Anda di halaman 1dari 20

1

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya serta menanugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “fiqh dan ushul
fiqh”.
Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan
sumber-sumber materi penunjuang yang dapat menunjang terselesainya makalah
ini. Akan tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini, justru bagi kami itu adalah tantangan yang harus bisa dituntaskan
dengan cepat dan tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada Bapak
MUHAMMAD SYAUKI AL HABSYI S.H.,M.H . selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa makalh ini masih jauh dari
kata sempurna, baik ditinjau dari segi isi, metodologi penulisan, maupun
analisanya. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan sebagai perbaikan
dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
3

DAFTAR ISI

SAMPUL

........................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................2

DAFTAR ISI ...........................................................................................................3


BAB I ......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................5
1.3 TUJUAN MASALAH..........................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1 PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH....................................6
2.2 UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH.................................7
2.3 JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH.......................................8
2.4 CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH.................10
2.5 CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH............17
BAB III..................................................................................................................21
PENUTUP..............................................................................................................21
3.1 KESIMPULAN...................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan


dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan
hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam
pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui
landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum
tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar
dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh
umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama
yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan
Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan
ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan
ijma’.

Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan


syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan
suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan
dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan
dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun
5

di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu
hukum yang mashlahah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?

2. Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?

3. Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?

4. Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?

1.3 TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah

2. Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah

3. Untuk mengetahui Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah

4. Untuk mengetahui Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara


terminologis, ta’arudh yaitu:.
6

“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda/bertentangan dengan dalil


lainnya.”

Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa


dalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa
perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.

Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh
mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1

Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang
derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih,
sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.

Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian


dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan
karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang paling
utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan masuk akal.

Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang memandang


diantara ayat-ayat Al-qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjdai karena
keterbatasan akal manusia. Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan,
yang ada adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.

2. Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan bahwa


kedudukan Al-qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak demikian.
Yang harus ada bahwa As-sunnah menjelaskan Al-qur’an, da Al-qur’an
kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada
pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang kulaitasnya lemah, baik dari
segi sanad maupun matannya.

1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
7

3. Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.

4. Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.2

2.2 UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

1. Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama,


dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-
qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.

2. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya
dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.

3. Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.

4. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya.


Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu
datangnya dalil.

5. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya


maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil
tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.3

2.3 JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH

a. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah


SWT :

‫َو اْلَخْيَل َو اْلِبَغاَل َو اْلَح ِم ْيَر ِلَتْر َك ُبْو َها َو ِز ْيَنًة َو َيْخ ُلُق َم ا اَل َتْع َلُم ْو َن‬

2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
8

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )

Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan
keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna
berbeda :

‫ُهللا اَّلِذ ْي َج َعَل َلُك ُم اَألْنَع اَم ِلَتْر َك ُبْو ا ِم ْنَها َتْأُك ُلْو َن‬

Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)

b. Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

‫َع ْن َعاِىيَش َة وأِّم َس اَل َم َة َر ِض َى ُهلل َع ْنَه ا َاَّن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َك اَن ُيْص ِبُح ُج ُنًب ا ِم ْن‬
)‫ِجَم اٍع ُثَّم َيْغ َتِس ُل َو َيُصْو ُم (متفق عليه‬

Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.

Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :

‫ِاَذ ا ُنْو ِدَى ِللَّص اَل ِة َص اَل ِة الُّص ْبِح َو َاَح َد ُك ْم ُج ُنًبا َفاَل َيُصْو ُم َيْو َم ُه‬

Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban)

c. Ta’arudh antara sunah dangan qiyas

Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran
hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua
kambing untuk putra, berdasarkan hadits :
9

‫َاْلَعِقْيَقُة َح ٌّق َع ِن ْالُغ اَل ِم َش اَتاِن ُم َك ا َفَىَتاِن َو َع ِن اْلَج اِرَيِة َش اٌة‬

"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan
untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)

Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang
lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah
Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.

d. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas

Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw.


terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :

‫ َتَز َّو َجِنْى َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَس ِّت ِس ِنْيَن َو َبِنَى ِبى َو َاَن اِبْنُت‬: ‫َو َع ْن َعاِىَس َة َقاَلْت‬
)‫ِتْس ِع ِس ِنْيَن (رواه مسلم وعن عاىسة‬

Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila
tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)

Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan


mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin
yangbersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.4

2.4 CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

49Ibid., hlm. 18.

10 Ibid., hlm. 19.


11 Ibid., hlm. 20.

12 Mahmud Luthfi al-Jazar ‚Al-Ta’arudh baina al-Adillah, hlm. 18.


10

Ta’arudh al-adillah merupakan suatu permasalahan yang harus mendapat solusi.


