KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya serta menanugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “fiqh dan ushul
fiqh”.
Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan
sumber-sumber materi penunjuang yang dapat menunjang terselesainya makalah
ini. Akan tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini, justru bagi kami itu adalah tantangan yang harus bisa dituntaskan
dengan cepat dan tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada Bapak
MUHAMMAD SYAUKI AL HABSYI S.H.,M.H . selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa makalh ini masih jauh dari
kata sempurna, baik ditinjau dari segi isi, metodologi penulisan, maupun
analisanya. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan sebagai perbaikan
dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
3
DAFTAR ISI
SAMPUL
........................................................................................... 1
BAB I
PENDAHULUAN
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar
dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh
umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama
yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan
Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan
ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan
ijma’.
di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu
hukum yang mashlahah.
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh
mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1
Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang
derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih,
sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.
1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
7
2. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya
dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
َو اْلَخْيَل َو اْلِبَغاَل َو اْلَح ِم ْيَر ِلَتْر َك ُبْو َها َو ِز ْيَنًة َو َيْخ ُلُق َم ا اَل َتْع َلُم ْو َن
2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
8
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan
keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna
berbeda :
ُهللا اَّلِذ ْي َج َعَل َلُك ُم اَألْنَع اَم ِلَتْر َك ُبْو ا ِم ْنَها َتْأُك ُلْو َن
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
َع ْن َعاِىيَش َة وأِّم َس اَل َم َة َر ِض َى ُهلل َع ْنَه ا َاَّن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َك اَن ُيْص ِبُح ُج ُنًب ا ِم ْن
)ِجَم اٍع ُثَّم َيْغ َتِس ُل َو َيُصْو ُم (متفق عليه
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.
ِاَذ ا ُنْو ِدَى ِللَّص اَل ِة َص اَل ِة الُّص ْبِح َو َاَح َد ُك ْم ُج ُنًبا َفاَل َيُصْو ُم َيْو َم ُه
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban)
Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran
hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua
kambing untuk putra, berdasarkan hadits :
9
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan
untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang
lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah
Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
َتَز َّو َجِنْى َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَس ِّت ِس ِنْيَن َو َبِنَى ِبى َو َاَن اِبْنُت: َو َع ْن َعاِىَس َة َقاَلْت
)ِتْس ِع ِس ِنْيَن (رواه مسلم وعن عاىسة
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila
tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
a) Nasakh
Nasakh menurut bahasa berarti membatalkan sesuatu, memindahkan dan
merubah. Secara istilah berarti perintah yang menunjukkan kepada pengangkatan
hukum tetap perintah yang terdahulu dengan dasar penetapan sejarah.Nasakh
merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan sejarah,oleh karena itu fuqaha
harus mengetahui beberapa hukum yang berkaitan dengan sejarah. Nasakh
berkaitan dengan masa kenabian dan waktu turunnya wahyu, karena itu nasakh
tidak dapat terjadi kecuali pada wahyu ilahi. Dari metode ini, seorang mujtahid
harus melacak sejarah dari kedua nash, dan ketika sudah diketahui mana yang
lebih dahulu datang dan mana yang datang kemudian, maka nash yang datang
kemudian hukumnya menasakh yang terdahulu. Contohnya seperti pertentangan
yang terjadi dalam dua ayat ‘iddah dalam QS. Al-Baqarah (2): 234 dengan QS.
Al-Thalaq (65): 4.
Sahabat Ibnu Mas’ud, kaitannya dengan permasalan dua ayat ‘iddah tersebut
menjelaskan bahwa ayat kedua (QS. Al-Thalaq (65): 4) yang datang kemudian
me-nasakh hukum yang terkandung dalam ayat pertama (QS. Al-Baqarah (2):
11
“QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan QS. Ath-Thalaq (65)
ayat 4 hanya mengenai perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dalam
keadaan hamil. Menurut Ibnu Mas’ud, QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 turun lebih
dahulu dan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 turun kemudian. Oleh karena itu, Ibnu
mas’ud berpendapat bahwa ayat terdahulumansukh oleh ayat yang turun
kemudian, yang lebih tepat adalah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 membatasi
(takhsis) keumuman makna QS. Al-Baqarah (2) ayat 234”.
b) Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua
dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh seorang mujtahid, maka
mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan. Pen-
tarjih-an bisa menggunakan beberapa metode tarjih. Semisal menguatkan nash
yang muhkam dari pada nash yang mufassar, menguatkan dalil yang mengandung
hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh, dan dari segi ‘adalah,
dhabit, faqih dan sebagainya seorang perawi hadits.
c) Al-jam’u wa al-taufiq
Al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan
setelah mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan kaidah “mengamalkan
kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang
lain”.16 Misalnya firman Allah swt., dalam surat al-Maidah (5): 3:
5.31413 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I. (Damsyiq: Dar al-Fiqh, 2005), hlm.1176-1179.14
Fakhru al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, Al-Mahshul fi ‘Ilmi al Ushul al-Fiqh, Juz V. (t.t.:
t.p., t.th), hlm. 279.
