, sedangkan dalil yang lainnya

5
mengelurakan hukum yang berbeda atas masalah yang sama. Hal ini lah
yang dinamakan dengan ta’arudh al-dilalah.1

Secara etimologis, taarudh berasal dari kata aradha yang artinya


menghalangi, mencegah, atau membandingi. Sementara ta’arudh berarti
saling mencegah, menentang, atau menghalangi, pertentagan antara dua
hal, saling berhadapan, dan saling menghalangi. Sementara al-adillah
adalah bentuk plural/jamak dari kata dalil, yang berarti argumen, alasan,
dalil, dan dasar. 2 Adapun secara terminologi, para ulama memiliki
berbagai pendapat tentang definisi ta’arudh al-dilalah, diantaranya adalah:

1. Khudari Beik: “ta’arudh al-dilalah adalah dalil yang menunjukkan


suatu hukum yang bertentangan dengan dalil yang lain”
2. Wahbah Zuhaily: “ta’arudh al-dilalah adalah salah satu dari dua dalil
yang menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan
dalil lain menunjukkan hukum yang berbeda dengan itu.”3
3. Imam As-Syaukani: “ta’arudh al-dilalah adalah suatu dalil yang
menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil tersebut.”
4. Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani: “ta’arudh al-dilalah adalah
pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk
dikompromikan antara keduanya.”
5. Ali Hasballah: “ta’arudh al-dilalah adalah terjadinya pertentangan
hukum yang dikandung suatu dalil dengan hukum yang dikandung
dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat”4

Adapun ulama mutaqaddimin mendefinisikan ta’arudh dengan


suatu ungkapan yang dipakai untuk saling meniadakan dua dalil atau
beberapa dalil yang menunjukkan pertentangan yang sulit unyuk
mengkompromikan keduanya. Seperti dalil yang satu menunjukkan hukum
wajib, sementara yang lain menunjukkan hukum yang lainnya. 5Pun Abdul
Wahab Khalaf mendefenisikan ta’arudh secara singkat, yakni perbedaan

1
Drs.Romli, Muqaran Mazahib Fiil Ushul ( Jakarta : Gaya Media, 1999 ) hlm, 41
2
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam (Yogyakarta: Magnum Pustaka
Utama, 2019) hlm 191
3
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh (Jakarta: AMZAH, 2019) hlm 224
4
Darmawati, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2019) hlm 100
5
Ahmad Atabik “kontradiksi antar dalil dan cara penyelesaiannya perspektif ushuliyyin” jurnal
pemikiran hukum dan hukum islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, hlm 258

6
antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari berbagai definisi
tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan
bahwa ta’arudh itu merupakan pembahasan antara dua dalil yang
bertentangan.6 Sehinggga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan
tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat
terjadi antara ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an yang lain, hadist mutawatir
dengan hadist mutawatir yang lain. Sebaliknya, perlawanan tersebut tidak
akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, karena ada
hakikatnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan. 7

B. Bentuk-Bentuk Pertentangan di Antara Dalil-Dalil Hukum

Menurut Abdul Wahab Khallaf, secara bahasa, pertentangan antara


dalil berarti bertentangannya sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun
secara istilah, adalah bertentangnya suatu hukum dengan hukum yang lain
yang meng hendaki sebuah ketetapan yang sama pada satu waktu Contoh
ada dua ayat dalam al-Qur’an yang secara zhahir nampak berlawanan.
Salah satu ayat yang dimaksud menjadikan iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut
sedang hamil ataupun tidak. 8 Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 234 :

ْ ‫َوا لَّ ِذيْنَ يُت ََو َّف ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْونَ ا َ ْز َوا ًجا يَّت ََرب‬
‫َّصنَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ا َ ْربَ َعةَ ا َ ْش ُهر َّو َع ْش ًر ا فَ ِا ذَا بَ َل ْغنَ اَ َجلَ ُه َّن‬
‫ّلل ِب َما ت َ ْع َملُ ْونَ َخبِيْر‬ُ ٰ ‫ف َوا‬ ِ ‫فَ َل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ ِف ْي ا َ ْنفُ ِس ِه َّن بِا ْل َم ْع ُر ْو‬

"Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri


hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa
bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut
cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 234)

Dan dalam surah at-talaq ayat 4

ُ‫ول ت‬ ْ ‫ارت َ ْبتُ ْم فَ ِعدَّتُ ُه َّن ث َ ٰلثَةُ ا َ ْش ُهر َّوا ل ٰــئِـ ْي َل ْم َي ِح‬
َ ُ ‫ضنَ َوا‬ ْ ‫سآئِ ُك ْم ا ِِن‬
َ ِ‫ْض ِم ْن ن‬ ِ ‫َوا ل ٰــئِـ ْي َيئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِحي‬
‫ّللا َيجْ َع ْل لَّه ِم ْن ا َ ْم ِره ُيس ًْر ا‬ َٰ ‫ق‬ َ َّ‫ال حْ َما ِل اَ َجلُ ُه َّن ا َ ْن ي‬
ِ ‫ض عْنَ َح ْملَ ُه َّن َو َم ْن يَّـت َّـ‬ َْ

6
Darmawati, op. cit., hlm 101
7
Agus Miswanto, op. cit., hlm 193
8
Akhmad Haries, Ushul Fiqh Sumber Hukum Dan Metode Hukum Istinbath Hukum, ( Jakarta :
Bening Media Publishing : 2021 ) hlm 276

7
"Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-
istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya."(QS. At-Talaq 65: Ayat 4)

Dua ayat di atas harus dikompromikan. Jika istri yang ditinggal


suaminya sedang hamil, maka hendaknya ber-iddah dengan salah satu
tempo yang lebih lama dari dua ketentuan di atas (melahirkan dan empat
bulan sepuluh hari). Seandainya ia melahirkan kandungannya sebelum
empat bulan sepuluh hari dari tanggal wafat suaminya, maka ia harus
menanti (ber-iddah) sampai sempurna empat bulan sepuluh hari. Dan
apabila empat bulan sepuluh hari ia belum juga melahirkan maka iddah-
nya sampai dia melahirkan. Dengan melihat kedua ayat tersebut, berarti
telah terjadi dua nash (dalil) yang saling bertentangan dalam pandangan
mujtahid. Selain kedua ayat di atas yang kelihatan zhahirnya bertentangan,
juga terjadi pada hadits tentang riba. Hadits pertama yang berbunyi:
“Tidak ada riba selain riba nasi’ah (riba yang muncul dari hutang
piutang).”9 Hadits kedua berbunyi: “Janganlah kalian menjual gandum
dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” Hadits yang pertama
membatasi pengharaman riba pada riba nasi’ah saja, dan konsekwensinya
berarti membolehkan riba fadhl. Sedangkan hadits kedua mengharamkan
riba fadhl. Jadi diantara kedua hadits tersebut nampak bertentangan dalam
masalah riba fadhl, Satu hadits membolehkannya, dan hadits yang lain
melarangnya.

Terdapat juga dalam surah lain yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183

َ‫ب َع َلى الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ُک ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْون‬ َ ِ‫ـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْو ا ُكت‬
ِ ‫ب َعلَ ْي ُک ُم‬
َ ِ‫الصيَا ُم َک َما ُكت‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)

Dan dalam Hadis rasulullah saw yang artinya : “Sesungguhnya Allah telah
memberi hak kepada setiap pemilik hak. Maka tidak ada wasiat untuk ahli
waris” (HR. Ahmad dan Ashab Sunan dan Nasai).
9
Ibid, hlm 277

