Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK

“TA’ARUD AL-ADILLAH DAN CARA PENYELESAIANNYA”


Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: KH.Dr. Habib Bawafi, MH.I
Dosen Ukl : Bpk Nur Muchlisin, Spd.I

Disusun Oleh :

Eza Cahya Dinda Balqis Nashokha Nim : ( 20214210104661 )


Moch. Charies Shodiq Azizy Nim : ( 20214210104679 )
Nurlia Novitasari Nim : ( 20214210104692 )
Septian Davidia Nur Miftakhul K. Nim : ( 20214210104701 )

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)


AL–MUSLIHUUN TLOGO BLITAR
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita,
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh panutan yang baik bagi seluruh umat manusia.
Terimakasih kami sampaikan kepada teman-teman yang sudah berkenan memberikan
kontribusi pemikirannya dalam menuangkan materi hingga terbentuklah makalah ini.

Tak lupa kami sampaikan banyak terimakasih kepada bapak dosen KH.Dr.Habib
Bawafi, MH.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqih dan juga kepada bapak Nur
Muchlisin, Spd.I yang telah membimbing kami.

Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqih, yang
berjudul “TA’ARUD AL-ADILLAH DAN CARA PENYELESAIANNYA”. Meskipun
makalah ini mungkin masih terdapat kekurangan yang ada di dalamnya, akan tapi semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi kita semua khususnya kepada
para pembaca sekalian.

Saran dan masukan sangat kami harapkan agar kedepannya kami dapat menjadi yang
lebih baik lagi di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca. Aamiin.

Blitar, 06 November 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2


BAB I .................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 1
BAB II ................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
A. Definisi Ta’arud Al Adilah ...................................................................... 2
B. Sebab-Sebab Ta’arudh Al-Adillah ........................................................... 7
C. Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah .................................................... 9
BAB 3.................................................................................................................. 11
PENUTUP ........................................................................................................... 11
Kesimpulan ............................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 12

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di dalam agama Islam ini terdapat yang dinamakan dengan ilmu ushul
Fiqih. Ilmu ini merupakan cabang dari sekian banyak ilmu – ilmu yang terdapat
dalam agama Islam. Ilmu ushul fiqih ini bisa disebut sebagai ilmu alat sebelum
mempelajari ilmu fiqih. Ilmu ushul fiqih dan fiqih ini bisa diibaratkan seperti
halnya ilmu nahwu dan sharaf. Sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan
melengkapi satu sama lain. Ilmu Ushul Fiqih memiliki pengertian tentang
kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum
syariat Islam mengenai perbuatan manusia, di mana kaidah itu bersumber dari
dalil – dalil agama secara terperinci dan jelas.1 Objek kajian ilmu Ushul Fiqih
yaitu dalil syar’i yang umum dipandang dari ketetapan – ketetapan hukum –
hukum yang umum pula.
Dalam ilmu Ushul Fiqih pun terdapat bermacam – macam cabang ilmu
lagi salah satunya yaitu tentang pembahasaan Ta’arud Al Adilah. Permasalahan
Ta’arud Al Adilah adalah sebab yang paling banyak menimbulkan perbedaan
pendapat ulama di bidang hukum Islam.2 Dengan semakin banyaknya nash –
nash yang bertentangan satu sama lain, sudah pasti dibutuhkan solusi atau cara
menyelesaikan permasalahannya seperti apa. Untuk itu pada makalah kali ini
kami sebagai penyusun berusaha untuk membahas tentang Ta’arud Al Adilah
dan bagaimana cara penyelesaiannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Ta’arud Al Adilah?
2. Apa saja sebab-sebab Ta’arud Al Adilah?
3. Bagaimana cara penyelesaian Ta’arud Al Adilah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Ta’arud Al Adilah
2. Untuk mengetahui sebab-sebab Ta’arud Al Adilah
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian Ta’arud Al Adilah

1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada),
1996, P. 3
2
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada), 2011, P. 141
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ta’arud Al Adilah

Menurut bahasa, Arudh berarti Taqabul dan Tamanu atau bertentangan dan
sulitnya pertemuan. Ulama Ushul mengartikan Taarud ini sebagai dua dalil
yang masing-masing menafikan apa yang di tunjuk oleh dalil yang lain.3
Menurut Wahbah Zuhaili, Ta’arud yaitu terdapat dua dalil, salah satunya
menunjukkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di kehendaki oleh nash
yang lainnya.4 Senada dengan hal tersebut, Ta’arud Al Adilah secara bahasa
berarti pertentangan antara dalil – dalil (nash dan bukan nash). Sedangkan
secara Istilah yaitu pertentangan antara dalil – dalil syar’i di mana suatu dalil
menuntut hukum atau suatu kasus di mana kasus itu juga dituntut oleh dalil
lainnya secara bersamaan.5

