Anda di halaman 1dari 14

1

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya serta menanugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini dengan judul “fiqh dan ushul
fiqh”.
Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan
sumber-sumber materi penunjuang yang dapat menunjang terselesainya makalah
ini. Akan tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk menyelesaikan
makalah ini, justru bagi kami itu adalah tantangan yang harus bisa dituntaskan
dengan cepat dan tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada ustadz
Nurul Muttaqin QH.S.PD.selaku guru dalam mata pelajaran ushul fiqih.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa makalh ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan sebagai
perbaikan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Pancor 2023

Penulis

DAFTAR ISI
2

KATA PENGANTAR ............................................................................................1


DAFTAR ISI ...........................................................................................................2
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN................................................................................................... 3
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................... 3
1.2 RUMUSAN MASALAH...................................................................... 3
1.3 TUJUAN MASALAH.......................................................................... 4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH.................................... 5
2.2 UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH................................. 6
2.3 JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH....................................... 7
2.4 CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH...................9
2.5 CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH............11
Bab III.................................................................................................................... 14
PENUTUP..............................................................................................................14
3.1 KESIMPULAN................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 15

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
3

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan


dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan
hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam
pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui
landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum
tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar
dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh
umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama
yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan
Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan
ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan
ijma’.

Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan


syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan
suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan
dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan
dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun
di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu
hukum yang mashlahah.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?

2. Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?

3. Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?

4. Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?

1.3 TUJUAN MASALAH


1. Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah
4

2. Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah

3. Untuk mengetahui Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah

4. Untuk mengetahui Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH
Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara
terminologis, ta’arudh yaitu:.

“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berdeba/bertentangan dengan dalil


lainnya.”
5

Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa


dalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa
perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.

Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh
mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1

Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang
derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih,
sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.

Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian


dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan
karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang paling
utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan masuk akal.

Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang memandang


diantara ayat-ayat Al-qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjdai karena
keterbatasan akal manusia. Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan,
yang ada adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.

2. Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan bahwa


kedudukan Al-qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak demikian.
Yang harus ada bahwa As-sunnah menjelaskan Al-qur’an, da Al-qur’an
kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada
pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang kulaitasnya lemah, baik dari
segi sanad maupun matannya.

3. Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.

4. Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.2

1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
6

2.2 UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH


Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

1. Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama,


dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-
qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.

2. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya
dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.

3. Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.

4. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya.


Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu
datangnya dalil.

5. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya


maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil
tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.3

2.3 JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH


a. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah
SWT :

‫َو اْلَخْيَل َو اْلِبَغاَل َو اْلَح ِم ْيَر ِلَتْر َك ُبْو َها َو ِز ْيَنًة َو َيْخ ُلُق َم ا اَل َتْع َلُم ْو َن‬

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan
(menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )

Dalam ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan
keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna
berbeda :

‫ُهللا اَّلِذ ْي َج َعَل َلُك ُم اَألْنَع اَم ِلَتْر َك ُبْو ا ِم ْنَها َتْأُك ُلْو َن‬

Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
7

b. Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

‫َع ْن َعاِىيَش َة وأِّم َس اَل َم َة َر ِض َى ُهلل َع ْنَه ا َاَّن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َك اَن ُيْص ِبُح ُج ُنًب ا ِم ْن‬
)‫ِجَم اٍع ُثَّم َيْغ َتِس ُل َو َيُصْو ُم (متفق عليه‬

Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.

Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :

‫ِاَذ ا ُنْو ِدَى ِللَّص اَل ِة َص اَل ِة الُّص ْبِح َو َاَح َد ُك ْم ُج ُنًبا َفاَل َيُصْو ُم َيْو َم ُه‬

Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban)

c. Ta’arudh antara sunah dangan qiyas

Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran
hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua
kambing untuk putra, berdasarkan hadits :

‫َاْلَعِقْيَقُة َح ٌّق َع ِن ْالُغ اَل ِم َش اَتاِن ُم َك ا َفَىَتاِن َو َع ِن اْلَج اِرَيِة َش اٌة‬

"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan
untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)

Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang
lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah
Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.

d. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas

Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw.


terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :
8

‫ َتَز َّو َجِنْى َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِلَس ِّت ِس ِنْيَن َو َبِنَى ِبى َو َاَن اِبْنُت‬: ‫َو َع ْن َعاِىَس َة َقاَلْت‬
)‫ِتْس ِع ِس ِنْيَن (رواه مسلم وعن عاىسة‬

Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila
tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)

Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan


mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin
yangbersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.4

2.4 CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH


Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dalam
menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh
al-adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:

a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari
aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat
dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.

b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat
digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu
yang lebih kuat atau (rajih).

c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih)
tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang
bertentangan.

d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya


adalah tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat
menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu
adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu
adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.
4 Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009. Hlm 313-314
9

Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara


yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai
berikut:

1. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan.


Alasannya karena mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan
membiarkan salah satunya. Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat
Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-Talaq sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang masa iddah wanita yang
dicerai oleh suaminya.

2. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara
selanjutnya yang ditempuh adalah dengan tarjih.

3. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka
caranya meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil
yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.

4. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan
keluarnya adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat
mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.

Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah
sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan
keduanya terletak pada urutannya.

1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut

2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.5

2.5 CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH


1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq
(menggabungkan dan mengkompromikan)

5 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
10

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:

‫َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا َف ِإَذ ا َبَلْغ َن‬ ‫َو اَّل ِذ ْيَن ُيَتَو َّف ْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن‬
‫ِباْلَم ْع ُرْو ِف َو هللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬ ‫َأَج َلُهَّن َفَال ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفى َأنُفِس ِهَّن‬

Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:

‫ ِم ْن َأْم ِر ِه ُيْسًرا‬, ‫َو ُأْو َلُت آَأْلْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأن َيَض ْع َن َح ْم َلُهَّن َو َم ْن َيَّتِق َهللا َيْج َع ْل َّلُه‬

Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah
sampai melahirkan kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami.
Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya,
jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan
jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.6

2. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh

Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإن َتَر َك َخْيًرا اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِف َح ّق ًا‬
‫َع َلى اْلُم َّتِقْيَن‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
6 Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240
11

karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”

Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:

‫ َسِم ْع ُت َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقْو ُل ِفي ُخ ْط َبِتِه َعاَم َح َّج ِة‬: ‫َع ْن َأِبي ُأَم اَم َة اْلَباِهِلِّي َقاَل‬
‫اْلَو َداِع ِإَن َهللا َقْد َأْع َطى ِلُك ِّل ِذ ي َح ٍّق َح َّقُه َفاَل َو ِص َّيَة ِلَو اِر ٍث‬

“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda
ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi)

3. Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

‫ َك اَن َأُبو ُهَر ْيَر َة َيُقْو ُل َم ْن َأْص َبَح ُج ُنًبا َفاَل َص ْو َم َلُه‬: ‫َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َع َّتاٍب َقاَل‬

“Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata


“Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa
baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

‫َع ْن َعاِىَش َة َو ُأِّم َس َلَم َة َز ْو َج ِى الَّنِبِّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّنُهَم ا َقاَلَت ا َك اَن َر ُس ْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيْص ِبُح ُج ُنًبا ِم ْن ِج َم اٍع َغْيِر اْح ِتاَل ٍم ِفى َر َم َض اَن ُثَّم َيُصْو ُم‬.

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata
“Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan
Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)

4. Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain

Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

‫َفآْقَر ُء وا َم ا َتَيَّس َر ِم َن اْلُقْر َء اِن‬


“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an

Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:


12

‫ َو َأْنِص ُتوْاَلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم ْو َن‬,‫َو ِإَذ ا ُقِرَى ءاْلُقْر َء اُن َفآْسَتِم ُعْو اَلُه‬

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan


perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk


makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks
ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan
kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan
dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut
sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil
mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara
bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum
yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan
masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang
menjelaskan:

‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam


menjadi baginya”. (HR. Jama’ah).7

Bab III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan
salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain
yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk
oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur.
Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni,
menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.

7 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
13

Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan


tasaqut

DAFTAR PUSTAKA

Shidiq, Saipudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011

Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2008

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta. Rajawali Pers, 2013

Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana, 2005

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009
14

Anda mungkin juga menyukai