8
Yang perlu digaris bawahi, bahwa “pertentangan” hanya muncul
karena keterbatasan kemampuan seorang mujtahid dalam memahami dalil-
dalil yang ada, bukan karena memang antar dalil terjadi pertentangan,
Sebab di dalam syariat tidak ada yang namanya pertentangan. Karena
ta’arudh itu sendiri maknanya pertentangan, perlawanan, kontradiksi. Dan
mustahil bagi Syari’ untuk menciptakan dua dalil yang saling berlawanan
dalam satu waktu dan dalam satu masalah. Sebab yang demikian itu akan
menunjukkan tanda tanda ketidak mampuan Syari’. Dan itu hukumnya
mustahil bagi Allah. Sedangkan Asy-Syathibi menjelaskan bahwa semua
furu’ yang terdapat dalam ajaran Islam kembali ke satu kata, meski banyak
perselisihan.10

C. Penyelesaian Dalil-dalil yang Bertentangan

Ta’arudh al-dilalah merupakan suatu permasalahan yang harus


mendapat solusi. Kedua dalil atau beberapa dalil yang dianggap
kontradiksi oleh fuqaha harus diselesaikan dengan metode yang tepat
berdasarkan metodologi pengkajian ushul fiqh. Apabila ditemukan dua
dalil yang bertentangan secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan
untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah
diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan
perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka
pelaksanaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul
telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang
kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah
sebagai berikut:“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik
daripada meninggalkan keduanya.”11 Dari kaidah di atas dapat
dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-
caranya sebagai berikut:

1. Mengamalkan dua dalil yang berkontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)

Dapat ditempuh dengan cara: Taufiq (kompromi). Maksudnya


adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang
diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang
ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya
kontradiksi:

10
Ibid, hlm 278
11
Darmawati, op. cit., hlm 101

9
Contoh dalam QS. al-Baqarah [2]: 240

‫ل ْز َوا ِج ِه ْم َّمت َا ًعا اِلَى ْال َح ْـو ِل َغي َْر ا ِْخ َر ا ج فَ ِا‬
َ ِ ً‫صيَّة‬ ِ ‫َّو‬ ‫َوا لَّ ِذيْنَ ُيت ََو َّف ْونَ ِم ْن ُک ْم َو َي َذ ُر ْونَ ا َ ْز َوا ًجا‬
‫ّلل َع ِزيْز َح ِکيْم‬ ُ ٰ ‫ِف ْي ا َ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َّم ْع ُر ْوف َوا‬ َ‫ْن خ ََرجْ نَ فَ َل ُجنَا َح َعلَ ْي ُک ْم ِف ْي َما فَ َع ْلن‬

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu, dan


meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya, dengan tidak disuruh pindah
(dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal), membiarkan
mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha
Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”

Dengan ayat QS. al-Baqarah [2]: 234:

ْ ‫َوا لَّ ِذيْنَ يُت ََو َّف ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْونَ ا َ ْز َوا ًجا يَّت ََرب‬
َ‫َّصنَ ِبا َ ْنفُ ِس ِه َّن ا َ ْربَ َعةَ ا َ ْش ُهر َّو َع ْش ًر ا فَ ِا ذَا بَلَ ْغن‬
‫ّلل ِب َما ت َ ْع َم ُل ْونَ َخ ِبيْر‬
ُ ٰ ‫ف َوا‬ ِ ‫ا َ َجلَ ُه َّن فَ َل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ فِ ْي ا َ ْنفُ ِس ِه َّن ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬

“Orang-orang yang meninggal di antaramu ‫ َوا‬dan meninggalkan istri-


istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh
hari.”

Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat


yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat
yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari. 12
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa
yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama
adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya
selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Adapun masa iddah
selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya
adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa
itu.

Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zahir berbenturan dan
tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu di antara dalil
tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang
khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus.

12
Ibid, hlm 102

10
Adapun dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah
dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. al-Baqarah: 228 yang artinya: “Wanita-
wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tiga kali
sesuci.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah
mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 234)

Perbenturan secara zahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang
ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai
suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai
melahirkan anaknya. Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua
dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi
istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha
takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari
keumumannya.

2. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan

Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau


di-takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya.
Dengan demikian, hanya satu dalil yang dapat diamalkan. 13 Usaha
penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan tiga cara:

Nasakh maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu


di antara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih
dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan
turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku
untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Contoh: “Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur,


maka sekarang berziarahlah.” Keterangan waktu yang menjelaskan
berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum
berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apa pun,
tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya
daripada yang satunya, maka yang terakhir ini me-nasakh yang lebih

13
Ibid, hlm 103

11
dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada Hadis di atas, dan juga
Hadis di bawah ini yang berbunyi: “Sesungguhnya saya telah

melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga


hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”

Tarjih maksudnya adalah apabila di antara dua dalil yang diduga


berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau
berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun
ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu di
antaranya lebih kuat daripada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang
disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain
ditinggalkan. Contoh: Seperti mendahulukan kabar dari Aisyah r.a.
tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan daripada khabar
Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani. 14

Takhyir maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat


ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih
mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan
cara memilih salah satu di antara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.

3. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan

Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak


mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan
cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun
cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk,
yaitu: Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil
tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk
mengamalkan salah satu di antara keduanya. Tasaquth (saling
berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil
yang lain untuk diamalkan. 15

Dalam menyelesaikan ta’arudh al-dilalah menurut ulama


hanafiyah sebagai mana yang dipelopori oleh Al-Bazdawi, dengan
cara nasakh, tetapi jika nasakh tidak dapat dilakukan karena tidak
diketahui dalil yang turun terlebih dahulu, harus merujuk pada dalil

14
Ibid, hlm 104
15
Ibid, hlm 105

12
setelahnya. Apabila terdapat dua dalil al-qur’an yang kontradiksi, dan
tidak dapat diketahui sejarah turunnya maka harus merujuk pada
sunnah. Apabila terdapat dua sunnah yang kontradiksi, dan tidak dapat
dilakukan nasakh, harus merujuk pada qiyas atau perkataan sahabat.
Namun, terjadi kontradiksi antara dua qiyas, tidak boleh dilakukan
nasakh salah satu diantaranya, nasakh hanya berlaku pada al-qur’an
dan sunnah. Kedua qiyas yang kontradiksi tidak dapat dijatuhkan,
bahkan harus diamalkan salah satunya pada suatu kondisi sesuai
dengan kehendak hati. 16

Sementara menurut ulama kalangan syafi’iyah di antaranya Al-


Ghazali berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam
menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai
berikut:

1. Nasakh, yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan


didasarkan pada dalil yang alasan kemudian yang mengandung
hukum yang berbeda. Seorang mujtahid berusaha untuk melacak
sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang
datang kemudian.
2. Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung
ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit untuk
dilacak sejarahnya, dapat menggunakan tarjih dengan
mengemukakan alasan-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut.
Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: (1)
petunjuk terhadap kandungan lafal suatu nash. Misalnya
menguatkan nash yang hukumnya pasti (muhkam) dan tidak dan
tidak dapat dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti namun
dapat diubah (mufassar). (2) dari segi yang dikandungnya
misalnya, menguatkan dalil yang megandung hukum haram dari
dalil yang mengandung hukum boleh. (3) dari segi keadilan
periwayatan suatu hadis.
3. Al-jam’u wa al-taufiq, yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang
bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah
“mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain”
4. Tasaquthal-dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan dan mencari yag lebih rendah. Hal ini ditempuh
16
Amrullah hayatudin, op.cit, hlm 234

13
apabila tidak dapat menggunakan ketiga cara diatas. Misalnya, ada
pertentangan antara dua ayat, sedangkan ketiga cara diatas tidak
dapat ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih rendah
dari al-qur’an yaitu sunnah. Apabila masih bertentangan, diambil
metode qiyas (analogi). Namun, menurut ulama hanafiyah, seorang
mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila
telah menggunakan ketiga cara tersebut. Penggunaan metode
penyelesaian ta’arudh al-dilalah harus dilakukan secara berurutan.
17