Kontradiksi di antara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi
salah satu diantaranya kepada yang lain. dan kontradiksi antara dua dalil syara,
artinya menurut istilah ulama ushul ialah penentuan dari salah satunya dalam
satu waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan
hukum yang ditentukan dalil lain mengenai pristiwa itu. Kontradiksi antara dua
dalil syara tidak akan terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama kekuatannya.
Adapun apabila salah satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka
yang diikuti ialah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan
diabaikanlah hukum yang kontradiksi dengannya. Dengan demikian tidak akan
terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan zhonni, nash dan ijma’ atau qias dan
antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau dua

3
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2011, P. 141
4
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2011, P. 231
5
Miftahul Hamdi, Pendalaman Materi Ushul Fiqih. P. 101
2
hadits yang mutawatir, atau antara ayat dan hadits mutawatir, atau dua hadits
yang tidak mutawatir dan atau antara dua qiyas.6

Menurut Abdul Wahab Khallaf yang perlu diperhatikan dalam memahami


Ta’arud Al-Adilah, bahwasanya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya
antara dua ayat atau antara dua hadits yang shahih atau antara ayat dan hadits
shahih. Jika keliatannya terdapat kontradiksi antara dua nash, sebenarnya yang
kontradiksi itu hanya lahirnya saja sesuai yang tampak pada akal. Bukan
kontradiksi yang sebenarnya. Alasannya karena Allah tidak mungkin
mengeluarkan dua hukum yang bertentangan untuk satu pristiwa dalam satu
waktu. Tetapi jika kontradiksi itu terjadi pada qiyas maka hal ini merupakan
kontradiksi lahir atau yang sebenarnya, oleh karena itu boleh jadi di antara salah
satu qiyas tersebut ada kesalahan.7

Contoh - Contoh Ta’arud Al Adilah

1. Contoh lain adalah tentang membasuh atau menyapu kedua kaki ketika
berwudhu. Hal ini terdapat dalam firman Allah dalam surat Al-Maidah
ayat 6.
ََٰٰٓٓ‫ق‬ ۡ ‫َٰٓو ُجوه ُك ۡمَٰٓوأ ۡيدِي ُك ۡمَٰٓ ِإلى‬
ِ ِ‫َٰٓٱلمراف‬ ُ ْ‫ٱغ ِسلُوا‬
ۡ ‫صلوةَِٰٓف‬ َّ ‫يَٰٓأيُّهآَٰٱلَّذِينَٰٓءامنُوآَْٰ ِإذآَٰ قُمۡ ت ُ ۡمَٰٓ ِإلىَٰٓٱل‬
َٰٓ‫ٱط َّه ُرو ِۚآَْٰ و ِإنَٰٓ ُكنتُم‬
َّ ‫وٱمۡ س ُحوآَْٰ ِب ُر ُءو ِس ُك ۡمَٰٓ وأ ۡر ُجل ُك ۡمَٰٓ ِإلىَٰٓ ۡٱلكعۡ ب ۡي ِۚ ِنَٰٓ و ِإنَٰٓ ُكنت ُ ۡمَٰٓ ُجنُبٗ آَٰ ف‬
ۡ ‫َٰٓمن‬
َٰٓ‫َٰٓٱلغائِ ِطَٰٓأ ۡوَٰٓلم ۡست ُ ُمَٰٓٱلنِساءَٰٓفل ۡمَٰٓت ِجدُوآَْٰما ٗء‬ ِ ‫َٰٓمن ُكم‬ ِ ٞ‫َّم ۡرضىَٰٓأ ۡوَٰٓعلىَٰٓسف ٍرَٰٓأ ۡوَٰٓجاءَٰٓأحد‬
َٰٓ‫َٰٓم ۡن‬ َّ ُ‫َٰٓم ۡن ِۚهَُٰٓمآَٰي ُِريد‬
َِٰٓ ‫َٰٓٱَّللَُٰٓ ِلي ۡجعلَٰٓعل ۡي ُكم‬ ِ ‫فتي َّم ُموآَْٰص ِعيدٗ آَٰط ِيبٗ آَٰفٱمۡ س ُحوآَْٰ ِب ُو ُجو ِه ُك ۡمَٰٓوأ ۡيدِي ُكم‬
َٰٓ ٦ََٰٰٓٓ‫جَٰٓول ِكنَٰٓي ُِريدَُٰٓ ِليُط ِهر ُك ۡمَٰٓو ِليُتِ َّمَٰٓنِعۡ مت ۥهَُٰٓعل ۡي ُك ۡمَٰٓلعلَّ ُك ۡمَٰٓت ۡش ُك ُرون‬
ٖ ‫حر‬
Dalam satu qiraat di baca Wa arjulakum sehingga ada ulama yang
berpendapat bahwa kaki itu wajib di basuh ketika berwudhu. Namun,
dalam riwayat lain di baca Wa arjulikum sehingga ada ulama yang
mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika berwudhu.
2. Firman Allah Qur’an surat Al-Baqaroh ayat 234