12
ُحِّر َم ۡت َع َلۡي ُك ُم ٱۡل َم ۡي َتُة َو ٱلَّد ُم َو َلۡح ُم ٱۡل ِخ نِزيِر َو َم ٓا ُأِهَّل ِلَغ ۡي ِر ٱِهَّلل
d) Tasaqut al-dalilain
Tasaqut al-dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti menggugurkan
kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Hal ini ditempuh
apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara diatas. Misalnya ada pertentangan
antara dua ayat, sedang tata cara sebelumnya sangat sulit dipakai, maka langkah
yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari
Alquran, yaitu Sunah. Apabila ada duasunah yang bertentangan maka beralih pada
istidlal dengan qoul al-sahabah bagi yang menggunakannya sebagai hujjah dan
beralih pada qiyas bagi yang tidak menggunakan istidlal qoul al-Sahabat.
2. Ulama Syafi’iyah6
Menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas maka yang
dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas. Kemudian apabila
terjadi pertentangan atau ta’arudh antara dua nash dalam pandangan seorang
6 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia,(Bandung:
Pustaka setia, 2007), hlm. 83.
16 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 227.
Abd al-Lathif ‘Abdullah ‘Aziz al-Barzanji, Al-Ta’arudh wa al-Tarjih Baina al-Adillah
al-Syar‘iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), hlm. 211.
13
a) Al-Jam’u wa al-Taufiq
b) Tarjih
Apabila tidak bisa menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq, seorang mujtahid
beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.
Tarjih dilakukan apabila pengkompromian kedua dalil tidak dapat dilakukan.
Seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil dengan sesuatu hal yang
dapat mendukungnya, serta mengamalkan dalilyang lebih kuat.
c) Nasakh
Menurut al-Ghazali, nasakh secara bahasa berarti mengangkat dan
14
d) Tatsaqut al-Dalilain
Tasaquth secara bahasa berarti melemparkan, dan secara istilah berarti
melemparkan atau menjatuhkan kedua dalil yang kontradiksi. 7Maksudnya,
apabila terdapat dua dalil yang kontradiksi, lalu tidak dapat dikompromikan, tidak
dapat dinasakh, dan tidak mungkin di-tarjih, maka kedua dalil tersebut dijatuhkan
pengamalannya. Kedua dalil tersebut tidak diamalkan. Langkah terakhir yang
ditempuh apabila seorang mujtahid merasa kesulitan menyelesaikan pertentangan
antar dalil ialah Tatsaqut al-dalilain. Yakni meninggalkan dalil-dalil yang
bertentangan dan beralih pada dalil yang lebih rendah derajatnya. Cara ini
dilakukan apabila cara ketiga tidak dapat ditempuh. Seorang mujtahid boleh
meninggalkan kedua dalil dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih
rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut
7 18 Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul,
Juz II. Cet. I; (Mesir: Mat}ba‘ah al-Amiriyah, 1903), hlm. 107.
19 Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1119), hlm. 2037.
15
jika salah satu dari kedua dalil itu diketahui ada yang lebih kuat dari selainnya.
Penyelesaian dengan cara al-jam‘u dapat dilakukan jika kedua dalil tidak saling
menafi-kan maknanya. Dalil yang diselesaikan dengan cara tasaquth dapat
ditempuh jika kedua dalil tidak dapat menerima ketiga cara penyelesaian
sebelumnya. Tasaquth ini dapat terjadi pada setiap dalil baik dalil Alquran, sunah,
atau qiyas.
َو اَّل ِذ ْيَن ُيَتَو َّف ْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا َف ِإَذ ا َبَلْغ َن
َأَج َلُهَّن َفَال ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفى َأنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو هللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر
16
ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا, َو ُأْو َلُت آَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأن َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّن َو َم ْن َيَّتِق َهللا َيْج َع ْل َّلُه
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah
sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami.
Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya,
jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan
jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.8
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َح ّق ًا
َع َلى اْلُم َّتِقْيَن
karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
َسِم ْع ُت َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقْو ُل ِفي ُخ ْط َبِتِه َعاَم َح َّج ِة: َع ْن َأِبي ُأَم اَم َة اْلَباِهِلِّي َقاَل
اْلَو َداِع ِإَن َهللا َقْد َأْع َطى ِلُك ِّل ِذ ي َح ٍّق َح َّقُه َفاَل َو ِص َّيَة ِلَو اِر ٍث
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda
ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi)
َك اَن َأُبو ُهَر ْيَر َة َيُقْو ُل َم ْن َأْص َبَح ُج ُنًبا َفاَل َص ْو َم َلُه: َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َع َّتاٍب َقاَل
َع ْن َعاِىَش َة َو ُأِّم َس َلَم َة َز ْو َج ِى الَّنِبِّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّنُهَم ا َقاَلَت ا َك اَن َر ُس ْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا
َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيْص ِبُح ُج ُنًبا ِم ْن ِج َم اٍع َغْيِر اْح ِتاَل ٍم ِفى َر َم َض اَن ُثَّم َيُصْو ُم.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata
“Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan
Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)
َو َأْنِص ُتوْاَلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم ْو َن,َو ِإَذ ا ُقِرَى ءاْلُقْر َء اُن َفآْسَتِم ُعْو اَلُه
9 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
20
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2008
Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009