Akan tetapi menurut Al-Syatibi, cara penyelesaian ta’arudh –al


dilalah adalah sebagai berikut:

1. Jam’ut al-taufiq, menurut ketiga ulama diatas, cara pertama untuk


menyelesaikan kedua dalil tersebut adalah dengan
mengkompromikan kedua dalil tersebut. Mengamalkan kedua dalil
tersebut. Mengamalkan kedua dalil yang kontradiksi lebih baik
daripada menjatuhkannya
2. Tarjih, terdapat dua dalil yang kontradiksi yaitu satu dalil yang
menfikan dan yang lain menetapkan suatu hukum, dan tidak
mungkin dikompromikan maka harus ditarjih.
3. Tatsaqutal-dalilain, tidak dapat di tarjih maka harus tatsaqut, yaitu
meninggalkan dua dalil yang bertentangan dan mencari dalil lain,
keduanya termasuk dalil mutasyabih (samar-samar maknanya)

Sementara Al-Razi berbeda pendapat dengan Al-Syatibi dan Al-


Ghazali dlam menyelesaikan ta’arudh al-dilalah. Al-Razi
mendahulukan tarjih dalam menyelesaikan ta’arudh al-dilalah.
Namun, menurutnya tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil
karena diketahui ada yang lebih kuat dari selainnya, harus diamalkan
yang lebih kuat dan meninggalkan yang lain. Akan tetapi, Al-Razi
mensyaratkan langkah tarjih sah dilakukan apabila telah
disempurnakan salah satu dari dua dalil. Apabila salah satu dari dua
dalil terdapat perbedaan, tidak sah ditarjih karena tarjih tidak berlaku
terhadap sesuatu yang tidak sama dalil atau perintahnya.

Beberapa cara penyelesaian terhadap dua dalil yang saling


berbenturan yag dikemukakan oleh dua golongan ulama diatas, dalam
operasionalnya, bertolak dari pada suatu prinsip yang dirumuskan

17
Ibid, hlm 235

14
dalam kaidah: “mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik
daripada menyingkirkan satu di antaranya”.18 Dalam kaidah tersebut
ada tiga cara ataupun tahap penyelesaian yang tergambar dalam
kaidah tersebut yakni:

Pertama, sedapat mungkin kedua dalil tersebut dapat digunakan


secara sekaligus, tidak ada dalil yang disingkirkan. Langkah-langkah
yang ditempuh ketika usaha penyelesaian yang dipilih adalah
menggunakan kedua dalil yang berbenturan adalah:

1. Mempertemukan dan mendekatkan pengertian dua dalil yang


diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum
yang ditunjuk oleh kedua dalil itu, tidak terlihat lagi adanya
perbenturan. Usaha dalam bentuk ini disebut taufiq atau
kompromi. Umpamanya pada ayat 240 dan 234 Al-Baqarah diatas.
Memang kedua ayat secara lahir berbenturan karena ayat 234
menetapkan iddah bagi istri yang kematian suami adalah 4 bulan
10 hari, sedangkan ayat 240 menetapkan iddahnya satu tahun.
Dengan usaha mendekatkan pengertian kedua dalil tersebut, dalil
yang bertentangan itu menjadi tidak bertentangan, masing-masing
dapat digunakan pada tempatnya.
2. Dua dalil yang secara zahir berbenturan dan tidak mungkin
dilakukan usaha kompromi seperti diatas, satu diantara dua dalil
itu bersifat “umum” dan satu lagi “khusus”. Dalam hal ini
ditempuh usaha takhsish, dalil khusus diamalkan untuk mengatur
hal yang khusus menurut kekhususannya, sedangkan yang umum
diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan
ketentuan yang diatur secara khusus. Dengan demikian tidak ada
diantara dua dalil itu yang ditinggalkan. 19