6
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada),
1996, P. 382-383
7
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2011, P. 231
3
َٰٓ‫َٰٓمن ُك ۡمَٰٓويذ ُرونَٰٓأ ۡزوجٗ آَٰيتربَّصۡ نَٰٓ ِبأنفُ ِس ِه َّنَٰٓأ ۡربعةَٰٓأ ۡش ُه ٖرَٰٓوع ۡش ٗر ۖآَٰفإِذا‬ ِ ‫وَٰٓٱلَّذِينَٰٓ يُتوفَّ ۡون‬
َٰٓ‫ٱَّللَُٰٓ ِبمآَٰتعۡ ملُون‬
َّ ‫وفَٰٓو‬ ِ ِۗ ‫بل ۡغنَٰٓأجل ُه َّنَٰٓفَلَٰٓ ُجناحَٰٓعل ۡي ُك ۡمَٰٓ فِيمآَٰفع ۡلنَٰٓ فِيَٰٓأنفُ ِس ِه َّنَٰٓ ِب ۡٱلمعۡ ُر‬
َٰٓ ٢٣٤ََٰٰٓٓ‫ير‬
ٞ ‫خ ِب‬
dan Qur’an surat At-Talaq ayat 4

َٰٓ‫ض ِۚن‬
ۡ ‫َٰٓٱرت ۡبت ُ ۡمَٰٓف ِعدَّت ُ ُه َّنَٰٓثلثةَُٰٓأ ۡش ُه ٖرَٰٓوٱلَّـِيَٰٓل ۡمَٰٓي ِح‬
ۡ ‫َٰٓمنَٰٓنِسائِ ُك ۡمَٰٓإِ ِن‬
ِ ‫يض‬ ۡ ‫َٰٓمن‬
ِ ‫َٰٓٱلم ِح‬ ِ ‫وَٰٓٱلَّـِيَٰٓيئِ ۡسن‬
ِ ُ‫َٰٓٱَّللَٰٓي ۡجعلَٰٓلَّهۥ‬ ِۚ ۡ ُ‫وأ ُ ْولت‬
َٰٓ ٤ََٰٰٓٓ‫َٰٓم ۡنَٰٓأمۡ ِرِۦهَٰٓي ُۡس ٗرا‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫َٰٓٱۡل ۡحما ِلَٰٓأجلُ ُه َّنَٰٓأنَٰٓيضعۡ نَٰٓحمۡ ل ُه َّنَٰٓومنَٰٓيت‬

Mungkin dapat mengkompromikan kedua ayat ini. yaitu jika istri yang
sedang hamil yang di tinggal mati suaminya memakai iddah dengan satu
tempo yang lebih jauh dari ketentuan tersebut, maka seandainya dia
telah melahirkan kandungan sebelum 4 bulan 10 hari dari tanggal wafat
suaminya, dia harus menanti sampai sempurna 4 bulan 10 hari. Dan
apabila 4 bulan 10 hari telah lewat sebelum ia melahirkan
kandungannya, maka dia harus menanti sampai melahirkan
kandungannya.8
3. 2 hadits yang berkaitan dengan orang yang junub sampai subuh, wajib
puasa atau tidak. Hadits pertama diriwayatkan oleh isteri – isteri Nabi
Muhammad saw, sebagai berikut:

َٰٓ‫بَٰٓأ ْخبرنِيَٰٓع ْم ٌروَٰٓوهُوَٰٓا ْب ُن‬ ٍ ‫يَٰٓحدَّثنآَٰا ْب ُنَٰٓو ْه‬ ْ ‫ارو ُنَٰٓ ْب ُنَٰٓس ِعيد‬
ُّ ‫ٍَٰٓاۡل ْي ِل‬ ُ ‫حَٰٓدَّثنِيَٰٓه‬
َٰٓ‫َٰٓال ِح ْمي ِريَِٰٓأ َّنَٰٓأبآَٰب ْك ٍرَٰٓحدَّثهَُٰٓأ َّن‬ ْ ‫ب‬ َّ ‫ارثَِٰٓع ْنَٰٓع ْبدَِٰٓربِ ِهَٰٓع ْنَٰٓع ْبد‬
ٍ ‫ََِّٰٓللآَِٰب ِْنَٰٓك ْع‬ ِ ‫ْالح‬
َٰٓ‫صبِ ُحَٰٓ ُجنُبًا‬ َّ ‫ََّٰٓللآَُٰع ْنهآَٰيسْألَُٰٓع ْن‬
ْ ُ‫َٰٓالر ُج ِلَٰٓي‬ َّ ‫ضي‬ ِ ‫م ْروانَٰٓأ ْرسلهَُٰٓإِلىَٰٓأ ُ ِمَٰٓسلمةَٰٓر‬
ٍَٰٓ‫َٰٓجماع‬ ِ ‫َٰٓم ْن‬
ِ ‫صبِ ُحَٰٓ ُجنُبًا‬ ْ ُ‫ََّٰٓللآَُٰعل ْي ِهَٰٓوسلَّمَٰٓي‬َّ ‫ََُّٰٓللآَِٰصلَّى‬ َّ ‫تَٰٓكانَٰٓرسُول‬ ْ ‫صو ُمَٰٓفقال‬
ُ ‫أي‬
‫ضي‬ ِ ‫َٰٓم ْنَٰٓ ُحلُ ٍمَٰٓث ُ َّمََٰٓلَٰٓيُ ْف ِط ُرَٰٓوَلَٰٓي ْق‬
ِ ‫َل‬

Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa'id Al `Aili telah


menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan
kepadaku Amru, yaitu anaknya Al Harits dari Abdu
Rabbihi dari Abdullah bin Ka'b Al Himyari bahwa Abu
Bakar telah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah diutus oleh

8
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada),
1996, P. 384 – 385
4
Marwan kepada Ummu Salamah radliallahu 'anha untuk menanyakan
tentang seorang laki-laki yang mendapati waktu pagi dalam keadaan
junub, apakah ia boleh berpuasa. Maka Ummu Salamah menjawab:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendapati waktu
subuh dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi. Namun
beliau tidak Ifthar (berbuka) dan tidak pula meng-qadla` (mengganti)
puasanya."9
sedangkan hadits kedua diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.