Kedua dalil atau beberapa dalil yang dianggap kontradiksi oleh fuqaha
harusdiselesaikan dengan metode yang tepat berdasarkan metodologi pengkajian
usul fikih.
1. Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ta’arudh bisa terjadi antara nash-nash syara’
ataupun ta’arudh antara dalil-dalil selain nash. Ta’arudh yang terjadi pada dalil-
dalil selain nash, semisal ta’arudh antara dua qiyas, maka waijb bagi seorang
mujtahid untuk mentarjih kedua qiyas tersebut dengan mengutamakan salah
satunya. Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya
secara sistematis adalah sebagai berikut:

a) Nasakh
Nasakh menurut bahasa berarti membatalkan sesuatu, memindahkan dan
merubah. Secara istilah berarti perintah yang menunjukkan kepada pengangkatan
hukum tetap perintah yang terdahulu dengan dasar penetapan sejarah.Nasakh
merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan sejarah,oleh karena itu fuqaha
harus mengetahui beberapa hukum yang berkaitan dengan sejarah. Nasakh
berkaitan dengan masa kenabian dan waktu turunnya wahyu, karena itu nasakh
tidak dapat terjadi kecuali pada wahyu ilahi. Dari metode ini, seorang mujtahid
harus melacak sejarah dari kedua nash, dan ketika sudah diketahui mana yang
lebih dahulu datang dan mana yang datang kemudian, maka nash yang datang
kemudian hukumnya menasakh yang terdahulu. Contohnya seperti pertentangan
yang terjadi dalam dua ayat ‘iddah dalam QS. Al-Baqarah (2): 234 dengan QS.
Al-Thalaq (65): 4.

Sahabat Ibnu Mas’ud, kaitannya dengan permasalan dua ayat ‘iddah tersebut
menjelaskan bahwa ayat kedua (QS. Al-Thalaq (65): 4) yang datang kemudian
me-nasakh hukum yang terkandung dalam ayat pertama (QS. Al-Baqarah (2):
11

234). Menjelaskan pendapat Ibnu Mas’ud dalam masalah ini,menguraikan sebagai


berikut:5

“QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan QS. Ath-Thalaq (65)
ayat 4 hanya mengenai perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dalam
keadaan hamil. Menurut Ibnu Mas’ud, QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 turun lebih
dahulu dan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 turun kemudian. Oleh karena itu, Ibnu
mas’ud berpendapat bahwa ayat terdahulumansukh oleh ayat yang turun
kemudian, yang lebih tepat adalah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 membatasi
(takhsis) keumuman makna QS. Al-Baqarah (2) ayat 234”.

b) Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua
dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh seorang mujtahid, maka
mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan. Pen-
tarjih-an bisa menggunakan beberapa metode tarjih. Semisal menguatkan nash
yang muhkam dari pada nash yang mufassar, menguatkan dalil yang mengandung
hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh, dan dari segi ‘adalah,
dhabit, faqih dan sebagainya seorang perawi hadits.

c) Al-jam’u wa al-taufiq
Al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan
setelah mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan kaidah “mengamalkan
kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang
lain”.16 Misalnya firman Allah swt., dalam surat al-Maidah (5): 3:

5.31413 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I. (Damsyiq: Dar al-Fiqh, 2005), hlm.1176-1179.14
Fakhru al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, Al-Mahshul fi ‘Ilmi al Ushul al-Fiqh, Juz V. (t.t.:
t.p., t.th), hlm. 279.
12

‫ُحِّر َم ۡت َع َلۡي ُك ُم ٱۡل َم ۡي َتُة َو ٱلَّد ُم َو َلۡح ُم ٱۡل ِخ نِزيِر َو َم ٓا ُأِهَّل ِلَغ ۡي ِر ٱِهَّلل‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging)


hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah......”Ayat diatas tidak
menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang
mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam surat al-
An’am (6): 145:

‫ِإٓاَّل َأن َيُك وَن َم ۡي َتًة َأۡو َد ًم ا َّم ۡس ُفوًحا‬

“kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.


Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah
yang mengalir.

d) Tasaqut al-dalilain
Tasaqut al-dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti menggugurkan
kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Hal ini ditempuh
apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara diatas. Misalnya ada pertentangan
antara dua ayat, sedang tata cara sebelumnya sangat sulit dipakai, maka langkah
yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari
Alquran, yaitu Sunah. Apabila ada duasunah yang bertentangan maka beralih pada
istidlal dengan qoul al-sahabah bagi yang menggunakannya sebagai hujjah dan
beralih pada qiyas bagi yang tidak menggunakan istidlal qoul al-Sahabat.