Kedua, setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat
digunakan sekaligus, diusahakan setidaknya satu di antaranya
diamalkan sedangkan yang satu lagi ditinggalkan. Usaha dalam
penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan cara sebagai
berikut:

1. Bila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil
yang diduga berbenturan itu lebih dulu turun atau berlakunya,

18
Ibid, hlm 236
19
Ibid, hlm 237

15
sedangkan yang satunya lagi belakangan turunnya atau
berlakunya, yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk
seterusnya dan yang datang lebih dulu itu tidak berlaku lagi
dengan sendirinya. Usaha seperti ini disebut sebagai nasakh.
2. Bila diantara dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak
diketahui mana yang dulu dan mana yang belakangan turun atau
berlakunya sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cara nasakh
namun ditemukan petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu
diantaranya lebih kuat dari yang lain, maka diamalkan dalil yang
disertai dengan petunjuk yang menguatkan dalil itu dan
meninggalkan dalil yang lainnya. Usaha penyelesaian seperti ini
disebut tarjih. 20
3. Bila dua dalil yang berbenturan itu tidak dapat ditempuh usaha
penyelesaian secara nasakh dan tarjih, kedua dalil itu
memungkinkan diamalkan, ditempuh penyelesaian secara takhyr
yakni memilih salah satu diantara dua dalil untuk diamalkan dan
yang satu lagi tiak diamalkan, dengan tetap menghormati
kebenaran dalil yang tidak diamalkan tersebut

Ketiga, sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua


dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan. Cara meninggalkan
kedua dalil tersebut ada dua bentuk, yakni:

1. Ditangguhkan pengamalan dengan dalil tersebut sambil menunggu


kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu
diantara keduanya. Cara ini disebut dengan tawaquf.
2. Ditinggalkan kedua dalil itu sekaligus dan dicari dalil ketiga untuk
diamalkan. Cara ini dalam istilah hukum disebut dengan “tasaqut”
yang secara etimologi, saling berguguran. 21

20
Ibid, hlm 238
21
Ibid, hlm 239

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil yang telah kami tulis diatas, maka dapat
kita tarik kesimpulan bahwa ta’arudh al-dilalah adalah adalah terjadinya
pertentangan hukum yang dikandung suatu dalil dengan hukum yang
dikandung dalam dalil lainnya. Dan macam macam ta’arudh al-dilalah
sebagaimana menurut Muhammad Wafaa terdapat 3 jenis yakni:
pertentangan antara dalil qathi dan zhanni, pertentangan antara dalil qathi,
dan yang terakhir pertentangan antara dalil zhanni.

Pun terdapat pula berbagai penyelesaian dalam ta’arudh al-dilalah


seperti mengamalkan dua dalil yang berkontradiksi, mengamalkan satu
dalil diantara dua dalil yang berkontradiksi, serta meninggalkan kedua
dalil dengan berbagai metode yang telah diatur.

B. Saran

Hal seperti ini sangat penting untuk kita pahami, sebab apabila
nantinya kita menemukan suatu permasalahan yang memiliki dua dalil
yang saling berbenturan, kita dapat mengambil langkah dengan sebaik-
baiknya. Serta diharapkan dengan pemahaman kita, kita dapat
memberitahukan orang terdekat maupun keluarga jikalau mereka
mengalami kebingungan terhadap mengamalkan salah satu dalil yang
saling berkontradiksi/berlawanan dalam menetapkan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Miswanto, Agus. 2019. Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama

17
Atabik, Umar. 2015. kontradiksi antar dalil dan cara penyelesaiannya perspektif
ushuliyyin. Jurnal pemikiran hukum dan hukum islam. 6(2)

Hayatudin, Amrullah. 2019. Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH

Darmawati. 2019. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Romli. 1999. Muqaran Mazahib Fiil Ushul . Jakarta : Gaya Media

Haries Akhmad. 2021. Ushul Fiqh sumber hukum dan metode hukum istinbath
hukum. Jakarta : Bening Media Publishing.

18

Anda mungkin juga menyukai