َٰٓ‫حَٰٓدَّثنِيَٰٓ ُمح َّمدَُٰٓ ْب ُنَٰٓحاتِ ٍمَٰٓحدَّثنآَٰي ْحيىَٰٓ ْب ُنَٰٓس ِعيدٍَٰٓع ْنَٰٓاب ِْنَٰٓ ُجريْجٍَٰٓ حَٰٓ وَٰٓحدَّثنِي‬
ٍ ‫قَٰٓ ْب ُنَٰٓه َّم ٍامَٰٓأ ْخبرنآَٰا ْب ُنَٰٓ ُجري‬
َٰٓ‫ْج‬ َّ ُ ‫ُمح َّمدَُٰٓ ْب ُنَٰٓرافِعٍَٰٓواللَّ ْفظَُٰٓلهَُٰٓحدَّثنآَٰع ْبد‬
ِ ‫َٰٓالر َّزا‬
َٰٓ ُ‫َِٰٓالر ْحم ِنَٰٓع ْنَٰٓأبِيَٰٓب ْك ٍرَٰٓقالَٰٓس ِم ْعت‬ ْ ُ‫أ ْخبرنِيَٰٓع ْبد‬
َّ ‫َٰٓالم ِل ِكَٰٓب ُْنَٰٓأبِيَٰٓب ْك ِرَٰٓ ب ِْنَٰٓع ْبد‬
َٰٓ‫َٰٓالف ْج ُرَٰٓ ُجنُبًا‬ ْ ُ‫ص ِهَٰٓم ْنَٰٓأدْركه‬ ِ ‫صَٰٓيقُولَُٰٓ فِيَٰٓقص‬ ُّ ُ‫ََّٰٓللآَُٰع ْنهَُٰٓيق‬
َّ ‫ضي‬ ِ ‫أبآَٰ هُريْرةَٰٓر‬
َٰٓ‫َِٰٓۡل ِبي ِهَٰٓفأ ْنكرَٰٓذ ِلكَٰٓفا ْنطلق‬ ِ ‫ارث‬ ِ ‫َٰٓالح‬ْ ‫َِٰٓالر ْحم ِنَٰٓ ب ِْن‬
َّ ‫ص ْمَٰٓفذك ْرتُ َٰٓذ ِلكَٰٓ ِلع ْبد‬ ُ ‫فَلَٰٓي‬
َّ ‫ضي‬
َُٰٓ‫ََّٰٓللا‬ ِ ‫َٰٓالر ْحم ِنَٰٓوا ْنطل ْقتُ َٰٓمعهَُٰٓحتَّىَٰٓدخ ْلنآَٰعلىَٰٓعائِشةَٰٓوأ ُ ِمَٰٓسلمةَٰٓر‬ َّ ُ‫ع ْبد‬
َٰٓ‫يَٰٓصلى‬ َّ ُّ ‫تَٰٓكانَٰٓالنَّ ِب‬ ْ
ْ ‫َٰٓالر ْحم ِنَٰٓع ْنَٰٓذ ِلكَٰٓقالَٰٓف ِكلتاهُمآَٰقال‬ َّ ُ ‫ع ْن ُهمآَٰفسأل ُهمآَٰع ْبد‬
َٰٓ‫صو ُمَٰٓقالَٰٓفا ْنطل ْقنآَٰحتَّىَٰٓدخ ْلنا‬ ُ ‫َٰٓم ْنَٰٓغي ِْرَٰٓ ُحلُ ٍمَٰٓث ُ َّمَٰٓي‬ ْ ُ‫َّللآَُٰعل ْي ِهَٰٓوسلَّمَٰٓي‬
ِ ‫صبِ ُحَٰٓ ُجنُبًا‬ َّ
َٰٓ‫َٰٓالر ْحم ِنَٰٓفقالَٰٓم ْروا ُنَٰٓعز ْمتُ َٰٓعليْكَٰٓ إِ ََّلَٰٓما‬ َّ ُ ‫علىَٰٓم ْروانَٰٓفذكرَٰٓذ ِلكَٰٓلهَُٰٓع ْبد‬
ْ
َٰٓ‫ذهبْتَٰٓ ِإلىَٰٓأبِيَٰٓهُريْرةَٰٓفرددْتَٰٓعل ْي ِهَٰٓمآَٰيقُولَُٰٓقالَٰٓف ِجئْنآَٰأبآَٰهُريْرةَٰٓوأبُوَٰٓبك ٍر‬
َٰٓ‫َٰٓالرحْ م ِنَٰٓفقالَٰٓأبُوَٰٓهُريْرةَٰٓأهُمآَٰقالتاهَُٰٓلك‬ َّ ُ‫اض ُرَٰٓذ ِلكَٰٓكُ ِل ِهَٰٓقالَٰٓفذكرَٰٓلهَُٰٓع ْبد‬ ِ ‫ح‬
َٰٓ‫ض ِل‬ ْ ‫قالَٰٓنع ْمَٰٓقالَٰٓ هُمآَٰأعْل ُمَٰٓث ُ َّمَٰٓردََّٰٓأبُوَٰٓهُريْرةَٰٓمآَٰكانَٰٓيقُولَُٰٓفِيَٰٓذ ِلكَٰٓ إِلى‬
ْ ‫َٰٓالف‬
َِٰٓ‫َٰٓم ْنَٰٓالنَّبِي‬ ِ ُ‫ض ِلَٰٓول ْمَٰٓأسْم ْعه‬ ْ ‫َٰٓم ْن‬
ْ ‫َٰٓالف‬ ِ ‫َّاسَٰٓفقالَٰٓأبُوَٰٓ هُريْرةَٰٓس ِم ْعتُ َٰٓذ ِلك‬ ِ ‫َٰٓالعب‬ ْ ‫ب ِْن‬
َِٰٓ‫ََّٰٓللآَُٰعل ْي ِهَٰٓوسلَّمَٰٓقالَٰٓفرجعَٰٓأبُوَٰٓهُريْرةَٰٓع َّمآَٰكانَٰٓيقُولَُٰٓفِيَٰٓذ ِلكَٰٓقُ ْلتُ َٰٓ ِلع ْبد‬ َّ ‫صلَّى‬
َٰٓ‫صو ُم‬ ُ ‫َٰٓم ْنَٰٓغي ِْرَٰٓ ُحلُ ٍمَٰٓث ُ َّمَٰٓي‬
ِ ‫صبِ ُحَٰٓ ُجنُبًا‬ ْ ُ‫ْالم ِل ِكَٰٓأقالتآَٰفِيَٰٓرمضانَٰٓقالَٰٓكذ ِلكَٰٓكانَٰٓي‬