2. Ulama Syafi’iyah6
Menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas maka yang
dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas. Kemudian apabila
terjadi pertentangan atau ta’arudh antara dua nash dalam pandangan seorang

6 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia,(Bandung:
Pustaka setia, 2007), hlm. 83.
16 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 227.
Abd al-Lathif ‘Abdullah ‘Aziz al-Barzanji, Al-Ta’arudh wa al-Tarjih Baina al-Adillah
al-Syar‘iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), hlm. 211.
13

mujtahid menurut madzhab Syafi’iyah, malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah


wajib bagi mujtahid untuk melakukan pembahasan dan berijtihad sesuai dengan
tahapan-tahapan berikut ini secara tertib:

a) Al-Jam’u wa al-Taufiq

Al-Jam‘u secara bahasa berarti menyusun yang terpisah dan


menghimpun,sedangkan secara istilah berarti menghimpun dua dalil yang
kontradiksi, menakwilkan dua hal yang berbeda, dan menyesuaikan di antara
keduanya.Adapun al-taufiq berarti menyesuaikan atau mencocokkan, Menurut
aliran Syafi’iyah cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan
adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. Ketika memungkinkan
untuk mengompromikan, maka sudah seharusnya keduanya diamalkan dan tidak
boleh men-tarjih salah satu antara keduanya. Argumentasi mereka adalah bahwa
mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih utama daripada mendisfungsikan
salah satu dalil secara keseluruhan. Sebagai contoh dalam kasus ayat tentang
‘iddah, cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut ada
tiga: (1) Membagi kedua hukum yang bertentangan. (2) Memilih salah satu
hukum. (3) Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa ‘iddah
wanita hamil. Yang menurut Hanafiyah menggunakan metode nasakh.

b) Tarjih
Apabila tidak bisa menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq, seorang mujtahid
beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.
Tarjih dilakukan apabila pengkompromian kedua dalil tidak dapat dilakukan.
Seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil dengan sesuatu hal yang
dapat mendukungnya, serta mengamalkan dalilyang lebih kuat.

c) Nasakh
Menurut al-Ghazali, nasakh secara bahasa berarti mengangkat dan
14

menghilangkan. Secara istilah berarti perintah (titah) Allah swt. yang


menunjukkan terangkatnya hukum yang telah ditetapkan melalui
khithab,seandainya tidak terangkat dalil terdahulu maka masa dalil itu tetap
berlaku, di samping hukum yang datang kemudian. Nasakh dapat dilakukan
apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara
ketiga yang ditempuh dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung
kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui dalil yang datang terdahulu
dan yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang membatalkan
hukum dalil yang terdahulu.

d) Tatsaqut al-Dalilain
Tasaquth secara bahasa berarti melemparkan, dan secara istilah berarti
melemparkan atau menjatuhkan kedua dalil yang kontradiksi. 7Maksudnya,
apabila terdapat dua dalil yang kontradiksi, lalu tidak dapat dikompromikan, tidak
dapat dinasakh, dan tidak mungkin di-tarjih, maka kedua dalil tersebut dijatuhkan
pengamalannya. Kedua dalil tersebut tidak diamalkan. Langkah terakhir yang
ditempuh apabila seorang mujtahid merasa kesulitan menyelesaikan pertentangan
antar dalil ialah Tatsaqut al-dalilain. Yakni meninggalkan dalil-dalil yang
bertentangan dan beralih pada dalil yang lebih rendah derajatnya. Cara ini
dilakukan apabila cara ketiga tidak dapat ditempuh. Seorang mujtahid boleh
meninggalkan kedua dalil dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih
rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut

Berdasarkan uraian beberapa pendapat fuqaha tersebut dapat disimpulkan bahwa


dalam menyelesaikan dalil yang kontradiksi, nasakh dapat dilakukan terlebih
dahulu jika telah diketahui sejarah keberadaan kedua dalil. Nasakh ini hanya dapat
berlaku pada Alquran atau sunah. Penyelesaian dengan cara tarjih dapat dilakukan

7 18 Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul,
Juz II. Cet. I; (Mesir: Mat}ba‘ah al-Amiriyah, 1903), hlm. 107.
19 Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1119), hlm. 2037.
15

jika salah satu dari kedua dalil itu diketahui ada yang lebih kuat dari selainnya.
Penyelesaian dengan cara al-jam‘u dapat dilakukan jika kedua dalil tidak saling
menafi-kan maknanya. Dalil yang diselesaikan dengan cara tasaquth dapat
ditempuh jika kedua dalil tidak dapat menerima ketiga cara penyelesaian
sebelumnya. Tasaquth ini dapat terjadi pada setiap dalil baik dalil Alquran, sunah,
atau qiyas.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, perbedaan fuqaha dalam menyelesaikan dalil yang


