KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya serta menanugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini dengan judul “fiqh dan ushul
fiqh”.
Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan
sumber-sumber materi penunjuang yang dapat menunjang terselesainya makalah
ini. Akan tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini, justru bagi kami itu adalah tantangan yang harus bisa dituntaskan
dengan cepat dan tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada ustadz
Nurul Muttaqin QH.S.PD.selaku guru dalam mata pelajaran ushul fiqih.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa makalh ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan sebagai
perbaikan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pancor 2023
Penulis
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
3
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar
dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh
umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama
yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan
Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan
ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan
ijma’.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH
Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara
terminologis, ta’arudh yaitu:.
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh
mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1
Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang
derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih,
sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.
1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
6
2. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya
dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
َو اْلَخْيَل َو اْلِبَغاَل َو اْلَح ِم ْيَر ِلَتْر َك ُبْو َها َو ِز ْيَنًة َو َيْخ ُلُق َم ا اَل َتْع َلُم ْو َن
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan
keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna
berbeda :
ُهللا اَّلِذ ْي َج َعَل َلُك ُم اَألْنَع اَم ِلَتْر َك ُبْو ا ِم ْنَها َتْأُك ُلْو َن
Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
7
َع ْن َعاِىيَش َة وأِّم َس اَل َم َة َر ِض َى ُهلل َع ْنَه ا َاَّن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َك اَن ُيْص ِبُح ُج ُنًب ا ِم ْن
)ِجَم اٍع ُثَّم َيْغ َتِس ُل َو َيُصْو ُم (متفق عليه
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.
ِاَذ ا ُنْو ِدَى ِللَّص اَل ِة َص اَل ِة الُّص ْبِح َو َاَح َد ُك ْم ُج ُنًبا َفاَل َيُصْو ُم َيْو َم ُه
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban)
Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran
hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua
kambing untuk putra, berdasarkan hadits :
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan
untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang
lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah
Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
َتَز َّو َجِنْى َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَس ِّت ِس ِنْيَن َو َبِنَى ِبى َو َاَن اِبْنُت: َو َع ْن َعاِىَس َة َقاَلْت
)ِتْس ِع ِس ِنْيَن (رواه مسلم وعن عاىسة
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila
tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari
aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat
dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat
digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu
yang lebih kuat atau (rajih).
c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih)
tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang
bertentangan.
2. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara
selanjutnya yang ditempuh adalah dengan tarjih.
3. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka
caranya meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil
yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.
4. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan
keluarnya adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat
mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah
sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan
keduanya terletak pada urutannya.
5 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
10
َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا َف ِإَذ ا َبَلْغ َن َو اَّل ِذ ْيَن ُيَتَو َّف ْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن
ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو هللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر َأَج َلُهَّن َفَال ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفى َأنُفِس ِهَّن
ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا, َو ُأْو َلُت آَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأن َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّن َو َم ْن َيَّتِق َهللا َيْج َع ْل َّلُه
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah
sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami.
Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya,
jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan
jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.6
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َح ّق ًا
َع َلى اْلُم َّتِقْيَن
karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
َسِم ْع ُت َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقْو ُل ِفي ُخ ْط َبِتِه َعاَم َح َّج ِة: َع ْن َأِبي ُأَم اَم َة اْلَباِهِلِّي َقاَل
اْلَو َداِع ِإَن َهللا َقْد َأْع َطى ِلُك ِّل ِذ ي َح ٍّق َح َّقُه َفاَل َو ِص َّيَة ِلَو اِر ٍث
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda
ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi)
َك اَن َأُبو ُهَر ْيَر َة َيُقْو ُل َم ْن َأْص َبَح ُج ُنًبا َفاَل َص ْو َم َلُه: َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َع َّتاٍب َقاَل
َع ْن َعاِىَش َة َو ُأِّم َس َلَم َة َز ْو َج ِى الَّنِبِّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّنُهَم ا َقاَلَت ا َك اَن َر ُس ْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا
َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيْص ِبُح ُج ُنًبا ِم ْن ِج َم اٍع َغْيِر اْح ِتاَل ٍم ِفى َر َم َض اَن ُثَّم َيُصْو ُم.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata
“Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan
Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)
َو َأْنِص ُتوْاَلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم ْو َن,َو ِإَذ ا ُقِرَى ءاْلُقْر َء اُن َفآْسَتِم ُعْو اَلُه
Bab III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan
salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain
yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk
oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur.
Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni,
menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.
7 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
13
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2008
Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009
14