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah


menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Ibnu Juraij -dalam
jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi'.
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hammam telah
mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan
kepadaku Abdul Malik bin Abu Bakar bin Abdurrahman dari Abu
Bakar ia berkata, saya mendengar Abu Hurairah r.a mengkisahkan.
Di dalam kisahnya ia berkata, "Siapa yang junub di waktu fajar, maka

9
Imam Muslim. Shahih Muslim, Kitab Puasa, No. 1866
5
janganlah ia berpuasa." Maka saya pun menyampaikan hal itu kepada
Abdurrahman bin Harits dan ternyata ia mengingkarinya. Lalu ia pun
segera pergi dan ku ikut bersamanya
menemui Aisyah dan UmmuSalamah r.a. Kemudian Abdurrahman
menanyakan hal itu kepada keduanya, maka keduanya menjawab, "Di
suatu pagi, Nabi saw junub bukan karena mimpi, kemudian setelah itu
beliau tetap berpuasa." Sesudah itu, kami menemui Marwan, dan
Abdurrahman menuturkan pula hal itu padanya. Maka Marwan
berkata, "Aku aku berbuat sesuatu atas kalian, kecuali bila kalian
segera menemui Abu Hurairah dan membantah apa yang telah
dikatakannya." Akhirnya kami pun segera menemui Abu Hurairah
sedangkan Abu Bakar juga hadir bersamanya. Abdurrahman kemudian
menuturkan perkara tersebut. Maka Abu Hurairah pun bertanya,
"Apakah keduanya memang telah mengatakannya kepadamu?"
Abdurrahman menjawab: "Ya." Abu Hurairah berkata, "Mereka
berdua lebih mengetahui." Kemudian Abu Hurairah mengembalikan
ungkapan yang telah diucapkannya tersebut ke Fadll bin Abbas, ia
berkata, "Aku mendengar hal itu dari Al Fadll, memang aku tidak
mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."
Akhirnya Abdurrahman menarik kembali pendapatnya dalam
permasalahan tersebut. Kemudian aku bertanya kepada Abdul Malik,
"Apakah keduanya mengatakan: 'Di bulan Ramadlan? '" Ia menjawab,
"Seperti itulah. Di suatu pagi, Nabi saw junub bukan karena mimpi,
kemudian setelah itu beliau tetap berpuasa." 10
Hadits pertama lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang kedua
karena isteri – isteri nabi menyaksikan langsung apa yang
diriwayatkan.11
4. Firman Allah Q.S. Al-Baqaroh ayat 222. Hamzah, Al-Kisa’i dan Ashim
membaca yaththaharna dengan mentasydidkan tha. Ini menghendaki
larangan mendekati wanita, sehingga mereka mandi. Ahli qiraat yang

10
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Puasa, No. 1864
11
Miftahul Hamdi, Pendalaman Materi Ushul Fiqih. P. 102
6
lain membaca yathurna, dengan tidak mentasydidkan. Ini menghendaki
bahwa larangan untuk mendekati itu lebih tercabut, apabila telah
berhenti haid, tidak memerlukan mandi terlebih dahulu.12

B. Sebab-Sebab Ta’arudh Al-Adillah

Kontradiksi yang terjadi pada dua dalil atau antara beberapa dalil hanya
secara lahiriah saja. Pandangan atau pemahaman fuqaha terhadap dalil-dalil
yang dianggap mengalami kontradiksi, merupakan suatu pandangan yang
dipengaruhi oleh beberapa sebab di antaranya:

1. Adanya nas atau dalil itu merupakan dalil yang zhanni al-dalhlah.
Dalil-dalil syariat adakalanya penunjukan hukumnya qath‘i al-
dalalah dan adakalanya zhanni al-Dalalah.13 Salah satu contoh dalil
yang zhanni al-dalalah seperti firman Allah swt. dalam QS al-
Baqarah (2): 228:
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami
mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas
mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Adapun lafal yang dipahami penunjukan hukumnya zhanni dalalah
yang terdapat pada ayat tersebut adalah lafal‚ “quru’”. Lafal
tersebut tekandung dua makna yaitu suci dan haid. Perbedaan
makna tersebut menimbulkan pendapat yang berbeda, dan kadang-
kadang dianggap kontradiksi dengan dalil lainnya.