kontradiksi telah dihimpun dalam dua aliran mazhab. Kedua aliran tersebut
termasuk mujtahid mutlak, yaitu aliran Syafi‘iyah dan aliran Hanafiyah. Kedua
aliran tersebut termasuk pelopor penyusunan dan pengembangan usul fikih. Oleh
karena itu, terdapat dua metode penyelesaian yang ditetapkan fuqaha yaitu metode
Hanafiyah dan metode Syafi‘iyah. Kedua aliran tersebut diterapkan
dalammelakukan istinbath, karena pada masa kedua mujtahid itu merupakan
mujtahid yang banyak kiprahnya dalam mengembangkan usul fikih dan banyak
pengikutnya. Oleh karena itu pengkajian usul fikih lebih banyak bersumber pada
kedua aliran tersebut. Aliran Syafi‘iyah biasa disebut aliran mutakallimin atau
jumhur ulama, karena merupakan aliran yang dianut oleh mayoritas ulama dari
kalangan Malikiyah, Syafi‘iyah dan Hanabilah. Aliran Hanafiyah disebut juga
aliran fuqaha, karena aliran ini merupakan ahli-ahli fikih.

2.5 CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq


(menggabungkan dan mengkompromikan)

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:

‫َو اَّل ِذ ْيَن ُيَتَو َّف ْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا َف ِإَذ ا َبَلْغ َن‬
‫َأَج َلُهَّن َفَال ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفى َأنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو هللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
16

Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:

‫ ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا‬, ‫َو ُأْو َلُت آَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأن َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّن َو َم ْن َيَّتِق َهللا َيْج َع ْل َّلُه‬

Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah
sampai melahirkan kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami.
Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya,
jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan
jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.8

2. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh

Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َح ّق ًا‬
‫َع َلى اْلُم َّتِقْيَن‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan

8 Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240


17

karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”

Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:

‫ َسِم ْع ُت َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقْو ُل ِفي ُخ ْط َبِتِه َعاَم َح َّج ِة‬: ‫َع ْن َأِبي ُأَم اَم َة اْلَباِهِلِّي َقاَل‬
‫اْلَو َداِع ِإَن َهللا َقْد َأْع َطى ِلُك ِّل ِذ ي َح ٍّق َح َّقُه َفاَل َو ِص َّيَة ِلَو اِر ٍث‬

“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda
ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi)

3. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

‫ َك اَن َأُبو ُهَر ْيَر َة َيُقْو ُل َم ْن َأْص َبَح ُج ُنًبا َفاَل َص ْو َم َلُه‬: ‫َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َع َّتاٍب َقاَل‬

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata


“Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa
baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

‫َع ْن َعاِىَش َة َو ُأِّم َس َلَم َة َز ْو َج ِى الَّنِبِّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّنُهَم ا َقاَلَت ا َك اَن َر ُس ْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيْص ِبُح ُج ُنًبا ِم ْن ِج َم اٍع َغْيِر اْح ِتاَل ٍم ِفى َر َم َض اَن ُثَّم َيُصْو ُم‬.

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata
“Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan
Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)

4. Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain

Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

‫َفآْقَر ُء وا َم ا َتَيَّس َر ِم َن اْلُقْر َء اِن‬


“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an
18

Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:

‫ َو َأْنِص ُتوْاَلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم ْو َن‬,‫َو ِإَذ ا ُقِرَى ءاْلُقْر َء اُن َفآْسَتِم ُعْو اَلُه‬

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan


perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk


makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks
ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan
kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan
dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut
sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil
mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara
bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum
yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan
masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang
menjelaskan:

‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam


menjadi baginya”. (HR. Jama’ah).9

9 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
19

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan


salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain
yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk
oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur.
Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni,
menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.
Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan
tasaqut.

DAFTAR PUSTAKA
20

Shidiq, Saipudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011

Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2008

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta. Rajawali Pers, 2013

Al-Jazar, Mahmud Luthfi. Al-Ta‘arudh baina al-Adillah al-Naqliyah wa Asaruhu


fi al-Mu‘amalah al-Naqliyah. Tesis, Magister Usul Fikih Fakultas Syari‘ah
Universitas Islam Gazah. 2004.
Al-Nasyimi, Ajil Jasim. Thuruq Istinbath al-Ahkam min al-Qur’an al-Karim al-
Qawa‘id al-Ushuliyyah al-Lugawiyah. Cet. II. Kuwait: Maktabah al-Syari‘ah.
1997.
Al-Razi, Fakhru al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain. Al-Mahshul fi ‘Ilmi
al-Ushul al-Fiqh. Juz V. t.t.: t.p., t.th
Al-Zayyan, Samih ‘Athif. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh al-Muyassar. Cet. I. Kairo: Dar al-
Kitab al-Misri, 1990.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I. Damsyiq: Dar al-Fiqh,
2005.Manzhur, Ibnu. Lisan al-Arab. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1119.

Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana, 2005

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009

Anda mungkin juga menyukai