12
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 1997,
P. 280
13
Muhammad Ibrahim Muhammad al-Hafnawi, Al-Ta‘arudh wa al-Tarjih ‘inda alUshuliyyin, hlm.
17.
7
2. Rasulullah saw. diberi hak oleh Allah swt. untuk menetapkan
hukum suatu masalah pada satu peristiwa, dan menetapkan hukum
lain pada hakikat masalah tersebut dalam peristiwa lain. Sesuatu
yang diriwayatkan oleh sebagian perawi tentang satu hukum, dan
sebagian pula ada yang meriwayatkan hukum yang berbeda, maka
hal itu dianggap kontradiksi.
3. Kadang-kadang ta’arudh itu disebabkan adanya salah satu dari dua
hadis yang berbeda, menjadi nasakh (penghapus) bagi dalil yang
lain, namun tidak diketahui oleh ulama, hal itu dapat dianggap
terjadi ta’arudh padahal tidak.10 4. Nabi Muhammad saw. telah
menyebutkan dua metode terhadap beberapa masalah dan hukum
syariat, dan boleh mengambil salah satu dari kedua metode itu.
Sebagian perawi juga ada yang mengambil salah satu dari metode
tersebut, dan perawi lain menggunakan metode lain. Bagi orang
yang tidak mengetahui adanya dua metode tersebut, dipahami
bahwa kedua riwayat itu mengalami kontradiksi padahal tidak. Jadi
mengamalkan setiap dalil adalah boleh.11 5. Adanya periwayatan
dalam Alquran dan sunah yang bersifat umum, yang kadang-
kadang menghendaki tetap bersifat umum dan yang lainnya bersifat
khusus. Hal ini menimbulkan perbedaan secara lahiriah, bukan
perbedaan yang bersifat hakikat dan kadang-kadang dianggap
ta’arudh.

Selain itu, ada pula yang mengemukakan sebab ta’arudh ialah: pertama,
ta’arudh terjadi karena adanya perbedaan bacaan; kedua, tidak adanya pengetahuan
sejarah datangnya suatu dalil; ketiga, terdapatnya beberapa gabungan makna suatu
lafal; keempat, terjadinya pemberitaan terhadap beberapa hal dan masalah yang
berbeda. Perbedaan bacaan suatu dalil dapat menyebabkan terjadi perbedaan
makna. Dalil yang tidak diketahui sejarah datangnya dapat dipahami kontradiksi

8
dengan dalil lainnya, padahal di antara keduanya ada yang hanya berlaku pada masa
lampau dan tidak dapat diberlakukan pada peristiwa sekarang. 14

Oleh karena itu, ta’arudh dapat terjadi karena adanya perbedaan


pemahaman fuqaha terhadap suatu dalil. Dalil yang dipahami fuqaha terkandung
makna tersurat, menimbulkan makna yang berbeda dan kadang-kadang dianggap
terjadi kontradiksi. Perbedaan makna itu terjadi disebabkan keterbatasan
pengetahuan dan pemahaman para fuqaha terhadap dalil-dalil syariat.

C. Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah

Menurut Abdul Wahab Khallaf yang perlu diperhatikan dalam


memahami Ta’arud Al-Adilah, bahwasanya tidak terdapat kontradiksi yang
sebenarnya antara dua ayat atau antara dua hadits yang shahih atau antara ayat dan
hadits shahih. Jika keliatannya terdapat kontradiksi antara dua nash, sebenarnya
yang kontradiksi itu hanya lahirnya saja sesuai yang tampak pada akal. Bukan
kontradiksi yang sebenarnya.15 Alasannya karena Allah tidak mungkin
mengeluarkan dua hukum yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam satu
waktu. Tak ada pertentangan-pertentangan antara satu dalil dengan yang lain di
dalam syariat islam. Akan tetapi, kerapkali nampak pada seorang mujtahid
pertentangan dua dalil pada suatu tempat.16

Tetapi jika kontradiksi itu terjadi pada qiyas maka hal ini merupakan
kontradiksi lahir atau yang sebenarnya, oleh karena itu boleh jadi di antara salah
satu qiyas tersebut ada kesalahan. Apabila berlawanan dua qiyas, tak ada yang
mentarjihkan salah satunya, hendaklah para mujtahid itu beramal dengan yang
dipandang lebih mendekati. Maka apabila salah satu qiyas ini dapat di tarjihkan
dengan salah satu pentarjih-pentarjih qiyas, wajiblah diamalkan mana yang rajih.
Apabila tak ada yang mentarjihkan, maka hendaklah mujtahid memilih salah
satunya, yaitu mana yang lebih condong hatinya. Ulama-ulama Hanafiyah

14
Mahmud Luthfi al-Jazar ‚Al-Ta’arudh baina al-Adillah, hlm. 18.
15
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2011, P. 231
16
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 1997,
P. 275
9
mewajibkan mujtahid itu berupaya lebih dahulu untuk menetapkan mana yang lebih
baik dari keduanya dan dikuatkan oleh hatinya. Tak boleh ia berpindah kepada yang
satu lagi, terkecuali apabila ijtihad berubah.golongan Syafi’iyah membolehkan kita
berpindah kepada yang satu lagi, terkecuali kalau hal itu dilakukan atas dasar
mengikuti hawa nafsu.17

Muhammad Abu Zahra berpendapat jika secara lahiriah terdapat dua nash
yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash tersebut dengan cara yang
benar yang disebut Al Jam’u Wa Al Taufiq. Diantaranya ialah pertama jika ada dua
nash yang satu bersifat khas dan bersifat ‘am, maka yang khas dapat mentakhsis
yang ‘am. Kedua dengan cara mentakwil salah satu dari kedua nash tersebut.
Ketiga, Jika tidak mungkin dengan dua cara di atas, maka perlu dilakukan ijtihad
dengan cara memenangkan diantara salah satu dalil atau yang disebut dengan tarjih.
Di dalam hal ini ada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh para ulama. Di
antaranya:

1. Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dengan yang


memubahkan, ditarjihkan yang mengharamkan.
2. Apabila berlawanan antara yang menghalangi dengan yang
menghendaki, didahulukanlah yang menghalangi.18 Keempat, Jika cara
tarjih tidak memungkinkan sedangkan diketahui sejarah datangnya dua
nash tersebut, maka yang datang kemudian sebagai nasikh terhadap dalil
yang datang lebih dahulu. Kelima, Jika cara terakhir tidak
memungkinkan juga maka harus ditangguhkan pengamalan dua nash
tersebut.19

17
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 1997,
P. 278
18
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 1997,
P. 284 – 285
19
Muhammad Abu Zahra. Ushul Fiqih, (Damaskus: Daar Al-Fiqr), P. 184-185
10
BAB 3

PENUTUP
Kesimpulan

Ta’arud Al Adilah yaitu sebuah cabang ilmu ushul fiqih yang membahas
tentang nash – nash yang berseberangan/berkontradiksi satu sama lain. Dari sekian
banyak nash terdapat nash – nash yang tidak sejalan. Baik dari ayat suci Alquran,
hadits, ijma, dan bahkan qiyas. Itu semua terjadi bukan semata – mata terjadi begitu
saja. Hal itu terjadi dan tersimpan hikmah di dalamnya. Dari sekian banyak nash –
nash yang ada, terdapat beberapa cara atau rekonsiliasi. Dari beberapa ahli ushul
fiqih di antaranya yaitu Muhammad Abu Zahra dan Abdul Wahhab Khallaf
memberikan cara penyelesaiannya.
Terdapat 5 cara dalam penyelesaiannya, di antaranya yaitu takwil, tarjih,
dan segi sejarah, serta penangguhan nash tersebut. Selain itu, ada pula yang
mengemukakan sebab ta’arudh ialah: pertama, ta’arudh terjadi karena adanya
perbedaan bacaan; kedua, tidak adanya pengetahuan sejarah datangnya suatu dalil;
ketiga, terdapatnya beberapa gabungan makna suatu lafal; keempat, terjadinya
pemberitaan terhadap beberapa hal dan masalah yang berbeda.
Menurut Abdul Wahab Khallaf yang perlu diperhatikan dalam memahami
Ta’arud Al-Adilah, bahwasanya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara
dua ayat atau antara dua hadits yang shahih atau antara ayat dan hadits shahih.
Muhammad Abu Zahra berpendapat jika secara lahiriah terdapat dua nash yang
bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan
dan mengkompromikan kedua nash tersebut dengan cara yang benar yang disebut
Al Jam’u Wa Al Taufiq

11
DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Hamdi, Miftahul. Pendalaman Materi Ushul Fiqh.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah – Kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada

Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Damaskus: Daar Al-Fikr

Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam.


Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

12

Anda mungkin juga menyukai